• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya sering tertulis di media massa untuk menggambarkan perbuatan keji

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. lainnya sering tertulis di media massa untuk menggambarkan perbuatan keji"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Diperkosa, disetubuhi, direnggut kehormatannya, digagahi atau kata-kata lainnya sering tertulis di media massa untuk menggambarkan perbuatan keji berbentuk pemaksaan hubungan seksual. KUHP telah mengkualifikasikan perbuatan pemaksaan hubungan seksual ini sebagai kejahatan dengan sebutan sebagai pemerkosaan, dan kejahatan ini termuat dalam Buku II Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.

Istilah yang digunakan dalam KUHP adalah “Kejahatan Terhadap Kesusilaan”, tidak menggunakan kejahatan seksual (sexual violence) yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki maupun perempuan. Penggunaan istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak dalam menempatkan Pasal-Pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya, agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan (birahi) bukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang. Kualifikasi pemerkosaan menurut Pasal 285 KUHP adalah:

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal 291 (2) KUHP selanjutnya mengatur tentang ancaman hukuman pidana terhadap tindak pidana berdasarkan dalam Pasal 285 yang berakibat kematian, yaitu:

Jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 285, 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2)

Berdasarkan ketentuan Pasal 291 ayat (2) KUHP tersebut, maka ancaman hukumannya ditambah menjadi paling lama lima belas tahun jika pemerkosaan tersebut menyebabkan korbannya mati. Dengan demikian pemerkosaan mensyaratkan:

1. Dilakukan terhadap wanita, artinya pelakunya harus laki-laki, laki-laki yang bisa memperkosa wanita dan tidak sebaliknya.

Yang diancam hukuman dalam Pasal ini adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia. Pembuat Undang-undang (KUHP) ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata karena pemaksaan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi justru karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk atau yang merugikan. Bukanlah seorang perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak oleh karena itu.1

2. Adanya persetubuhan

Persetubuhan adalah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan mani, sesuai dengan Arrest HR 5 Februari 1912.2 Persetubuhan mana harus dilakukan di luar perkawinan, jadi tidak

dimungkinkan adanya perkosaan terhadap istri oleh suami. Pasal tentang pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) menerangkan bentuk pemerkosaan terbatas persetubuhan atau penetrasi penis ke dalam vagina perempuan secara paksa, belum termasuk benda-benda lain selain penis yang dimasukkan secara paksa ke dalam vagina, atau bagian tubuh wanita lainnya serta perlakuan menggesek-gesekkan penis ke bibir kelamin perempuan di luar kehendak perempuan.3

3. Persetubuhan dilakukan dengan memaksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Kejahatan pemerkosaan di atas mensyaratkan adanya pemaksaan dari pelaku terhadap korbannya, pemaksaan mana dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, artinya jika persetubuhan tersebut atas persetujuan dari si korban (suka sama suka) bukanlah suatu perkosaan.4

1

R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politea. Bogor. hal. 210

2

Ibid. hal. 209

3

Guse Prayudi. 2011. Kejahatan Persetubuhan Menurut Hukum Positif Indonesia. diakses melalui http://www.scribd.com/doc/34683241/Kejahatan-Persetubuhan-Menurut-Hukum-Positif-Indonesia. pada tanggal 1 September 2012.

4

(3)

KUHP juga mengenal kejahatan persetubuhan yang tidak mensyaratkan adanya pemaksaan dari pelaku terhadap korbannya, yaitu dalam bentuk:

1. Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun (vide Pasal 286 KUHP)

Syarat mutlaknya adalah keadaan korban yang pingsan atau tidak berdaya ini bukan karena perbuatan pelaku, misalnya korban dalam keadaan tidak berdaya karena ulahnya sendiri. Contoh: karena minum minuman keras, dan pelaku kemudian menyetubuhi korban tersebut. Jikalau korban pingsan karena perbuatan pelaku maka masuk kejahatan pemerkosaan (Pasal 285 KUHP), karena menurut Pasal 89 KUHP, membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan (vide Pasal 89 KUHP). 2. Persetubuhan terhadap wanita yang umurnya belum 15 (lima belas) tahun,

diancam dengan pidana paling lama 9 (sembilan) tahun (Pasal 287 ayat (1) KUHP)

a. Jika persetubuhan mengakibatkan wanita mengalami luka berat dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun (Pasal 291 ayat (1) KUHP)

Luka berat adalah yang luka terkualifikasikan dalam Pasal 90 KUHP yakni jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan. Kehilangan salah satu panca indera, mendapat cacat berat, menderita sakit lumpuh. Terganggunya daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih dan gugur atau matinya kandungan seorang wanita.

b. Jika persetubuhan mengakibatkan wanitanya mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun (Pasal 291 ayat (2) KUHP).5 Persetubuhan terhadap wanita pingsan atau tidak berdaya dan terhadap wanita belum cukup umur di atas disyaratkan dilakukan “di luar perkawinan” artinya pelaku dan korban tidak terikat dalam suatu perkawinan, pelaku dan korban bukanlah suami istri.

Berlakunya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka persetubuhan terhadap anak yakni seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun (Pasal 1 angka 1) mendapat pengaturan lebih khusus, yakni Pasal 81 yang merumuskan:

5

(4)

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Berdasarkan ketentuan Pasal 81 tersebut di atas, Guse Prayudi

memberikan analisisnya bahwa orang yang sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya disamakan dengan orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau memaksa anak melakukan persetubuhan. Pendapat selengkapnya adalah sebagai berikut:

Berdasarkan Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 terdapat kualifikasi “orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain “disamakan” dengan “orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan”. Dengan demikian, menurut UU No. 23 Tahun 2002, apabila korban adalah anak di bawah umur maka persetubuhan yang dilakukan dengan cara tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk, dikonstruksikan sama dengan persetubuhan yang dilakukan dengan memaksa.

