• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Penerapan unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor

03/Pid.Sus/2012/PN. PWT.

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, maka Majelis Hakim sampai pada pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan Penuntut Umum kepada Terdakwa. Oleh karena dakwaan Penuntut Umum disusun secara alternatif, maka Majelis Hakim mempertimbangkan salah satu dari dakwaan tersebut yang unsur-unsurnya dipandang sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, yaitu dakwaan ke satu, melanggar Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dengan unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur barangsiapa

Barangsiapa adalah setiap orang selaku subyek hukum yang diduga atau disangka telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum atas perbuatannya dan orang tersebut mampu bertanggung jawab atas perbuatannya.

Rumusan kata barangsiapa atau setiap orang dalam hukum pidana menunjuk kepada subyek hukum. Bahwa setiap subyek hukum melekat erat kemampuan bertanggng jawab, yaitu hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan orang yang telah melakukan sesuatu yang tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang yang dapat diukum, sehingga seseorang sebagai subyek hukum untuk dapat dihukum harus memiliki kemampuan bertanggung jawab atas perbuatannya.110

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dihubungkan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, yang didasarkan pada keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa sendiri, telah memberikan identitasnya, yaitu

1) Nama : MUHAJIR RASYID bin ROSIDI

2) Umur/tanggal lahir : 42 tahun/31 Agustus 1969

3) Tempat lahir : Banyumas

4) Jenis Kelamin : Laki-laki

5) Kebangsaan : Indonesia

6) Alamat : Desa Dawuhan Wetan RT 05 RW 03 Kec.

Kedungbanteng Kabupaten Banyumas

7) Pendidikan : SMA

8) Agama : Islam

9) Pekerjaan : Buruh

110

Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. hal. 17

Selama persidangan terbukti bahwa Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI, mampu bertanggung jawab secara hukum dan dalam diri Terdakwa tidak ditemukan alasan yang dapat menghapus pertangungjawaban pidana. Dengan demikian, unsur ”barangsiapa”

terpenuhi, yaitu orang yang dimaksud sebagai pelaku dalam tindak

pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan

persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut. b. Unsur dengan sengaja

Makna ”sengaja” tidak dapat lepas dari niat yang hanya ada dalam sikap batin pelaku, namun demikian sikap batin tersebut dapat diketahui dari formulasi perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Dalam KUHP tidak memberikan rumusan pengertian ”dengan sengaja”, oleh karena itu Majelis Hakm berpedoman pada pengertian ”dengan sengaja” yang terdapat dalam memori van Teolichting, bahwa kata ”dengan sengaja” atau dolus atau opzet dalam memori van Teolicting adalah mengandung makna ”willens en weten” yang artinya bahwa seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan ”dengan sengaja” harus menghendaki (willen) dari perbuatan itu, serta harus menginsafi (weten) akan akibat dari perbuatannya tersebut.111

Unsur dengan sengaja ini merupakan unsur subjektif yang berkaitan dengan keadaan batin pelaku, yang hanya dapat diketahui dari rangkaian perbuatannya. Menurut doktrin hukum pidana, untuk menetapkan suatu perbuatan dilakukan ”dengan sengaja” atau tidak sengaja dikenal dengan 3 (tiga) teori, yaitu:

111

1) Teori kehendak, adalah apabila perbuatan tersebut dikehendaki oleh pelaku, tidak dipersoalkan apakah pelaku mengetahui atau tidak bahwa perbuatan tersebut akan menimbulkan akibat yang dilarang. 2) Teori pengetahuan, yaitu bahwa perbuatan tertentu dikatakan sengaja

apabila perbuatan tersebut diketahui oleh pelaku yang jika perbuatan itu dilakukan akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana.

3) Teori gabungan, yaitu gabungan dari kedua teori tersebut di atas, suatu perbuatan dikatakan disengaja apabila perbuatan tersebut diketahui dan dikehendaki oleh pelaku.112

Menurut doktrin hukum pidana modern, kesengajaan dikenal dengan tiga gradasi, dan dipergunakan untuk menentukan hubungan kausal antara kelakuan/perbuatan dengan akibat yang dilarang hukum pidana, yaitu: 1) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), berarti terjadinya

suatu tindakan atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai perwujudan dan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan pelaku. 2) Kesengajaan sebagai keadaan pasti (kepastian) atau keharusan (opzet

bij zekerheids bewustzijn), berarti untuk mencapai maksud yang

sebenarnya Terdakwa harus melakukan perbuatan yang dilarang. 3) Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (voorwaardelijkopzet),

yang menjadi standar kesengajaan ini adalah sejauh mana pengetahuan dan kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang.113 112 Ibid. hal. 18-19 113 Ibid. hal. 19.

