• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam 5C oleh Kreditur Sebelum Memberikan Pinjaman Kredit Perbankan Kepada Debitur

BAB IV PRAKTEK PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENILAIAN

PRAKTIK PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENILAIAN JAMINAN (COLLATERAL) PADA PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN

B. Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam 5C oleh Kreditur Sebelum Memberikan Pinjaman Kredit Perbankan Kepada Debitur

56

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara, www.usu.ac.id, diunduh pada 18 April 2012.

Dalam dunia perbankan pertimbangan yang lazim digunakan untuk mengevaluasi calon nasabah sering disebut dengan prinsip 5C atau “the five C’s principles”. Dalam memberikan kredit, harus mengikuti tahap-tahap yang tepat sehingga terhindar dari kredit bermasalah. Terhadap “5C of credit” yang meliputi character (watak), capacity (kemampuan), capital (modal), collateral (agunan), condition of economi (prospek usaha dari kreditur).

Bank selaku kreditur memandang bahwa calon debitur yang mempunyai 5C yang baik adalah manusia yang ideal. Bank melihat orang yang mempunyai karakter kuat, kemampuan mengembalikan uang, jaminan yang berharga, modal yang kuat dan kondisi perekonomian yang aman bagaikan melihat sebuah mutiara. Debitur seperti ini adalah nasabah potensial untuk diajak bekerja sama atau orang yang layak mendapatkan penyaluran kredit. Berikut merupakan hal-hal yang menjadi pertimbangan perbankan sebelum permohonan kredit disetujui oleh kreditur. 5C of Credit tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Character (watak)

Character adalah data tentang kepribadian dari calon pelanggan seperti sifat-sifat pribadi atau keadaan watak dari nasabah, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha, kebiasaan-kebiasaannya, cara hidup, keadaan dan latar belakang keluarga maupun hobinya. Character ini untuk mengetahui apakah nantinya calon nasabah ini jujur berusaha untuk memenuhi kewajibannya dengan kata lain ini merupakan willingness to pay.

Sebagai alat untuk memperoleh gambaran tentang karakter dari calon nasabah tersebut, dapat ditempuh melalui upaya antara lain:

a) Meneliti riwayat hidup calon nasabah;

b)Meneliti reputasi calon nasabah tersebut di lingkungan usahanya; c) Meminta Bank to Bank Information (Sistem Informasi Debitur); d)Mencari informasi kepada asosiasi-asosiasi usaha dimana calon

nasabah berada;

e) Mencari informasi apakah calon nasabah suka berjudi;

f) Mencari informasi apakah calon nasabah memiliki hobi berfoya-foya; Salah satu unsur yang harus diperhatikan oleh bank sebelum bank memberikan kreditnya adalah penilaian atas karakter kepribadian (watak) dari calon debiturnya. Karena itu sebelum kredit diluncurkan, harus terlebih dahulu ditinjau apakah calon debitur berkepribadian yang baik, jujur, selalu menepati janji, memiliki lingkungan yang baik, mempunyai riwayat hidup yang baik, tidak terlibat tindakan kriminal, bukan merupakan penjudi, pemabuk atau tindakan tidak terpuji lainnya57. Pemberian kredit atas dasar kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank bahwa calon debitur memiliki moral, watak dan sifat-sifat pribadi yang positif dan koperatif. Karakter merupakan faktor yang dominan, sebab walaupun calon debitur tersebut cukup mampu untuk menyelesaikan hutangnya, kalau tidak

57

H.A.S Mahmoeddin. 100 Penyebab Kredit Macet. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1995, hlm. 25.

mempunyai itikad yang baik tentu akan memberikan kesulitan bagi bank di kemudian hari.

Namun dalam prakteknya terkadang hal ini tidak bisa dijadikan ukuran yang pasti, karena bank biasanya tidak mengenal nasabahnya secara mendalam mengingat waktu dari pihak bank yang sangat terbatas. Oleh karena itu perlu diterapkan oleh bank prinsip mengenal nasabah yang antara lain mencakup kewajiban memiliki kebijakan dan prosedur penerimaan nasabah, pemeliharaan profil nasabah, pelaksanaan program pelatihan kepada karyawan bank mengenai prinsip mengenal nasabah, pengenaan saksi administrasi terhadap pelanggaran peraturan ini dan lain-lain58.

