• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Penelitian Terdahulu

Govindasamy et al. (2013) melakukan kajian mengenai “Seasonal Variations in Seagrass Biomass and Productivity in Palk Bay, Bay of Bengal,

India”. Hasil dari kajian tersebut menjelaskan tentang siklus hidup dan parameter

yang mempengaruhi pertumbuhan lamun, produktivitas, dan biomassa. Lamun tidak hanya bermanfaat bagi biota laut, tetapi juga untuk masyarakat. Sebagian besar masyarakat bergantung pada ekosistem lamun untuk kebutuhan sehari-hari seperti sebagai makanan dan sumber penghasilan di sepanjang pantai di daerah tropis. Spesies lamun yang dominan di wilayah ini adalah Cymodocea serrulata

dan Syringodium isoetifolium. Variasi musiman dalam biomassa, produktivitas,

daun kanopi tinggi dan kepadatan dapat dipengaruhi oleh variabel abiotik dan faktor nutrisi. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa partikulat karbon organik, fosfat anorganik dan organik nitrogen sebesar (p>0,001) maka

mampu mempengaruhi peningkatan biomassa, produktivitas, kanopi daun tinggi dan kepadatan.

Topik penelitian mengenai valuasi ekonomi ekosistem lamun dapat ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Hadad (2012) yang berjudul “Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara”. Penelitian dilakukan untuk mengetahui nilai manfaat dari ekosistem lamun agar terwujud kelestarian terhadap biota-biota laut. Hasil dari rekapitulasi nilai ekonomi ekosistem lamun di Pulau Waidoba, Kecamatan Kayao Selatan menunjukkan total nilai ekonomi (total economic

value) dengan luas ekosistem lamun 240,2 ha mencapai Rp 255.324.598.410,00

per tahun. Nilai ekonomi ini terdiri dari nilai ekonomi manfaat langsung (use

value) sebesar Rp 241.054.041.785,00 per tahun, nilai ekonomi manfaat tak

langsung (direct use value) sebesar Rp 4.694.820.081,00 per tahun, nilai

keberadaan (existence value) sebesar Rp 9.448.756.247,00 per tahun, nilai pilihan

(option value) sebesar Rp 33.766.994,00 per tahun dan nilai warisan (bequest

value) sebesar Rp 93.213.303,00 per tahun.

Lukmana (2012) melakukan penelitian tentang “Valuasi Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove” yang berlokasi di Pulau Penjaliran Timur, Taman Nasional Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Penelitian ini menjelaskan bahwa hutan mangrove memiliki berbagai manfaat dan nilai guna yang sangat penting yaitu potensi ekologi, biologi, dan ekonomi. Nilai dari hutan mangrove dihitung berdasarkan nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total terdiri dari 5 komponen, 2 komponennya yaitu komponen manfaat langsung dan manfaat pewarisan tidak diikutsertakan dalam bahasan peneliti. Hasil perhitungan nilai ekonomi total dari hutan mangrove di Pulau Penjaliran Timur, dimana luas mangrove seluas 6,5 ha sebesar Rp 520.216.354,51 pada tahun 2011. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan peneliti, nilai guna memberikan kontribusi lebih besar daripada nilai non-guna. Kajian mengenai nilai komponen manfaat keberadaan hutan mangrove di Pulau Penjaliran Timur, Taman Nasional Kepulauan Seribu, DKI Jakarta menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). Metode tersebut

akan menggambarkan kesediaan seseorang untuk membayar suatu sumberdaya agar terjaga kelestariannya. Dalam penelitian ini menunjukkan faktor-faktor yang

mempengaruhi kesediaan membayar terhadap hutan mangrove yaitu tingkat pendapatan masyarakat yang tinggi, umur, pendidikan, dan tingkat informasi mengenai manfaat serta nilai guna hutan mangrove.

Kopalit (2010) melakukan “Kajian Kerusakan Ekosistem Padang Lamun di Teluk Youtefa melalui Pendekatan Ekologi”. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa kondisi ekosistem lamun di perairan pesisir Indonesia telah mengalami kerusakan sebesar 30%-40%. Kondisi ekosistem lamun telah mengalami kerusakan yang cukup serius di Pesisir Pulau Jawa akibat pembuangan limbah dan pertambahan jumlah penduduk. Kerusakan yang terjadi pada ekosistem lamun sebesar 60%, diduga struktur komunitas dari padang lamun di Teluk Youtefa mengalami penurunan karena adanya aktivitas manusia seperti dibuatnya jalur transportasi, eksploitasi sumberdaya laut seperti teripang (sea

cucumber), dan penangkapan ikan dengan jaring yang merusak ekosistem lamun.