Apabila perbuatan pidana tersebut berlangsung secara teru-menerus atau berlanjut maka termasuk dalam klasifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP yang merumuskan bahwa:

Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

(5)

Dalam memori penjelasan tentang pembentukan Pasal 64 KUHP dimuat antara lain:

1. Bahwa beberapa perbuatan itu harus merupakan pelaksanaan dari suatu keputusan yang terlarang, bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi dari sekumpulan tindak pidana yang sejenis.

2. Bahwa suatu pencurian dan suatu pembunuhan atau suatu pencurian dan suatu penganiayaan itu secara bersama-sama tidak akan pernah dapat menghasilkan suatu perbuatan berlanjut, oleh karena:

a. Untuk melakukan kejahatan-kejahatan itu, pelakunya harus membuat lebih dari satu keputusan.

b. Untuk membuat keputusan-keputusan seperti itu dan untuk melaksanakannya, pelakunya pasti memerlukan waktu yang berbeda.6

Berdasarkan memori penjelasan tersebut, Guse Prayudi memberikan penjelasan bahwa:

Secara teoritis dikatakan ada perbuatan berlanjut apabila ada seseorang melakukan beberapa perbuatan, perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran dan antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut dimana menurut Memorie van Toelichting “ada hubungan sedemikian rupa”, kriterianya adalah:

1. Harus ada satu keputusan kehendak 2. Masing-masing perbuatan harus sejenis

3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.7 Hal pertama yang harus dibuktikan adalah adanya beberapa perbuatan berupa kejahatan atau pelanggaran, dimana hukum mensyaratkan perbuatan-perbuatan tersebut harus sejenis, seperti yang dinyatakan oleh R. Soesilo:

Beberapa perbuatan yang satu sama lain ada hubungannya itu supaya dapat dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan menurut pengetahuan dan praktek harus memenuhi syarat:

1. Harus timbul dari satu niat, atau kehendak atau keputusan

Misalnya seorang tukang berniat mempunyai (mencuri) radio, tetapi tidak ada kesempatan untuk mencuri pesawat radio yang komplit, ia hanya berkesempatan hari ini mencuri pengeras suara, lain minggu lagi mencuri kawat dan seterusnya.

6

Guse Prayudi. 2012. Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling) (Suatu Bentuk Khusus Tindak Pidana). Diakses melalui. http://www.scribd.com/doc/34963208/Perbuatan-Berlanjut-Voortgezette-Handel-Ing pada tanggal 3 September 2012

7

(6)

2. Perbuatan-perbuatannya itu harus sama macamnya

Misalnya pencurian dengan pencurian ternasuk pula segala macam pencurian dari yang teringan sampai yang terberat, penggelapan dengan penggelapan mulai dari yang teringan sampai yang terberat, penganiayaan dengan penganiayaan meliputi semua bentuk penganiayaan, dan penganiayaan ringan sampai penganiayaan berat. 3. Waktu antaranya tidak boleh terlalu lama

Penyelesaiannya mungkin makan tempo sampai tahunan, akan tetapi perbuatan berulang-ulang untuk menyelesaikan itu antaranya tidak boleh terlalu lama.8

Beberapa tindak pidana yang sejenis bisa disebut sebagai perbuatan yang berlanjut apabila dipenuhi syarat lanjutannya, yakni berasal dari satu keputusan kehendak dan dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama. Guse Prayudi dalam hal ini mengatakan bahwa:

Dalam Arrest HR 11 Juni 1894, dinyatakan bahwa untuk perbuatan berlanjut tidak saja diperlukan adanya perbuatan-perbuatan yang sama jenis yang telah dilakukan, di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut harus mewujudkan keputusan perbuatan terlarang yang sama. Satu keputusan kehendak merupakan pengertian yuridis yang dikonstruksikan pelaku melakukan beberapa tindak pidana tersebut berasal dari satu niat, yakni tertuju pada satu objek tindak pidana tersebut. Mengenai syarat “suatu keputusan kehendak” dapat diartikan secara umum dan lebih luas, yaitu tidak berarti harus ada kehendak untuk tiap-tiap perbuatan. Berdasarkan pengetian ini, maka tidak perlu perbuatan-perbuatan ini sejenis, asal perbuatan itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan satu tujuan, misalnya untuk melampiaskan balas dendamnya kepada B, maka A melakukan serangkaian perbuatan-perbuatan berupa meludahi, merobek bajunya, memukul dan akhirnya membunuh. 9

Megenai unsur adanya satu niat ini, dalam praktek cukup sulit membuktikannya, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Guse Prayudi lebih lanjut, bahwa:

Dalam tataran praktek, untuk membuktikan adanya satu niat ini cukup sulit, sebagai contoh dalam Putusan MA No. 162.K./KR/1962 tanggal 5 Maret 1963 dinyatakan bahwa penghinaan-penghinaan ringan yang dilakukan terhadap lima orang pada hari-hari yang berlainan tidak mungkin berdasarkan satu keputusan kehendak, maka tidak dapat dipandang lagi

8

R. Soesilo. 1995. Op. Cit. hal. 81-82

9

(7)

satu perbuatan dan tidak dapat atas kesemua perkara diberikan satu keputusan. Dengan demikian yang menjadikan pegangan untuk menentukan adanya satu keputusan kehendak adalah perbuatan tersebut ditujukan pada satu objek tindak pidana (object delict).10

Syarat selanjutnya adalah “dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak lama”. Guse Prayudi berpendapat bahwa:

Pengertian “waktu yang tidak lama” itu terlihat sangat mudah dibaca, akan tetapi sebenarnya sulit dalam penerapannya, oleh karena tidak ada aturan lebih lanjut mengenai batasan “waktu yang tidak lama”, apakah hal ini ukurannya hari, bulan atau tahun, hal ini tidak jelas diatur. Sebagai bahan pegangan, dalam Arrest HR 26 Juni 1905 dinyatakan bahwa adanya kesamaan jenis dari perbuatan-perbuatan tidaklah cukup. Apabila dua perbuatan terpisah oleh suatu waktu perantara selama 4 hari dan tidak terbukti, bahwa garis perbuatan tersangka pada perbuatan yang pertama adalah sama dengan perbuatan yang kedua, maka tidak ada perbuatan berlanjut. Contoh kasus yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan berlanjut adalah sebagai berikut:

Seorang laki-laki A hendak berzina dengan perempuan B yang telah bersuami, A melakukan maksudnya itu dengan beberapa kali berzina dengan perempuan itu dalam selang waktu yang tidak terlalu lama.

