• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.2 Conservation and Management Measures (CMM) : Implikasi Bag

5.2.6 Pengelolaan Tangkapan Sampingan

Dalam ketentuan WCPFC terdapat tiga kelompok spesies yang dimasukan dalam kelompok tangkapan sampingan (bycatch) yakni hiu, penyu dan burung laut. Tangkapan sampingan ketiga jenis tersebut diatur melalui CMM 2004-04 Resolusi Tindakan Pengelolaan dan Konservasi (Resolution on Conservation and Management Measures) merupakan tindaklanjut dari Pasal 5 Konvensi WCPFC yang mengatur perlunya tindakan mitigasi akibat tangkapan tangkapan sampingan untuk spesies hiu, penyu dan burung laut.

Tangkapan sampingan diartikan sebagai ikan hasil tangkapan non target pada suatu perikanan tertentu (Pauly, 1984; Alverson et al 1994). Pada alat

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 WCPFC 4,380 4,660 4,660 4,220 4,124 3,405 4,107 3,233 2,791 3,358 Indonesia 138 203 205 232 223 221 232 227 227 227 - 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 T o n

tangkap longline, jenis-jenis hiu , sering tertangkap sebagai tangkapan sampingan. Khusus Indonesia yang berada pada perairan tropis tangkapan sampingan lebih banyak pada hiu dan penyu sedangkan burung laut lebih banyak terjadi pada perairan sub-tropis.

1) Hiu

Konservasi dan pengelolaan hiu ditetapkan melalui CMM 2010-07 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Hiu (Conservation and Management Measure for Sharks). Salah satu pertimbangan penetapan CMM 2010-07 dikarenakan beberapa jenis hiu telah masuk dalam Appendix II CITES yakni basking shark and great white shark.

Dalam rangka implementasi IPOA Conservation and Management of Sharks perlu negara anggota FAO segera mengadopsi dalam National Plan of Action (NPOA) untuk meminimalkan tangkap yang tidak termanfaatkan dan mendorong pelepasan jika tertangkap.

Ketentuan pengaturan hiu ditetapkan melalui CMM 2011-04 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Oceanic Whitetip Shark (Conservation and Management Measure for Oceanic Whitetip Shark). Berdasarkan kajian Komite Ilmiah WCPFC mengindikasikan telah terjadi penurunan sediaan Oceanic Whitetip Shark (Carcharhinus Longimanus) akibat penangkapan longline dan puirse seine di wilayah WCPFC. Member, Cooperating Non Member dan Participating Territories pada ketentuan ini melarang kapal bendera negarannya untuk melakukan transhipment, penyimpanan atau mendaratkan Oceanic Whitetip Shark secara utuh atau sebagian. CMM ini berlaku mulai 1 Januari 2013.

Hasil penelitian hiu di Indonesia menyimpulkan bahwa di perairan Indonesia sekurang-kurangnya terdapat sekitar 137 jenis hiu dan pari : 76 spesies hiu dan 61 spesies pari. Dari 76 spesies hiu yang dimanfaatkan di Indonesia tidak termasuk spesies Carcharodon megalodon (white shark) yang sampai saat ini belum pernah tertangkap sebagai komoditas perikanan cucut. Di perairan Samudera Pasifik jenis hiu yang banyak tertangkap oleh longline adalah pari manta (manta birostris) yang merupakan salah satu spesies ikan tebesar di dunia.

Tankapan hiu merupakan kegiatan sampingan dari kegiatan perikanan longline, gillnet, fish net dan trammel net. Aktivitas perikanan ini ditemukan hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Hasil tangkapan cucut dimanfaatkan oleh nelayan sebagai hasil tambahan perikanan dalam berbagai bentuk komoditas : bahan makanan olahan (diasin), produk ekspor dari sirip cucut, kulitnya sebagai bahan berbagai bentuk asesoris (tas, sepatu, dompet dll) untuk kebutuhan dalam negeri, tulang belakang dipasarkan sebagai bahan obat kanker dan organ dalam (hati) terutama dari jenis cucut botol (Squalidae) dapat menghasilkan minyak.

Berdasarkan data Statitik WPP Perikanan Tangkap tahun 2007 – 2011, jenis hiu dominan yang tertangkap di WPP 716 (Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera) dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik) adalah requiem sharks (hiu lanyam). Rata-rata tangkapan requiem sharks sebesar 57,71 persen dari jumlah tangkapan hiu, terutama antara tahun 2008-2011 (Gambar 22).

