• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Harga Internasional Biji Kakao (Hik) terhadap Ekspor Biji Kakao Indonesia Kakao Indonesia

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Biji Kakao Indonesia

4.5.3. Pengaruh Harga Internasional Biji Kakao (Hik) terhadap Ekspor Biji Kakao Indonesia Kakao Indonesia

Variabel harga internasional biji bakao (Hik) memiliki pengaruh yang negatif terhadap jumlah ekspor kakao dengan koefisien sebesar -15.840,913.

Tanda koefisien regresi yang bersifat negatif ini berarti jika terjadi peningkatan harga internasional biji kakao sebesar satu dollar per ton maka akan menurunkan volume ekspor biji kakao Indonesia sebesar 15.840,913 ton dengan asumsi ceteris paribus.

Variabel harga internasional biji kakao (Hik) tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah ekspor biji kakao yaitu pada taraf kepercayaan 95%. Dimana t-hitung (-0,830) < t-tabel (2,056) dan tingkat signifikansi 0,414 >

0,05.

Hipotesis pada penelitian ini menyatakan bahwa variabel harga internasional biji kakao berpengaruh positif terhadap ekspor biji kakao Indonesia.

Dari penelitian ini ditunjukkan bahwa variabel harga internasional biji kakao berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap ekspor biji kakao Indonesia.

Ketika harga internasional biji kakao naik, eksportir biji kakao akan meningkatkan volume ekspornya sedangkan jika harga internasional biji kakao turun maka eksportir akan menurunkan volume ekspornya ke luar negeri. Hal ini juga dilakukan untuk memaksimumkan keuntungan yang diperoleh dari perdagangan biji kakao.

Pada penelitian ini harga internasional berpengaruh negatif tidak signifikan pada ekspor komoditas biji kakao. Hal ini menunjukkan bahwa ketika harga internasional biji kakao naik eksportir menurunkan volume ekspornya sedangkan ketika harga internasional biji kakao turun eksportir akan menaikkan volume ekspornya.

Pengaruh negatif harga internasional biji kakao terhadap volume ekspor biji kakao tidak signifikan sehingga naik turunnya harga internasional biji kakao tidak signifikan menentukan terhadap volume ekspor biji kakao Indonesia. Hal ini disebabkan oleh penawaran ekspor biji kakao tidak dipengaruhi oleh berapa harga yang berlaku pada pasar internasional tetapi adanya kebijakan negara tujuan ekspor yang melakukan sistem pemotongan harga terhadap produk biji kakao Indonesia yang memiliki mutu rendah.

Jika harga internasional meningkat seharusnya kecenderungan untuk meningkatkan ekspor lebih besar namun saat kondisi over supply harga internasional yang tinggi akan meningkatkan nilai potongan untuk memilih biji kakao yang berkualitas baik.

Menurut Komalasari (2009) produksi biji kakao Indonesia yang diekspor ke luar negeri belum mampu memberikan kualitas yang baik sehingga saat harga internasional meningkat, Indonesia mengurangi ekspornya. Hal ini terjadi karena potongan yang didapatkan lebih kecil dan produsen mendapatkan keuntungan yang lebih besar apabila menurunkan jumlah ekspor dibandingkan meningkatkan jumlah ekspor.

Pada kasus ini, saat harga internasional mengalami peningkatan tetapi tidak mampu mempengaruhi jumlah ekspor biji kakao ke luar negeri. Hal ini

disebabkan negara tujuan ekspor lebih mementingkan kualitas produksi yang memiliki mutu terjamin dan baik. Dengan demikian harga yang cenderung berfluktuatif tidak mempengaruhi jumlah produk biji kakao yang mampu diekspor Indonesia ke luar negeri.

Ekspor biji kakao umumnya dilakukan oleh eksportir yang dilakukan dengan sistem kontrak. Kontrak perjanjian jual beli umumnya dilakukan beberapa bulan sebelumnya sehingga perubahan harga yang terjadi tidak langsung mempengaruhi volume ekspor. Eksportir kakao umumnya melakukan kegiatan lindung nilai (hedging) untuk mengurangi atau menghilangkan risiko dari kegiatan perdagangan mereka. Selain menghadapi ketidakpastian nilai tukar rupiah, kegiatan ini juga dilakukan untuk mengurangi risiko ketidakpastian harga, produksi, dan lainnya. Bentuk hedging yang biasa dilakukan eksportir kakao adalah dengan melakukan perdagangan di bursa berjangka.

