• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Teori Multiplier Effects Terhadap Pembagian Kewenangan dan Program Pembangunan di Kawasan Perbatasan

Dalam dokumen Pemberdayaan Cedaw dan BDPoA sebagai Kom (Halaman 74-78)

MULTIPLIER EFFECTS THEORY: BRIDGING DEVELOPMENT OF IDEAL AUTONOMOUS BORDER AREAS

A. Kerangka Ideal Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Mengoptimalkan Asas Otonomi di Kawasan Perbatasan

1. Penerapan Teori Multiplier Effects Terhadap Pembagian Kewenangan dan Program Pembangunan di Kawasan Perbatasan

Berdasarkan teori multiplier effects, Penulis menganalogikan “one type of economic activity in a given city or region” sebagai program pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat di kawasan perbatasan. Kemudian, “demand for goods and services” dimaknai sebagai permintaan terhadap barang dan pelayanan publik (jasa) di kawasan perbatasan tersebut.

Sederhananya, dapat digambarkan demikian:

“Program pembangunan yang dilakukan Pemerintah Pusat pada titik tertentu di kawasan perbatasan, seperti membuka akses perhubungan melalui pembangunan jalan dan penyediaan transportasi publik, akan meningkatkan aktivitas perdagangan di kawasan perbatasan tersebut. Aktivitas perdagangan yang meningkat akan menimbulkan permintaan masyarakat setempat terhadap barang dan jasa. Permintaan itulah yang akan memicu perkembangan aktivitas ekonomi lainnya di kawasan perbatasan yang sama, namun lebih luas dari segi sektor dan cakupan wilayahnya. Pasar tradisional, puskesmas, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas pelayanan publik lainnya akan berkembang di seluruh kawasan perbatasan.”

Teori multiplier effects dalam kaitannya dengan pembagian kewenangan dan pelaksanaan pembangunan di kawasan perbatasan dapat dilihat melalui gambar berikut ini.

PEMERI NTAH PUSAT & DAERA H PEMERINTAH DAERAH Desentralisasi (Otonomi Daerah)

Titik Pembangunan

Kawasan Perbatasan

Gambar 4.1. Pola Multiplier Effects dalam Pembagian Kewenangan dan Pelaksanaan Pembangunan di Kawasan Perbatasan

• Pada lingkaran pertama (hijau), pembangunan di kawasan perbatasan dilakukan oleh Pemerintah Pusat sesuai amanat Pasal 361 UU Pemerintahan Daerah. Nuansanya masih sentralistik karena segala bentuk pengelolaan dan pemanfaatan kawasan perbatasan dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Pada tahap ini, Pemerintah Pusat melaksanan urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan umum. Dalam melaksanakan urusannya ini, Pemerintah Pusat dapat melaksanakan sendiri atau melimpahkan wewenang kepada instansi vertikal di daerah atau Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi. Lingkaran pertama merupakan titik pembangunan yang ada di batas wilayah negara. Pemerintah Pusat membuka akses perhubungan melalui pembangunan jalan dan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) sehingga aktivitas ekonomi yang berkembang di titik ini akan memperluas perkembangan sektor lain di kawasan perbatasan.

• Pada lingkaran kedua (biru), pembangunan di kawasan perbatasan dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Keduanya melaksanakan urusan pemerintahan konkuren yang sudah dibagi berdasarkan urusan wajib dan pilihan. Pemerintah Pusat dapat menugaskan aparatur daerah untuk

PEMERINTAH PUSAT Sentralistik Dekonsentrasi Me debe wind

VOLUME 7, NO. 2, DESEMBER 2017 | JURIS LK2 FHUI

melaksanakan sebagian urusan melalui asas tugas pembantuan

(medebewind).

• Pada lingkaran ketiga (jingga), pembangunan di kawasan perbatasan sudah menjadi kewenangan penuh Pemerintah Daerah. Khususnya pelayanan dasar diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah sebagai wujud desentralisasi dan pelaksanaan asas otonomi di kawasan perbatasan.

Salah satu contoh penerapan multiplier effects ini dapat terlihat pada kawasan perbatasan Entikong. Pemerintah Pusat telah membangun PLBN Entikong yang kini memiliki kondisi lebih megah dan menawan dari pada PLBN Entikong sebelumnya. PLBN yang merupakan representasi wajah Indonesia menjadi sangat penting kegunaannya. Selain menjadi kantor imigrasi, karantina, bea cukai dan keamanan, PLBN dapat dijadikan tempat bagi masyarakat untuk membangun pusat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, Pemerintah Pusat juga telah membangun Jalan Akses yang menjadi jalan penghubung guna untuk mempersingkat waktu tempuh kendaraan dari Pontianak menju PLBN Entikong, yang semula waktu tempuh selama 10 jam kini hanya butuh waktu 3 jam untuk sampai ke Entikong dari Pontianak.12 Dengan pembukaan keterisolasian di wilayah Entikong ini, aktivitas ekonomi menjadi lebih berkembang dan nantinya akan memperluas jangkauan perkembangan sektor lain. Pada saat ini pembangunan di kawasan perbatasan baru sampai pada lingkar pertama (hijau), dimana pemerintah pusat sedang gencar untuk membuka keterisolasian yang selama ini dirasakan oleh masyarakat Entikong. Nantinya setelah pelayanan dasar penunjang kehidupan sudah selesai di bangun (seperti: jalan, air, listrik), maka pemerintah dapat berangsur memberikan Pemerintah Daerah Entikong untuk melaksanakan pembangunan di kawasan perbatasan melalui tugas pembantuan. Setelah itu, ketika Entikong telah mulai mampu untuk menompang urusan rumah tangganya sendiri maka nantinya pemerintah lambat laun dapat memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah Entikong untuk mengurus dan mengatur secara penuh wilayahnya sendiri dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.