Dalam hal-hal tersebut, maka point yang menjadi pegangan untuk menyebut adanya suatu perbuatan berlanjut adalah:

Terdakwa melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran) yang sejenis, berasal dari satu keputusan kehendak dan dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama.11

Salah satu kasus perbuatan pidana berlanjut yang sering terjadi adalah membujuk anak melakukan persetubuhan. Tindak pidana ini juga dialami oleh korban GL yang berumur 14 tahun. GL menjadi korban tindak pidana dengan sengaja membujuk melakukan persetubuhan secara berlanjut yang dilakukan oleh MUHAJIR RASYID bin ROSIDI. Atas perbuatan tersebut, MUHAJIR RASYID bin ROSIDI didakwa melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut dan melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

10

Ibid. tanpa halaman

11

(8)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penerapan unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT ?

2. Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam menjatuhkan pidana pada perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Penerapan unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT.

2. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam menjatuhkan pidana pada perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan Hukum sebagai sumbangan pikiran dalam rangka pembinaan hukum nasional, khususnya Hukum Pidana.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi pemerintah serta instansi-instansi hukum yang terkait, dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak korban tindak pidana perkosaan atau persetubuhan.

(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana dimaksudkan sebagai terjemahan “Strafbaarfeit”

yang berasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Belanda yang kemudian diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi pada masa penjajahan Belanda, yang masih digunakan di Indonesia sampai saat ini dengan beberapa perubahan. Mengenai istilah ini, para sarjana menggunakan istilah yang berlainan. Moeljatno menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah perbuatan pidana dan merumuskan sebagai berikut:

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Di mana larangan tersebut ditujukan pada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena itu keduanya tidak dapat dipisahkan.12

Apabila seseorang melakukan perbuatan yang dilarang maka orang tersebut dapat diancam dengan pidana. Menurut Moeljatno:

Untuk menyatakan hubungan yang erat itu ia menggunakan istilah “perbuatan pidana”, dan istilah ini mempunyai pengertian yang abstrak dan menunjuk pada dua konflik yaitu adanya kejadian atau perbuatan tertentu dan adanya orang yang melakukan perbuatan tersebut.13

12

Moeljatno. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara. Jakarta hal. 54.

13

(10)

Moeljatno lebih lanjut mengatakan bahwa:

Apabila strafbaar feit menggunakan istilah peristiwa pidana atau tindak pidana adalah kurang tepat, sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkret yang hanya menunjuk kepada kejadian tertentu saja sedangkan perkataan tindak adalah menunjukan kepada kelakuan atau sikap jasmani seseorang, jadi menyatakan keadaan yang konkret pula.14

Pengertian strafbaar feit dikemukakan oleh Simons dan Van Hamel, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut:

Menurut Simons strafbaar feit diartikan sebagai berikut, strafbaar feit

adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Berbeda pula pendapat Van Hamel yang mengartikan strafbaar feit sebagai berikut,

strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardich) dan dilakukan dengan kesalahan.15

Jika melihat pengertian-pengertian ini maka terdapat beberapa pokok mengenai pengertian tindak pidana, yaitu:

a. Bahwa feit dalam strafbaar feit bearti handeling (kelakuan atau tingkah laku);

b. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.16

Utrecht menerjemahkan strafbaar feit dengan peristiwa pidana, dengan penjelasan sebagai berikut:

Strafbaar feit diterjemahkan sebagai peristiwa pidana, karena istilah itu meliputi suatu perbuatan (handeling atau doen positif) maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melainkan itu). Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Utrecht peristiwa pidana sebagai suatu peristiwa hukum yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum17.

14

Ibid . hal. 55

15

Sudarto. 1991. Hukum Pidana Jilid I A-B. Fakultas Hukum Unsoed. Purwokerto. hal..5.

16

Moeljatno. 1987. Op. Cit, hal..56.

17

(11)

Sudarto menggunakan istilah strafbaar feit dengan istilah tindak pidana, alasanya:

Pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadikan soal asal diketahui apa yang dimaksud dan dalam hal yang penting adalah isi dari pengertian itu, namun lebih condong untuk memakai tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang, istilah ini sudah dapat diterima masyarakat, jadi mempunyai sosilogishie gelding.18

2. Unsur-unsur tindak pidana

Seseorang dapat dijatuhi pidana adalah apabila orang itu telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP, karena pada umumnya Pasal-Pasal dalam KUHP terdiri dari unsur-unsur tindak pidana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lamintang, yaitu:

Sungguhpun demikian setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.19

Lamintang juga menjelaskan tentang unsur subjektif dan unsur-unsur objektif sebagai berikut:

Unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubunganya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.20

Mengenai pengertian starfbaar feit, Sudarto membagi menjadi dua pandangan:

18

Sudarto. 1991. Op. Cit, hal..35.

19

P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. hal. 193.

20

(12)

a. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.

b. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan “pengertian perbuatan pidana” (criminal act) dan ”pertanggungjawaban pidana” (criminal responbility).21

Unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum dalam pandangan monistis, sebagaimana dikutip oleh Sudarto adalah sebagai berikut:

Menurut Simons unsur-unsur strafbaar feit adalah:

a. Perbuatan manusia (positif dan negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

b. Diancam dengan pidana (strafbaargesteld); c. Melawan unsur (onrechtmatig);

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar persoon).

Van Hamel menyebutkan unsur-unsur strafbaar feit adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

b. Bersifat melawan hukum; c. Dilakukan dengan kesalahan; d. Patut dipidana

E Mezger menyebutkan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan); b. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun subjektif) ; c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;

d. Diancam dengan pidana.

