• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Sebelum Menggunakan Alat Peraga Montessori

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Penelitian Sebelum Menggunakan Alat Peraga Montessori

T (siswa III) Sabtu, 9 Januari 2014 12.20 – 12.35 Ruang perpustakaan Sabtu, 11 Januari 2014 09. 45 – 09.55 Ruang perpustakaan

5. Guru (G) Sabtu, 25 Januari 2014 12.30 – 13.50 Ruang guru Wawancara setelah menggunakan alat perga Montessori 6. I (siswa I) Sabtu, 1 Februari 2014 11.30 – 11.50 Ruang kelas VA Sabtu, 3 Februari 2014 12.15 – 12.25 Ruang kelas VA 7. O (siswa II) Senin, 20 Januari 2014 11.45 – 11.55 Ruang kelas IVA Rabu, 29 Januari 2014 12.10-12.25 Perpustakaan

8. T (siswa III) Senin, 20 Januari 2014

12.56 – 12. 14 Ruang kelas IVA

4.2 Hasil Penelitian

Dalam pembahasan bab IV ini peneliti akan menjelaskan ke dalam tiga

poin penting yaitu pertama latar belakang narasumber, pandangan, kefamiliaran

narasumber dan pengalaman narasumber terhadap alat peraga sebelum

pengimplementasian alat peraga Montessori, kedua pengalaman narasumber

setelah menggunakan alat peraga, terkait dari apa yang dirasakan, kendala dan manfaat yang diperoleh dikaitkan dengan karakteristik alat peraga Montessori

4.2.1 Penelitian Sebelum Menggunakan Alat Peraga Montessori

Peneliti akan menjelaskan poin pertama sebelum menggunakan alat peraga matematika berbasis Montessori yaitu latar belakang narasumber, pandangan, kefamiliaran narasumber dan pengalaman narasumber terhadap alat peraga sebelum pengimplementasian alat peraga Montessori.

4.2.1.1Deskripsi Lokasi Penelitian

Sekolah Dasar (SD) Karitas Nandan berlokasi di Nandan, Sariharjo, Ngaglik, Sleman Yogyakarta. Kondisi sekolah yang jauh dari keramaian jalan raya dan tempat umum, terletak di tengah pemukiman penduduk yang tidak terlalu banyak menjadi salah satu kenyamanan sekolah SD Karitas Nandan sebagai

tempat untuk melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar (OSC/B1-4).

Sekolah Dasar SD Karitas Nandan diampu oleh 1 Kepala Sekolah, 11 guru kelas, dan 5 karyawan. Sekolah Dasar Karitas Nandan memiliki dua kelas paralel yakni A dan B.

Semua kelas dari kelas I-VI memiliki dua kelas paralel A dan B terkecuali di kelas II hanya memiliki satu kelas saja. Setiap kelasnya memiliki ruangan yang cukup luas dan bersih sehingga mendukung untuk kegiatan belajar mengajar (OSC/B5-7). Selain terdapat ruangan kelas yang cukup luas dan bersih, SD Karitas Nandan memiliki beberapa fasilitas sekolah yang berguna dalam mendukung

kelangsungan proses kegiatan belajar (OSC/B24-26). Fasilitas-fasilitas tersebut

dapat digunakan ketika proses kegiatan belajar mengajar berlangsung maupun setelah proses kegiatan belajar selesai. Hal ini SD Karitas Nandan selain nyaman digunakan untuk belajar, selain itu memiliki fasilitas-fasilitas yang mendukung kegiatan belajar.

Penelitian dilaksanakan di kelas IV A terletak di tengah yang dibatasi oleh kelas IIIB dan ruangan serbaguna dengan jumlah 19 siswa. Ruang kelas IVA yang luas serta bersih mendukung proses kegiatan belajar. Di dalam ruang kelas IVA terdapat 12 meja serta 22 kursi, 1 almari, 1 papan tulis, papan jadwal, dan papan absen. Selain itu dinding kelas dihiasi dengan gambar pakaian tradisional, peta Indonesia serta hasil karya siswa yang ditempel di dinding. Semua fasilitas yang terdapat di kelas tertata dengan rapi.