Yunita (2010) meneliti tentang “Estimasi Nilai Klaim Kerusakan Ekosistem Padang Lamun dengan Metode Habitat Equivalency Analysis” di Pantai Barat

Teluk Banten, Kecamatan Bojonegara. Hasil penelitian ini menggambarkan terjadinya kerusakan pada padang lamun yang ditandai dengan adanya penurunan luas padang lamun. Faktor utama terjadinya kerusakan ekosistem lamun di Pantai Barat Teluk Banten adalah kegiatan reklamasi pantai. Metode Habitat

Equivalency Analysis pada penelitian ini digunakan untuk kompensasi kerusakan

padang lamun dan lama restorasi yang akan dibutuhkan. Perhitungan Habitat

Equivalency Analysis tingkat suku bunga yang digunakan yaitu tingkat suku

bunga yang rendah karena hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suku bunga yang dipakai maka semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh padang lamun untuk pulih pada kondisi awalnya maka luas yang harus dikompensasi akan semakin tinggi. Akibatnya eksploitasi sumberdaya dimasa lalu akan meningkatkan biaya ganti rugi di masa sekarang.

Anggraeni (2008) meneliti tentang “Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Taman Nasional Karimunjawa”. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa mempunyai manfaat sebagai kawasan untuk kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan kegiatan parawisata, akan tetapi pemanfaatan utama di kawasan ini adalah sebagai

kawasan kegiatan perikanan tangkap. Nilai ekonomi total pada ekosistem terumbu karang dapat dihitung dengan mengidentifikasi komponen manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, manfaat warisan, dan manfaat keberadaan. Terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa seluas 713.107 ha memiliki nilai ekonomi total sebesar Rp 17.502.480.854,99 per tahun atau Rp 24.543.872,41 per ha per tahun. Nilai manfaat langsung menyumbang nilai lebih besar daripada manfaat tidak langsung dalam nilai ekonomi total terumbu karang. Manfaat langsung yang menyumbangkan nilai ekonomi terbesar diantaranya berasal dari perikanan tangkap sebesar Rp 12.139.633.789,33 (69,4%), perikanan budidaya sebesar Rp 1.613.178.198,15 (9,2%), dan kegiatan pariwisata sebesar Rp 77.536.080,16 (0,4%).

Pengelolaan terhadap terumbu karang untuk menjaga nilai dari manfaat yang diberikan ekosistem terumbu karang perlu dilakukan. Penelitian ini memberikan 3 alternatif pengelolaan yaitu pertama, kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang diasumsikan berjalan seperti selama ini (kegiatan perikanan laut, pariwisata bahari, dan penelitian). Kedua, kegiatan perikanan tangkap menerapkan sistem pengelolaan perikanan yang berkelanjutan yaitu menerapkan pengaturan jenis alat tangkap. Ketiga, kegiatan perikanan dan pariwisata hanya diperbolehkan pada blok pemanfaatan perikanan dan pariwisata yang telah ditetapkan oleh balai taman nasional. Matriks penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Matriks penelitian terdahulu

No Nama Tahun Judul Penelitian Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu 1 Govindasamy, et al. 2013 Seasonal Variations in Seagrass Biomass and Productivity in Palk Bay, Bay of Bengal, India.

a. Peneliti hanya membahas mengenai manfaat dan potensi dari ekosistem lamun akan tetapi tidak menghitung nilai ekonomi dan alternatif pengelolaan ekosistem lamun agar keberadaannya tetap terjaga.

2 Hadad 2012 Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara.

b. Peneliti hanya membahas mengenai nilai manfaat dari ekosistem lamun tidak membahas mengenai nilai kerusakan dari ekosistem lamun.

c. Peneliti tidak membahas mengenai alternatif yang tepat digunakan untuk mengelola ekosistem lamun di Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara.

Tabel 2.2 Matriks penelitian terdahulu (Lanjutan)

No Nama Tahun Judul Penelitian Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu 3 Lukmana 2012 Valuasi Nilai

Ekonomi Total Hutan Mangrove.

d. Peneliti membahas mengenai nilai ekonomi total dari ekosistem mangrove dan menghitung tentang kesediaan seseorang untuk membayar agar mangrove tetap lestari akan tetapi tidak memberikan alternatif yang tepat untuk dilakukan untuk menjaga keberadaan mangrove.

4 Kopalit 2010 Kajian Kerusakan Ekosistem Padang Lamun di Teluk Youtefa Melalui Pendekatan Ekologi.

e. Peneliti hanya membahas mengenai kerusakan ekosistem lamun yang terjadi di Teluk Youtefa dan tidak menghitung nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun.

f. Peneliti tidak membahas alternatif pengelolaan yang tepat diterapkan di Teluk Youtefa agar tingkat kerusakan lamun tidak meningkat. 5 Yunita 2010 Estimasi Nilai

Klaim Kerusakan Ekosistem Padang Lamun dengan Metode Habitat Equivalency Analisis.

g. Peneliti hanya menghitung nilai kompensasi kerusakan ekosistem lamun dan lama restorasi yang dibutuhkan, akan tetapi tidak menghitung nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun yang terjadi di Teluk Banten.

6 Anggraeni 2008 Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Taman Nasional Karimunjawa.

h. Peneliti tidak menghitung nilai kerusakan ekosistem terumbu karang dan biaya pengganti terhadap ekosistem terumbu karang.

Dokumen terkait