• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Komoditas Kakao di Indonesia

Penelusuran tentang sejarah tanaman kakao melalui publikasi yang tersedia menunjukkan bahwa tanaman kakao berasal dari hutan-hutan tropis di Amerika Tengah dan bagian utara Amerika Selatan. Tanaman kakao pertama kali dibudidayakan serta digunakan sebagai bahan makanan dan minuman cokelat oleh Suku Maya dan Suku Aztec. Bangsa Spanyol memperkenalkan kakao di Indonesia pada tahun 1560 di Sulawesi (Wahyudi dan Rahardjo, 2008).

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan utama di dunia.

Komoditas ini dicari karena merupakan bahan baku pembuatan cokelat. Biji kakao yang telah mengalami serangkaian proses pengolahan sehingga bentuk dan aromanya seperti yang ada di pasaran sekarang. Banyak sekali produk dengan bahan baku cokelat yang sangat familiar dengan kehidupan modern saat ini, seperti kue cokelat, ice cream cokelat, ataupun minuman cokelat (Jauhari dan Wirjodirdjo, 2010).

Pada abad modern seperti saat ini hampir semua orang mengenal cokelat yang merupakan bahan makanan favorit, terutama bagi anak-anak dan remaja.

Salah satu keunikan dan keunggulan makanan dari cokelat karena sifat cokelat dapat meleleh dan mencair pada suhu permukaan lidah. Bahan makanan dari cokelat juga mengandung gizi yang tinggi karena di dalamnya terdapat protein dan lemak serta unsur-unsur penting lainnya. Faktor pembatas utama konsumsi cokelat sehari-hari oleh masyarakat adalah harganya relatif tinggi dibandingkan dengan bahan makanan lainnya (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2005).

Biji buah kakao/coklat yang telah difermentasi dijadikan serbuk yang disebut sebagai coklat bubuk. Coklat ini dipakai sebagai bahan untuk membuat berbagai macam produk makanan dan minuman. Buah coklat/kakao tanpa biji dapat difermentasi untuk dijadikan pakan ternak. Biji kakao dapat diproduksi menjadi empat jenis produk kakao setengah jadi seperti cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake, cocoa powder dan cokelat. Pasar cokelat merupakan konsumen terbesar dari biji kakao dan produk setengah jadi seperti cocoa powder dan cocoa butter. Cocoa powder umumnya digunakan sebagai penambah cita rasa pada biscuit, ice cream, minuman susu dan kue. Sebagian lagi juga digunakan sebagai pelapis permen atau manisan yang dibekukan. Cocoa powder juga dikunsumsi oleh industri minuman seperti susu cokelat. Selain untuk pembuatan cokelat dan permen, kakao butter juga dapat digunakan pembuatan rokok, sabun dan kosmetika (Ragimun, 2013).

Dari tahun ke tahun konsumsi kakao dunia terus meningkat. Selain karena adanya pertambahan jumlah penduduk dunia, pengaruh perbaikan ekonomi atau tingkat kesejahteraan masyarakat ikut berperan dalam peningkatan konsumsi kakao dan olahannya. Konsumsi kakao dunia didominasi oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat atau negara-negara industri dengan pendapatan perkapita jauh di atas US$ 1.000 (Panggabean dan Satyoso, 2008).

Berdasarkan identifikasi lapangan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan dan data tahun 2008, diketahui kurang lebih 70.000 ha kebun kakao dengan kondisi tanaman tua, rusak, tidak produktif, dan terkena serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan berat sehingga perlu dilakukan peremajaan, 235.000 ha kebun kakao dengan tanaman yang kurang produktif dan terkena

serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan sedang sehingga perlu dilakukan rehabilitasi dan 145.000 ha kebun kakao dengan tanaman tidak terawat serta kurang pemeliharaan sehingga perlu dilakukan intensifikasi.

Serangan hama penyakit utama adalah Penggerek Buah Kakao (PBK) dan penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) mengakibatkan menurunnya produktivitas menjadi 660 kg/ha/tahun atau sebesar 37% dari produktivitas yang pernah dicapai (1.100 kg/ha/thn). Hal ini mengakibatkan kehilangan hasil sebesar 184.500 ton/thn atau setara dengan Rp 3,69 triliun per tahun. Selain menurunkan produktivitas, serangan tersebut menyebabkan mutu kakao rakyat rendah sehingga ekspor biji kakao ke Amerika Serikat mengalami pemotongan harga sebesar US$

301,5/ton. Rendahnya mutu kakao menyebabkan citra kakao Indonesia menjadi kurang baik di pasar internasional (Ditjenbun, 2012).

Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ketiga sub sektor perkebunan setelah minyak sawit dan karet (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).

Sementara menurut KPPU (2009), Pengembangan komoditas kakao di Indonesia menghadapi beberapa permasalahan antara lain masih rendahnya

produktivitas komoditas kakao yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : (a) penggunaan benih asalan, belum banyak digunakan benih unggul (b) masih tingginya serangan hama PBK (penggerek buah kakao), hingga saat ini belum ditemukan klon kakao yang tahan terhadap hama PBK (c) sebagian besar perkebunan berupa perkebunan rakyat yang dikelola masih dengan cara tradisional dan (d) umur tanaman kakao sebagian besar sudah tua, di atas 25 tahun jauh di atas usia paling produktif 13-19 tahun.