Berdasarkan fakta-fakta di persidangan terungkap bahwa pada tanggal 01 Agustus 2011 sekitar pukul 04.00 WIB, tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011 dan hari ke-4 lebaran Tahun 2011 di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, Terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi korban GL yang lahir pada tanggal 13 Mei 1997 dan masih berumur 14 (empat belas) tahun, bahwa Terdakwa sebagai orang tua saksi GL tahu kalau perbuatan tersebut dilarang oleh

undang-undang serta bertentangan dengan norma agama, dan

Terdakwa sebagai orang tua saksi GL yang seharusnya mendidik, melindungi saksi GL yang masih anak-anak, akan tetapi Terdakwa malah menyetubuhi saksi GL sehingga jelas Terdakwa mengetahui akan perbuatan yang dilakukan tersebut yaitu kehamilan GL. Dengan

demikian ”Unsur dengan sengaja” terpenuhi.

c. Unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak

Elemen dari unsur ini bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu elemen dari unsur ini sudah terbukti, maka unsur pidana haruslah dinyatakan terbukti.114 Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, yaitu keterangan saksi-saksi dengan barang bukti serta alat bukti surat, bahwa

114

sebelum Terdakwa melakukan persetubuhan terhadap saksi GL yang masih berumur 14 tahun, Terdakwa membujuk korban dengan mengatakan ”kalau mau berhubungan akan dibelikan baju baru dan siap bertanggung jawab dengan menikahi GL”, karena saat itu bulan puasa dan mau lebaran, sehingga kata-kata tersebut oleh saksi korban GL dipercaya, sehingga mau melakukan persetubuhan dengan terdakwa.

Dengan demikian ”unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak” terpenuhi.

d. Unsur melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain

Pengertian persetubuhan adalah pertemuan antara alat kelamin laki-laki (penis) dengan alat kelamin perempuan (vagina), yaitu alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kemaluan perempuan.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa di persidangan serta alat bukti Visum et Repertum, diketahui bahwa pada tanggal 01 Agustus 2011 sekitar pukul 04.00 WIB, tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011 di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, Terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi korban GL dengan cara awalnya Terdakwa menciumi bibir dan meremas-remas payudara korban, karena alat kelamin Terdakwa sudah tegang, lalu membuka pakaian GL hingga telanjang, selanjutnya Terdakwa melepas pakaiannya sendiri hingga telanjang, lalu Terdakwa menjilati putting

payudara GL, kemudian Terdakwa memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam kemaluan saksi korban GL, dengan posisi GL di bawah dan Terdakwa di atas sambil menggoyang-goyangkan kemaluannya hingga Terdakwa puas dan mengeluarkan sperma.

Sesuai Visum et Repertum No. Pol;R/20/X/2011 tanggal 24 Oktober 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. HERNI SETIYOWATI, dokter pada Poliklinik Urdokes Polres Banyumas, setelah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan bernama GL, umur 14 tahun, pelajar, alamat Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:

1) Mulut alat kelamin : tidak ada kelainan

2) Selaput dara : ditemukan luka robek lama total (habis) 3) Liang senggama (vagina) : tidak ada kelainan

4) Mulut leher rahim (cervik) : tidak ada kelainan

5) Rahim (corpus uteri) : TFU 3 jari di atas sympisis pubis 6) Lain-lain yang dijumpai : Keputihan, HPHT

7) Pemeriksaan laboratorium : dilakukan test urine dengan menggunakan test kehamilan instan merk One Med dengan hasil positif dengan umur kehamilan kurang lebih 15 minggu.

8. Kesimpulan : Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap perempuan tersebut di atas, ditemukan luka robek lama pada hymen (selaput dara) total (habis), yang diakibatkan oleh karena kekerasan benda tumbul dan yang bersangkutan dalam keadaan hamil.

Dengan demikian ”unsur melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” terpenuhi

e. Unsur melakukan beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan

Beberapa perbuatan dipandang sebagai perbuatan berlanjut apabila perbuatan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Harus timbul dari suatu niat, kehendak atau keputusan.

