• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Penerapan Manajemen Pengetahuan Melalui SECI Model

Setiarso (2009), berpendapat bahwa knowledge management yang sukses tidak hanya karena komputer yang impresif tetapi sebaiknya mengandung komponen-komponen, yaitu:

a. Alur knowledge yang benar dan sumber yang dilimpahkan ke organisasi. b. Teknologi tepat yang disimpan dan dapat mengomunikasikan knowledge

tersebut.

c. Budaya tempat kerja yang benar sehingga karyawan termotivasi untuk memanfaatkan knowledge.

Selain itu penerapan manajemen pengetahuan pada suatu organisasi juga merupakan proses yang panjang dan lama, yang mencakup perubahan perilaku semua karyawan.

Nonaka dalam Sangkala (2007) menjelaskan bahwa proses penciptaan

knowledge organisasi terjadi karena adanya interaksi antara tacit knowledge

SECI (Socialization, Eksternalization, Combination, Internalization). Organisasi biasanya menggunakan media-media berikut sebagai sarana komunikasi antar sumber daya manusia yang ada di organisasi dan pihak- pihak yang berkepentingan, yaitu:

1. Rapat secara berkala/diskusi secara berkala 2. Pertemuan bulanan

3. Intranet

4. Surat edaran/surat keputusan

5. Papan pengumuman

6. Internet/media massa

Nonaka & Takeuchi, 1995 (Setiarso et al, 2009), untuk mendukung proses aktifitas dan pengembangan sumber daya manusia disuatu organisasi yang merupakan perwujudan dari model SECI Nonaka dan digunakan perangkat teknologi informasi yang ada di organisasi.

1. Socialization

Sosialisasi merupakan proses sharing dan penciptaan tacit knowledge

melalui interaksi dan pengalaman langsung. Salah satu proses sosialisasi adalah dengan pertemuan tatap muka (rapat, diskusi dan pertemuan bulanan). Melalui pertemuan tatap muka ini individu dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya sehingga tercipta pengetahuan baru. Di dalam sistem manajemen pengetahuan, fitur-fitur kolaborasi seperti email, diskusi elektronik, komunitas praktis (communities of practice) memungkinkan pertukaran pengetahuan tacit

(informasi, pengalaman dan keahlian) yang dimiliki seseorang sehingga organisasi semakin mampu belajar dan melahirkan ide-ide baru yang kreatif dan inovatif. Hal ini baik untuk dilakukan karena bermanfaat untuk meningkatkan koordinasi, mempercepat proses aktivitas dan menumbuhkan budaya belajar. Proses sosialisasi juga dapat dilakukan melalui pendidikan dan training/diklat dengan mengubah pengetahuan

2. Externalization

Eksternalisasi merupakan proses yang bertujuan untuk mengartikulasi

tacit knowledge menjadi suatu konsep yang jelas atau eksplisit melalui proses dialog dan refleksi. Dukungan terhadap proses eksternalisasi dapat diberikan dengan mendokumentasikan notulen rapat (bentuk eksplisit dari knowledge yang tercipta saat diadakannya pertemuan) kedalam bentuk elektronik untuk kemudian disimpan dalam suatu

repository dan dipublikasikan kepada pihak yang berkepentingan, sehingga bisa dikembangkan dan dimanfaatkan untuk meningkatkan

knowledge atau kompetensi karyawan.

3. Combination

Proses mengkombinasikan berbagai explicit knowledge yang berbeda untuk disusun ke dalam sistem knowledge management. Media untuk proses ini dapat melalui intranet (forum diskusi), database organisasi dan internet untuk memperoleh sumber eksternal. Fitur-fitur Enterprise Portal seperti knowledge organization system yang memiliki fungsi untuk pengategorian informasi (taksonomi), pencarian dan sebagainya membantu dalam proses ini. Business Intellegence sebagai fungsi penganalisis data secara matematis dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Data yang telah tersimpan dalam sistem (data warehouse) dianalisis terutama untuk kondisi yang bersifat strategis. Content Management yang memiliki fungsi untuk untuk mengelola informasi organisasi baik yang bersifat terstruktur (database) atau tidak terstruktur (dokumen, laporan, notulen) juga mendukung proses kombinasi ini. 4. Internalization

Semua dokumen data, informasi dan pengetahuan yang sudah didokumentasikan dapat dibaca oleh orang lain. Proses internalisasi inilah terjadi peningkatan knowledge sumber daya manusia. Sumber- sumber explicit knowledge dapat diperoleh melalui media intranet (database organisasi), surat edaran/surat keputusan, papan pengumuman dan internet serta media massa sebagai sumber eksternal. Untuk dapat mendukung proses ini sistem perlu memiliki alat bantu pencarian dan

pengambilan dokumen. Content Management selain bisa mendukung proses kombinasi, juga dapat memfasilitasi proses internalisasi, dimana pemicu untuk proses ini adalah penerapan “Learning by Doing”. Selain itu pendidikan dan pelatihan juga dapat mengubah berbagai pelajaran tertulis (explicit knowledge) menjadi tacit knowledge para karyawan.

