• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.5 Penerjemah dan Kompetensi Penerjemah

Penerjemah adalah pelaku utama dalam proses penerjemahan. Penerjemahlah yang dapat memperkecil jurang komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dengan pembaca teks bahasa sasaran. Tugas untuk menjembatani komunikasi tersebut tidaklah mudah dan tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya kompetensi dan pengalaman yang baik di bidang penerjemahan. Target dalam Bsa membutuhkan terjemahan karena mereka tidak bisa akses ke dalam bahasa sumber. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan menginginkan terjemahan yang dapat dengan mudah mereka pahami. Keinginan yang seperti itu sering kali dijadikan sebagai dasar untuk menentukan kualitas terjemahan.

Seorang penerjemah (translator) harus menyadari bahwa menerjemahkan adalah proses tiada akhir. Kemungkinan untuk menghasilkan terjemahan yang memuaskan akan selalu terbuka, namun seorang penerjemah yang baik tidak akan pernah puas dengan apa yang dihasilkannya, dan akan selalu berusaha untuk menambah dan meningkatkan pengetahuannya. (Newmark, 1988:6). Pendapat tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hidayat, (2005: 163-164) yang menyatakan bahwa penerjemahan merupakan rangkaian proses belajar yang bergerak terus menerus melalui tiga tahapan, yaitu naluri atau dorongan hati, pengalaman dan kebiasaan.

Lebih lanjut menurut Newmark (1988:6) lagi, seorang penerjemah yang baik harus menyadari bahwa terdapat empat hal yang harus dipahami

dalam melakukan tugasnya, yaitu (1) translation is first a science, yaitu bahwa terjemahan adalah sebuah ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya harus memiliki wawasan mengenai berbagai disiplin ilmu, tergantung jenis teks yang sedang diterjemahkan, (2) translation is a skill, yaitu diperlukannya keahlian dalam proses menerjemahkan, (3) translation is an art, dimana kreatifitas, intuisi memainkan peran untuk menghasilkan terjemahan yang wajar (4) a matter of taste, ciri khas yang membedakan antara penerjemah satu dan yang lain, yaitu pertimbangan pilihan kata, keluwesan, gaya penulisan, istilah, struktur kalirnat yang sesuai dan lain sebagainya.

Berdasarkan pendapat Newmark tersebut dapat dikatakan bahwa walaupun penerjemah professional sekalipun terhadap satu sumber yang sama tidak akan mungkin menghasilkan karya yang identik atau sama persis. Hal yang sama juga dikatakan oleh Seguinot (1997:104) yang menyatakan:

"Translator and people who study translation know that different text types require different approaches, and that different people can translate the same text in different ways. It also clear that different level of competence, familiarity with the material to be translated, as well as different interpretations of the nature of the assignment will lead to differences in processes and results".

Hampir dalam setiap literatur teori penerjemahan disebutkan bahwa penerjemah mempunyai peranan yang sangat penting dalam komunikasi interlingual. Peranan penting penerjemah sebagai penghubung tersebut akan sangat menonjol apabila pihak-pihak yang terlibat dalam suatu komunikasi tidak saling memahami sebagai akibat dari perbedaan sistem kebahasaan dan budaya yang mereka miliki.

Menerjemahkan merupakan kegiatan yang kompleks dan rumit. Menurut Hatim (2001:11) menjelaskan sebagai berikut :"Translation as very

probably the most complex type of event yet produced in the evolution of the cosmos" Penerjemahan bukanlah sesuatu yang sederhana, bukan sebatas mengalihbahasakan dari bahasa yang sate ke bahasa yang lain dan bukan pula pekerjaan yang bisa dilakukan siapa saja tanpa dipelajari. Seperti yang diungkapkan oleh Simatupang (2000:3) bahwa menerjemahkan, adalah sebuah seni yang tidak bisa begitu saja dimiliki setiap orang. Ia membutuhkan keterampilan yang kompleks. Sebagai sebuah seni, seperti juga seni musik, seni rupa, seni tari, menerjemahkan bersifat intuitif oleh karenanya tidak mungkin berkembang tanpa pengetahuan, latihan dan pengalaman. Sehingga diperlukan strategi dan keterampilan khusus yang harus dikuasai oleh penerjemah profesional. Profesionalisme dalam hal ini ditandai dengan beberapa kompetensi.

