• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

Matriks 8. Pengalaman Informan Terhadap Subordinasi

Pengalaman informan terhadap subordinasi No Nama

informan

Mengalami subordinasi ya/tidak

Subordinasi yang dialami

1. M Beru Barus Ya Anak laki-laki punya kuasa untuk membagi warisan, sedangkan anak perempuan tidak

2. K.Beru Ginting Ya Kalau ada runggu di acara adat atau pesta, lebih di dengarkan pendapat dari laki-laki, daripada pendapat perempuan.

3. R.Beru Tarigan Ya Warisan dibagi oleh saudara yang laki-laki, sehingga informan tidak mendapatkan warisan. 4. Ru Beru.tarigan Ya Sewaktu diadakan runggu dalam acara adat,

yang diharap untuk berkumpul adalah yang laki-laki saja.

5. M Beru.Tarigan Ya - Harta warisan yang membagikan adalah saudara laki-laki.

- Dalam pesta adat, yang ikut runggu adalah laki-laki.

6. M Beru.Keliat Ya Masalah pembagian warisan boleh diberikan kuasa kepada yang saudara laki-laki.

7. P Beru.Barus Ya Laki-laki lebih diutamakan baik dari segi pendidikan dan ekonomi dan posisi dalam adat- istiadat.

8. R.Beru Barus Ya Jikalau dalam keluarga dan adat ada masalah, pendapat laki-laki lah yang lebih di dengarkan.

9. D.I Beru.Sitepu Ya Anak laki-laki lebih tinggi derajatnya dari anak perempuan. keluarga dirasakan belum lengkap kalau belum ada anak laki-laki.

10 Rk

Beru.Tarigan

Ya Di dalam adat Karo, anak laki-laki saja yang membagikan, mendapatkan warisan dan dalam adat Karo juga, laki-laki yang mengambil keputusan.

Demikian halnya dengan hasil penelitian di Desa Penen. Ditunjukkan melalui matriks yang telah digambarkan, bahwa dengan sistem kekerabatan yang patriarki, pembahagian warisan yang lebih besar, jatuh ke tangan anak laki-laki. Dan apabila ingin dibagikan kepada saudara

perempuan yang lain, yang membagikannya diserahkan kepada keputusan dari anak laki-laki. Hal tersebut berlaku dikarenakan adanya pengaruh dari aturan adat.

Seperti pengakuan dari informan M Beru.Barus :

“…sangat setuju dengan hasil keputusan terhadap harta warisan saya peroleh dan saya juga setuju apabila anak perempuan mendapatkan warisan. Namun apabila saya meninggal kelak,saya akan memberikan kuasa kepada anak laki-laki untuk membagikan harta warisan tersebut. Tergantung dari rasa keadilan yang dari anak laki-laki,terserah apakah mau membagi secara adil, atau tidak sama sekali.. .”

Informan juga menambahkan bahwa jelas terdapat subordinasi terhadap wanita karo dimana laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi dari wanita karo, sehingga peran laki-laki dalam adat lebih dominan :

“...kalau ada acara pesta adat, yang biasanya runggu6 di depan itu, hanya kaum laki-laki. Sedangkan perempuan hanya duduk-duduk saja…”)

Demikian halnya dengan pendapat dari informan R.Beru Tarigan. Subordinasi dikatakan informan terlihat jelas dalam masyarakat karo:

“… ketika runggu di acara adat, hanya laki-laki saja yang boleh berperan sedangkan kaum wanita hanya duduk-duduk di belakang. Meskipun terkadang pendapat kaum wanita ditanyakan juga, tetapi tanpa persetujuan kaum laki-laki dalam musyawarah tersebut, pendapat itu tidak akan diterima…”

Dituturkan juga oleh informan M.Beru Tarigan . Subordinasi dirasakan informan sangat kuat dalam budaya karo ;

“…misalkan dalam hal pembagian warisan, pembagian warisan biasanya diberikan kepada anak yang laki-laki, bahkan ada juga orangtua yang memberikan kuasa kepada anak laki-laki dalam membagikan warisan dan dalam acara adat, kedudukan laki-laki yang lebih tinggi nilainya dari perempuan…”

Dan seperti yang diungkapkan oleh informan P.Beru Barus, sambil mengingat tentang didikan gurunya sewaktu di Sekolah Rakyat, informan berkata :

6 Runggu : adalah acara musyawarah yang dilakukan ketika acara pesta adat berlangsung yang bertujuan

“….bahwa sedari dulu sudah diajarkan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. laki-laki lebih diutamakan baik dari segi pendidikan dan ekonomi dan posisi dalam adat- istiadat...”

Dijawab juga oleh informan R.Beru Barus, subordinasi yang digambarkannya terjadi di dalam budaya Karo, dicontohkan informan :

“…mengenai rapat adat ketika ada pesta. Dimana kaum laki-laki lah yang pendapatnya lebih di dengar dan diutamakan daripada perempuan. Pendapat apapun dari perempuan sebelum ditanya oleh laki-laki, dikatakan belum sah. Meskipun pada akhirnya boleh jadi pendapat perempuanlah yang akhirnya diterima…”

Informan DI.Beru Sitepu juga menjawab, subordinasi dikatakannya terasa di budaya Karo dengan alasan :

“..bahwa anak laki-laki dianggap lebih berharga. Sampai ada keluarga yang menganggap apabila belum ada anak laki-laki, keluarga tersebut terasa belum lengkap, sampai ada keluarga yang mempunyai anak banyak hanya untuk mendapat anak laki-laki…”

Kemudian ditambahkan oleh informan R.Beru Tarigan, subordinasi dalam budaya karo, dicontohkannya :

“…mengenai perbedaan jumlah warisan, dimana laki-laki yang mendapat lebih banyak dan mengenai posisi kaum laki-laki yang dianggap lebih tinggi dari perempuan. misalkan ketika ada musyawarah di pesta. Laki-laki mengemukakan pendapat di depan, sedangkan perempuan hanya duduk mendengar dibelakang, dan hanya berpendapat ketika ditanya...” Adanya ketimpangan dalam pembagian kekayaan, kekuasaan, antara laki-laki dan perempuan yang menguntungkan kaum laki-laki ini oleh sejumlah ahli dikaitkan dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan (male domination). Suatu bentuk organisasi sosial dalam mana laki-laki mendominasi perempuan oleh Macions (1996:261) dinamakan patriarki (patriarchy). Sedangkan menurutnya bentuk sebaliknya, dalam mana perempuan mendominasi laki-laki, dinamakan matriarki (matriarchy). Dikatakan bahwa hanya laki-laki yang memimpim musyawarah dalam adat, menunjukkan bahwa laki-laki lebih dianggap bisa memimpin, daripada

perempuan, dan hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari aturan adat yang lebih meninggikan derajat laki-laki.

Untuk analisis mengenai wanita di dalam masyaraka, hal ini merupakan suatu perkembangan penting, karena status atau posisi seseorang pada suatu tatanan sosial berhubungan dengan kekuasaan. Dalam hal ini wanita sering sekali dirugikan, seperti halnya wanita dimasyarakat Karo selalu mendapat posisi yang lebih rendah terutama dalam hal pembagian harta warisan, seperti hal yang telah diuraikan diatas. Di masyarakat Karo, anak perempuan seakan tersisih karena jenis kelamin, terutama dalam hal pewarisan. Jadi untuk menganalisa kedudukan wanita dimasyarakat Karo dari perspektif Gender akan kita temukan sub-ordinasi mengacu pada “posisi bawah” dalam hubungan antara pria dan wanita.

4.2.4.3. Gender dan Stereotype

Secara umum, stereotype adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Dalam hal ini, kelompok tertentu yang dimaksud adalah kelompok janda di Desa Penen. Salah satu jenis stereotype itu adalah yang bersumber dari pandangan Gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap suatu jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotype) yang dikaitkan kepada mereka. Misalnya : penandaan yang berasal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka tiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotype ini (Mansyour Fakih 2004 : 16-17)

Namun pernyataan tersebut tidak dialami oleh janda yang menjadi informan dalam penelitian ini. Seperti yang dituturkan oleh informan M.Beru Barus. Jawaban informan terhadap pelabelan masyarakat karo terhadap janda adalah :

(…”tergantung kondisi janda itu sendiri. Kalau ada janda yang masih muda, dan genit pula dia. Dikatakan orang dia erlua-lua (genit) tapi kalau baik pula janda itu tidak akan dikatakan orang begitu. Kalau saya sendiri, masih dekat juga dengan masyarakat di Desa ini,semua orang masih mau berbuat baik dengan saya dan keluarga saya ..”)

Informan lain, K.Beru Ginting juga menuturkan bahwa : mengenai stereotype masyarakat Karo terhadap janda, informan juga menjawab hal ini tergantung dari keberadaan dan tingkah laku dari janda itu sendiri. Kalau untuk informan sendiri, ia masih mempunyai hubungan yang baik dengan warga kampung.

Salah satu hal yang menyebabkan tidak adanya stereotype negatif terhadap kelompok janda yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah dikarenakan informan seluruhnya sudah lanjut usia. Tidak menutup kemungkinan adanya stereotype ganjil, tetapi karena seluruh informan masih bersosialisasi dengan baik kepada seluruh warga Desa, tentunya hal tersebut memperlihatkan bahwa janda ini sendiri beserta keluarganya diterima baik ditengah masyarakat, dihargai dan dihormati.

4.2.4.4. Gender dan kekerasan

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Pada dasarnya kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata “kekerasan” yang merupakan terjemahan dari “violence” artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja, seperti pemukulan, tetapi juga bersifat non fisik, melalui perkataan yang kasar, sehingga

perempuan atau pun laki-laki yang mengalaminya merasa terusik batinnya. Pelaku kekerasan yang bersumber karena gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di dalam rumah tangga sendiri.

Dokumen terkait