4.2.1.2 Latar Belakang Narasumber

Penelitian tentang persepsi guru dan siswa atas penggunaan alat peraga Montessori difokuskan pada kelas IVA dengan jumlah narasumber empat yaitu tiga siswa kelas IVA dan satu guru matematika sekaligus wali kelas IVA. Pemilihan ketiga narasumber siswa atas persetujuan wali kelas dan pemilihan

pelaksanaan penelitian yaitu peneliti melakukan tanya jawab dengan wali kelas mengenai narasumber untuk penelitian. Pemilihan narasumber didasarkan pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) matematika yang memiliki nilai KKM tinggi, nilai KKM sedang dan nilai KKM rendah serta siswa yang komunikatif. Pada akhirnya wali kelas menyarankan narasumber yang digunakan dalam penelitian ini siswa kelas IVA yaitu I, O dan T. Wali kelas IVA mengatakan bahwa siswa kelas IVA memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Adanya karakteristik siswa yang berbeda, prestasi siswa pun juga berbeda-beda. Hal ini dapat dibuktikan pada saat guru menyampaikan materi yaitu terdapat siswa yang langsung bisa memahami materi yang disampaikan tetapi ada siswa yang harus

berulang kali untuk memahami materi yang disampaikan oleh guru

(W1/S1/B27-28).

Hal ini juga terjadi pada narasumber penelitian seperti yang diungkapkan dalam wawancara dengan guru. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru, beliau mengatakan bahwa ketiga narasumber yaitu I, O dan T memiliki karakteristik yang berbeda dalam mengikuti proses kegiatan belajar. Narasumber I termasuk siswa yang aktif di dalam kelas tetapi terkadang narasumber I tidak melakukan

sesuai dengan perintah guru (OK1/B24). Saat semester satu narasumber I tidak

mendapat peringkat di dalam kelasnya. Narasumber I termasuk siswa yang pemalu. Narasumber kedua adalah T yang termasuk siswa aktif di dalam kelas tetapi memiliki sifat mudah marah karena narasumber sering diejek oleh teman

sekelasnya (OK1/B18-22). Pada saat semester satu narasumber T mendapat

peringkat di sepuluh besar dalam kelasnya meskipun terjadi penurunan nilai. Narasumber T termasuk siswa yang mudah berteman dengan orang lain. Narasumber ketiga adalah O termasuk siswa yang aktif dalam kegiatan belajar dan selalu berpartisipasi dalam kegiatan di kelas, seperti saat ini menjadi sekretaris di

kelasnya (OK1/B16-17). Narasumber O termasuk siswa yang ceria serta mudah

berteman dengan orang lain. Prestasi yang dimiliki narasumber O termasuk bagus karena narasumber selalu peringkat 1 di kelasnya. Alasan memilih ketiga narasumber siswa I, O dan T karena ketiga narasumber memiliki prestasi yang berbeda khususnya pada nilai matematika dan ketiga narasumber termasuk siswa yang komunikatif.

4.2.1.3 Deskripsi Sosio Cultural

Sekolah Dasar SD Karitas Nandan termasuk sekolah yang nyaman sebagai tempat belajar serta memiliki fasilitas yang mendukung kegiatan belajar. Namun, berbanding terbalik dengan tersedianya alat peraga yang terdapat di sekolah. Di setiap kelasnya, peneliti tidak menemukan alat peraga terkecuali di kelas dua

menemukan alat peraga berupa puzzle bangun datar (OSC/B31-32). Peneliti tidak

menemukan alat peraga di kelas, namun peneliti menemukan beberapa alat peraga di ruang UKS dan Perpustakaan dengan kondisi alat peraga yang kotor dan tidak

terawat (OSC/B28).

Hasil observasi yang diperoleh peneliti bahwa proses kegiatan belajar yang

berlangsung di SD Karitas Nandan tidak menggunakan alat peraga (OSK/B35-38).

Kebiasaan yang muncul di SD Karitas Nandan selama kegiatan belajar mengajar guru menggunakan metode ceramah, tanya jawab serta penugasan. Guru matematika kelas IVA mengatakan ketika menjelaskan dengan ceramah, siswa kesulitan untuk membayangkan dan memahami materi yang disampaikan, jadi harus diulang-ulang penyampaian materinya. Apabila siswa kesulitan dalam memahami materi, guru biasanya menggunakan papan tulis sebagai alat bantu untuk menjelaskan materi yang disampaikan.