Kompetensi merupakan sistem yang mendasari pengetahuan dan ketrampilan yang membuat seseorang dapat melakukan kegiatan tertentu. Jadi, kompetensi penerjemahan dapat diartikan sebagai sistem yang mendasari pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan agar seseorang dapat menerjemahkan (Nababan, 2004:69).

Neubert (2000:6) memberi ukuran kualitatif pada kompetensi penerjemahan, yaitu:

(1) Language competence (kompetensi bahasa). Para penerjemah harus kompeten baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran. Mereka harus tahu sistem leksikal, gramatikal dan morfologis dari kedua bahasa tersebut. Kemudian, mereka juga harus sadar akan perubahan pada item-item leksikal dalam bahasa sumber dan sasaran secara umum yang tercermin pada kamus atau referensi lainnya,

(2) Textual competence (kompetensi tekstual). Para penerjemah pada umumnya berhubungan dengan berbagai jenis teks. Oleh karena itu mereka terbiasa dengan bagaimana kalimat- kalimat dikombinasi ke dalam bentuk paragraf, dan paragraf ke dalam teks. Tergantung pada domain, mereka menerjemahkan, para penerjemah harus pandai dalam menyusun bahasa sumber dan bahasa sasaran,

(3) Subject competence (kompetensi bidang ilmu). Kompetensi dalam sistem linguistik baik dari bahasa sumber dan bahasa sasaran serta kebiasaan dengan fitur –fitur tekstual teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran tidak menjamin hasil terjemahannya berkualitas. Penguasaan dalam permasalahan bidang atau subject matter yang diterjemahkan merupakan aspek penting lainnya. Harap diperhatikan bahwa kompetensi dalam permasalahan bidang bukanlah hal yang mutlak harus dimiliki oleh penerjemah, namun mereka harus tahu cara dan piranti yang dibutuhkan. Pengetahuan terhadap permasalahan bidang mempermudah proses pemahaman terhadap teks bahasa sumber yang akan mempengaruhi proses produksi pada teks bahasa sasaran. Hal ini juga memberi solusi untuk penerjemah terhadap istilah-istilah khusus yang harus disampaikan,

(4) Cultural competence (kompetensi budaya). Jika bahasa sumber terselimuti oleh unsur budaya, kompetensi budaya sangatlah diperlukan. Penerjemah harus paham dan mengetahui tentang wujud kebudayaan pada bahasa sumber dan bahasa sasaran, yaitu wujud kebudayaan berupa ide-ide atau gagasan atau mantifact, wujud kebudayaan berupa perilaku

atau kebiasaan atau sociofact, dan wujud kebudayaan berupa benda-benda atau produk atau artifact; dan

(5) Transfer competence (kompetensi pengalihan). Kompetensi pengalihan merujuk pada strategi dan taktik mengalihkan teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran dengan berbagai kemampuan yang dimiliknya, seperti pengetahuan atau world knowledge, kebahasaan, dan budaya. Dari paparan di atas diketahui bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara kompetensi penerjemahan dan kualitas terjemahan. Jika kompetensi penerjemahan yang dimiliki seseorang baik dia akan mampu menerjemahkan suatu teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Sebaliknya, jika kompetensinya buruk, terjemahan yang dihasilkannya tidak akan berkualitas. Disamping keharusan akan kemahiran dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran penerjemahan sebagai proses juga mensyaratkan keterampilan lain yaitu keluwesan dan kepemilikan wawasan mengenai berbagai disiplin ilmu, tergantung jenis teks yang sedang diterjemahkan. Dengan demikan dapat dikatakan bahwa kompetensi yang dimiliki penerjemah serta penerapan teknik penerjemahan memiliki dampak terhadap kualitas terjemahan.