Pada saat calon debitur menyerahkan berkas kredit, petugas bank akan melakukan wawancara awal mengenai tujuan kredit, jangka waktu, serta menanyakan keberadaan lokasi usaha dan lokasi agunan. Setelah berkas pengajuan kredit diterima, maka pihak bank akan langsung melakukan tindakan pengecekan Sistem Informasi Debitur (SID) yang disediakan oleh Bank Indonesia. Sistem Informasi Debitur (SID) merupakan informasi yang penting yang dapat menjadi referensi atas karakter calon debitur, yang mana wajib diperiksa untuk semua calon debitur kredit guna mengetahui fasilitas kredit apa saja yang pernah atau sedang dinikmati oleh debitur, dan juga mengetahui lancar atau tidaknya calon debitur dalam membayar kredit yang

58

Bismar Nasution. Prinsip Keterbukaan dalam Pasar Modal. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pascasarjana. 2001, hlm. 57.

dinikmatinya (jika ada) dengan melihat sandi kolektibilitas pada Sistem Informasi Debitur.

Praktek yang dapat ditemui di lapangan pada saat ini adalah bank selaku kreditur sulit untuk menentukan apakah calon debitur tersebut layak atau tidak diberikan pinjaman kredit, karena karakter seseorang pada saat sebelum disetujuinya suatu permohonan kredit akan berbeda dengan karakter setelah kredit tersebut telah disetujui. Sehingga tujuan penggunaan pinjaman kredit tersebut harus tetap diawasi oleh pihak bank agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap dana pinjaman. Untuk itu pihak bank harus tetap menjalin hubungan baik dengan nasabahnya dengan cara menghubungi debiturnya maupun mengunjungi tempat usaha debiturnya secara berkala dan menjalin hubungan baik antara bank dengan nasabah.

2. Capacity (kemampuan)

Capacity adalah kemampuan yang dimiliki calon nasabah dalam menjalankan usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan. Kegunaan dari penilaian ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana calon nasabah mampu untuk mengembalikan atau melunasi hutang-piutangnya secara tepat waktu dari usaha yang diperolehnya. Kemampuan calon nasabah dalam mengelola usahanya dapat dilihat dari pendidikannya, pengalaman mengelola usahanya (business record) dan sejarah perusahaan yang pernah dikelola (pernah mengalami masa sulit apa tidak, bagaimana mengatasi kesulitan). Capacity ini merupakan ukuran dari ability to pay (kemampuan dalam membayar).

Karakter yang baik belum tentu memenuhi syarat untuk memperoleh kredit. Bahwa seseorang yang jujur secara moril bisa dipercaya, tetapi mungkin ia tidak mampu mengolah kredit, oleh karena itu dibutuhkan beberapa cara pengukuran capacity (kemampuan) seseorang yang dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan berikut ini:

a) Pendekatan historis, yaitu menilai past performance, apakah menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu,

b) Pendekatan finansial, yaitu menilai latar belakang pendidikan dan pengalaman para pengelola kredit sehingga dapat diprediksi tingkat kemampuan pengelolaan dana dari hasil pinjaman kredit yang telah disetujui,

c) Pendekatan yuridis, yaitu secara yuridis apakah calon nasabah mempunyai kapasitas untuk mewakili badan usaha yang diwakilinya untuk mengadakan perjanjian kredit dengan bank,

d) Pendekatan manajerial, yaitu menilai sejauh mana kemampuan dan keterampilan nasabah melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam memimpin perusahaan,

e) Pendekatan teknis, yaitu untuk menilai sejauh mana kemampuan calon nasabah mengelola faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja, sumber bahan baku, peralatan-peralatan, administrasi dan keuangan, industrial relation sampai pada kemampuan merebut pasar.

Oleh karena itu yang perlu juga diperhatikan bank adalah apakah ia mampu mengelola perusahaan yang dapat dilihat dari kemampuan

manajemennya, apakah ia mampu berproduksi dengan baik yang dapat dilihat dari kapasitas produksinya, apakah ia mampu mangembalikan kredit dilihat berdasarkan perhitungan penghasilan bersih, perputaran usaha, situasi keuangan dan modal kerja yang dimilikinya59. Pada umumnya untuk menilai capacity (kemampuan) seseorang didasarkan pada pengalamannya dalam dunia bisnis yang dihubungkan dengan pendidikan dari calon nasabah (pemohon kredit) serta kekuatan perusahaan dan kemampuan penyesuaian diri dengan perkembangan teknologi.

