• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

C. Penerimaan Diri

1. Definisi

Penerimaan diri menurut Wiley ( dalam Josephine dan Srisuini, 1998) berhubungan dengan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi serta memberi sumbangan pada kesehatan mental seseorang serta hubungan antar pribadi. Penerimaan diri memiliki pengertian adanya persepsi terhadap diri sendiri mengenai kelebihan dan keterbatasannya yang dapat digunakan secara efektif. Penerimaan diri juga meningkatkan toleransi terhadap orang lain dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Mereka melihat manusia, dunia dan dirinya apa adanya. Seseorang yang memiliki penerimaan diri berarti dapat mengenali kekurangannya sendiri serta berusaha untuk memperbaiki diri. Penerimaan diri akan meningkatkan penilaian diri lalu dapat mengkritik dirinya sendiri dan bertanggung jawab terhadap pilihannya sendiri serta tidak menyalahkan ataupun mencela orang lain karena dirinya.

Jersild (dalam Josephine dan Srisuini, 1998) mendefinisikan penerimaan diri sebagai tingkat kemampuan seseorang untuk memahami karakteristik dirinya, mampu menerima kondisi yang ada, menyadari potensi-potensi yang dimiliki sehingga mereka mampu melakukan sesuatu dan menjadi sesuatu yang diharapkannya. Menurut Cooper (dalam Apriliana. D, 2009) penerimaan diri adalah suatu tingkatan kesadaran

seseorang mengenai karakteristik pribadinya dan mau hidup dengan keadaan tersebut. Hal ini berarti seseorang tersebut memiliki pengetahuan tentang dirinya sehingga menerima kelebihan dan kelemahannya.

Sama halnya dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Brooks & Golstein (dalam Apriliana. D, 2009) bahwa penerimaan diri dihubungkan dengan penghargaan diri dan rasa percaya diri. Pencapaian penerimaan diri merupakan proses sepanjang hidup yang memerlukan evaluasi terus-menerus, jujur mengakui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, memiliki cita-cita dan harapan, keterlibatan dalam aktivitas yang menimbulkan kepuasan, kesenangan, dan kegembiraan, serta mengenai apa yang dijalani dalam kehidupan telah sesuai dengan nilai-nilai dasar kita. Proses pemeliharaan penerimaan diri dipenuhi banyak tantangan yang memakan waktu dan tenaga seseorang.

Penerimaan diri juga merupakan salah satu bagian dari tujuh aspek kesejahteraan psikologis milik Ryff. Ryff (dalam Baumgardner & Crothers, 2009) mengungkapkan bahwa kondisi kesejahteraan yaitu lebih dari sekedar kondisi merasakan bahagia baik secara fisik atau hedonis, tetapi kebahagiaan yang bersifat eudaimonic. Kebahagian eudaimonic merupakan perasaan pribadi yang memberikan kesempatan untuk dapat bertumbuh dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Kesejahteraan seharusnya dapat menjadi sumber pemulihan dalam menghadapi kesulitan serta mampu mencerminkan keberfungsian secara positif, kekuatan pribadi dan kesehatan mental dalam hidup sehari- hari (Baumgardner & Crothers, 2009).

Pemahaman tersebut membuat Ryff (1995) mengartikan kesejahteraan psikologis sebagai ada dan berfungsinya sifat-sifat psikologis yang positif, meliputi dimensi penerimaan diri, hubungan positif, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.

Dalam teori perkembangan manusia penerimaan diri berkaitan dengan penerimaan diri seseorang pada masa kini dan masa lalunya. Selain itu dalam literatur fungsi psikologi yang positif; penerimaan diri juga berkaitan dengan sikap positif terhadap diri sendiri (Ryff, 1989). Seorang individu dikatakan memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri apabila ia memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri, menghargai dan menerima berbagai aspek yang ada pada dirinya baik kualitas diri yang baik maupun yang buruk. Selain itu, orang yang memiliki nilai penerimaan diri yang tinggi juga dapat merasakan hal yang positif dari kehidupannya dimasa lalu (Ryff, 1996).

Sebaliknya, seseorang dikatakan memiliki nilai yang rendah dalam dimensi penerimaan diri apabila ia merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya di masa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya, dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri (Ryff,1996). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti, W.S (2004) terhadap 32 orang subyek penelitian penyandang cacat fisik, melaporkan bahwa tingkat seseorang yang menerima dirinya sendiri akan menentukan bentuk penyesuaian hidupnya. tidak ada seorang pun mampu menyesuaikan

diri secara baik jika orang tersebut tidak menyukai dirinya sendiri.