Hasil yang peneliti peroleh ketika melakukan observasi kelas pemahaman materi yang diterima siswa ketika tidak menggunakan alat peraga pun tidak secara

maksimal (OK2/B13). Hal ini juga terjadi ketika guru menjelaskan materi tentang

bilangan bulat tanpa alat peraga harus berulang-ulang menjelaskan materinya. Guru pada saat itu menggunakan papan tulis sebagai alat bantu untuk menyampaikan materi namun beberapa siswa mengeluh karena tidak dapat memahami materi yang disampaikan. Keseluruhan berlangsungnya kegiatan pembelajaran di SD Karitas Nandan masih menggunakan metode ceramah, tanya jawab serta penugasan. Selain itu guru hanya menggunakan papan tulis sebagai media untuk membantu dalam menyampaikan materi kepada siswa. Padahal menggunakan alat peraga dalam kegiatan pembelajaran akan memberi banyak manfaat baik dari pihak guru maupun siswa.

4.2.1.4 Pandangan Narasumber terhadap Alat Peraga

Narasumber penelitian difokuskan pada siswa kelas IVA yang berjumlah tiga siswa. Tema wawancara yang dilakukan kepada ketiga narasumber salah satunya mengenai pendapat narasumber terhadap alat peraga. Langkah awal peneliti melakukan wawancara terhadap narasumber mengenai suka atau tidak suka pelajaran matematika. Wawancara dilakukan kepada ketiga narasumber dan

narasumber I mengatakan “Seneng banget matematika” (W1/S1/B14). Sama

halnya dengan narasumber O yang melaporkan bahwa narasumber “senang

terhadap matematika” (W2/S3/B8). Berbeda dengan narasumber T yang

mengungkapkan “tidak terlalu suka matematika” (W2/S4/B4) karena narasumber

mengangap matematika itu “sulit” (W2/S4/B12) Terlepas dari pandangan

narasumber mengenai suka atau tidak suka terhadap pelajaran matematika, berikut merupakan pandangan narasumber mengenai suka atau tidak suka menggunakan alat peraga pada saat pelajaran matematika.

Awalnya peneliti melakukan wawancara mengenai suka atau tidaknya pelajaran matematika, lebih lanjut peneliti menanyakan kepada narasumber tentang suka atau tidak suka menggunakan alat peraga pada saat pelajaran. Hasil yang diperoleh berdasarkan wawancara dengan ketiga narasumber mengenai suka atau tidak suka menggunakan alat peraga dalam kegiatan belajar di sekolah yaitu narasumber I mengatakan “enggak” yang berarti tidak suka menggunakan alat

peraga pada saat pelajaran matematika (W1/S2/B107). Hal yang sama

diungkapkan oleh narasumber T yang mengaku tidak suka menggunakan alat

peraga saat pelajaran matematika (W2/S4/B65). Alasan narasumber T tidak suka

menggunakan alat peraga pada saat pelajaran matematika karena ketika menggunakan alat peraga narasumber merasakan kebingungan dan kesulitan

dalam menggunakannya (W2/S4/B67-71).

Hal senada juga diungkapkan oleh narasumber O yang mengaku tidak suka menggunakan alat peraga dengan alasan menggunakan alat peraga

menyebabkan kebingungan bagi narasumber (W2/S3/B66). Berbeda dengan yang

diungkapkan oleh guru jika menggunakan alat peraga akan menanamkan konsep lebih dalam kepada siswa. Keadaan karena terbatasnya alat peraga serta tidak adanya rancangan khusus untuk alat peraga menjadi kendala bagi guru apabila

dalam kegiatan belajar akan menggunakan alat peraga. Hasil wawancara dengan

guru matematika kelas IV “Yaa.. untuk alat peraga memang jarang digunakan tapi

apabila di situ ada alat peraga yang bisa digunakan misalnya seperti jaring – jaring

kubus itu di situ kan di kelas itu kan ada kotak berbagi. Nah dengan kotak itu kita digunakan untuk alat peraga. Jadi memang alat peraga di sini tidak dii..rancang

secara khusus tapi hanya (W1/S1/B31-37) menggunakan yang ada di sekitar”

(W1/S1/B39). Oleh karena itu apabila guru membutuhkan alat peraga dalam proses belajar, guru hanya menggunakan benda di sekitar kelas.