3. Capital (modal)

Capital adalah jumlah dana atau modal sendiri yang dimiliki oleh calon nasabah. Semakin besar modal sendiri dalam perusahaan, tentu semakin tinggi kesungguhan calon nasabah dalam menjalankan usahanya dan bank akan merasa lebih yakin dalam memberikan kredit. Modal sendiri juga diperlukan bank sebagai alat kesungguhan dan tangung jawab nasabah dalam menjalankan usahanya karena ikut menanggung risiko terhadap gagalnya usaha. Dalam praktiknya, kemampuan capital ini dimanifestasikan dalam bentuk kewajiban untuk menyediakan self-financing, yang sebaiknya jumlahnya mendekati atau setara dengan kredit yang dimintakan kepada bank.

Untuk calon debitur berupa badan hukum, capital adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang dikelolanya. Hal ini bisa dilihat dari neraca, laporan rugi-laba, struktur permodalan, ratio-ratio keuntungan

59

yang diperoleh seperti return on equity, return on investment. Sedangkan untuk calon debitur yang bekerja sebagai pegawai dapat kita lihat dari slip gaji dari perusahaan tempat bekerja. Modal akan turut menentukan apakah layak atau tidaknya calon debitur diberi pembiayaan, dan seberapa besar plafon pembiayaan yang layak diberikan. Permodalan dari suatu debitur merupakan hal yang penting yang harus diketahui oleh calon krediturnya. Karena permodalan dan kemampuan keuangan dari suatu debitur akan mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan membayar kredit, bank tidak dapat memberikan kredit kepada pengusaha tanpa modal sama sekali60. Kreditur juga harus meninjau kembali besaran modal yang diberikan sebagai pinjaman, apakah pantas atau tidak suatu usaha yang akan dibiayai tersebut dan melihat kembali agunan yang diajukan oleh debitur. Oleh karena itu pengklasifikasian calon debitur yang akan melakukan pinjaman kredit merupakan salah satu hal yang penting karena pengklasifikasian debitur ini mempengaruhi tujuan pinjaman, kebijakan pinjaman, syarat pinjaman, dan agunan yang dipinjamkan.

4. Collateral (Agunan atau Jaminan)

Collateral atau agunan menurut Pasal 1 Angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah “jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”.

60

Jaminan tersebut harus dinilai oleh bank untuk mengetahui sejauh mana risiko kewajiban finansial nasabah kepada bank. Bentuk agunan menurut penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dapat berupa “barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk dan lain-lain yang sejenis dapat juga digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.”61

Collateral (jaminan) merupakan faktor yang diperhitungkan paling akhir, artinya bilamana masih ada suatu kesangsian dalam pertimbangan- pertimbangan yang lain, maka bisa menilai harta yang mungkin bisa dijadikan jaminan. Pada prinsip collateral (agunan atau jaminan) menghendaki adanya pemberian agunan oleh debitur. Pemberian agunan adalah salah satu upaya untuk menjamin adanya pengembalian kredit atau pelunasan kredit dari debitur. Dalam hal debitur wanprestasi, maka pihak bank dapat mengeksekusi agunan dari debitur sebagai kompensasi pelunasan hutang-piutangnya. Dalam menerima suatu jaminan kredit, ada dua pertimbangan yang dilakukan oleh bank sebagai kriteria jaminan tersebut, yaitu:

61

Muhammad Djumhana. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2006. hlm. 514-515.

a. Marketable, artinya pada saat eksekusi, jaminan tersebut mudah dijual untuk melunasi seluruh hutang debitur.

b. Secured, artinya benda jaminan kredit dapat diikat secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. 62 Semakin mudah jaminan kredit tersebut diperjualbelikan, tingkat risiko kredit bank semakin berkurang dan besarnya nilai jaminan dapat mengcover seluruh pinjaman. Jaminan hanya berfungsi sebagai pengaman dan bersifat sebagai solusi terakhir (second wayout) apabila debitur bermasalah tidak dapat mengembalikan kewajiban pinjaman atau macet. Jaminan kredit yang dimiliki calon debitur harus dapat mengcover pinjaman calon debitur. Dalam melakukan taksasi ada beberapa hal yang harus dilakukan:

a) Melakukan wawancara lanjutan kepada calon debitur,

b) Mencari informasi kepada pihak ketiga di sekitar daerah agunan mengenai keberadaan dan status bangunan,

c) Mencari informasi harga pasar tanah dan bangunan di sekitar daerah agunan kepada calon debitur dan pihak ketiga untuk memastikan data yang diberikan calon debitur benar,

d) Dilakukan dokumentasi terhadap objek secara menyeluruh.

62

Irma Devita Purnamasari. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak

Setelah melakukan taksasi, petugas bank membuat daftar laporan taksasi yang berguna untuk mengetahui beberapa nilai bangunan yang dapat dibiayai dan diberikan nilai kreditnya.