Tacit Knowledge (TO) Explicit Knowledge

Tacit Knowledge (FROM)

Expicit Knowledge

Gambar 2. Pemetaan proses SECI Model

Rosenberg yang dikutip oleh Kosasih dan Budiani (2007)

mengidentifikasikan luas lingkup aplikasi manajemen pengetahuan ke dalam 3 tingkatan (level), yaitu sebagai berikut:

1. Manajemen dokumen (document management)

Merupakan aplikasi manajemen pengetahuan yang paling sederhana, karena manajemen pengetahuan hanya digunakan untuk memfasilitasi distribusi informasi saja.

2. Penciptaan, berbagi dan manajemen informasi (information creation, sharing and management)

Aplikasi manajemen pengetahuan pada level ini antara lain penciptaan informasi baru (new content of information creation), komunikasi dan kolaborasi (communication and collaboration), manajemen informasi

(real time information management) serta menangkap dan

mendistribusikan pengalaman pakar (capturing and distributing expert stories).

Socialization Eksternalization - face to face communication - dokumen pertemuan, expert - collaboration feature - intranet

- training/diklat - discussion platform - MS office, Scanner

Internalization Combination -intranet - intranet

-internet/media masa - aplikasi database -content management - internet

-learning feture - enterprise portal feature -papan pengumuman - business intelligent

S E

3. Organisasi yang terus belajar (the truly know-how of the organization) Pelaksanaan aktivitas primer organisasi sepenuhnya tergantung pada keahlian berbasis pengetahuan yang melekat pada keseluruhan sistem yang terdapat dalam perusahaan. Beberapa aktivitas pada level ini antara lain membangun jaringan pakar (building expert network), interaksi dengan database operasional (interacting with operational databases), dukungan kinerja (performance support), organisasi yang terus belajar (leveraging organizational “know-how”).

Davenport dan Prusak yang dikutip oleh Setiarso, et.al (2009) menjelaskan sasaran umum dari sistem manajemen pengetahuan dalam praktiknya adalah sebagai berikut:

1. Menciptakan pengetahuan

Pengetahuan diciptakan begitu manusia menentukan cara baru untuk melakukan sesuatu atau menciptakan knowhow.

2. Menangkap pengetahuan

Pengetahuan baru diidentifikasi sebagai bernilai dan diintepretasikan dalam suatu cara yang masuk akal.

3. Menjaring pengetahuan

Pengetahuan baru harus ditempatkan dalam konteks agar dapat ditindaklanjuti.

4. Menyimpan pengetahuan

Pengetahuan yang bermanfaat harus disimpan dalam format yang baik dalam penyimpanan pengetahuan sehingga orang lain dalam organisasi dapat mengaksesnya.

5. Mengolah pengetahuan

Pengetahuan harus diperbaharui apakah relevan dan akurat. 6. Menyebarluaskan pengetahuan

Pengetahuan harus tersedia dalam format yang bermanfaat untuk semua orang dalam organisasi yang memerlukan dimanapun dan kapanpun. Sangkala (2007) menjelaskan dalam penerapan manajemen pengetahuan dalam organisasi terdapat hambatan terbesar yaitu pada proses transfer pngetahuannya. Hambatan yang diidentifikasi meliputi:

1. Kurangnya kepercayaan

2. Perbedaan kultur, bahasa dan referensi

3. Tidak adanya waktu dan tempat pertemuan serta ide sempit mengenai bekerja produktif

4. Status dan penghargaan terhadap pemilik pengetahuan 5. Kurangnya kapasitas menyerap dari penerima

6. Kepercayaan bahwa pengetahuan merupakan hak-hak istimewa kelompok tertentu

7. Tidak toleran terhadap kesalahan atau kebutuhan membantu.

Setiarso, et.al (2009) menjelaskan bahwa diperlukannya strategi dalam penerapan manajemen pengetahuan pada organisasi, karena penerapannya tidak hanya didukung oleh SDM yang berkualitas (memiliki informasi, pengalaman dan keahlian yang dibutuhkan), teknologi informasi yang tepat guna, tetapi juga budaya berbagi knowledge (knowledge sharing). Berbagi

knowledge berarti setiap anggota organisasi menyadari pentingnya

knowledge bagi organisasi. Maka strategi yang harus ditempuh meliputi: 1. Merumuskan budaya knowledge sharing di organisasi, yang menekankan

pada kewajiban untuk menggali dan membagi knowledge kepada semua karyawan.

