• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Kredit Bermasalah

BAB IV PRAKTEK PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENILAIAN

PRAKTIK PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENILAIAN JAMINAN (COLLATERAL) PADA PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN

D. Penyelesaian Kredit Bermasalah

Setiap bank pasti menghadapi masalah kredit bermasalah sehingga membicarakan kredit bermasalah sama artinya dengan membicarakan risiko yang terkandung dalam setiap pemberian kredit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bank tidak mungkin terhindar dari kredit bermasalah. Bank tanpa kredit

bermasalah merupakan hal yang aneh walaupun tidak banyak kasus yang menyangkut tentang kredit bermasalah, namun bukan berarti tidak ada permasalahan dalam penyelesaian jaminan kredit. Hal ini biasanya terjadi pada kredit-kredit bermasalah yang dimana biasanya sudah termasuk dalam jajaran kredit macet, sehingga angsuran kredit menunggak dan pihak bank sendiri sudah memberikan sedikit kelonggaran ataupun pihak bank sudah tidak memberikan toleransi kepada debitur untuk melakukan angsuran atau pelunasan kreditnya, sehingga jaminan yang diagunkan harus dilelang atau disita.

Ada beberapa penggolongan kredit bermasalah, yang dimana penggolongan ini menunjukkan penggolongan kolektibilitas kredit yang menggambarkan kualitas dari kredit itu sendiri. Pengaturan penggolongan kolektibilitas kredit terdapat dalam:68

1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/68/KEP/DIR tentang Penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan atas Aktiva dan beberapa kali mengalami perubahan dengan Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.

2. Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif.

68

Muhammad Djumhan. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2006, hlm. 552-553.

3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.

4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/6/PBI/2002 tentang Perubahan atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif.

Keseluruhan peraturan tersebut di atas, saat ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang telah diubah pula oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, maka kualitas kredit ditetapkan menurut faktor penilaian yang meliputi prospek usaha, kinerja (performance) debitur dan kemampuan membayar. Dengan memperhatikan ketiga faktor penilaian tersebut, maka kualitas kredit ditetapkan menjadi:69

1. Lancar;

2. Dalam perhatian khusus; 3. Kurang lancar;

4. Diragukan; 5. Macet.

69

Pasal 12 Ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.

Namun penggolongan tersebut tidak diikuti dengan rincian penjelasan dan kriterianya, tidak seperti pada ketentuan sebelumnya yang memperinci dan menjelaskan kriteria dalam penggolongan kualitas kredit tersebut. Kasus yang terjadi akibat kredit bermasalah memiliki beberapa cara dalam penyelesaian kredit diantaranya adalah sebagai berikut:70

1. Penyelesaian Kredit Bermasalah secara Administrasi Perkreditan a) Penjadwalan kembali (rescheduling)

Penjadwalan kembali (rescheduling) adalah perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan/atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak,

b) Persyaratan kembali (reconditioning)

Persyaratan kembali (reconditioning) adalah perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan/atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan bank.

c) Penataan kembali (restructuring)

Penataan kembali (restructuring) adalah perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank dan/atau konversi seluruh atau

70

sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.

2. Penyelesaian Melalui Proses Litigasi

Selain penyelesaian melalui tindakan secara administratif, terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih banyak ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian lembaga hukum, diantaranya:

1) Melalui Panitia Urusan Hutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara.

Dalam praktik pelaksanaan pengurusan piutang negara dijumpai masalah-masalah yuridis yang secara umum timbul akibat tindakan hukum yang dilakukan oleh debitur ataupun pihak ketiga yang berkepentingan. Kredit bermasalah terutamanya golongan kredit macet pada bank milik negara merupakan salah satu bentuk yang dikategorikan sebagai piutang negara karena bank milik negara merupakan salah satu badan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan penyelesaian kredit bank milik negara dapat diusahakan melalui Panitia Urusan Piutang Negara.