J. Baumman menyebutkan unsur-unsur tindak pidana yaitu adanya perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan

Menurut Karni delik itu mengandung suatu perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungkan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengemukakan definisi pendek, yaitu: Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

Jelas sekali dilihat dari definisi-definisi di atas tidak adanya pemisahan antara

criminal act (perbuatan pidana) dan criminal responsibility

(pertanggungjawaban pidana).22

21

Sudarto. 1991. Op. Cit, hal..24.

22

(13)

Beberapa sarjana yang mempunyai pandangan dualistis mengemukakan unsur-unsur tindak pidana, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut:

Menurut H.B Vos unsur-unsur Strafbaar feit yaitu: a. Kelakuan manusia, dan

b. Diancam pidana dalam undang-undang Menurut W.P.J Pompe unsur-unsur yaitu: a. Perbuatan

b. Bersifat melawan hukum

c. Dilakukan dengan kesalahan, dan d. Diancam pidana.

Menurut Moeljatno untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: a. Perbuatan (manusia);

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); c. Bersifat melawan hukum (syarat materil).23

Menurut Sudarto sendiri yaitu kedua pendirian tersebut di atas tidak ada perbedaan yang prinsipiil, dengan alasan:

... sebab jika seseorang menganut pendirian salah satu diantaranya hendaknya memegang pendirian tersebut dengan konsukuen, agar tidak ada kekacauan pengertian. Yang penting adalah bahwa kita harus menyadari bahwa untuk pengenaan pidana itu diperlukan syarat-syarat tertentu, dan semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.24

Berdasarkan Yurisprudensi MA No. 39K/Kr/1969, unsur mutlak suatu tindak pidana adalah:

a. Memenuhi rumusan undang-undang

b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) c. Kesalahan

1) mampu bertanggung jawab; 2) tidak ada alasan pemaaf.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan tindak pidana apabila perbuatan itu memenuhi syarat-syarat pemidanaan, yaitu:

23

Ibid hal.. 25-26.

24

(14)

a. Memenuhi rumusan undang-undang;

b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)

c. Terhadap pelakunya atau orangnya harus ada unsur kesalahan: d. Orang yang melakukan tindakan mampu bertanggungjawab e. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dijelaskan lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana, yaitu sebagai berikut:

a. Memenuhi rumusan undang-undang

Mengenai penentuan perbuatan pidana yang memenuhi rumusan undang-undang di Indonesia menganut azas legalitas yang terdapat Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merumuskan:

Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

Roeslan Saleh memberikan komentarnya mengenai ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut sebagai berikut:

Hal ini sesuai dengan pernyataan pembentuk undang-undang yang menyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana, sebelum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana maka perbuatan tersebut belum dapat dikatakan perbuatan pidana. Hal tersebut memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.25

Dengan demikian bahwa dasar pokok dalam menjatuhkan pidana adalah norma yang tertulis. Azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, lebih dikenal dalam bahasa latin yaitu

nullum delictum poena sine previa lege poenela (tidak ada pidana tanpa ada peraturan lebih dulu).

25

Roeslan Saleh. 1980. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasanya. Aksara Baru. Jakarta hal. 1.

(15)

Azas ini bertujuan untuk terjaminya kepastian hukum di samping latar belakang bahwa tentu saja azas ini mencagah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyatnya. Azas ini mengandung tiga pengertian:

1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu belum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan

analogi (kiyas).

3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.26

b. Bersifat melawan hukum

Unsur pemidanaan yang kedua adalah bersifat melawan hukum,

Roeslan Saleh mengatakan bahwa:

Bersifat melawan hukum dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah “Onrechtmatigheid” atau bisa dinamakan juga “Wederrechtelijkheid”. Mengenai unsur sifat melawan hukum, dengan jalan menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana maka pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum, atau untuk selanjutnya dipandang seperti demikian27

Menurut Pompe, dikutip oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah:

Melawan hukum merupakan unsur mutlak perbuatan pidana bilamana melawan hukum secara tegas disebutkan dalam ketentuan pidana bersangkutan. Sesungguhnya demikian, walaupun melawan hukum bukan unsur mutlak perbuatan pidana, namun adanya hal-hal yang menghapuskan unsur melawan hukum akan menghapuskan pula adanya pidana.28

Menurut pendapat para ahli, sebagaimana dikutip oleh Teguh Prasetyo, mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari: 26 Ibid hal.. 40. 27 Ibid hal. 1. 28 Ibid hal. 5.

(16)

1) Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya.

2) Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain.

3) Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.

4) Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang.

5) Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan..

6) Lamintang: perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata

wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.29

Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa.

Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Penentuan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur:

29

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. hal. 31-32.

(17)

1) Perbuatan tersebut melawan hukum; 2) Harus ada kesalahan pada pelaku; 3) Harus ada kerugian.30

Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.

Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materiil, sebagaimana dijelaskan oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, sebagai berikut:

1) Ajaran sifat melawan hukum formal

Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. 2) Ajaran sifat melawan hukum materiil

Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.31

30

Theodorus M. Tuanakotta. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi.Salemba Empat. Jakarta. hal. 73.

31

(18)

Ajaran sifat melawan hukum materiil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Menurut D. Schaffmeister, et.al., terjemahan J. E. Sahetapy,

pengertian melawan hukum itu ada 4 kelompok yaitu: 1) Sifat melawan hukum secara umum

Semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, jadi tidak perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan.

2) Sifat melawan hukum secara khusus

Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan putusan bebas.

3) Sifat melawan hukum secara materil

Bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.

4) Sifat melawan hukum secara formil.

Seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.32

Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal dengan pandangan yang materiil, yaitu:

1) Mengakui adanya pengecualiaan/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai kurang sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP, mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa (noodweer);

32

D. Schaffmeister, et.al., 2003. Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy. Cet. Kedua. Liberty. Yogyakarta. hal. 39.