2) Perbuatan-perbuatan tersebut harus sama atau sama macamnya.

3) Antara perbuatan yang satu dengan lainnya tidak boleh terlalu lama.115

Berdasarkan fakta-fakta di persidangan terungkap bahwa Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI melakukan persetubuhan dengan GL sebanyak 9 (sembilan) kali, yaitu persetubuhan pertama dilakukan malam hari di kamar terdakwa pada tanggal 1 Agustus 2011, persetubuhan kedua tanggal 15 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, persetubuhan ketiga tanggal 19 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, persetubuhan keempat tanggal 20 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, persetubuhan kelima tanggal 22 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, persetubuhan keenam tanggal 23 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, sedangkan persetubuhan ke 7, 8, dan 9 Terdakwa melakukan persetubuhan dengan GL di Lampung. Dengan

demikian ”unsur melakukan beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan” terpenuhi.

115

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, semua unsur yang terdapat dalam Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, telah terpenuhi dan berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa yang didukung dengan barang bukti, Majelis Hakim memperoleh kesimpulan dan berkeyakinan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya, yaitu dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut..

2. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam menjatuhkan pidana pada perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT.

Seseorang dapat dijatuhi pidana adalah apabila orang itu telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP, karena pada umumnya Pasal-Pasal dalam KUHP terdiri dari unsur-unsur tindak pidana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lamintang, yaitu:

Lamintang juga menjelaskan tentang unsur subjektif dan

unsur-unsur objektif sebagai berikut:

Unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubunganya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.116

Mengenai pengertian starfbaar feit, Sudarto membagi menjadi dua pandangan:

116

a. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.

b. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan “pengertian perbuatan pidana” (criminal act) dan ”pertanggungjawaban pidana” (criminal responbility).117

Unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum dalam pandangan monistis, sebagaimana dikutip oleh Sudarto adalah sebagai berikut:

Menurut Simons unsur-unsur strafbaar feit adalah:

a. Perbuatan manusia (positif dan negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

b. Diancam dengan pidana (strafbaargesteld); c. Melawan unsur (onrechtmatig);

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar

persoon).

Van Hamel menyebutkan unsur-unsur strafbaar feit adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

b. Bersifat melawan hukum; c. Dilakukan dengan kesalahan; d. Patut dipidana

E Mezger menyebutkan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan); b. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun subjektif) ; c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;

d. Diancam dengan pidana.

J. Baumman menyebutkan unsur-unsur tindak pidana yaitu adanya perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan

Menurut Karni delik itu mengandung suatu perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungkan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengemukakan definisi pendek, yaitu: Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

Jelas sekali dilihat dari definisi-definisi di atas tidak adanya pemisahan antara

criminal act (perbuatan pidana) dan criminal responsibility

(pertanggungjawaban pidana).118

117

Sudarto. Op. Cit, 1991, hal..24.

118

Beberapa sarjana yang mempunyai pandangan dualistis mengemukakan unsur-unsur tindak pidana, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut:

Menurut H.B Vos unsur-unsur Strafbaar feit yaitu: a. Kelakuan manusia, dan

b. Diancam pidana dalam undang-undang Menurut W.P.J Pompe unsur-unsur yaitu: a. Perbuatan

b. Bersifat melawan hukum

c. Dilakukan dengan kesalahan, dan d. Diancam pidana.

Menurut Moeljatno untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: a. Perbuatan (manusia);

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); c. Bersifat melawan hukum (syarat materil).119

Menurut Sudarto sendiri yaitu kedua pendirian tersebut di atas tidak ada perbedaan yang prinsipiil, dengan alasan:

... sebab jika seseorang menganut pendirian salah satu diantaranya hendaknya memegang pendirian tersebut dengan konsukuen, agar tidak ada kekacauan pengertian. Yang penting adalah bahwa kita harus menyadari bahwa untuk pengenaan pidana itu diperlukan syarat-syarat tertentu, dan semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.120

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan serta keadaan diri Terdakwa di dalam atau selama mengikuti persidangan, membuktikan bahwa pada diri Terdakwa tidak didapati hal-hal yang dapat melepaskannya dari pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pemaaf maupun sebagai alasan pembenar sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 44 (pelaku yang sakit/terganggu jiwanya), Pasal 48 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa), Pasal 49 ayat (1) KUHPidana

119

Ibid hal.. 25-26.

