• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Implementasi CEDAW dan BDPoA dalam Kerangka dan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia

Dalam dokumen Pemberdayaan Cedaw dan BDPoA sebagai Kom (Halaman 32-38)

INDONESIA’S ALTERNATIVE STRATEGY TO FIX ITS ECONOMY

A. Perkembangan Implementasi CEDAW dan BDPoA dalam Kerangka dan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia

CEDAW dan Beijing Declaration and Platform of Action (BDPoA) merupakan 2 (dua) instrumen internasional yang menjadi rujukan utama bagi pemerintah Indonesia dalam mengaktualisasikan kebijakan kesetaraan gender, sebagaimana yang terdapat dalam salah satu bagian Sustainable Development Goals (SDGs). Sebagai salah satu bagian dari komunitas internasional, Indonesia telah mengakui prinsip-prinsip di dalam CEDAW yang dicerminkan dalam ratifikasi terhadapnya melalui UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Konsekuensi hukum dari adanya ratifikasi ini adalah adanya pengawasan secara teratur oleh organisasi internasional terhadap upaya

implementasi prinsip-prinsip CEDAW yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Di sisi lain, prinsip-prinsip dalam Beijing Declaration and Platform for Action juga telah diakui oleh Indonesia semenjak tahun 1995. Meskipun deklarasi ini tidak menimbulkan konsekuensi hukum dan tidak memiliki mekanisme pengawasan sebagaimana yang dimiliki oleh CEDAW, namun manifesto tersebut memiliki peran penting karena sama-sama menempatkan isu hak perempuan sebagai intisari perjuangan terhadap kesetaraan. Hingga kini, usaha untuk mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia cenderung bersinggungan dengan 3 (tiga) permasalahan pokok yakni, permasalahan di bidang hukum, pendidikan dan kesempatan kerja. Dalam konteks bidang perlindungan hukum bagi perempuan, kebijakan pemerintah yang mencerminkan aktualisasi kaeadah-kaedah CEDAW dan BDPoA diawali dengan adanya pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada bulan Juli 1998. Kebijakan vital dan strategis dalam mendirikan Komnas Perempuan sejatinya menjadi landasan kuat untuk memulai mengikis perlahan-lahan permasalahan pemberdayaan terhadap perempuan. Tercatat 29 kebijakan baru pemerintah untuk menangani pemberdayaan terhadap perempuan, 11 di tingkat nasional, 15 di tingkat daerah, dan 3 di tingkat regional ASEAN, pasca pembentukan Komnas Perempuan.12 Secara bertahap, kehadiran Komnas Perempuan sesungguhnya mengubah paradigma pemerintah dalam memposisikan perempuan sebagai bahan pertimbangan penting dalam membuat kebijakan. Hal demikian dibuktikan dengan lahirnya peraturan perundang-undangan yang kemudian menjadi pijakan dasar bagi pemerintah Indonesia dalam merumuskan kesetaraan gender yakni, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang secara khusus mengatur tentang hak asasi perempuan dalam Pasal 45.13 Eskalasi keseriusan pemerintah terhadap kesetaraan gender semakin terlihat dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 9

12 Saparinah Sadli, Berbeda tetapi Setara : Pemikiran tentang Kajian Perempuan, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 269.

13 Pasal 45 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa :”Hak wanita dalam undang-undang ini adalah hak asasi manusia”. Kaedah hukum ini menjadi pelopor lahirnya kaedah-kaedah hukum lain yang mengatur lebih detail tentang hak perempuan dalam urusan politik, rumah tangga, pendidikan, kesempatan kerja, dan kesehatan.

VOLUME 7, NO. 2, DESEMBER 2017 | JURIS LK2 FHUI

Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender, pasca deklarasi BDPoA dan pembentukan Komnas Perempuan. Produk hukum demikian menginstruksikan seluruh kementerian, lembaga negara dan pemerintah daerah untuk mengimplementasikan pengarusutamaan gender dalam setiap kebijakannya.14 Atas dasar kebijakan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dalam kurun waktu 14 tahun, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan produk hukum yang berusaha mereposisi kedudukan perempuan di dalam tatanan masyarakat sebagai bentuk komitmen terhadap kesetaraan gender dan Sustainable Development Goals, diantaranya:

Peraturan Perundang- undangan dan Produk Hukum

Tujuan Pembentukan UU No. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Undang-Undang ini menjadi dasar hukum untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di dalam pernikahan dan rumah tangga.

UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Undang-Undang ini memberikan perlindungan hukum bagi perempuan yang menikah dengan Warga Negara Asing, agar Ia tidak otomatis kehilangan haknya sebagai Warga Negara Indonesia.

UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang ini menjadi salah satu komitmen pemerintah untuk melawan diskriminasi terhadap perempuan, dalam konteks kejahatan perdagangan manusia. UU No. 2 Tahun 2011 tentang

Partai Politik

Undang-Undang ini menentukan keterwakilan partisipasi perempuan di partai politik minimal sejumlah 30%. UU No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan

Undang-Undang ini mewajibkan sosialisasi dan edukasi kesehatan reproduksi bagi remaja perempuan.

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

Undang-Undang ini mengatur dan mempersilahkan partisipasi perempuan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan desa. UU No. 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum

Undang-Undang ini mewajibkan partisipasi perempuan dalam setiap lembaga pelaksana pemilu dan mewajibkan perwakilan perempuan dalam proses pemilu.

Peraturan Mahkamah Agung No. Perma ini menjadi pedoman beracara bagi

14 Ministry of National Development Planning, Voluntary National Review: Eradicating

Poverty and Promoting Prosperity in a Changing World, (Jakarta: Ministry of National Development Planning, 2017), hlm. 44

3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum

hakim di Pengadilan untuk mempertimbangkan kesetaraan gender dan non-diskriminasi selama pemeriksaan serta mengandung kaedah-kaedah larangan (verbod) bagi hakim untuk tidak mengintimidasi perempuan di ruang sidang.

Peraturan perundang-undangan dan produk hukum sebagaimana tersebut di atas, sejatinya merupakan cerminan konkret kaedah-kaedah yang terkandung di dalam CEDAW maupun BDPoA. Argumentasi demikian dibuktikan secara tegas dengan adanya kesesuaian antara kaidah hukum kedua instrumen internasional tersebut dengan tujuan pembentukan peraturan perundang- undangan di atas.

UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan merupakan bentuk implementasi Pasal 9 ayat (1) CEDAW yang menyatakan bahwa:

“States Parties shall grant women equal rights with men to acquire,

change, or retain their nationality. They shall ensure in particular that neither marriage to an alien nor change of nationality by the husband during marriage shall automatically change the nationality of the wife,

render her stateless or force upon her nationality of the husband.”

Di sisi lain, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan bentuk aktualisasi poin 124 huruf (b) BDPoA yang mewajibkan pemerintah untuk:

“Refrain from engaging in violence against women and exercise due

diligence to prevent, investigate and, in accordance with national legislation, punish acts of violence against women, whether those acts are

perpetrated by the State or by private company.”

Kemudian, UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dapat dikatakan sebagai bentuk pengejawantahan yang selaras dengan Pasal 7 huruf (a) dan (b) CEDAW yang menegaskan bahwa:

“State parties shall take all appropriate measures to eliminate

discrimination against women in the political and public life of the country and, in particular, shall ensure to women, on equal terms with men, the right to : a). To vote in all elections and public referenda and to be eligible for election to all publicly elected bodies; b). To participate in the

VOLUME 7, NO. 2, DESEMBER 2017 | JURIS LK2 FHUI

formulation of government policy and the implementation there of and to hold public office and perform all public functions at all levels of

government.”

Lebih lanjut, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengandung landasan hukum bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kesehatan reproduksi bagi remaja perempuan senyatanya, sangat selaras dengan poin 106 huruf (m) BDPoA yang mewajibkan setiap negara untuk:

“Ensure that girls have continuing access to necessary health and

nutrition information and services as they mature, to facilitate a healthful

transition from childhood to adulthood.”

