BAB I PENDAHULUAN
G. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan referensi bagi peneliti dalam melakukan penelitian ini. Beberapa penelitian terdahulu akan diuraikan secara ringkas karena penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian sebelumnya. Guna mendukung materi dalam penelitian ini, maka peneliti telah meringkas beberapa penelitian terdahulu yang terkait, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Tabel 1.4
Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan
Lanjutan Tabel 1.4
Lanjutan Tabel 1.4
Lanjutan Tabel 1.4
Lanjutan Tabel 1.4
Lanjutan Tabel 1.4
18 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Minat
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 2003, p. 769), minat diartikan sebagai kesukaan atau kecenderungan hati terhadap sesuatu, perhatian, atau keinginan. Minat merupakan salah satu aspek psikis manusia yang dapat mendorong untuk mencapai tujuan. Seseorang yang memiliki minat terhadap suatu obyek, cenderung untuk memberikan perhatian atau merasa senang yang lebih besar kepada obyek tersebut (Kusumah, 2009).
Minat pengunaan merupakan suatu keinginan seseorang untuk tetap menggunakan suatu barang (Ari, 2013). Seorang individu apabila menilai sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya maka di saat itu lah dia akan berminat untuk menggunakannya lagi dan akan mendatangkan kepuasan.
Minat adalah sesuatu yang berhubungan dengan daya gerak yang mendorong kita cenderung atau merasa tertarik pada orang, benda, kegiatan ataupun bisa berupa pengalaman yang efektif yang dirangsang oleh kegiatan itu sendiri (Abror, 1993, p. 112).
(Kinanti, 2013), Minat adalah kecenderungan jiwa yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa aktivitas atau kegiatan. Jadi seseorang yang berminat terhadap suatu aktivitas dan memperhatikan aktivitas itu pasti dilandasi dengan rasa senang dan apabila timbul rasa senang, maka seseorang akan secara konsisten menggunakannya di masa yang akan datang.
Menurut (Djamarah, 2008, p. 132) minat adalah kecenderungan yang menetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa aktivitas.
Seseorang yang berminat terhadap aktivitas akan memperhatikan aktivitas itu secara konsisten dan rasa senang.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berminat terhadap suatu aktivitas akan memperhatikan aktivitas itu secara konsisten dengan rasa senang dikarenakan hal tersebut datang dari dalam diri seseorang yang didasarkan rasa suka dan tidak ada paksaan dari pihak luar. Dengan kata lain, minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang memaksa.
Minat menggunakan kartu kredit adalah perasaan tertarik yang disertai dengan perasaan senang untuk menggunakan alat pembayaran berupa kartu yang dananya dipinjamkan oleh suatu instansi di tempat-tempat yang bersedia menerima pembayaran tanpa harus mengeluarkan uang tunai (Alam, 2006).
Faktor-faktor yang menimbulkan minat menurut (Shaleh, 2009, p. 264):
1. Faktor Intern
Dorongan dari dalam individu artinya mengarah pada kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari dalam individu, merupakan faktor yang berhubungan dengan dorongan fisik, motif, mempertahankan diri dari rasa lapar, juga dorongan rasa ingin tahu.
a. Motif sosial artinya mengarah pada penyesuaian diri dengan lingkungannya atau aktifitas untuk memenuhi kebutuhan sosial, seperti bekerja, mendapatkan status, mendapatkan penghargaan.
b. Faktor emosional artinya minat erat hubungannya dengan perasaan atau emosi, keberhasilan dalam beraktivitas yang didorong oleh minat akan membawa rasa senang dan memperkuat minat yang ada, sebaliknya kegagalan akan mengurangi minat individu tersebut.
2. Faktor Eksteren a. Status ekonomi b. Pendidikan
c. Situasional (Orang dan Lingkungan) d. Keadaan psikis
Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi minat terdapat pada faktor interen dari dorongan individu dan faktor eksteren dari status ekonomi. Faktor interen dari dorongan individu menurut (Sudrajat, 2010, p. 80) terdiri dari persepsi, keyakinan atau kepercayaan, harapan pribadi, kebutuhan, rasa senang atau tidak senang dan kepuasan.