120

(perbuatan yang dilakukan untuk membela diri), Pasal 50 KUHPidana (melaksankan peraturan perundang-undangan), dan Pasal 51 ayat (1) KUHPidana (melakukan perintah jabatan yang syah), sehingga oleh karena itu, terhadap diri Terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana setimpal dengan kesalahannya.

Berdasarkan Yurisprudensi MA No. 39K/Kr/1969, unsur mutlak suatu tindak pidana adalah:

a. Memenuhi rumusan undang-undang

b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) c. Kesalahan

1) mampu bertanggung jawab; 2) tidak ada alasan pemaaf.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan tindak pidana apabila perbuatan itu memenuhi syarat-syarat pemidanaan, yaitu:

a. Memenuhi rumusan undang-undang;

b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)

c. Terhadap pelakunya atau orangnya harus ada unsur kesalahan: d. Orang yang melakukan tindakan mampu bertanggungjawab e. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dijelaskan lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana, yaitu sebagai berikut:

a. Memenuhi rumusan undang-undang

Mengenai penentuan perbuatan pidana yang memenuhi rumusan undang-undang, Indonesia menganut azas legalitas yang terdapat Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merumuskan:

Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

Roeslan Saleh memberikan komentarnya mengenai ketentuan Pasal

1 ayat (1) KUHP tersebut sebagai berikut:

Hal ini sesuai dengan pernyataan pembentuk undang-undang yang menyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana, sebelum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana maka perbuatan tersebut belum dapat dikatakan perbuatan pidana. Hal tersebut memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.121

Dengan demikian bahwa dasar pokok dalam menjatuhkan pidana adalah norma yang tertulis. Azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, lebih dikenal dalam bahasa latin yaitu

nullum delictum poena sine previa lege poenela (tidak ada pidana tanpa

ada peraturan lebih dulu).

Azas ini bertujuan untuk terjaminya kepastian hukum di samping latar belakang bahwa tentu saja azas ini mencagah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyatnya. Azas ini mengandung tiga pengertian:

1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu belum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan

analogi (kiyas).

3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.122

Bahwa perbuatan pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut.” dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor

121

Roeslan Saleh. 1980. Op. Cit. hal. 1.

122

03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. dilakukan atau terjadi setelah ditetapkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

b. Bersifat melawan hukum

Unsur pemidanaan yang kedua adalah bersifat melawan hukum,

Roeslan Saleh mengatakan bahwa:

Bersifat melawan hukum dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah “Onrechtmatigheid” atau bisa dinamakan juga “Wederrechtelijkheid”. Mengenai unsur sifat melawan hukum, dengan jalan menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana maka pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum, atau untuk selanjutnya dipandang seperti demikian123

Menurut Pompe, dikutip oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim

Barkatullah:

Melawan hukum merupakan unsur mutlak perbuatan pidana bilamana melawan hukum secara tegas disebutkan dalam ketentuan pidana bersangkutan. Sesungguhnya demikian, walaupun melawan hukum bukan unsur mutlak perbuatan pidana, namun adanya hal-hal yang menghapuskan unsur melawan hukum akan menghapuskan pula adanya pidana.124

Menurut pendapat para ahli, sebagaimana dikutip oleh Teguh

Prasetyo, mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari:

1) Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya.

2) Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain.

3) Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.

4) Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang. 123 Ibid hal. 1. 124 Ibid hal. 5.

5) Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan..

6) Lamintang: perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata

wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi

pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.125

Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa.

Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Penentuan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur: 1) Perbuatan tersebut melawan hukum;

2) Harus ada kesalahan pada pelaku; 3) Harus ada kerugian.126

Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau

125

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Op. Cit. hal. 31-32.

126

asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.

Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materiil, sebagaimana dijelaskan oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, sebagai berikut:

1) Ajaran sifat melawan hukum formal

Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. 2) Ajaran sifat melawan hukum materiil

Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.127

Ajaran sifat melawan hukum materiil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Menurut D. Schaffmeister, et.al., terjemahan J. E. Sahetapy, pengertian melawan hukum itu ada 4 kelompok yaitu:

127

1) Sifat melawan hukum secara umum

Semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, jadi tidak perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan.

2) Sifat melawan hukum secara khusus

Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus