• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu yang berhubungan dengan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor biji kakao antara lain:

Arsyad (2004), dalam penelitiannya Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Produksi dan Ekspor Kakao Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao adalah harga ekspor kakao tahun sebelumnya, pertumbuhan produksi, nilai tukar rupiah tahun sebelumnya dan trend waktu.

Dampak kebijakan ekonomi berupa subsidi harga pupuk, depresiasi rupiah, penerapan pajak ekspor, kuota ekspor dan perubahan faktor eksternal menyebabkan perubahan perilaku produksi dan ekspor kakao, perubahan kesejahteraan masyarakat dan devisa ekspor.

Semartoto (2004), dengan penelitiannya Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Perkembangan dan Ekspor Kakao Indonesia dengan menggunakan rumus simultan menghasilkan kesimpulan bahwa dalam jangka pendek, ekspor kakao Indonesia kurang responsif terhadap perubahan produksi kakao Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika. Sedangkan dalam jangka panjang responsif terhadap perubahan produksi kakao Indonesia. Produksi kakao sangat mempengaruhi ekspor kakao Indonesia.

Sementara itu depresiasi rupiah terhadap Dollar Amerika menyebabkan ekspor kakao Indonesia dan harga kakao domestik meningkat. Peningkatan ekspor ini mendorong negara-negara pengimpor utama Indonesia meningkatkan impor kakao. Sedangkan peningkatan harga kakao domestik menyebabkan konsumsi kakao menurun, tapi luas areal kakao dan produksi kakao Indonesia meningkat.

Nurhidayani, et al (2006) meneliti tentang Penawaran Ekspor Kakao di Indonesia dengan metode kuantitatif yang menggunakan model ekonometrika dengan menggunakan persamaan tunggal (single equation) dalam persamaan model regresi linier berganda, mendapatkan hasil faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap penawaran ekspor kakao Indonesia adalah produksi kakao domestik, harga kakao domestik, dan nilai tukar.

Syarfi, et al (2008), melakukan peneltian dengan metode studi kasus yang dilaksanakan di Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Lima Puluh Kota tentang potensi pengembangan industri pengolahan kakao di Sumatera Barat menemukan bahwa permasalahan untuk pengembangan industri pengolahan kakao adalah; (a) produktivitas dan kualitas kakao rakyat masih rendah.

Penyebab rendahnya produksi kakao adalah (1) mutu benih rendah, (2) serangan hama Hellopeltis, PBK, dan jamur phytoptora yang belum dikendalikan secara optimal, (3) pemangkasan dan pemeliharaan tidak optimal, (4) pemupukan belum dilakukan sesuai rekomendasi. (b) Penerapan teknologi pascapanen dan pengolahan kakao di sentra produksi masih dilakukan dengan alat-alat yang sederhana. Ketersediaan kotak fermentasi di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Padang Pariaman belum dimanfaatkan secara efektif untuk menghasilkan biji kakao fermentasi. Disamping itu, ketersediaan alat dan mesin

pengolahan kakao yang diberikan oleh pemerintah belum dimanfaatkan untuk pengolahan hasil kakao rakyat.

Hariyadi, et al (2009), dalam penelitiannya Identifikasi Permasalahan dan Solusi Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan menemukan bahwa permasalahan yang dihadapi petani kakao adalah kondisi tanaman yang sudah tua, serangan hama penggerek buah kakao (PBK), penyakit kanker batang dan busuk buah. Peran dan fungsi kelembagaan di tingkat petani (kelompok tani) masih terbatas jika ada program/proyek pemerintah. Peran kelompok tani masih terbatas pada kegiatan pemeliharaan tanaman sementara peran sebagai penyedia sarana produksi dan pemasaran hasil kakao masih belum dilakukan. Permasalahan kelembagaan lainnya adalah terbatasnya tenaga penyuluh lapangan, baik jumlah maupun kompetensinya.

Maswadi (2011), dalam jurnalnya yang berjudul Agribisnis Kakao dan Produk Olahannya Berkaitan dengan Kebijakan Tarif Pajak di Indonesia menyimpulkan bahwa setiap pelaku yanng terlibat dalam subsistem agribisnis kakao masih dapat meningkatkan pendapatan karena pasar kakao masih terbuka untuk produk kakao yang hendak dipasarkan, hanya saja bagi petani dan pengusaha agroindustri perlu dengan teliti mengetahui dan memperhatikan standart mutu kakao yang ada di pasaran.