Pada penelitian ini peneliti memilih untuk menggunakan teori penerimaan diri yang merupakan salah satu aspek kesejahteraan psikologis Ryff. Teori Ryff tidak hanya melihat pada pencapaian kebahagiaan secara fisik yaitu kepuasan dan kenikmatan hidup seperti yang dijabarkan Diener dan Bradburn (dalam Ryff, 2008) namun melihat hal yang melebihi kebahagiaan jasmani yaitu menjadi diri yang otentik, apa adanya serta melebihi diri itu sendiri seperti konsep kebahagiaan paparan Aristotles yang besifat eudaimonic. Kebahagian secara eudaimonic juga berasal dari perkembangan dan yang ditunjukkan dari potensial dalam diri kita meliputi talenta, kepribadian dan nilai-nilai yang ada dalam diri (dalam Baumgardner & Crothers, 2009).

Teori eudaimonic ini cocok untuk membantu peneliti dalam mengungkap tujuan penelitian yakni bagaimana seorang cacat fisik bukan bawaan berproses dalam penerimaan dirinya. Hal ini disebabkan eudaimonic tidak hanya mengukur kebahagian seseorang tetapi juga bagaimana seseorang tersebut merasa bahagia (dalam Baumgardner & Crothers, 2009). Seseorang yang cacat fisik harus berproses dalam menerima diri ketika fisik sudah berbeda dari sebelumnya, sebagaimana mereka berjuang untuk dapat menjalani hidup kembali dengan fisik yang baru serta merasakan kebahagiaan terhadap kecacatannya. Kebahagiaan ini juga dicapai dengan adanya potensi-potensi diri yang unik sehingga dapat meraih apa yang menjadi tujuan, harapan dan cita-cita hidup selanjutnya.

2. Tahap-tahap Penerimaan Diri

Penerimaan diri lebih banyak digunakan untuk meneliti para lansia, kaum transgender serta kematian pada seseorang seperti yang dilakukan oleh Kubler-Ross. Kubler-Ross menetapkan 5 tahap penerimaan pada seseorang yang mengalami kondisi sekarat dan menjelang ajal. Peneliti memutuskan untuk menggunakan kelima tahap penerimaan ini karena dapat menggambarkan penerimaan diri yang terkait dengan kecacatan serta memiliki kesamaan dengan kondisi psikis yang dialami oleh penyandang cacat dan situasi ketika menghadapi kondisi sekarat dan kematian. Sementara itu, perbedaannya terletak pada kondisi yang dialami yakni mengalami kecacatan seumur hidup jauh lebih sulit untuk dihadapi dibandingkan dengan menghadapi kematian. Selain itu, menurut peneliti belum ada tahap-tahap penerimaan diri yang dibahas secara umum ataupun yang dikhususkan untuk penyandang cacat fisik.

Tahap-tahap penerimaan diri menurut Kubler-Ross (1998) : a. Tahap 1

Pada tahap ini seseorang mengalami perasaan shock/kaget, melakukan penyangkalan terhadap kondisi yang dialami sehingga memungkinkan seorang tersebut mengasingkan diri sendiri.

b. Tahap 2

Tahap ini memunculkan perasaan marah dan cenderung melakukan proyeksi. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian atau perhatian yang berlebih dari orang terdekat terhadap kondisinya, harapan tidak

sesuai dengan kenyataan, adanya perbedaan dengan kondisi yang dulu dan sekarang serta ada penolakan-penolakan. Dalam tahap ini selanjutnya juga menimbulkan perasaan bersalah yang diakibatkan oleh sikap menyalahkan diri sendiri karena dianggap sebagai penyebab yang membuat diri mengalami suatu hal buruk atau karena kelemahan yang dimiliki.

c. Tahap 3

Tahap ketiga seseorang mengalami pengalaman religiusitas dengan Tuhan. Ada proses tawar menawar dimana seseorang itu berjanji untuk bertingkah laku baik asalkan permintaannya dipenuhi. Namun pada kenyataannya janji tidak selalu dipenuhi dan terus menuntut permintaan yang lainnya. Memiliki perjanjian dengan Tuhan ataupun dengan orang lain disekitarnya. Di tahap ketiga ini memungkinkan munculnya perasaan bersalah, ketakutan atau merasa dihukum karena kesalahannya.

d. Tahap 4

Terdapat 2 jenis depresi di tahap ini yaitu:

 Depresi reaktif : keinginan untuk mengungkapkan banyak hal secara verbal / interaksi secara verbal, ada rasa bersalah, keinginan untuk mati

 Depresi preparation : hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada interaksi secara verbal melainkan lebih ke non verbal seperti; sentuhan, ingin ditemani.

e. Tahap 5

Munculnya sikap penerimaaan terhadap kondisi yang dialami. Merasakan kedamaian, sudah dapat melalui tahap-tahap sebelumnya dengan baik sehingga tidak akan merasakan depresi maupun marah terhadap kondisinya.

Dokumen terkait