Pandangan atas penggunaan alat peraga menurut guru sangat baik karena siswa akan tertarik dan memudahkan siswa menerima materi seperti wawancara

yang telah diungkapkan oleh guru “Perasaan siswa yaa senang..karena bisa

langsung melihat” (W1/S1/B44). Pengalaman guru ketika mengajar IPA

menggunakan video “jadi dengan adanya film kayak metamorfosis gitu mereka

lebih tertanemnya lebih dalem daripada kita cuma ceramah” (W1/S1/B65-66).

Pendapat guru dengan adanya alat peraga di dalam kegiatan belajar mengajar selain membantu siswa dalam memahami materi, hal lain yaitu mendukung pemahaman siswa tertanam lebih dalam.

Ketidaktertarikan ketiga narasumber terhadap alat peraga disebabkan ketika narasumber menggunakan alat peraga mereka mengalami kesulitan dalam menggunakan serta merasa bingung cara menggunakan alat peraganya. Ketiga narasumber mengungkapkan selama ini guru pernah menggunakan alat peraga ketika semester satu dan itu menjadi pengalaman pertama kali bagi narasumber.

Narasumber T mengatakan “pecahan pernah,,pernah”(W2/S4/B38). Hasil yang

sama diungkapkan oleh narasumber O bahwa “Udah. Matematika pertama kali”

guru menggunakan alat peraga pertama kali pada pelajaran pecahan (

W1/S3/B27-29). Begitu pula yang disampaikan narasumber I jika guru menggunakan alat

peraga matematika pertama kali (W1/S2/B65).

Berdasarkan hasil di atas bahwa siswa tidak tertarik pada alat peraga karena narasumber akan mengalami kesulitan dalam menggunakan alat peraga tersebut sehingga narasumber merasa kesulitan dalam menerima materi yang disampaikan oleh guru. Oleh karena itu guru perlu mengganti pemikiran narasumber terhadap alat peraga dimana narasumber akan mengalami kesulitan

dan kebingungan dalam menggunakannya alat peraga tersebut. Hasil wawancara kepada guru, beliau mengatakan dengan menggunakan alat peraga dalam kegiatan belajar mengajar akan membantu siswa dalam memahami materi serta menanamkan konsep lebih dalam kepada siswa daripada menggunakan metode

ceramah (W1/S1/B65-66). Selain mengubah pemikiran narasumber terhadap alat

peraga maka diperlukan adanya rancangan khusus untuk alat peraga sehingga dapat mengubah kondisi keterbatasan alat peraga menjadi tersedianya alat peraga di sekolah.

4.2.1.5 Kefamiliaran Narasumber terhadap Alat Peraga

Sekolah Dasar Karitas Nandan memiliki beberapa fasilitas yang mendukung proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah, namun berbanding terbalik dengan tersedianya alat peraga yang dimiliki oleh sekolah tersebut. Hasil yang diperoleh ketika peneliti melakukan observasi yaitu tidak terdapat alat peraga dalam setiap kelasnya terkecuali di kelas dua terdapat alat peraga berupa puzzle bangun datar. Meskipun demikian, peneliti menemukan beberapa alat peraga di ruang UKS dan Perpustakaan dengan kondisi berdebu dan rusak (OSK/B27-28). Hal ini membuktikan bahwa alat peraga yang berada di ruang UKS dan Perpustakaan tidak digunakan dalam kegiatan belajar. Dalam kesehariannya guru mengajar dengan metode ceramah serta penugasan. Proses kegiatan belajar tidak menggunakan alat peraga mengidentifikasikan bahwa narasumber kurang familiar dengan alat peraga.

Hasil wawancara dengan ketiga narasumber mendapatkan hasil yang sama yaitu guru pernah satu kali menggunakan alat peraga ketika semester satu. Data di atas mengidentifikasi bahwa narasumber kurang familiar dengan alat peraga. Guru berpendapat jika keterbatasan alat peraga yang dimiliki di sekolah menjadi salah satu penyebab tidak menggunakan alat peraga ketika proses belajar di kelas. Guru mengatakan jika ingin menggunakan alat peraga, guru mencari alternatif lain yaitu menggunakan benda di sekitar kelas sebagai alat peraganya. Keterbatasan dan tidak tersedianya alat peraga yang dimiliki sekolah menyebabkan kesehariannya proses belajar yang berlangsung hanya menggunakan metode ceramah, tanya jawab, serta penugasan. Dengan kondisi ini, diperlukan adanya alat peraga untuk

kegiatan belajar siswa di sekolah supaya siswa lebih memahami materi serta penanaman konsep menjadi lebih dalam.