12

Fadhly Fauzi Rachman, Menyusuri Jalan Akses Menuju Perbatasan RI Entikong, diakes pada 2 September 2016, <"https://finance.detik.com/berita-ekonomi- bisnis/3485032/menyusuri-jalan-akses-menuju-perbatasan-ri-di-entikong>

Maka dari itu, teori multiplier effects menggambarkan bahwa dengan adanya pembagian kewenangan yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah, maka pemerintah daerah akan mendapatkan kewenangan, hak dan kewajiban nya untuk mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan secara desentralisasi. Bintaro Tjokroamidjojo menegaskan bahwa desentralisi sering kali disebut sebagai pemberian otonomi.13 Tujuan Otonomi ialah untuk meningkatkan efisiensi dan daya tanggap dalam pemenuhan pelayanan publik yang lebih sesuai dengan preferensi daerah dan membangkitkan semangat kompetisi serta inovasi antar pemerintah daerah dalam rangka mencapai kepuasan masyarakat setempat.14 Implementasi asas otonomi juga merupakan perwujudan dari pendekatan kesejahteraan dimana Pemerintah Daerah memiliki peran penting dalam mengelola kawasan perbatasan melalui penyelenggaraan pelayanan publik dan

pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Dalam merealisasikan pendekatan

kesejahteraan, Pemerintah Daerah berpedoman pada pola bottom up sehingga karakteristik masyarakat di kawasan perbatasan dapat terakomodasi melalui program pembangunan yang diselenggarakan pemerintah melalui kewenangan yang di dapat dalam hal melakukan pembangunan.

Jika bicara mengenai kewenangan, perlu penjelasan yang lebih rinci mengenai materi kewenangan apa saja yang tercakup dalam otonomi daerah. Materi tersebut terdapat dalam UU Pemerintahan Daerah yang disebut sebagai urusan pemerintahan. Pada UU Pemerintahan Daerah yang mengatur mengenai urusan pemerintahan, dikatakan bahwa klasifikasi urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, konkuren dan umum.15

Urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah disebut

urusan kewenangan konkuren.16 Berdasarkan pengertian dalam UU Pemerintahan

Daerah, urusan kewenangan konkuren merupakan urusan pemerintahan yang

13 Bayu Surya, 1976, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Bandung: PT. Mekardjaja, hlm. 7

14

Burki, Shahid, Guillermo Perry dan William Dillinger, 1999, Beyond the Center: Decentralizing the State, Washington, DC: World Bank, hlm. 3

15 Indonesia (c), Op.Cit., Ps. 9 ayat 1 16 Ibid., Ps. 9 ayat 3

VOLUME 7, NO. 2, DESEMBER 2017 | JURIS LK2 FHUI

penanganannya dalam bagian/bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Maka ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan ada bagian yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah. UU Pemerintahan Daerah telah menetapkan urusan pemerintahan konkuren yang terdiri dari dua puluh empat urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dalam pasal 12 ayat (1) dan (2) UU Pemerintahan Daerah. Sedangkan, urusan pemerintahan pilihan mencakup delapan bidang dalam pasal 12 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah yang kemudian penentuannya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah merupakan dasar pelaksanaan dari otonomi daerah.17

Dalam rangka untuk mewujudkan pembagian kewenangan konkuren secara proposional antara pemerintah pusat dan daerah, maka disusun prinsip eksternalitas, akuntabilitas, efisensi dan kepentingan strategis nasional.18 Keempat prinsip ini diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antara tingkatan dan susunan pemerintahan sehingga urusan pemerintahan yang dikerjakan antar pemerintahan dapat bersifat saling berhubungan, bergantungan dan mendukung satu sama lain. Nantinya urusan pemerintahan tersebut disesuaikan dengan kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pusat ataupun Daerah sebagaimana yang telah diatur dalam UU Pemerintahan Daerah.

2. Penerapan Teori Multiplier Effects Kaitannya dengan Kelemahan

Dalam dokumen Pemberdayaan Cedaw dan BDPoA sebagai Kom (Halaman 74-78)