(19)

2) Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.33

Menurut Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu:

Sifat melawan hukum yang formal atau formele

wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materiil atau materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Sebaliknya, melawan hukum materiil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materiil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan.34

c. Kesalahan

Unsur pemidanaan yang ketiga adalah kesalahan yang terdiri dari kesengajaan (dolus dan culpa) dan kemampuan bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Sudarto bahwa:

Untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, maka tidak cukup apabila seseorang telah melakukan tindak pidana belaka. Di samping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.35

33

Moeljatno. 1987. Op. Cit. hal. 134.

34

Bambang Poernomo. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. hal. 115.

35

(20)

Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sudarto, bahwa:

Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Azas kesalahan (culpabilitas) menyangkut orangnya atau pelakunya. Jadi untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pembuat tindak pidana. Dalam hal ini berlaku azas “nulla poena sine culpa” atau tidak ada pidana tanpa kesalahan36 Menurut Sudarto, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.37 Kemudian Sudarto membagi kesalahan menjadi tiga arti, yaitu:

1) Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungan jawab dalam unsur pidana” di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatanya. 2) Kesalahan dalam bentuk kesalahan berupa:

a) Kesengajaan (dolus). b) Kealpaan (culpa).

3) Kesalahan dala arti sempit yaitu kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan pada kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. 38 36 Ibid hal.39. 37 Ibid hal..41. 38 Ibid hal..45.

(21)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa dalam hal kesalahan berlaku apa yang disebut atas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schhuld atau geen straf zonder schuld) atau

nulla poena sine culpa (“culpa” di sini dalam arti luas meliputi kesengajaan). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur ialah:

1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat

(Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit): artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal

2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa): ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.

3) Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Kalau ketiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa di pidana.39

Unsur mampu bertanggung jawab dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Mampu bertanggung jawab

Sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan perbuatannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena perbuatannya itu. Dengan kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku.

Berkaitan dengan masalah bertanggung jawab Simons, sebagaimana dikutip oleh Sudarto, menyatakan pendapatnya sebagai berikut:

39

(22)

Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum maupun dari orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila:

a) Ia mampu untuk untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatanya bertentangan dengan hukum;

b) Ia dapat menetukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.40

Menurut Djoko Prakoso, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Djoko Prakoso mengatakan:

Orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.41

Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu:

a) Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum.jadi harus ada unsur Obejektif, dan

b) Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada unsur subjektif.42

Telah dimaklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana, maka setidaknya, menurut J.E. Sahetapy ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan, yakni:

40

Ibid hal.39.

41

Djoko Prakoso. 1987. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta. hal.75

42

Martiman Prodjohamidjojo. 1997. Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. hal. 31

(23)

a) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainya.

b) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.43

Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan diyakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat dilihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan pidana, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Andi Hamzah bahwa:

Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat.44

Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk diadakan pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

43

J.E. Sahetapy. 1987. Victimilogy Sebuah Bunga Rampai.Pustaka sinar Harapan. Jakarta. hal.41-42

44

Andi Hamzah. 1986. Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana.

(24)

a) Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum

b) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di periksa.

c) Yang ditentukanya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.45

Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci ditegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan beberapa pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel, dikutip oleh Andi Hamzah, yang mengatakan, orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat:

a) Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan

b) Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat

c) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.46

Sementara itu secara lebih tegas Simons, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, mengatakan bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya. Untuk adanya kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu:

a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan

tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk

45

R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor. hal. 60-61

46

(25)

membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.47

Mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab dengan alasan pelaku pidana masih muda usia, Roeslan Saleh mengatakan bahwa:

Ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih muda usia tidak bisa di dasarkan pada Pasal 44 KUHP. Yang disebutkan tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan penghapusan pidana yang umum yang dapat di salurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal-Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51. Jadi, bagi Jonkers orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya.48

Roeslan Saleh lebih lanjut mengatakan bahwa:

Mengenai anak kecil yang umurnya masih relative muda, dalam keadaan-keadaan yang tertentu untuk dianggap tidak mampu bertanggungjawab haruslah didasarkan pada Pasal 44 KUHP, jadi sama dengan orang dewasa. Tidak mampu bertanggungjawab karena masih muda saja, hal itu tidak di benarkan. Dengan demikian, maka anak yang melakukan perbuatan pidana, tidak mempunyai kesalahan karena dia sesungguhnya belum mengerti atau belum menginsyafi makna perbuatan yang dilakukan. Anak memiliki ciri dan karakteristik kejiwaan yang khusus, yakni belum memiliki fungsi batin yang sempurna. Maka, dia tidak di idana karena tidak mempunyai kesengajaan atau kealpaan. sebab, satu unsur kesalahan tidak ada padanya, karenanya dia dipandang tidak bersalah, sesuai dengan asas tidak dipidana tidak ada kesalahan, maka anak belum cukup umur ini pun tidak dipidana.49

47

Ibid. hlm 83

48

Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dalam Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta. hal. 83

49

(26)

2) Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar

Alasan pembenar atau alasan pemaaf ialah sesuatu hal yang dapat dianggap sebagai sesuatu alasan yang dianggap dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, sehingga hal itu bukan suatu peristiwa pidana meskipun perbuatan itu sesuai dengan yang dilarang oleh undang-undang.

Dalam ketentuan Umum KUHPidana alasan penghapus pidana ini dirumuskan dalam buku kesatu, yaitu terdapat dalam Bab III Buku Kesatu KUHPidana yang terdiri dari Pasal 44, Pasal 48 sampai dengan Pasal 51. Sedangkan Pasal Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 KUHPidana telah dicabut berdasarkan Pasal 67 Undang-undang No. 3Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

a) Pasal 44 (pelaku yang sakit/terganggu jiwanya)

Pasal 44 KUHPidana merumuskan:

1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum. 2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan

kepadanya karena kurang sempurna akalanya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di perikasa.

3. Yang ditentukan dalam ayat yang di atas ini hanya berlaku bagi mahkamah Agung, pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Dalam Pasal 44 KUHPidana ini tampaknya pembentuk undang-undang membuat peraturan khusus bagi pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya, karena sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan.