Permasalahan lain menurut KPPU (2009) adalah rendahnya mutu biji kakao indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh pengelolaan produk kakao yang masih tradisional (85% biji kakao produksi nasional tidak difermentasi) sehingga mutu kakao Indonesia dikenal sangat rendah (berada di kelas 3 dan 4).

Akibat mutu rendah harga biji dan produk kakao Indonesia sangat rendah di pasar internasional dan terkena diskon hingga USD 200/ton atau 10-15% dari harga pasar.

Dalam perekonomian regional, sektor ekonomi kakao mempunyai keterkaitan dengan sektor ekonomi lainnya. Perkebunan kakao dalam proses produksinya memerlukan sejumlah input dan bersamaan dengan itu dihasilkan sejumlah output yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan permintaan akhir berupa konsumsi rumah tangga, ekspor dan lain-lain maupun sebagai input produksi sektor ekonomi lainnya (Herman, 2007).

Saat ini, industri hilir kakao di Indonesia masih belum berkembang dan beroperasi secara optimal. Hal ini karena sebagian besar besar kakao yang diekspor masih dalam bentuk komoditas primer. Kakao dalam bentuk komoditas

primer tersebut akan terkena diskon harga yang kemudian akan diinput sebagai kerugian (Dradjat dan Wahyudi, 2008).

Di pasar dunia terutama Eropa, mutu kakao Indonesia dinilai rendah karena mengandung keasaman yang tinggi, rendahnya senyawa prekursor flavor, dan rendahnya kadar lemak sehingga harga kakao Indonesia selalu mendapatkan potongan harga cukup tinggi sekitar 15% dari rata-rata harga kakao dunia (Departemen Perindustrian, 2007).

Perkembangan harga kakao merupakan aspek yang kompleks karena banyak faktor yang saling mempengaruhi terbentuknya harga. Selama ini faktor pasokan kakao relatif paling berpengaruh terhadap pembentukan harga. Untuk Indonesia, dijumpai indikasi adanya ketidaksinkronan harga di pasar spot di tingkat produsen yaitu di Makassar dengan harga yang terjadi di bursa New York Board on Trade (NYBOT) sebagai pasar acuan (Firdaus dan Ariyoso, 2010).

Selanjutnya hasil studi Firdaus dan Aryoso (2010), juga menyimpulkan bahwa tidak terdapat keterpaduan harga yang kuat baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek antara pasar kakao spot di Makassar dengan bursa berjangka di NYBOT. Pergerakan harga kakao Indonesia dipengaruhi oleh harga kakao di NYBOT, konsumsi kakao dunia serta kurs Rupiah terhadap US Dollar.

Berbagai kebijakan dilakukan pemerintah untuk menggenjot produksi kakao dan pendapatan dari ekspor komoditas kakao. Dari sektor hulu pemerintah meluncurkan Program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao). Gernas Kakao ini urgent untuk dilaksanakan karena tanaman kakao di Indonesia rata-rata telah berumur tua dan sudah tidak produktif. Gernas kakao terdiri dari tiga kegiatan utama yaitu: peremajaan, rehabilitasi dan

intensifikasi. Tujuan program ini adalah untuk memperbaiki kondisi kebun yang tanamannya sudah tua, rusak, tidak produktif, dan terserang berat oleh hama dan penyakit (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012).

Sedangkan dari sektor hilir, pemerintah menerapkan kebijakan pengenaan bea keluar terhadap ekspor biji kakao. Kebijakan ini bertujuan untuk menjamin pasokan bahan baku biji kakao bagi industri pengolahan kakao di dalam negeri serta mendorong berkembangnya industri pengolahan kakao di Indonesia.

Kebijakan ini dituangkan di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Upaya-upaya peningkatan daya saing kakao berkaitan langsung dengan program pengembangan industri nasional. Sebagaimana yang dilakukan pemerintah, strategi pengembangan industri kakao nasional terbagi menjadi dua kategori yaitu dari sisi penawaran (supply) dan yang kedua dari sisi permintaan (demand). Sisi supply dimaksudkan kakao nasional berupa intensifikasi dan ekstensifikasi lahan kakao nasional, pengembangan bahan baku kakao, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, penyediaan insentif bagi investasi produk-produk berbahan baku kakao atau powder cocoa nasional serta kemudahan dalam permodalan. Sedangkan dari sisi demand berupa pengembangan kualitas kakao nasional, adanya diversifikasi produk dari kakao, pengembangan dan perluasan pasar domestik serta pengembangan dan perluasan pasar luar dan dalam negeri melalui berbagai pameran, promosi maupun expo (Ragimun, 2013).

Selama ini industri pengolahan kakao lebih banyak berada di negara-negara Eropa dan Amerika sehingga nilai tambah tidak dinikmati Indonesia sebagai penghasil biji kakao. Oleh karena itu pengenaan bea keluar atas biji kakao dimaksudkan untuk merangsang tumbuhnya industri pengolahan kakao di Indonesia yang pada gilirannya ekspor komoditas kakao meningkat nilai tambahnya (Kementerian Keuangan, 2013).