Kebijakan fiskal oleh pemerintah telah memacu peningkatan produksi dalam negeri namun produktivitas hasil semakin menurun karena petani perkebunan kakao sudah tidak memperhatikan kualitas kebun, berusaha menekan hama dan penyakit serta kualitas buah yang dipanen

Arsyad, et al (2011) dalam penelitiannya yang menganalisis dampak kebijakan pajak ekspor dan subsidi harga pupuk terhadap produksi dan ekspor kakao Indonesia menyimpulkan bahwa (1) faktor-faktor yang secara potensial mempengaruhi ekspor kakao Indonesia adalah harga ekspor kakao Indonesia, pertumbuhan produksi kakao, nilai tukar rupiah dan trend waktu; (2) rencana pemberlakuan pajak ekspor berdampak negatif menurunkan volume produksi dan ekspor kakao Indonesia pasca Putaran Uruguay sementara rencana kebijakan pemberian subsidi harga pupuk berdampak positif meningkatkan produksi dan ekspor kakao Indonesia. Implikasinya adalah bahwa kebijakan subsidi harga pupuk masih dapat diharapkan sebagai strategi kunci untuk memacu produksi dan ekspor kakao Indonesia.

2.3. Landasan Teori 2.3.1. Teori Penawaran

Penawaran suatu komoditas adalah jumlah komoditas yang bersedia ditawarkan oleh produsen pada pasar dengan tingkat harga dan waktu tertentu.

Harga dan jumlah komoditas yang ditawarkan berhubungan secara positif dengan semua faktor yang lain tetap sama, jika harga barang naik maka jumlah yang ditawarkan akan meningkat dan sebaliknya.

Menurut Sukirno (2011) Hukum penawaran adalah suatu pernyataan yang menjelaskan tentang sifat hubungan antara harga sesuatu barang dan jumlah barang tersebut yang ditawarkan para penjual. Dalam hukum ini dijelaskan bagaimana keinginan para penjual untuk menawarkan barangnya apabila harganya tinggi dan bagaimana pula keinginan untuk menawarkan barangnya tersebut

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran suatu komoditas secara umum adalah harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain sebagai alternatif, biaya produksi, tujuan perusahaan, dan tingkat penggunaan teknologi yang digunakan.

1. Harga komoditas

Hipotesis dasar ekonomi menyatakan bahwa hubungan antara harga suatu komoditas dengan jumlah penawarannya memiliki hubungan positif, artinya semakin tinggi harga suatu komoditas maka semakin besar pula jumlah yang ditawarkan, demikian pula sebaliknya, cateris paribus. Dengan adanya peningkatan harga maka akan merangsang produsen untuk meningkatkan produksinya dan menjualnya dengan tujuan peningkatan keuntungan.

Elastisitas harga untuk penjualan merupakan gambaran dari seberapa jauh kepekaan jumlah yang ditawarkan akibat perubahan harga itu sendiri. Elastisitas untuk penawaran adalah positif, ini berarti semakin besar elastisitas harga untuk penawaran semakin peka jumlah yang ditawarkan akibat perubahan harga produk itu sendiri.

2. Harga komoditas lain

Komoditas lain yang merupakan alternatif dapat berupa komoditas komplemen (joint product) ataupun komoditas substitusi (competitive product).

Antara komoditas dengan produk komplemennya memiliki hubungan elastisitas penawaran positif. Sehingga peningkatan harga suatu produk komplemen akan menurunkan jumlah penawaran komoditas tersebut. Jika terjadi peningkatan harga terhadap suatu produk substitusi maka akan meningkatkan jumlah penawaran

komoditas. Hal ini disebabkan adanya hubungan elastisitas penawaran yang negatif antara komoditas dengan produk substitusinya.

3. Biaya produksi

Biaya produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.

Semakin tinggi biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan akan menurunkan laba yang diterima perusahaan tersebut. Hal ini akan menyebabkan perusahaan menurunkan produksinya. Sehingga biaya produksi yang mengalami peningkatan akan menurunkan jumlah komoditas yang ditawarkan.

4. Tujuan perusahaan

Jumlah komoditas yang ditawarkan juga tergantung pada tujuan perusahaan. Tidak semua perusahaan memiliki tujuan untuk memaksimumkan keuntungan. Perusahaan yang mementingkan volume produksi akan menghasilkan dan menjual lebih banyak atau meningkatkan penawaran.

5. Tingkat penggunaan teknologi

Penggunaan teknologi baru akan meningkatkan efisiensi waktu dan tenaga serta meningkatkan modal. Peningkatan modal tersebut berasal dari peningkatan penerimaan dan penurunan biaya pada penggunaan faktor produksi yang sama.

Hal ini menyebabkan peningkatan penawaran (cateris paribus) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan korelasi positif antara teknologi dengan jumlah penawaran.

2.3.2. Teori Perdagangan Internasional

Dasar dalam perdagangan internasional adalah adanya perdagangan barang dan jasa antara dua negara atau lebih yang bertujuan untuk mendapatkan

penawaran dan permintaan suatu negara dengan negara lain. Suatu negara tidak dapat menghasilkan semua komoditas atau barang yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditas tertentu. Pada umumnya perdagangan internasional terjadi karena keinginan suatu negara untuk meningkatkan penerimaan devisa dan memperluas pasar komoditas ekspor.

Secara teoritis ekspor suatu barang dipengaruhi oleh suatu penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dalam teori Perdagangan Internasional (Global Trade) disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran (Krugman dan Obstfeld, 2000).