Terakhir, Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Perma No. 3 Tahun 2017) sesungguhnya, merupakan pengejawantahan dari Pasal 2 ayat (c) CEDAW yang menyatakan bahwa:

“to establish legal protection of the rights of women on an equal basis

with men and to ensure through competent national tribunals and other public institutions the effective protection of women against any act of

discrimination.”

Kaidah CEDAW demikian tentunya sejalan dengan tujuan untuk melindungi perempuan dari tindakan diskriminasi di pengadilan, sebagaimana juga yang dinyatakan dalam Pasal 5 Perma No. 3 Tahun 2017, yakni:

“Dalam pemeriksaan perempuan berhadapan dengan hukum, hakim tidak boleh :

a. Menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan berhadap dengan hukum;

b. Membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender; c. Mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai

pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku; d. Mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung

stereotip gender.”

Perwujudan pedoman beracara dalam menangani perkara perempuan di depan hukum sesungguhnya juga dapat dikatakan sebagai bentuk pengejawantahan terhadap konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) dalam menangani

diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi di Indonesia. Hal ini sebagaimana tertera dalam konstitusi Pasal 28 D, 28 G, dan 28 I yang mengatur mengenai hak semua warga negara atas perlindungan diri pribadinya, keluarga serta kehormatan, juga kedudukan yang sama di muka hukum.15 Dalam rangka melindungi peran perempuan di ruang lingkup peradilan, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (c) CEDAW, pemerintah pun juga sedang merencanakan kebijakan adanya Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP). Agenda ini merupakan sistem terpadu yang menunjukkan proses keterkaitan antar instansi/pihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi perempuan dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan.16

Meskipun kerangka kebijakan dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berorientasi pada pemenuhan kesetaraan gender telah banyak diciptakan, tidak dapat dipungkiri, upaya penaatan dan komitmen terhadap kesetaraan gender dalam agenda Sustainable Development Goals tetap masih perlu ditingkatkan, khususnya dalam hal akses pendidikan dan kesempatan kerja bagi perempuan di Indonesia. Hingga kini, fokus pemerintah Indonesia terhadap kerangka kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berperspektif gender masih terpusat pada perlindungan perempuan dari kekerasan, persamaan kedudukan perempuan di pengadilan, partisipasi politik dan pemerintahan, kewarganegaraan, dan kesehatan. Sudut pandang pemerintah Indonesia dalam merealisasikan kebijakan yang menjunjung tinggi kesetaraan gender perlu diperluas hingga mencakup bidang pendidikan dan kesempatan kerja bagi perempuan. Sebab, upaya mewujudkan kesetaraan gender hingga aspek pendidikan dan kesempatan kerja bagi perempuan, sesungguhnya dapat memberikan kontribusi positif bagi perbaikan kehidupan

15 Muhammad Ishar Helmi, “Pengadilan Khusus KDRT: Implementasi Gagasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT- PKKTP)”, Jurnal Cita Hukum Vol II No.2 (Desember-2014), hlm. 321.

16 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kertas Kebijakan: Sistem

Peradilan Pidana Terpadu Yang Berkeadilan Jender Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2005), hlm. 51.

VOLUME 7, NO. 2, DESEMBER 2017 | JURIS LK2 FHUI

ekonomi suatu negara. Indonesia, sebagai negara yang sedang membangun komitmen terhadap salah satu agenda Sustainable Development Goals, yakni kesetaraan gender, perlu dengan cermat untuk mengkaji relevansi antara kesetaraan gender terhadap perbaikan keadaan ekonomi. Sehingga, upaya menciptakan kerangka kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berperspektif gender tidak hanya memenuhi agenda Sustainable Development Goals, tetapi juga dapat turut memberikan implikasi positif dan konstruktif bagi perekonomian nasional.

B. Relevansi Kesetaraan Gender terhadap Perbaikan Keadaan Ekonomi

Dalam dokumen Pemberdayaan Cedaw dan BDPoA sebagai Kom (Halaman 32-38)