Pada dasarnya perjanjian kredit dapat kita bagi atas perjanjian kredit yang memiliki agunan dan perjanjian yang tidak/tanpa agunan. Persoalan agunan ini berkaitan dengan ketentuan pasal 1131 dan pasal 1132 KUH Perdata. Kedua pasal ini membahas tentang hutang-piutang yang diistimewakan. Pasal 1131 mengatakan bahwa segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Dan pasal 1132 KUH Perdata mengatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi- bagikan menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya hutang masing-masing, kecuali apabila diantara para hutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Pihak bank biasanya dalam memberikan kredit akan menentukan terlebih dahulu apa yang menjadi jaminan atau agunan dari kredit yang dikeluarkan, misalnya dalam kredit pembelian kendaraan yang menjadi agunan biasanya adalah BPKB dari kendaraan tersebut. Buat pihak bank dengan ditentukan dari awal tentang apa yang menjadi jaminan terhadap kredit yang diberikan akan memudahkan bagi bank untuk melakukan

eksekusi bila terjadi wanprestasi karena sudah tertentu apa yang menjadi agunannya.

Untuk kredit tanpa agunan, karena pihak bank tidak menentukan dari awal apa yang menjadi agunannya, maka berdasarkan pasal 1131 dan pasal 1132 KUH Perdata, harta kekayaan milik dari debitur seluruhnya menjadi jaminan terhadap jumlah hutang yang harus dibayarkan oleh debitur. Sehingga dasar dari Bank melakukan eksekusi apabila debitur wanprestasi adalah kedua pasal tersebut, yaitu pasal 1131 dan pasal 1132 KUH Perdata. Dasar bagi Bank penerbit untuk melakukan bila terjadi eksekusi tentunya adalah perjanjian yang dibuat pada awalnya suatu perikatan terjadi, yaitu dimana permohonan aplikasi permohonan kredit yang diajukan debitur disetujui oleh pihak Bank penerbit bila debitur wanprestasi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut, misalnya adanya keterlambatan pembayaran dari pengguna fasilitas kredit.

5. Condition (Kondisi)

Condition (kondisi) merupakan penilaian terhadap kondisi perlu dilakukan untuk mengetahui kelancaran usaha calon debitur. Hal-hal yang mempengaruhi kondisi ini adalah situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat yang kemungkinannya memengaruhi kelancaran perusahaan calon debitur. Selain itu kondisi ekonomi juga mencakup peraturan-peraturan atau kebijaksanaan pemerintah yang memiliki dampak terhadap keadaan perekonomian yang gilirannya mempengaruhi kegiatan usaha calon debitur.

Oleh karena itu kondisi ekonomi secara umum serta kondisi pada sektor usaha si pemohon kredit (debitur) perlu mendapatkan perhatian dari pihak bank untuk memperkecil risiko yang mungkin timbul akibat kondisi ekonomi. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial, politik dan ekonomi dari suatu priode waktu tertentu dan perkiraan yang akan terjadi pada waktu mendatang.63

Dalam kondisi ekonomi pada saat ini gejolak ekonomi yang tidak dapat diprediksi sehingga menimbulkan krisis dan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pembatasan eksport dan import barang juga mempengaruhi kondisi usaha yang dijalankan oleh kreditur, yang kemudian akan mempengaruhi kelancaran pembayaran atau angsuran oleh kreditur sehingga menimbulkan risiko yang kemudian akan dirasakan langsung oleh kreditur dan debitur. Akibat dari timbulnya risiko bisnis dan risiko non bisnis ini debitur tidak begitu saja mengubah kebijakan kredit yang telah disepakati, oleh karena itu apabila timbul risiko bisnis yang merupakan risiko yang timbul diluar dari kehendak bank seperti gejolak ekonomi, politik, bahkan bencana alam, maka debitur akan dipanggil oleh kreditur guna membahas kesepakatan-kesepakatan baru dalam penyesuaian perjanjian kredit yang telah disepakati sebelumnya dengan kondisi atau risiko bisnis yang timbul dan dicari jalan keluar yang kemudian disepakati bersama dimana kedua belah pihak saling diuntungkan demi menjaga hubungan antara kreditur dan debitur.

63

Untuk mendapat gambaran mengenai hal tersebut, perlu diadakan penelitian mengenai hal-hal antara lain:

a) Keadaan konjungtur;

b) Peraturan-peraturan pemerintah;

c) Situasi, politik dan perekonomian dunia; d) Keadaan lain yang memengaruhi pemasaran.