Menurut (Hurlock, 2006) apabila status ekonomi membaik, orang cenderung memperluas minat mereka untuk mencakup hal yang semula belum mampu mereka laksanakan. Sebaliknya kalau status ekonomi mengalami kemunduran karena tanggung jawab keluarga atau usaha yang kurang maju, maka orang cenderung untuk mempersempit minat mereka.
Disini status ekonomi diukur dari pendapatan.
Menurut (Cosynook, 2013) Individu dapat dikatakan menaruh minat terhadap suatu objek ditandai dengan :
a. Kecenderungan untuk memikirkan objek yang diminati b. Keinginan untuk memperhatikan objek yang diminati c. Rasa senang terhadap objek yang diminati
d. Keinginan untuk mengetahui atau mengikuti objek yang diminati.
Menurut (Fure, 2013) indikator minat ada 3 yaitu:
1. Ketertarikan terhadap produk-produk yang ditawarkan 2. Ketersediaan produk
3. Kemudahan dalam menggunakan
(Lee & Lee, 2009) melaporkan bahwa motif belanja yang terkait dengan pilihan media interaksi terasa seperti social, browsing dan situs perbandingan, demikian motif yang berbeda memungkinkan pembeli untuk mengubah prilaku pembelian mereka serta memilih media yang tepat. Minat dapat muncul sebelum maupun setelah seseorang memiliki pengalaman langsung pada suatu aktivitas. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa minat membeli adalah perhatian dan aktivitas seseorang terhadap suatu produk karena merasa tertarik dan memiliki keinginan untuk mengeluarkan uang untuk membeli produk tersebut.
Menurut (Ferdinand, 2006), minat beli dapat diidentifikasikan melalui indikator-indikator sebagai berikut :
a. Minat transaksional, yaitu kecenderungan untuk membeli produk b. Minat referensial, yaitu kecenderungan seseorang untuk
mereferensikan produk kepada orang lain.
c. Minat preferensial, yaitu minat yang menggambarkan perilaku seseorang yang memiliki preferensi utama pada produk tersebut.
Preferensi ini hanya dapat diganti jika terjadi sesuatu dengan produk preferensinya.
d. Minat eksploratif, minat ini menggambarkan perilaku seseorang yangselalu mencari informasi mengenai produk yang diminatinya dan mencari informasi untuk mendukung sifat-sifat positif dari produk tersebut.
2. Kartu kredit
Menurut kamus perbankan kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga lain yang diterbitkan dengan tujuan untuk mendapatkan uang, barang atau jasa secara kredit (H.Putri, 2009). Secara terminologis, kartu kredit adalah suatu jenis alat pembayaran sebagai pengganti uang tunai, yang dapat ditukarkan dengan barang yang diinginkan (Sukma, 2014). Kartu kredit adalah kartu plastik yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga pembiayaan yang diberikan untuk nasabah agar dapat digunakan untuk alat pembayaran dan pengambilan uang tunai (Kasmir, 2012, p. 195).
Kartu kredit adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu transaksi pembayaran dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati baik secara sekaligus ataupun secara angsuran (Fadlan & Lubis, 2012).
Kartu kredit dalam bahasa arab adalah bithaqah I‟timan. Dalam Fiqih Muamalah diartikan sebagai memberikan hak kepada orang lain atas hartanya dengan ikatan kepercayaan, sehingga orang tersebut tidak bertanggung jawab kecuali bila ia melakukan keteledoran atau pelanggaran (Mustofa, 2013).
3. Kartu Kredit Syariah
Kartu kredit syariah dalam islamic finance dikenalkan istilah islamic card atau syariah card pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen pada sistem pembayaran sebagai sarana mempermudah proses transaksi yang tidak tergantung pada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang berisiko (Sholihin, 2010, p. 45).
Syariah Card atau kartu kredit syariah adalah fasilitas kartu talangan yangdipergunakan oleh pemegang kartu sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat tempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan pada waktu yang telah ditetapkan (Mustofa, 2013). Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 54/DSN-MUI/X/2006 Tentang Syariah Card, Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti kartu kredit yang hubunganhukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syari’ah sebagaimana diatur dalam fatwa (Sjahdeini, 2014, p. 458).