(27)

Berdasarkan ayat (3) dari Pasal ini kewenangan untuk tidak menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa ini hanya pada hakim (kewenangan ini tidak ada pada polisi maupun jaksa penuntut umum). Akan tetapi dalam menentukan apakah pelaku menderita sakit jiwa atau sakit berubah akal, hakim harus menggunakan saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan (psikiatri). Psikiatrilah yang menetukan apakah pelaku memang menderita sakit jiwa yang memang mempunyai hubungan kausal/keterkaitan dengan apa yang telah dilakukanya itu. Meskipun demikian hakim dalam memberikan putusanya tidaklah terkait dengan keterangan yang diberikan oleh psikiatri, hakim dapat menerima ataupun menolak keterangan yang diberikan psikiatri tersebut. Penerimaan maupun penolakan hakim ini tentunya harus di uji berdasarkan kapatutan atau kepantasan.50

b) Pasal 48 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa)

Pasal 48 KUHPidana merumuskan:

Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan, tidak boleh dihukum.

Berdasarkan rumusan Pasal 48 KUHPidana tersebut di atas,

Utrecht memberikan pendapatnya bahwa:

Pasal 48 KUHPidana ini tidak merumuskan apa yang di maksudkan dengan “paksaan” tersebut. Akan tetapi menurut memorie van toelechting, maka yang di maksud dengan paksan itu adalah “ee kracht, een drang, een dwang waaraan men geen weerstand kan bieden” (suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan tidak dapat ditahan).51

Dengan demikian tidak setiap paksaan itu dapat dijadikan alasan penghapus pidana, akan tetapi hanya paksaan yang benar-benar tidak dapat dilawan atau dielakkan lagi oleh pelaku, sehingga oleh sebab adanya paksaan itulah ia melakuakan tindak

50

R. Soesilo. 1995. Op.cit, hal 61

51

(28)

pidana. Paksaan mana biasa dikenal dengan istilah paksaan yang absolute, misalnya seseorang yang di paksa untuk menandatangani suatu pernyataan yang tidak benar, dalam keadaan tangannya yang di pegang oleh orang lain yang lebih kuat.

c) Pasal 49 ayat (1) KUHPidana (perbuatan yang dilakukan untuk membela diri)

Pasal 49 ayat (1) KUHPidana merumuskan:

Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa di lakakuanya untuk mempertahankan dirinya, atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.

Berdasarkan rumusan Pasal 49 ayat (1) tersebut, maka penghapusan pidana dapat dijadikan alasan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela/tubuh, kehormatan atau harta benda sendiri atau pun orang lain.

2. Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada saat itu juga. Dengan kata lain perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan mengacam, bukan perbuatan yang di ujukan untuk mempersiapkan sebelum adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap serangan yang telah berakhir.

3. Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa atau dalam kedaan darurat; tidak ada pilihan lain (perlawanan itu memang suatu keharusan) untuk menghindari dari serangan yang melawan hukum terebut. Dengan kata lain perbuatan pelaku dalam hal ini di perlukan adalah untuk membela hak terhadap keadilan, namun harus pula dilakukan secara proporsional/seimbang. Dengan demikian tidaklah dapat di benarkan untuk melakukan perlawanan dengan menggunakan pistol terhadap serangan melawan hukum yang hanya menggunakan tangan kosong.52

52

(29)

Pasal 49 ayat (2) KUHPidana (pembelaan diri yang melampaui batas) merumuskan:

Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbutan dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.

Berkenaan dengan tindakan pembelaan yang melampaui batas, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP,

R. Soesilo memberikan penjelasan bahwa:

Dalam hal ini hakimlah yang berperan dalam menentukan apakah benar terdapat hubungan kausal antara suatu peristiwa yang mengakibatkan kegoncangan jiwa pelaku sehingga ia melakukan suatu pembelaan yang melampaui batas, sedangkan perbuatan itu sesungguhnya merupakan tindak pidana. Jadi sebenarnya perbuatan itu tetap merupakan perbuatan yang melawan hukum, akan tetapi pelakunya di nyatakan tidak bersalah, kesalahannya dihapuskan.53

d) Pasal 50 KUHPidana (melaksankan peraturan perundang-undangan)

Pasal 50 KUHPidana merumuskan:

Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang tidak boleh dihukum.

Pasal 50 KUHPidana mengindikasikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang karena menjalankan perintah undang-undang, meskipun merupakan tindak pidana, maka atas orang terebut tidak boleh dihukum. R. Soesilo dalam hal ini menjelaskan bahwa:

Dalam penjelasan Pasal ini menentukan pada prinsipnya orang yang melakukan suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi karena dilakukan berdasarkan perintah undang-undang maka si pelaku tidak

53

(30)

boleh dihukum. Asalkan perbuatanya itu memang dilakukan untuk kepentingan umum, bukan untuk kekpentingan pribadi pelaku. Masalahnya adalah apakah yang di maksud dengan undang-undang tersebut, dan apakah juga termasuk perturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang yang diatasnya (secara hirarkhis). Demikian pula, dalam hal menjalankan perintah undang-udnag ini harus dilakukan secara proporsional/seimbang misalnya seorang Polisi yang menembak seorang penjahat (kambuhan) dapat di benarkan dari pada ia menembak seorang yang hanya untuk mengehentikan orang yang melanggar rambu-rambu lalu lintas yang melarikan diri.54

e) Pasal 51 ayat (1) KUHPidana (melakukan perintah jabatan yang syah)

Pasal 51 ayat (1) KUHPidana merumuskan:

Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak tidak boleh dihukum.