Melakukan ekspor dan impor merupakan kegiatan yang cukup penting di setiap negara. Di sebagian negara, ekspor dan impor meliputi bagian yang cukup besar dalam pendapatan nasional sedangkan di beberapa negara lain hanya merupakan bagian yang kecil saja dari pendapatan nasional. Beberapa keuntungan perdagangan internasional adalah memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri, memperoleh keuntungan dari spesialisasi, memperluas pasar industri-industri dalam negeri, dan menggunakan teknologi modern dan meningkatkan produktivitas (Sukirno, 2012).

Batas suatu negara dengan sendirinya membatasi kemampuan alamiah negara tersebut untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Negara, seperti juga daerah atau perorangan dapat memperoleh keuntungan dari spesialisasi dan perdagangan internasional. Spesialisasi berarti bahwa setiap negara terterntu menghasilkan produk spesialisasinya lebih banyak daripada yang akan dikonsumsi oleh rakyatnya sementara produk lain yang juga dibutuhkan rakyatnya

hanya diproduksi di dalam negeri dalam jumlah sedikit atau bahkan tidak diproduksi sama sekali (Lipsey, et al, 1993).

2.3.3. Penawaran Ekspor

Volume ekspor suatu komoditas dari negara tertentu ke negara lain merupakan selisih antara penawaran domestik dan permintaan domestik yang disebut sebagai kelebihan penawaran (excess supply). Pada pihak lain, kelebihan penawaran dari negara tersebut merupakan permintaan impor bagi negara lain atau merupakan kelebihan permintaan (excess demand).

Selain dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pasar dunia seperti harga komoditas itu sendiri, jumlah komoditas itu sendiri dan komoditas substitusinya di pasar internasional serta hal-hal yang dapat mempengaruhi harga baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kurva penawaran ekspor komoditas suatu negara merupakan kurva kelebihan penawaran, yaitu selisih antara penawaran dan permintaan komoditas di dalam suatu negara. Dengan demikian kurva kelebihan penawaran dari negara tersebut merupakan kurva penawaran ekspor di pasar internasional (Kindlerberger dan Lindert, 1982 dalam Semartoto, 2004). Dapat dikatakan juga bahwa penawaran ekspor suatu negara merupakan penawaran produsen melebihi permintaan konsumen negara tersebut.

Analisis terhadap penawaran ekspor dapat dilakukan dengan menurunkan kurva penawaran ekspor yang pada dasarnya diperoleh dari kurva penawaran dan permintaan domestik seperti disajikan pada Gambar 5. Jika harga suatu barang

yang tersedia untuk ekspor meningkat. Misalkan penawaran ekspor dilakukan oleh negara domestik.

Sumber : Krugman dan Obstfeld, 2004.

Gambar 5. Penurunan Kurva Penawaran Ekspor

Pada saat harga P1, penawaran produsen domestik sebesar S1, sementara itu permintaan konsumen domestik hanya sebesar D1. Jadi jumlah dari seluruh penawaran yang dimungkinkan untuk diekspor adalah S1-D1. Pada tingkat harga P2, terjadi peningkatan jumlah penawaran oleh produsen domestik menjadi S2 dan jumlah permintaan konsumen domestik menjadi turun sebesar D2. Jumlah total yang dimungkinkan untuk diekspor adalah sebesar S2-D2.

Penawaran komoditas yang memungkinkan untuk diekspor akan meningkat sejalan dengan meningkatnya harga, kurva penawaran ekspor domestik XS adalah upward sloping. Pada saat harga PA, penawaran dan permintaan akan sama dengan tidak ada perdagangan, jadi kurva penawaran ekspor dimulai pada saat harga PA (penawaran ekspor sama dengan nol pada tingkat harga PA).

Ketika harga domestik suatu komoditas turun maka produsen/eksportir akan meningkatkan penjualan/ ekspornya ke luar negeri. Sedangkan jika harga domestik naik maka produsen/eksportir suatu komoditas akan mengurangi volume

ekspornya dan lebih mengutamakan penjualan di dalam negeri. Hal ini dilakukan untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya.

Sebaliknya ketika harga internasional suatu komoditas naik, produsen/eksportir akan meningkatkan volume ekspornya sedangkan jika harga internasional turun maka produsen/eksportir akan menurunkan volume ekspornya ke luar negeri. Hal ini juga dilakukan untuk memaksimumkan keuntungan yang diperoleh dari perdagangan komoditas.

Pajak yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap suatu komoditas juga dapat mempengaruhi kurva penawaran terhadap komoditas tersebut. Menurut Kementerian Pertanian (2011) di Indonesia ada beberapa jenis pajak yang diberikan terhadap komoditas pertanian yang akhir-akhir ini menjadi isu utama yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Keluar (BK) yang sebelumnya disebut Pajak Ekspor. Kedua jenis pajak tersebut mempunyai tujuan berbeda yaitu PPN lebih bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak sementara BK lebih bertujuan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri dan mengembangkan industri hilir dengan menghambat ekspor komoditas yang menjadi bahan baku industri hilir yang ingin dikembangkan tersebut.