Kartu kredit syariah merujuk kepada beberapa ayat Al- Qur’an untuk di jadikan landasan hukum diantaranya yaitu:
QS Al- Maidah ayat 1 Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang dia kehendaki.”
QS Al-Furqan ayat 67 Artinya:
“dan (termasuk hamba Allah Yang Maha Pengasih) orang-orang yang berinfakkan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, diantara keduanya secara wajar.”
a. Pihak yang Terkait dalam Transaksi Kartu Kredit Syariah
Dalam sistem kartu kredit baik kartu kredit konvensional maupun kartu kredit syariah ada tiga pihak yang langsung berkaitan untuk setiap transaksi penggunaan dan pembayaran kartu kredit (Kasmir, 2012, pp.
196-197). Pihak-pihak itu adalah:
1. Bank dan Lembaga Pembiayaan
Bank atau lembaga pembiayaan sebagai penerbit kartu kredit dan memberikan fasilitas tersebut kepada nasabah. Berikut adalah aktivitas pokok dari penerbit:
a. Mengadakan kerja sama dengan principal.
b. Menerima aplikasi dan melakukan investigasi serta approval procedure.
c. Menerbitkan kartu kredit sesuai permohonan nasabah yang sudah disetujui.
d. Mengadministrasikan semua transaksi yang dilakukan card holder.
e. Membukukan utang atau piutang dengan card holder.
f. Memberitahukan kepada card holder mengenai transaksi serta kewajiban yang harus dipenuhi.
g. Melakukan remidial action atas tagihan yang menunggak atau kredit macet
.
2. Pedagang
Pedagang adalah penjual barang atau jasa yang menerima kartu kredit sebagai alat pembayaran. Beberapa aktivitas yang dilakukan oleh pedagang:
a. Melakukan kerja sama dengan bank penerbit melakukan program peningkatan usage dalam rangka menungkatkan omset.
b. Melayani transaksi belanja yang dilakukan card holder.
c. Mengadministrasikan dan melakukan penagihan atas transaksi belanja dengan menggunakan kartu kredit.
3. Pemegang Kartu (card holder)
Pemegang kartu adalah orang yang diberikan fasilitas kartu kredit dan bentuk limit kartu kredit oleh penerbit. Aktivitas yang dilakukan oleh pengguna kartu adalah:
a. Mengajukan aplikasi dan menandatangani syarat-syarat umum penggunaan kartu kredit.
b. Menerima kartu dan limit kredit yang diberikan oleh penerbit.
c. Membayar kewajiban sesuai tagihan dari bank penerbit (Santoso, 2009, pp. 19-21).
b. Akad-akad Kartu Kredit Syariah
Akad-akad yang digunakan dalam kartu kredit adalah:
1. Kafalah
Menurut bahasa Al-Kafalah berarti al-dhaman atau jaminan, hamalah atau beban, za’amah atau tanggungan (Waluyo, 2014, p.
102). Secara harfiah kafalah berarti mengambil tanggung jawab untuk membayar suatu utang (Sjahdeini, 2014, p. 378).
Menurut (Hidayat, 2011, p. 156) dalam bukunya buku pintar investasi kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Rukun-rukun kafalah (Rivai, et al., 2014, p. 103) :
a. Pihak penjamin (khafi) b. Pihak yang dijamin (makful) c. Obyek penjaminan (makful alaih) d. Ijab qabul
Adapun landasan hukum akad Kafalah yaitu Q.S. Yusuf ayat 55:
Artinya:
Ya'qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya'qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)".
Rasulullah bersabda:
“Pinjaman hendaklah dikembalikan dan menjamin hendaklah membayar”(HR Daud)
“Bahwa nabi pernah menjamin 10 dinar seorang dari laki-laki yang oleh penagih ditetapkan untuk menagih sampai sebulan, maka hutang sejumlah itu dibayar kepada penagih” (HR ibn Majah).
2. Qardh
Qardh berasal dari bahasa Arab Qirad yang berarti memotong.