Dalam menjalankan tugasnya, Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) berpedoman pada ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara. Di dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa PUPN mempunyai tugas:

a. Membahas pengurusan piutang negara, yaitu hutang kepada negara yang harus dibayar kepada negara, yakni instansi-instansi pemerintahan/badan-badan usaha milik negara yang modal atau kekayaannya sebagian atau seluruhnya milik negara, baik di pusat maupun di daerah,

b. Melakukan pengawasan terhadap hutang-piutang, kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh instansi-instansi pemerintahan/badan- badan usaha milik negara baik di pusat maupun daerah.

2) Melalui badan peradilan

Dalam hal debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya, setiap kreditur dapat mengajukan gugatan untuk memperoleh keputusan pengadilan. Peradilan yang dapat menyelesaikan dan menangani kredit bermasalah, yaitu peradilan umum melalui gugatan perdata dan peradilan niaga melalui gugatan kepailitan. Apabila sudah ditetapkan keputusan pengadilan yang kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan, tetapi debitur tetap tidak melunasi hutangnya, pelaksanaan keputusan tesebut dilaksanakan atas dasar perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang memeriksa

gugatannya pada tingkat pertama, menurut ketentuan HIR (Herzien Indonesis Reglement) Pasal 195 dan selanjutnya, atas dasar perintah ketua pengadilan tersebut dilakukanlah penyitaan harta kekayaan debitur, untuk kemudian dilelang dengan perantara kantor lelang dan hasil pelelangan itu kreditur memperoleh pelunasan hutang.

Dari segi ekonomi penyelesaian melalui peradilan ini mengandung suatu kelemahan. Kelemahan tersebut terjadi karena beberapa hal, seperti ketidakefisienan sistem peradilan yang ada sebab harus mengikuti sistem yang formal dan teknis sekali sehingga penyelesaian tersebut tidak efektif karena penyelesaian melalui jalur litigasi ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Selain itu debitur yang dikalahkan biasanya mengulur waktu dengan mempergunakan upaya banding dan kasasi. Jika pengadilan tetap memenangkan gugatan kreditur kadang-kadang belum tentu membawa hasil yang memuaskan untuk menyelesaikan hutang- piutang perbankannya.71

3) Melalui arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Menurut Sidharta P. Soerjadi, pada umumnya pada bagian akhir perjanjian kredit terdapat klausula yang menentukan bahwa apabila

71 H.P. Panggabean, “

Berbagai Masalah Yuridis yang Dihadapi

Perbankan Mengamankan Pengembalian Kredit yang Disalurkannya”, Varia

Peradilan VII No. 80, 1992,di unduh dari

timbul sengketa sebagai akibat dari perjanjian tersebut para pihak akan memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang didasarkan pada ketentuan Pasal 615 R.v. (Reglement op de

Rechtsvordering) yang menetapkan bahwa “setiap orang dapat

mengadakan persetujuan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang akan/dapat terjadi melalui arbitrase.”

Dasar penyelesaian sengketa melalui arbitrase pada saat ini telah memiliki landasan yang kuat, yaitu berupa peraturan perundang- undangan mengenai arbitrase, sebagaimana dimuat dalam Undang- Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pengertian arbitrase menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Cara penyelesaian melalui arbitrase ini dilakukan melalui lembaga arbitrase, yaitu suatu badan yang sudah dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Adapun keuntungan yang diberikan kepada pihak-pihak yang bersengketa apabila menempuh penyelesaian sengketa perkreditan yaitu penyelesaian sengketa alternatif tidak memerlukan waktu yang lama dan dengan sifatnya yang tertutup maka diharapkan nama baik para pihak yang bersengketa terjaga dengan baik. Para pihak dapat

memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil, sehingga para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase, serta putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) para pihak dan dengan melalui prosedur sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Namun penyelesaian sengketa perkreditan melalui arbitrase ini memiliki kelemahan, yaitu tidak adanya kemungkinan untuk sita jaminan konservatoir, seperti halnya pada gugatan perdata biasa.

BAB V