4.2.1.6 Pengalaman Narasumber terhadap Alat Peraga

Pengalaman narasumber atas penggunaan alat peraga masih terbatas karena selama ini narasumber menggunakan alat peraga ketika pada semester satu dan itu menjadi pengalaman pertama kali narasumber menggunakan alat peraga pada pelajaran matematika. Mengenai penggunaan alat peraga pertama kali pada pelajaran matematika narasumber O mengatakan “enggak suka menggunakan alat

peraga” (W2/S3/B45) dengan alasan narasumber O merasa lebih sulit dalam

memahami materi jika menggunakan alat peraga. Begitu pula dengan narasumber

T yang mengatakan bahwa “enggak suka pake alat peraga” (W2/S4/B65) karena

menurut narasumber lebih mudah memahami materi ketika guru menjelaskan menggunakan ceramah dan narasumber merasa kebingungan cara menggunakan

alat peraganya (W2/S4/B67-71).

Ketiga narasumber memaparkan hal yang sama mengenai penggunaan alat peraga dalam kegiatan belajar, jika narasumber merasa kebingungan dalam

menggunakan alat peraganya (W2/S3/B66) serta kesulitan menggunakan alat

peraganya (W2/S4/B65). Hasil wawancara dengan guru mengenai pengalaman

menggunakan alat peraga dalam kegiatan belajar, beliau mengatakan pernah menggunakan video pembelajaran pada pelajaran IPA serta alat peraga pada pelajaran Matematika.

Guru mengatakan dengan menggunakan alat peraga, penanaman konsep pada anak lebih dalam daripada menggunakan ceramah. Hal ini dapat dibuktikan ketika guru menggunakan video pada saat pelajaran IPA dan hasilnya siswa lebih memahami karena siswa melihat secara langsung serta konsep yang diterima

siswa lebih dalam (W1/S1/B65-66). Begitu pula ketika guru menggunakan alat

peraga pada saat pelajaran matematika mengungkapkan penanaman konsep anak lebih dalam tentang materi yang disampaikan walaupun beberapa siswa kebingungan dengan cara penggunaan alat peraga tersebut. Sayangnya, di SD Karitas Nandan setiap pelajaran yang berlangsung tidak selalu menggunakan alat peraga. Hal ini menjadi kemungkinan bahwa narasumber tidak berpengalaman dalam menggunakan alat peraga.

Hasil wawancara dengan siswa mengatakan pengalaman menggunakan alat peraga pertama kali pada saat semester satu pada pelajaran matematika. Sama halnya yang disampaikan oleh guru bahwa beliau pernah menggunakan alat peraga pada saat materi pecahan dan video pembelajaran tentang metamorfosis. Menurut beliau memang dalam kegiatan belajar di kelas tidak selalu menggunakan alat peraga karena tidak tersedianya alat peraga di sekolah, tidak ada rancangan khusus untuk alat peraga sehingga guru menggunakan ceramah. Pengalaman menggunakan alat peraga baik dari guru dan siswa kemungkinan masih terbatas.

Hal yang diungkapkan guru mengenai hasil evaluasi ketika menggunakan alat peraga yakni mengatakan hasil evaluasinya lebih bagus menggunakan alat

peraga “Yaaa…memang baik kalo ada alat peraganya ya”(W1/S1/B60). Guru

mengatakan bahwa “Yaa…kalo saya sendiri sebenarnya lebih baik kalo ada alat

peraga selalu digunakan, tapi karena memang kondisinya alat peraga sangat

minim” (W1/S1/53-55). Hal ini mengidentifikasi bahwa guru memilih dan

mendukung penggunaan alat peraga dalam kegiatan belajar di kelas tetapi karena keterbatasan dan tidak tersedianya alat peraga di sekolah maka guru tidak menggunakan alat peraga dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini perlu adanya rancangan khusus pengadaan alat peraga di sekolah untuk proses pembelajaran yang berlangsung.

Dokumen terkait