Jadi disebut dengan Qardh karena terjadi potongan sebagian dari kekayaan peminjam dengan memberikan pinjaman kepada penerima pinjaman (Sjahdeini, 2014, p. 342). Qardh adalah memberikan harta untuk dimanfaatkan dan akan diganti (Waluyo, 2014, p. 142). Qardh pada kartu kredit syariah merupakan bank adalah pihak yang memberi pinjaman kepada nasabah dimana nasabah menggunakan kartu tersebut untuk menarik dana secara tunai (Hidayat, 2011, p. 156).
Rukun-rukun akad Qardh (Masjupri, 2013, pp. 283-284) : a. Pihak yang meminjam
b. Pihak yang memberikan pinjaman c. Dana
d. Ijab qabul
Landasan hukum QS Al-Hadid ayat 11 Artinya:
“Barang siapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan mengembalikan berlipat ganda untuknya dan baginya pahala yang mulia.”
Sunnah Rasul:
“Dari Anas ra berkata, Rasulullah SAW bersabda: „pada malam peristiwa Isra‟aku melihat di pintu surga tertulis shadaqoh (akan diganti) dengan 10 kali lipat sedangkan Qardh dengan 18 kali lipat, aku berkata: Wahai jibril, mengapa Qardh lebih utama dari shadaqoh? Ia menjawa karena ketika berminat peminta tersebut memilik sesuatu, sementara ketika berutang orang tersebut tidak berutang kecuali karena kebutuhan.” (HR Ibnu Majah dan Baihaqi).
3. Ijarah
Berasal dari kata al-Ajr yng artinya kompensasi, substitusi, pertimbangan, imbalan atau counter value. Menurut Fatwa DSN-MUI No.9/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 13 April 2000 tentang pembiayaan Ijarah, ijarah adalah pemindahan hak pakai atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindah kepemilikan barang itu sendiri (Sjahdeini, 2014, pp. 263-264). Pada akad ijarah dalam kartu kredit bank merupakan penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan bagi nasabah yang mendapatkan iuran tahunan (annual membership fee)
dari nasabah (Hidayat, 2011, p. 157). Rukun-rukun dalam Ijarah yaitu (Rivai, et al., 2014, pp. 217-218).
a. Penyewa b. Pemberi sewa c. Obyek sewa d. Harga sewa e. Manfaat f. Ijab qobul
Landasan hukum ijarah QS Al Thalaq ayat 6
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
QS Al Qasas ayat 26 Artinya:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
Berkaitan dengan firman Allah di atas Rasul bersabda:
“Berilah upah buruh sebelum kering keringatnya” (HR Abu Ya’la, Ibnumajah, Tabrani dan Tirmidzi)
Demikian pula dalam hadist berikut ini Rasulullah berfatwa:
“Sesunggung Rasul SAW berbekam dan memberikan upah kepada pembekamnya”(HR Bukhari, Muslim dan Ahmad).
c. Pendapat Para Ahli Tentang Kartu Syariah
Penerapan syari’ah card di Indonesia berlandaskan pada Fatwa DSN MUI No: 54/DSN-MUI/X/2006 Tentang Syariah Card yang menyebutkan bahwa hukum syari’ah card dibolehkan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam fatwa tersebut. Meskipun syariah card sudah difatwakan tetapi masih terjadi pro dan kontra terhadap kehalalan dari syariah card tersebut. Adapun berbagai permasalahan pada munculnya produk Syariah Card adalah sebagai berikut:
1. Late charge atau dendadan Ta’wid (ganti rugi) yang menyebabkan adanya perbedaan yang mendasari denda dalam Syariah Card dan Kartu Kredit Konvensional.
Menurut ijtihad Kamal Hammad, hanya mahkamah yang berwenang untuk memberikan hukuman terhadap nasabah defaul payment. Ia menolak dengan tegas hukuman terhadap nasabah defaul payment dengan kompensasi. Sementara ijtihad saintifik Syaykh Mustafa al-Zarqa, sebagaimana dikutip Mohammad Ali Elgari et.al, berpendapat bahwa hukuman denda mesti diputuskan oleh mahkamah tinggi saja dan uang denda itu mesti dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Bank Syariah tidak boleh mengambil uang denda tersebut, tetapi semua uang denda itu mesti dimanfaatkan untuk maslahah
‘ammah (public interest) (Kholis, 2006).