Pasal 51 ayat (1) KUHPidana berarti bahwa seseorang yang karena kedudukannya menjalankan tugas sesuai dengan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak, maka orang tersebut tidak boleh dipirana, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh

R. Soesilo yang mengatakan bahwa:

Dengan kata lain yang memberikan perintah adalah orang yang berwenang/berhak (perintah yang sah dari yang berwenang) dan yang diperintah melaksanakanya karena sesuai dengan atau berhubungan dengan pekerjaanya. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa dalam hal melaksanakan perintah jabatan ini, juga harus di perhatikan asas keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui dari batas keputusan dari orang yang memerintah.55 54 Ibid. hal. 66 55 Ibid. hal. 66-67

(31)

Pasal 51 ayat (2) KUHPidana (melakukan perintah jabatan yang tidak syah di anggap syah) merumuskan:

Perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya atas kepercayaan memandang bahwa perintah itu seakan-akan di berikan oleh kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang di bawah pemerintah tadi.

Dalam hal ini ada alasan pemaaf dapat menghapuskan kesalahnnya (kesalahan yang di bebankan kepada orang yang memberi perintah). Dengan kata lain pelaku yang melaksanakan perintah yang tidak sah, dapat di hapuskan pidananya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

(1) Perintah itu dipandangnya sebagai perintah yang syah (2) Dilakukan dengan itikad baik

(3) Pelaksanaanya dalam ruang lingkup tugas-tugasnya (yang biasanya ia lakukan).

Sebaliknya jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugas-tugasnya yang biasa ia lakukan ,maka itikad baiknya dalam melakukan perintah itu di ragukan . jadi dalam hal ini (pembuat) undang-undang menjaga “kepatutan buta” dari orang yang mendapatkan tugas atau yang menerima perintah yang dapat membawa akibat pemidanaan terhadap dirinya sendiri. dengan kata lain seseorang menerima perintah atau tugas dari seorang atasan haruslah waspada dan teliti.56

Dalam bagian kedua KUHPidana, terdapat juga bagian khusus yang terdapat dalam buku kedua (Tentang Pengaturan Khusus) secara keseluruhan membahas tentang adanya alasan penghapusan pidana yaitu alasan pembenar, yaitu sebagai berikut:

56

(32)

a) Pasal 166 KUHPidana

Pasal 166 KUHPidana KUHPidana merumuskan:

Ketentuan Pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang jika pemberitahuan itu akan mendatangkan bahaya jika pemberitahuan itu akan medatangkan bahaya penuntutan bagi dirinya, bagi salah seorang kaum keluarganya sedarah atau keluarganya karena perkawinan dalam keturunan yang lurus atau derajat kedua atau ketiga dari keturunan menyimpang bagi suaminya (isterinya) atau bekas suaminya (isterinya) atau bagi orang lain, yang kalau di tuntut, boleh ia meminta supaya tidak usah memberi keterangan sebagai saksi, berhubung dengan jabatan atau pekerjaanya.

Pasal 166 ini berkaitan dengan Pasal 164 dan Pasal 165 yang memberikan ancaman pidana kepada seseorang yang meskipun mengetahui akan terjadinya beberapa kejahatan tertentu yang sangat sifatnya, tidak melaporkan hal itu kepada pihak yang berwajib pada waktu tindak-tindak pidana itu masih dapat dihindarkan atau dicegah. Sanksi pidana ini baru dapat di jatuhkan apabila kemudian ternyata tidak pidana yang bersangkutan benar-benar terjadi. Wirjono Prodjodikoro menjelaskan:

Jadi menurut Pasal 166, kedua Pasal tersebut (Pasal 164 dan 165) tidak berlaku apabila si pelaku melakukan tindak-tindak pidana itu untuk menghindarkan dari penuntutan pidana terhadap dirinya sendiri, atau terhadap sanak keluarga dalam keturunan lurus dan kesamping samai derajat ketiga, atau terhadap suami atau isteri, atau terhadap seseorang yang dalam perkaranya ia dapat di bebaskan dari kewajiban memberi kesaksian di muka sidang pengadilan.57

b) Pasal 186 ayat (1) KUHPidana

Pasal 186 ayat (1) KUHPidana merumuskan:

Saksi dan tabib yang menghadiri perkelahian satu lawan satu tidak dapat dihukum.

57

Wirjono Prodjodikoro. 1986. Tindak-tindak Piadana Tertentu di Indonesia. Eresco. Bandung.Hal. 224-225

(33)

Berkaitan dengan rumusan Pasal Pasal 186 ayat (1) KUHPidana mengenai saksi dan tabib yang tidak boleh dihukum karena kehadirannya dalam suatu perkelahian satu lawan satu,

Wirjono Prodjodikoro memberikan penjelasan bahwa:

Di Negara Indonesia perbuatan seperti ini di atur dalam Bab VI KUHPidana kita, yaitu tentang “ perkelahian satu lawan satu,” yang terdapat dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 186. Akan tetapi saksi-saksi atau medis yang menghadiri atau yang menyaksikan perang tanding ini (misalnya dalam olah raga tinju, karate, dan lain sebagainya) tidak boleh dihukum berdasarkan Pasal 186 ayat (1) ini.58

c) Pasal 314 ayat (1) KUHPidana

Pasal 314 ayat (1) KUHPidana merumuskan:

Kalau orang yang dihinakan, dengan keputusan hakim yang sudah tetap, telah dipersalahkan melakukan perbuatan yang dituduhkan itu, maka tidak boleh dijatuhkan hukuman karena memfitnah.

Seseorang yang dituduh melakukan pencemaran nama baik kepada orang lain, namun berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terbukti kebenarnnya, maka sifat melawan hukum atas tuduhan pencemaran nama baik tersebut dihapuskan (hilang). M. Hamdan menjelaskan bahwa:

Dalam hal ini ada satu hal yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, yaitu apabila ternyata apa yang dilakukan (yang dituduhkan/dihinakan) kepada orang itu, terbukti benar sesuai dengan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain orang yang dihinakan/dicemarkan nama baiknya ini telah dijatuhi pidana terhadap perbuatan yang dihinakan/dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu sifat melawan hukum yang dilakukan oleh si penghina atu pencemar nama baik tersebut dihapuskan (hilang).59

58

Ibid. hal.168-169

59

M. Hamdan. 2008. Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapusan Pidana. Jurnal Hukum Fakultas Hukum USU. Medan Desember. 2008. hal. 56-57