Sumber : Diolah Data Statistik Perikanan Tangkap per WPP tahun 2012 Gambar 22 Jumlah Tangkapan Hiu di WPP 716 dan 717

2007 2008 2009 2010 2011 Whitespotted wedgefishes 301 19 157 161 Stingrays 84 244 330 213 217 Requiem sharks 74 736 726 723 740 Thresher sharks 1,028 226 344 373 - 200 400 600 800 1,000 1,200 1,400 1,600 To n

2) Penyu

Tangkapan sampingan penyu ditetapkan melalui CMM 2008-03 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penyu (Conservation And Management of Sea Turtles) yang merupakan adopsi Pedoman FAO tahun 2005 untuk mengurangi angka kematian penyu dalam operasi penangkapan ikan. Terdapat lima jenis penyu di wilayah konvensi yang tertangkap pada alat tangkap longline yakni, Green turtle, Loggerhead, Leatherback, Hawksbill dan Olive ridley.

Berdasarkan pasal 5 dan 10 Konvensi, Komisi mendesak semua negara anggota unruk mengimplementasikan Pedoman Penangkapan Alat Tangkap Purse Seine di wilayah perairan nasional dan di area Konvensi. Pada kondisi penyu tertangkap dengan tidak sengaja maka awak kapal perlu melakukan upaya pelepasan dan memastikan penyu tersebut dalam kondisi selamat. Kelima jenis penyu tersebut terdapat di perairan Indonesia yang telah dilindungi melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya dengan aturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Sebagaimana pengelolaan tangkapan utama, pengelolaan tangkapan sampingan di laut lepas mengacu pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004. Ketentuan tersebut dikuatkan dengan UU No. 21 Tahun 2009, yaitu pelaksanaan Pasal 8 mengenai kerja sama untuk konservasi dan pengelolaan. Aturan lebih rinci mengenai pengelolaan tangkapan sampingan dituangkan dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012. Pada Bab X bagian kesatu mengenai hasil tangkapan sampingan (bycatch) yang secara ekologi terkait dengan (ecologically related species) perikanan tuna. Menurut Pasal 39, setiap kapal penangkap ikan yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas yang memperoleh hasil tangkapan sampingan (bycatch) yang secara ekologis terkait dengan (ecologically related species) perikanan tuna berupa hiu, burung laut, penyu laut, mamalia laut termasuk paus, dan hiu monyet wajib melakukan tindakan konservasi. Hasil tangkapan sampingan yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna berupa hiu dengan ketentuan bukan hiu juvenile dan hiu dalam kondisi hamil, dan harus didaratkan secara utuh (Pasal 40 ayat 1).

Sementara itu, hasil tangkapan sampingan yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna berupa burung laut pada wilayah 25 derajat lintang ke arah selatan wajib menerapkan tindakan mitigasi yang efektif untuk menghindari tertangkapnya burung laut (Pasal 41 ayat 1). Lebih lanjut, Pasal 41 ayat (2) menyebutkan bahwa tindakan mitigasi tersebut terdiri dari: (a) setting di malam hari dengan pencahayaan minimum di atas dek kapal; (b) menggunakan tali pengusir burung (tori line); (c) menggunakan pemberat untuk branch line agar umpan cepat tenggelam; (d) umpan cumi diberikan warna biru; (e) kendalikan sisa debit/limbah; dan (f) penggunaan alat pelempar tali.

Menurut Pasal Pasal 42 ayat (1), setiap penangkapan ikan di laut lepas yang tanpa sengaja tertangkap burung laut, penyu laut, dan/atau mamalia laut termasuk paus harus dilepaskan dalam keadaan hidup. Dalam hal burung laut, penyu laut, dan/atau mamalia laut termasuk paus yang tanpa sengaja tertangkap dalam keadaan mati, nakhoda harus melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan untuk dibuat surat keterangan guna dilaporkan kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (Pasal 42 ayat 2).

Sementara itu, hasil tangkapan sampingan yang yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna berupa hiu monyet dengan ketentuan harus dilepaskan dalam keadaan hidup, sedangkan dalam hal hiu monyet yang tanpa sengaja tertangkap dalam keadaan mati, nakhoda harus melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan untuk dibuat surat keterangan guna dilaporkan kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Selanjutnya ditambahkan bahwa setiap kapal penangkap ikan yang menangkap, memindahkan, mendaratkan, menyimpan, dan/atau menjual hiu monyet (thresher sharks) dari semua family Alopiidae baik utuh maupun bagiannya dikenakan sanksi IUU Fishing (Pasal 43).

Aturan lain terkait tangkapan sampingan ditetapkan dalam Permen KP No. Per.40/Men/2012. Pasal 73 menyebutkan, bahwa setiap kapal penangkap ikan yang memiliki SIPI di WPP-NRI wajib melakukan tindakan konservasi terhadap jenis spesies tertentu yang terkait secara ekologi dengan tuna, yang ditetapkan oleh RFMO.

Khusus tentang pengelolaan hiu, Indonesia atas bantuan SEAFDEC sejak tahun 2004 telah menyusun National Plan of Action (NPOA) Shark Management namun hingga saat ini rencana aksi tersebut belum ditetapkan menjadi peraturan menteri.

Dokumen terkait