Sementara ijtihad saintifik kolektif Islamic Fiqh Academy, mengeluarkan fatwa bahwa jika nasabah gagal membayar angsuran pada waktu yang telah disepakati, maka pihak bank tidak boleh mengenakan denda atau bayaran lain atas kegagalan tersebut, karena hal itu sama saja dengan menerapkan konsep bunga terhadap angsuran tersebut (Kholis, 2006).
Sedangkan menurut al-Sadiq al-Darir berpendapat denda terhadap defaul payment dengan syarat jumlah denda itu tidak melebihi jumlah hutang nasabah diperbolehkan. Muhammad Taqi Usmani mendukung
pendapat ini, yaitu nasabah defaul payment atau tai’wid hendaknya membayar sejumlah uang kepada institusi kebajikan yang dimiliki oleh bank Islam untuk tujuan membiayai kegiatan kebajikan yang dibolehkan oleh Syariah. Bank Islam tidak boleh mendapat bagian sedikitpun dari uang denda tersebut. Jadi uang denda itu bukan kompensasi kepada pembiaya (bank Islam) sebagai opportunity cost, tetapi semata-mata untuk tujuan kebajikan (Kholis, 2006).
Sedangkan Umer Chapra dan Tariqullah Khan menyatakan bahwa kalau defaul payment tidak dikenakan penalti atau denda maka hal ini akan menjadi satu fenomena yang tidak baik bagi kelangsungan ekonomi sosial, dan orang yang defaul payment tersebut akan terus-menerus melakukan ketidakjujuran. Hal ini juga akan memperburuk sistem keuangan suatu institusi keuangan apalagi kalau nilai kontrak itu sangat besar. Oleh karena itu, Umer Chapra dan Khan mengusulkan konsep “Loss Given Default” (LGD) untuk menentukan jumlah kompensasi agar bisa mengkurangkan nilai-nilai ketidakadilan antara pihak nasabah dan bank Islam saat terjadi defaul payment dengan syarat jumlah kompensasi sudah disetujui oleh ulama, dalam hal ini adalah Dewan Penasehat Syari’ah Nasional (Kholis, 2006).
Untuk permasalahan Syariah Card ini maka pendapat di ambil pendapat Umar Chapra dan Thariqul Khan. Seharusnya ada kesepakatan ta’wid agar ketidakadilan dapat dihilangkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi:
Artinya: “Kemadharatan yang lebihbesar/ berat dihilangkan dengan Kemadharatan yang lebih ringan.”
Kemudharatan yang lebih besar adalah adanya ta’wid yang memberatkan pada salah satu pihak, sedangkan diadakannya musyawarah dalam penentuan ta’wid agar tidak merugikan salah satu pihak.
2. Syariah Card menggunakan akad jasa (fasilitas) pelayanan perlu adanya kehati-hatian agar tidak masuk dalam lingkaran keharaman dalam hal ini adalah keharaman riba. Munculnya berbagai polemik antara lain pada pemilihan akad, karena akad yang digunakan adalah akad Qard atau pembiayaan maka disyaratkan adanya agunan.
Akad Qard secara harfiah adalah akad dengan prinsip pinjam-meminjam untuk non-bisnis yang harus disertai jaminan. Qard adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa ada harapan imbalan. Dalam literature fikih klasik qard dikatagorikan dalam akad tathowwui atau akad saling membantu dan bukan bersifat komersial (Aziz & Ulfah, 2010, p. 254)
Dengan akad Qard, pemegang kartu kredit syariah harus menyetor deposit yang menjadi agunan sekaligus limit kreditnya. Deposit ini disimpan dalam bentuk deposito dan tabungan yang tidak bisa ditarik, hal inipun menjadi identitas adanya Good willinvsment dari nasabah itu sendiri. Akad Qord memungkinkan pemegang kartu untuk mencicil uang. Di sini kita dapat melihat adanya sebuah paradoks di sisi lain orang yang menjadi kartu kredit syariah adalah orang yang hendak berhutang tetapi disisi lain justru harus punya uang dulu sebagai bentuk deposit.