Saat ini harga biji kakao di seluruh dunia masih ditentukan oleh bursa komoditi berjangka di New York dan London sebagai pusat perdagangan kakao dunia sehingga mengakibatkan posisi negara penghasil komoditi kakao khususnya Indonesia hanya menjadi penerima harga (price taker). Lemahnya posisi tawar biji kakao Indonesia di pasar dunia disebabkan karena mutu biji kakao yang dihasilkan Indonesia masih tergolong rendah. Kualitas kakao Indonesia masih didominasi oleh biji kakao yang belum terfermentasi, biji dengan kadar kotoran yang tinggi, serta terkontaminasi serangga, jamur, atau mikotoksin sehingga kakao Indonesia dihargai paling rendah di pasar internasional (Aulia, 2012).

Rendahnya mutu biji kakao Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Di tingkat petani, sebagian besar biji kakao yang dihasilkan petani tidak difermentasi

dan juga sebagian besar tanaman kakao sudah tua sehingga produktivitasnya rendah dan bijinya kecil-kecil. Ditambah lagi adanya serangan hama penggerek buah kakao yang merusak kualitas biji kakao. Selain itu pedagang tidak memberikan perbedaan harga yang signifikan kepada petani yang menjual biji kakao bermutu baik dan yang bermutu tidak baik, difermentasi dan tidak difermentasi sehingga petani lebih suka menjual biji kakao non fermentasi.

Pada umumnya petani tidak melakukan fermentasi dalam menjual biji kakao. Alasan utama adalah tidak adanya perbedaan harga antara kakao yang difermentasi dengan yang tidak difermentasi (asalan). Sementara untuk melakukan fermentasi petani harus menyimpan dalam kotak fermentasi selama 4-6 hari dan setiap hari harus diperhatikan kandungan airnya. Menurut petani pekerjaan ini cukup melelahkan (KPPU, 2009).

Selanjutnya menurut Syarfi et al (2008), enggannya petani melakukan fermentasi karena biji kakao yang difermentasikan akan mengalami penyusutan berat dibandingkan dengan kakao yang tidak difermentasi selain itu belum adanya realisasi jaminan harga untuk kakao fermentasi.

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor biji kakao terbesar di dunia. Namun Indonesia bukan merupakan pembuat harga bagi komoditas biji kakao, melainkan sebagai penerima harga. Sedangkan Pantai Gading dan Ghana dapat mempengaruhi harga dengan bersepakat yaitu menahan ekspor biji kakao mereka sehingga harga di pasar internasional dapat meningkat. Data produksi biji kakao dunia disajikan pada Lampiran 2.

Penelitian Ragimun (2013) terhadap daya saing komoditas kakao Indonesia dengan indeks Keunggulan Komparasi (Revealed Comparative

Advantage) menemukan bahwa antara tahun 2002-2011 keunggulan komparasi kakao Indonesia rata-rata di atas 4, yang berarti daya saing ekspor kakao Indonesia cukup bagus dibandingkan Malaysia sebesar 2,52 (Nilai RCA yang lebih besar dari 1 menunjukkan daya saing yang kuat). Hanya saja RCA Indonesia ini sangat jauh jika dibandingkan dengan RCA Pantai Gading dan Ghana yang mencapai di atas 100. Indeks ini menunjukkan perbandingan antara pangsa ekspor komoditas atau sekelompok komoditas suatu negara terhadap pangsa ekspor komoditas tersebut dari seluruh dunia. Dengan kata lain indeks RCA menunjukkan keunggulan komparatif atau daya saing ekspor dari suatu negara dalam suatu komoditas terhadap dunia.

Menurut Komalasari (2009) pada pasar internasional, persaingan harga tidak terjadi karena komoditas yang diperdagangkan homogen dan mengacu pada harga di pasar internasional. Indonesia yang memiliki kualitas biji kakao yang rendah tetap mengacu pada harga yang berlaku di pasar meskipun terdapat potongan harga dari negara tujuan sebagai kebijakan pasar.

Potongan harga yang dijadikan sebagai kebijakan pasar akan terus diberlakukan kepada Indonesia selama mutu kualitas biji kakao yang dihasilkan tidak dapat terjaga dengan baik. Selain itu, kebijakan pasar ini dimaksudkan agar Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor biji kakao terbesar mampu meningkatkan kualitas produksinya agar lebih mampu bersaing pada pasar Internasional.

4.4.4. Pengaruh Ekspor Biji Kakao Tahun Sebelumnya (Lagx) terhadap