2. Membangun rasa saling percaya diantara SDM organisasi, terlepas dari kedudukan, kecerdasan dan kinerjanya.

3. Sistem penghargaan (reward) karena adanya aktivitas berbagi dan memanfaatkan knowledge.

4. Rotasi kerja, dalam hal ini pertukaran karyawan yang dilakukan secraa teratur sesuai perencanaan karir karyawan, yang memungkinkan aktivitas penyebaran dan peningkatan knowledge karyawan.

5. Menyediakan media atau sarana dalam berbagi knowledge sehingga karyawan lebih mudah bertukar pengetahuan dan mengakses informasi.

6. Adanya kepemimpinan dari jajaran dierksi dan managemen yang

2.4. Kompetensi

Palan (2007) menjelasakan bahwa kompetensi merujuk kepada karakteristik yang mendasari perilaku yang menggambarkan motif, karakterisktik pribadi (ciri khas), konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang dibawa seseorang yang berkinerja unggul (superior performer) di tempat kerja.

Selain itu kompetensi dapat diartikan juga sebagai gambaran tentang ilmu apa saja yang harus diketahui atau dilakukan seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik (Hutapea, 2008).

Spencer dan spencer dalam Tjakraatmadja dan Lantu (2006), mengartikan kompetensi sebagai karakter sikap dan perilaku, atau kemampuan individual yang relatif bersifat stabil ketika menghadapi suatu situasi ditempat kerja, yang terbentuk dari sinerji antara watak, konsep diri, motivasi internal, serta kapasitas pengetahuan konstekstual. Berbagai tipe kompetensi dapat dinyatakan dalam dan dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu Hard Competence dan Soft Competence.

1. Hard Competence

Merupakan tipe kompetensi dikenal juga dengan kompetensi teknikal. Kompetensi ini diekspresikan dalam keterampilan kerja. Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk bekerja dengan skill

tertentu atau kemampuannya dalam memahami detail dari suatu pekerjaan.

2. Soft Competence

Merupakan tipe kompetensi yang atau dikenal dengan kompetensi perilaku. Kompetensi ini diekspresikan dalam perilaku seseorang saat bekerja. Kompetensi perilaku akan memiliki daftar yang lebih sedikit dibanding dengan kompetensi teknikal, karena dari beberapa pekerjaan yang berbeda mungkin memerlukan kompetensi perilaku yang sama.

Lebih jauh lagi mengenai kompetensi, Tjakraatmada dan Lantu (2006) menjelaskan kompetensi seseorang terbentuk dari lima unsur, yaitu:

1. Pengetahuan (Knowledge)

2. Keahlian (Skill)

Keahlian merujuk pada kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan.

3. Konsep diri (Self Cocept) dan nilai-nilai (Values)

Konsep diri dan nilai-nilai merujuk pada sikap, nilai-nilai dan citra diri seseorang, contohnya kepercayaan diri seseorang.

4. Karakteristik Pribadi (Traits)

Karakteristik pribadi merujuk pada karakteristik fisik dan konsistensi tanggapan terhadap situasi atau informasi.

5. Motif (Motive)

Motif merupakan emosi, hasrat, kebutuhan psikologis atau dorongan- dorongan lain yang memicu tindakan.

Tingkatan kompetensi menurut Palan (2007) meliputi level organisasi, level posisi dan level perorangan. Sedangkan jenis kompetensi diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:

1. Kompetensi Inti

Kompetensi inti berada pada level organisasi, biasanya merupakan sekumpulan keahlian dan teknologi yang dimiliki perusahaan, secara kolektif memberi keunggulan bersaing perusahaan. Sebuah perusahaan dianggap ‘inti’, apabila kompetensi tersebut memenuhi tiga kriteria, yaitu nilai lebih bagi pelanggan, perbedaan dengan pesaing dan

extendability (mendorong keberhasilan di masa depan). 2. Kompetensi Fungsional

Kompetensi fungsional berhubungan dengan level posisi. Merupakan kompetensi yang mendeskripsikan kegiatan kerja dan output, seperti keahlian dan pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. 3. Kompetensi Perilaku

Kompetensi perilaku merupakan karakteristik dasar yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Kompetensi ini berada pada level individu. 4. Kompetensi Peran

Kompetensi peran berkaitan dengan level posisi dan merujuk pada peran yang harus dijalankan oleh seseorang dalam sebuah tim.

Dokumen terkait