Adanya ketidak konsistenan penggunaan istilah dalam fatwa Syariah Card juga menimbulkan kerancuan, istilah yang digunakan adalah akad Qard tetapi pada ketentuan merchant fee terdapat ujrah penagihan atau tahsil al-dayn, disatu sisi menggunakan istilah Qard di sini lain menggunakan istilah dayn. Adanya perbedaan yang sangat tipis ini akan menimbulkan implikasi yang cukup luas.
Qardul hasan sebenarnya adalah akad yang bersifat kerja sama dalam bentuk bantuan uang yang bercondong penggunaannya untuk usaha (produktif). Hal ini berbeda dengan Dayn (utang) yang penggunaannya lebih brsifat kepada konsumtif, dan hal ini secara
otomatis berbeda akad. Oleh karena itu, dalam Islam menganjurkan untuk menggunakan sistem kerja sama (Syirkah) dari pada sistem Dayn (utang).
3. Kartu syariah tidak ada sistem kontrol yang memastikan apakah pemegang kartu menggunakan kartu kreditnya untuk membelanjakan barang-barang yang halal saja atau tidak, karena selama ini ketika seorang nasabah menggunakan kartu kredit syariah untuk transaksi dengan cara menggeseknya, maka yang tercatat adalah nama merchant bukan nama item barang yang dibeli. Hal ini menjadikan kartu kredit syariah pada penggunaannya rentan terjadi penyelewengan. Maka perlu adanya sesuatu yang dapat menghilangkan kemudharatan tersebut, hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi:
Artinya: “Kemadharatan itu harus dihilangkan.”
Dalam hal yang menyangkut pada kemudharatan ini maka seharusnya pada syariah card ini harus ada badan pengawas yang secara sistemis dapat meminimalisir adanya penyelewengan penggunaan kartu kredit syariah, sehingga kemudharatan yang terjadi dapat dihilangkan.
4. Kartu kredit syariah seharusnya tidak menjadikan pemakainya menjadi Isrof (konsumtif/berlebihan), sementara di sisi lain kartu kredit cenderung menjadikan pemegangnya menjadi konsumtif.
Dalam hal ini jelas bertentang dengan prinsip syariah. Tetapi pada tataran prakteknya ke-Isrof-an ini dapat diminimalisir dengan adanya pagu limit berdasarkan jenis kartu, yaitu kartu hijau, kartu emas, dan kartu platinum.
Adanya pagu limit ini tidak serta merta memberikan hilangnya kemudharatan, dalam hal ini adalah kemudharatan Isrof, sehingga Isrof akan tetap terjadi meskipun adanya pagu limit. Sebuah penciptaan produk diperbankan syariah seharusnya didasarkan pada tujuan produk itu diciptakan yaitu menghindarkan dari Riba, Gharar,
Israf atau konsumsi yang berlebihan, eksploitasi, dan lain sebagainya.
Jika dilihat aspek tujuan adanya suatu produk maka ada kecocokan kaidah fikih yang mengatakan:
Artinya: ”Setiap perkara (perbuatan) itu tergantung pada tujuannya.”
4. Technology Acceptance Model (TAM)
Salah satu teori mengenai penggunaan sistem teknologi informasi yang dianggap sangat berpengaruh dan sering digunakan dalam penelitian yang menjelaskan tentang penerimaan individual terhadap penggunaan sistem teknologi adalah Technology Acceptance Model (TAM).
a. Pengertian Technology Acceptance Model(TAM)
Technology Acceptance Model (TAM) merupakan perilaku yang pada umumnya digunakan untuk menjelaskan penerimaan individual terhadap penggunaan sistem teknologi informasi (Hamzah, 2009).
Sedangkan menurut (Jogiyanto, 2007, p. 111) dalam Technology Acceptance Model (TAM) merupakan suatu model penerimaansistem informasi yang akan digunakan oleh pemakai. Sedangkan menurut (Wibowo, 2008) Technology Acceptance Model (TAM) adalah suatu model yang dibangun untuk menganalisis dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi diterimanya penggunaan teknologi.
Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Technology Acceptance Model(TAM) adalah suatu model yang dibangun unkuk menganalisis, memahami dan menjelaskan
Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Technology Acceptance Model(TAM) adalah suatu model yang dibangun unkuk menganalisis, memahami dan menjelaskan