• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian terdahulu terkait dengan RFMO dan WCPFC difokuskan pada penelitian biologi, operasional penangkapan dan efektivitas pelaksanaan ketentuan yang diatur dalam Konvensi dan langkah-langkah pengelolaan. Oleh karena itu, dalam rangka mendapatkan informasi secara luas tentang kegiatan penangkapan ikan di laut lepas, maka dilakukan penelusuran terhadap RFMO. Adapun beberapa hasil penelusuran tersebut, yaitu:

1) Kebebasan di Laut Lepas

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa laut lepas memiliki asas-asas kebebasan sebagaimana dituangkan dalam UNCLOS 1982. Namun demikian, dalam perkembangannya, kebebasan tersebut tidak berlaku untuk kegiatan penangkapan ikan. Hal ini sebagaimana dikuatkan oleh Hannesson (2011), yang menyebutkan bahwa kebebasan di laut adalah konsep lama, karena yang masih berlaku hanya kebebasan berlayar dan transportasi barang. Kebebasan di laut lepas sebagaimana diatur oleh UNCLOS 1982 telah mengalami perubahan pasca pemberlakuan UNIA 1995, sehingga penangkapan ikan di laut lepas yang tidak mengindahkan aturan RFMO dapat dikenakan aturan sanksi illegal fishing.

2) Performance RFMO dan Efektivitas Pelaksanaan Konvensi WCPFC

Keberlanjutan sumberdaya ikan dalam suatu wilayah laut lepas tidak dapat dilepaskan dari lembaga pengelola (RFMO). Bjørndal (2009) menyebutkan kriteria performan NEAFC, yaitu: (1) Conservation and management of fisheries resources; (2) Monitoring, control and enforcement; (3) Decision making and dispute settlement procedures; (4) Co-operation; dan (5) NEAFC in a regional and international context. Khusus untuk WCPFC, Hanich (2011) menyatakan bahwa WCPFC telah gagal melaksanaan Konvensi dan langkah-langkah pengelolaan yang telah ditetapkan untuk mencegah terjadinya overfishing bigeye tuna.

3) Kajian tentang Hasil Tangkapan Sampingan

Permasalahan hasil tangkapan sampingan menjadi perhatian bersama masyarakat internasional. Hal ini dikarenakan, penangkapan jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory species) menyisakan permasalahan, yaitu tertangkap hiu, burung laut, penyu dan mamalia laut (Levesque, 2008). Kelemahan ICCAT adalah ketidakmampuan melakukan harmonisasi laporan nasional, pelaksanaan dan koordinasi upaya serta, kepatuhan serta penegakan hukum. Selain itu, adanya kesenjangan indikator performance ICCAT dalam hal efektivitas tindakan sesuai dengan yang tercantum dalam Konvensi pembentukan ICCAT (Levesque, 2008).

Herndon, et.al. (2010) menambahkan bahwa penurunan jumlah hiu selama ini dikarenakan tidak adanya data informasi demografi secara lengkap.Dalam rangka mengkaji hasil tangkapan sampingan, Waugh, et.al (2008) menyebutkan pentingnya ecological resource assessment (ERA) melalui empat tahapan, yakni: (a) establishing the context and problem formulation; (b) undertaking formal risk

assessment; (c) identification of risk and implementation of management

measures to address risks; dan (d) monitoring and review.

4) Akses Publik Terhadap Dokumen RFMO

Berdasarkan prinsip-prinsip transparansi yang terdapat dalam Konvensi RFMO, maka para pemangku kepentingan perikanan memilki hak untuk mendapatkan informasi dokumen ilmiah yang dimiliki RFMO. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Polacheck (2012), bahwa publik memiliki akses terhadap dokumen ilmiah yang digunakan RFMO dalam menetapkan setiap keputusan. Ketersediaan data ilmiah merupakan salah satu syarat transparansi RFMO sebagaimana diamanatkan oleh UNIA 1995, yang bertujuan untuk pengambilan keputusan dan untuk promosi aktif publikasi dan diseminasi hasil penelitian.