(34)

d) Pasal 352 ayat (2) KUHPidana

Pasal 352 ayat (2) KUHPidana merumuskan:

Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. Pasal 352 ayat (2) KUHPidana yang merumuskan tentang kejahatan yang baru sebatas percobaan tidak dapat dihukum. Kejahatan ini berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan ringan, sebagaimana dijelaskan oleh M. Hamdan sebagai berikut:

Pasal ini berkaitan dengan tindak pidana “penganiayaan ringan” (Pasal 352 ayat (1)), yang pelaku diancam dengan pidana. Akan tetapi dengan adanya ayat (2) Pasal ini, maka percobaan melakukan penganiayaan ringan tidak dapat dipidana; merupakan alasan penghapus pidana. seharusnya sesuai dengan peraturan umum, yaitu Pasal 53 tentang percobaan melakukan kejahatan, perbuatan penganiayaan ringan ini juga harus di pidana. Akan tetapi sanyangnya pembuat undang-undang tidak merumuskan atas dasar apa percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana.60 Apabila ketiga syarat pemidanaan tersebut di atas, yaitu memenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum, serta unsur kesalahan dipenuhi oleh si pelaku tindak pidana maka pidana dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan dalam KUHP. Jika ada perbuatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, maka aturan dalam KUHP dapat dikesampingkan. Dalam hal hakim menjatuhkan pidana setelah semua unsur-unsur tindak pidana terpenuhi, maka penjatuhan pidana tersebut harus memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

60

(35)

Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut:

(1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Surat putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim berdasarkan Pasal 197 KUHAP adalah memuat hal-hal sebagai berikut:

(1) Surat putusan pemidanaan memuat:

a. kepala putusan yang dituliskan merumuskan: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan

menyebutkanjumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana

letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus

dan nama panitera;

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k dan l Pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.

(36)

3. Jenis-jenis Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Adami Chazawi yaitu sebagai berikut:

a. Kejahatan dan pelanggaran

Perbedaan kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) seringkali dilihat secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, kejahatan dipandang sebagai tindak pidana yang sifat tercelanya tidak semata-mata pada dimuatnya dalam undang-undang, melainkan memang pada dasarnya telah melekat sifat terlarang sebelum memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam undang-undang. Sebaliknya, dalam pelanggaran sifat tercelanya suatu perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya sebagai demikian dalam undang-undang, atau dengan kata lain sumber tercelanya adalah undang-undang.

Secara kuantitatif, perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran hanya didasarkan pada berat-ringannya tindak pidana yang kemudian akan mengarah pada berat-ringannya ancaman pidana. Dalam hal ini kejahatan merupakan bentuk tindak pidana yang lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran.

b. Tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materiel delicten)

Tindak pidana formil (formeel delicten) adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Terjadinya tindak pidana tidak tergantung pada timbulnya suatu akibat, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Sedangkan dalam rumusan tindak pidana materiil (materiele delicten), inti larangan adalah pada timbulnya akibat yang dilarang.

c. Tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana kelalaian (culpose delicten)

Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sementara tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsure culpa.

d. Tindak pidana aktif/positif (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif (delicta omissionis)

Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif), artinya bahwa untuk mewujudkan tindak pidana tersebut disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Sedangkan tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani hukum untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan (aktif) perbuatan itu, ia telah melanggar kewajiban hukumnya.

(37)

e. Tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana berlangsung terus

Tindak pidana terjadi seketika adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikina rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat, disebut dengan aflopende delicten. Sedangkan tindak pidana berlangung terus adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voortdurende delicten. f. Tindak pidana umum dan tindak pidana khusus

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil. Sementara tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut.

g. Tindak pidana communia (delicta communia) dan tindak pidana propia (delicta propia)

Tindak pidana communia adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang, sedangkan tindak pidana propia adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu.

h. Tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten)

Penggolongan tindak pidana ini didasarkan pada proses penuntutannya. Dalam tindak pidana biasa, untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sementara dalam tindak pidana aduan, untuk dapat dilakukannya penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak.

i. Tindak pidana dalam bentuk pokok, yang diperberat dan diperingan

Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

1) bentuk pokok, sederhana atau bentuk standar (eenvoudige delicten), yaitu tindak pidana dirumuskan secara lengkap dimana semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan;

2) dalam bentuk yang diperberat (gequalificeerde delicten), yaitu tindak pidana yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali unsur-unsur bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk pokonya atau Pasal bentuk pokonya disertai unsur yang bersifat memberatkan; 3) dalam bentuk ringan (gepriviligieerde delicten), yaitu tindak pidana

yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali unsur-unsur bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk pokonya atau Pasal bentuk pokonya disertai unsur yang bersifat meringankan. j. Tindak pidana berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi

Kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh hukum pidana terdiri dari 3 (tiga) kelompok besar, yaitu kepentingan hukum individu (individuale belangen), kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen) dan kepentingan hukum negara (staatsbelangen). Sistematika

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum diatas telah nyata-nyata terjadi politik uang yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif yang merusak sendi-sendi

[r]

Dari hasil analisa arah dan kecepatan arus permukaan di perairan Pangandaran, menunjukkan bahwa pada saat fase musim dengan angin dominan (musim Barat dan musim

Metode Para orangtua mempunyai banyak metode yang digunakan dalam pembentukan anak agar bisa menjadi penghafal Alquran, semua responden memberikan metode dengan

Data ordinal adalah data yang berasal dari obyek atau kategori yang disusun menurut besarnya, dari tingkat terrendah ke tingkat tertinggi atau sebaliknya dengan jarak atau

Pada pengujian calon induk dari 24 famili yang dihasilkan secara komunal diperoleh keragaan pertumbuhan terbaik pada populasi persilangan antara betina GIMacro dengan jantan Musi

Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau

Persyaratan untuk diterima melalui jalur Selnas Bakat Minat berbasis portofolio, jalur Selnas PMB PTKKN berbasis ujian tulis, maupun jalur seleksi nasional berdasarkan