5) Program Observer di Laut Lepas

Dalam rangka pelaksanan pemantauan dan pengawasan di laut lepas, maka setiap kapal ikan wajib menempatkan observer diatas kapalnya. Laporan Dickson (2012) mengungkapkan bahwa program observer perikanan (Fisheries Observer Program) yang dilaksanakan oleh BFAR yang bekerjasama dengan industri perikanan mampu menciptakan kepatuhan pelaku usaha dalam pelaksanaan tindakan konservasi dan pengelolaan laut lepas secara berkelanjutan.

6) Kajian Keanggotaan Indonesia pada WCPFC

Ariadno (2012) mengkaji WCPFC dalam perspektif hukum. Disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia sudah sesuai dengan Konvensi, meskipun perlu tambahan. Selain itu, penegakan hukum terhadap kapal perikanan Indonesia belum efektif. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kewajiban

sesuai aturan WCPFC, maka perlu dilakukan pendampingan teknis untuk mencapai kapasitas dan kemampuan pemerintah Indonesia.

Tahun Penulis/Peneliti Judul Jurnal Kesimpulan 2008 Juan C. Levesque International fisheries agreement:

Review of the International

Commission for the Conservation of Atlantic Tunas Case study—Shark management

Marine Policy 32 (2008) 528–533

ICCAT berhasil mengelola beberapa jenis spesies beruaya juah (HMS), tapi gagal dalam mengelola hiu, burung laut, penyu dan mamalia laut.

Kelemahan ICCAT adalah

ketidakmampuan melakukan harmonisasi laporan nasional, ketidakmampuan pelaksanaan dan koordinasi upaya serta, kepatuhan serta penegakan hukum Adanya kesenjangan indikator

performance ICCAT dalam hal efektivitas tindakan sesuai dengan yang tercantum dalam Konvensi pembentukan ICCAT 2008 S.M. Waugha, G.B.

Baker, R. Gales, J.P. Croxall

CCAMLR process of risk assessment to minimise the effects of longline fishing mortality on seabirds

Marine Policy 32 (2008) 442–454

empat tahap dalam ecological resource

assessment (ERA), yaitu: (a) establishing the context and problem formulation; (b) undertaking formal risk assessment; (c) identification of risk and implementation of management measures to address risks; and (d) monitoring and review;

Adopsi pendekatan bisa dilakukan untuk menangani permasalahan burung laut dan tangkapan sampaingan lainnya.

commission (NEAFC) resources; (2) Monitoring, control and enforcement; (3) Decision making and dispute settlement procedures; (4) Co- operation; and (5) NEAFC in a regional and international context.

2010 Andrew Herndon, Vincent F. Gallucci, Douglas DeMaster, William Burke

The case for an international

commission for the conservation and management of sharks (ICCMS)

Marine Policy 34 (2010) 1239–1248

Badan internasional telah efektif mewujudkan pengelolaan hiu secara berkelanjutan

Penurunan jumlah hiu selama ini

dikarenakan tidak adanya data informasi demografi secara lengkap.

Ketiadaan data selama ini difasilitasi oleh badan internasional

2011 Rognvaldur Hannesson

Rights based fishing on the high seas: Is it possible?

Marine Policy 35 (2011) 667–674

Kebebasan di laut adalah konsep lama, karena yang masih berlaku hanya kebebasan berlayar dan transportasi barang

Kebebasan di laut lepas sebagaimana diatur oleh UNCLOS 1982 telah mengalami perubahan pasca pemberlakuan UNIA 1995. Penangkapan ikan di laut lepas

bertentangan dengan aturan RFMO

sangat kecil peluangnya. Hal ini dikarenakan, disyaratkan adanya

pembatasan jumlah negara yang terlibat 2011 Quentin Hanich Interest and Influence -A Snapshot

of the Western and Central Pacific Tropical Tuna Fisheries

Research Online - Australian National Centre for Ocean Resources and Security

(ANCORS)

University of Wollongong

WCPFC dianggap gagal mencegah terjadinya overfishing dan mengurangi penangkapan baby tuna.

Keberhasilan pelaksanaan upaya

konservasi dan pengelolaan pada WCPFC sangat dipengaruhi kepentingan setiap negara.

Perlu penguatan peran politik WCPFC untuk penyeimbangan kepentingan negara anggota sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang terkait dengan konservasi dan pembangunan

berkelanjutan. 2012 Martin Aranda,

Hilario Murua, dan Paul de Bruyn

Managing fishing capacity in tuna regional fisheries management organisations (RFMOs):

Development and state of the art

Marine Policy. 36 (2012) 985–992

Jurnal ini mengkaji praktik-praktik pengelolaan kapasitas perikanan di 4 RFMO, yaitu: Inter American TropicalTuna Commission (IATTC),

International Commission for the

Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT),

Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Western and Central Pacific

dalam konvensi pembentukan keempat RFMO

Fishing capacity lebih kompleks dari pembatasan jumlah kapal, karena adanya faktor efisiensi teknis dan kapasitas tangkapan

Regional Vessel Registers (RVRs)

sekarang digunakan untuk membatasi tipe dan panjang kapal, khususnya kapal purse seine.

RFMO dihadapkan pada tantangan aspirasi negara berkembangan dalam membangun industri perikanan tunanya. Pengelolaan berbasis hak dalam dunia

perikanan tuna, masih menjadi perdebatan internasional

2012 Tom Polacheck Politics and independent scientific

advice in RFMO processes: A case study of crossing boundaries

Marine Policy. 36 (2012) 132–141.

Akses publik terhadap dokumen ilmiah yang digunakan RFMO dalam

menetapkan setiap keputusan.

Ketersediaan data ilmiah merupakan salah satu syarat transparansi RFMO

sebagaimana diamanatkan oleh UNIA 1995, yang bertujuan untuk pengambilan keputusan dan untuk promosi aktif

2012 Dickson, A. C. DFT, M. Demoos, W. S. de la Cruz, I. Tanangonan, J. O. Dickson, DFT and R. V. Ramiscal

Analysis of Purse Seine/Ring Net Fishing Operations in Philippine EEZ

Paper prepared for the Scientific Committee Eighth Regular Session, 7-15 August 2012 Busan, Republic of Korea

Pengurangan kedalaman jaring tidak hanya menurunkan tangkapan bigeye tuna, tetapi juga yellowfin tuna dan skipjack. Program observer perikanan (Fisheries Observer Program) melaporkan bahwa kerjasama yang baik antara BFAR dan industri perikanan untuk mengkaji dan melaksanakan aturan dan kepatuhan sesuai perjanjian terkait dengan tindakan

pengelolaan dan konservasi 2012 Melda Kamil

Ariadno

Review of Policy and Legal Arrangements of WCPFC Related Matters and Checklist of Compliance Shortfalls

Indonesia paper policy for WCPFC, November 2012

Peraturan perundang-undangan Indonesia sudah sesuai dengan Konvensi, meskipun perlu tambahan

Penegakan hukum terhadap kapal perikanan Indonesia belum efektif Dalam rangka pemenuhan kewajiban

sesuai aturan WCPFC, maka perlu dilakukan pendampingan teknis untuk mencapai kapasitas dan kemampuan pemerintah Indonesia.

Aturan WCPFC akan mengikat secara efektif, apabila Indonesia melakukan ratifikasi.

2.12 Novelty (Kebaruan)

Penelitian terdahulu sebagaimana disajikan pada Tabel 4 mengkaji RFMO dalam aspek kelembagaan. Sementara kajian khusus WCPFC baru dilaksanakan alam konteks analisa peraturan perundang-undangan menggunakan yuridis comparative. Dengan demikian, dampak lanjutan berupa besaran dampak yang ditimbulkan dari Konvensi WCPFC belum dikaji secara lebih mendalam.

Penelitian ini menawarkan kebaruan dalam beberapa aspek, yaitu:

1) Formulasi strategi, yang perlu dilakukan secara sinergis dan komprehensif. Seperangkat strategi ini diharapkan dapat diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia, yang dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Luar Negeri. Dengan demikian, kebaharuan kedua dalam penelitian ini adalah rumusan strategi utuh dan menyeluruh dalam menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi diplomasi Indonesia di wilayah WCPFC.

2) Kajian implikasi. Ratifikasi adalah salah satu pengikatan diri suatu negara terhadap suatu hukum internasional sesuai asas pacta sunt servanda. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan menjadi panduan Indonesia dalam bersikap untuk menjadi anggota atau CNM. Dengan demikian, kebaharuan ketiga dalam penelitian ini adalah analisis implikasi persiapan ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi WCPFC, khususnya analisa terhadap larangan penangkapan baby tuna (yellowfin dan big eye).

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait