• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

Matriks 6. Persepsi Informan Terhadap Harta Warisan

Persepsi informan terhadap harta warisan No Nama informan Jumlah

anak laki- laki dan perempuan Anak perempuan mendapat warisan setuju/tidak setuju Jumlah warisan yang dibagi Proses pembagian warisan

1. M.Beru Barus 3 laki-laki 2perempuan

setuju Lebih banyak untuk anak laki- laki

Hasil rapat keluarga, yang akan diputuskan oleh anak laki-laki

2. K.Beru.Ginting 4 laki-laki 1 perempuan

Setuju Sama banyak

dengan anak perempuan

Melalui rapat keluarga

3. R.Beru Tarigan 1 perempuan Setuju Laki-laki mendapat lebih banyak

Keputusan dari anak laki-laki

4. Ru.Beru Tarigan 4 laki-laki 2 perempuan

Setuju Akan dibagikan 2:1 untuk anak laki-laki lebih besar

Melalui rapat keluarga

5. M Beru.Tarigan 1 laki-laki 3 perempuan

Setuju -Rumah untuk anak laki-laki, -tanah seluas 1,5ha untuk anak laki-laki, -tanah seluas 0,5ha untuk

anak perempuan, dibagi

6. M.Beru Keliat 3 perempuan Setuju Sama banyak Melalui rapat keluarga 7. P.Beru Barus - setuju Sama banyak Melalui rapat keluarga 8. Rk.Beru Barus 3 laki-laki setuju Sama banyak Melalui rapat keluarga 9. D.I Beru Sitepu 1 laki-laki

3 perempuan

setuju Lebih besar untuk anak laki- laki

Hasil keputusan anak laki-laki

10. Rk.Beru Tarigan 2 laki-laki 2 perempuan

setuju 1 rumah untuk anak laki-laki yang paling muda, ladang untuk anak laki- laki tertua, ladang yang lain untuk anak perempuan dibagi dua.

Melalui rapat keluarga

4.2.3. Pemahaman Informan Terhadap Issue Gender

Sebagian besar informan tidak pernah mendengar kata Gender, salah satu faktor penyebabnya yaitu rendahnya tingkat pendidikan informan, yang hanya sampai Sekolah Rakyat (SR).

Di desa Penen, ada terdapat sebuah organisasi yang disebut Centre Union (CU) yang merupakan sebuah organinasi yang bergerak di bidang simpan-pinjam uang untuk rakyat yang kurang mampu. Organisasi ini ini bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat dengan memberikan bantuan modal kepada masyarakat yang membutuhkan, dan setelah panen akan diadakan bagi hasil, dengan mengumpulkan seluruh anggota. Setiap bulan organisasi CU ini mengadakan rapat dan mengadakan

sosialisasi, salah satunya mengenai Gender, dikarenakan sebagian besar dari anggota CU ini adalah wanita.

Tidak semua penduduk Desa merupakan anggota dari CU, ada juga yang tidak, karena mereka cukup punya modal untuk membiayai proses penanaman tumbuhannya hingga panen. Dikarenakan mereka tidak pernah mendengar kata Gender, mereka tidak tahu jikalau mereka merupakan korban dari bias gender. Setiap beban yang mereka alami, dianggap merupakan sebuah kerelaan sebagai seorang perempuan yang memang lebih rendah derajatnya dari laki-laki, dan merupakan sebuah aturan adat. Dengan mengakui bahwa lelaki mempunyai derajat lebih tinggi dari perempuan, dan mereka kemudian mensosialisasikan kembali hal tersebut kepada anak-anak mereka, dengan memberikan anak lelaki, warisan yang lebih besar daripada anak perempuan. bukan hanya dari segi warisan, tetapi juga dari segi perlakuan atau aturan di dalam adat yang lebih mengutamakan laki-laki untuk berada di posisi depan sebagai pemimpin.

Informan I

Ibu M.Beru Barus belum pernah mendengar kata gender. Ia mengganggap bahwa ia juga tidak mengalami marginalisasi akibat gender, dengan alasan karena ia mendapatkan warisan dari mendiang suaminya. Jawaban Ibu M.Beru Barus terhadap pelabelan masyarakat karo terhadap janda adalah tergantung kondisi janda itu sendiri. Jikalau janda tersebut tidak mempunyai perilaku yang baik, tentu akan digunjingkan masyarakat. Tetapi kalau janda tersebut kelakuannya baik, tentu akan punya kehidupan sosial yang baik dengan warga yang lain.

Ibu M.Beru Barus juga menjawab bahwa jelas terdapat subordinasi terhadap wanita karo dimana laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi dari wanita karo, sehingga peran laki-laki dalam adat lebih dominan. Contohnya apabila ada runggu dalam pesta atau acara adat, yang duduk di depan adalah laki-laki dan wanita hanya duduk mendengar di belakang. Ia juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga dengan cara dipukul oleh suaminya apabila bertengkar. Ibu M.Beru Barus bertutur ia juga sering pergi ke ladang sendiri untuk bekerja, ketika pulang dari ladang masih harus mengurus rumah tangga lagi, sementara suaminya duduk di kedai kopi.

Informan II

Ibu K Beru. Ginting belum pernah mendengar kata gender dan ia juga tidak merasa mengalami marginalisasi. Meskipun ia tidak mendapat warisan dari orangtuanya, namun ia dapat menikmati warisan dari mendiang suaminya. Ditambahnya lagi, ketika suami masih hidup Ibu K Beru. Ginting lah yang memegang atau menyimpan uang dalam rumahtangga. Hal itu merupakan kesepakatan bersama, suami-istri.

Mengenai stereotype masyarakat Karo terhadap janda, Ibu K Beru. Ginting juga menjawab hal ini tergantung dri keberadaan dan tingkah laku dari janda itu sendiri. Kalau untuk ia sendiri, ia masih mempunyai hubungan yang baik dengan warga kampung.

Ibu K Beru. Ginting tidak merasa mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Tetapi ia merasakan beban ganda sewaktu berumahtangga. Hal ini di karenakan mendiang suami sering sekali sakit-sakitan mengharuskan Ia untuk bekerja ke dan juga mengurus pekerjaan rumah tangga.

Informan III

Ibu R.Beru Tarigan sudah sering mendengar kata Gender melalui rapat CU (Credit Usaha) yang merupakan program peningkatan ekonomi rakyat yang dibuat oleh sebuah organisasi yang bergerak di simpan-pinjam uang, dimana Ibu juga merupakan salah satu anggotanya.

Ibu R.Beru Tarigan tidak merasa termarginalisasi secara gender, dengan alasan, sewaktu masih berumahtangga, suaminya masih mau memberikan uang belanja. Tetapi Ibu R.Beru Tarigan tidak menyadari bahwa ia termarginalisasi secara gender dalam hal pembagian harta warisan. Ibu R.Beru Tarigan juga menjawab bahwa ia masih diterima sangat baik di tengah masyarakat Desa Penen ini.

Ibu R.Beru Tarigan juga mengalami subordinasi, dengan dia tidak mendapatkan warisan hanya karena dia adalah seorang perempuan. Tapi Ibu R.Beru Tarigan tidak mengalami kekerasan dalam rumahtangga. Ketika masih berumahtangga, mendiang suami mengerjakan sektor publik, yaitu dengan bertani dan Ibu R.Beru Tarigan mengerjakan pekerjaan sektor domestik. Namun sekarang karena Ibu R.Beru Tarigan tinggal seorang diri, jadilah Ibu R.Beru Tarigan yang pergi bertani dan mengurus pekerjaan rumah sendirian.

Informan IV

Ibu tidak pernah mendengar kata gender, dan menjawab tidak pernah merasa termarginalisasi secara gender, dengan alasan bahwa Ibu lah yang menjadi bendahara dalam keluarga. Pelabelan masyarakat terhadap janda juga dijawab Ibu, tergantung dari keberadaan dan perilaku janda tersebut ditengah masayarakat.

Subordinasi dikatakan Ibu terlihat jelas dalam masyarakat karo. Contohnya ketika runggu 4di acara adat, hanya laki-laki saja yang boleh berperan sedangkan kaum wanita hanya duduk-duduk di belakang. Meskipun terkadang pendapat kaum wanita ditanyakan juga, tetapi tanpa persetujuan kaum laki-laki dlam musyawarah tersebut, pendapat itu tidak akan diterima.

Ibu tidak mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Ia mengalami beban kerja ganda, selaku ibu rumah tangga yang mengurus pekerjaan rumah, Ibu juga yang pergi ke untuk bertahan hidup saat ini.

Informan V

Ibu M Beru.Tarigan tidak pernah mendengar kata gender, dan merasa tidak termarginalisasi secara gender, dengan alasan bahwa Ia mendapatkan warisan dan ketika berumah tangganya ibu M Beru.Tarigan lah yang memegang uang dalam keluarga. Sampai saat ini perlakuan masyarakat juga kepada ibu M Beru.Tarigan, baik adanya. Subordinasi dirasakan Ibu M Beru.Tarigan sangat kuat dalam budaya karo, misalkan dalam hal pembagian warisan, dan dalam kedudukan laki-laki dan perempuan yang berbeda di dalam pesta.

Sekali-sekali Ibu M Beru.Tarigan juga merasakan kekerasan dalam rumah tangga apabila Ia bertengkar dengan mendiang suaminya. Setelah menjanda, tidak semua tugas sanggup dikerjakannya, karena sudah tidak sanggup lagi. Sehingga pekerjaan rumah atau pergi ke ladang di kerjakan oleh anak-anaknya. Dengan adanya pembagian tugas, Ias tidak mengalami beban kerja ganda.

Informan VI

Kata gender, tidak pernah terdengar di telinga Ibu M Beru.Keliat. Dengan alasan yang kebanyakan sama dengan Ibu lain, Ia tidak merasa termarginalisasi secara gender, karena dulu mendiang suami sering memberikan uang kepadanya. Namun secara adat, ternyata Ibu M Beru.Keliat juga tidak mendapatkan warisan dari orangtuanya, dengan alasan orangtua juga tidak meninggalkan begitu banyak warisan, sehingga yang mendapatkan warisan hanya abang tuanya. Hal ini menunjukkan adanya subordinasi dalam budaya Karo.

Hingga saat ini Ia masih mempunyai hubungan yang baik dengan masyarakat sekelilingnya di Desa Penen. Ia tidak pernah merasakan kekerasan dalam rumah tangga. Mengenai beban kerja ganda, karena tinggal seorang diri pada saat ini, Ibu M Beru.Keliats lah yang bekerja ke ladang dan mengerjakan pekerjaan rumah.

Informan VII

Selama 63 tahun umurnya, Ibu P Beru.Barus tidak pernah mendengar kata gender. Marginalisasi dikantakannya tidak dialami olehnya, karena semasa berumahtangga Ia mendapatkan uang, bahkan menyimpan uang yang diberikan suaminya, dan Ia sendiri mendapatkan warisan dari kedua orangtuanya dan suaminya. Hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar juga masih dirasakan olehnya, meski Ia hidup tanpa suami.

Sambil mengingat tentang didikan gurunya sewaktu di Sekolah Rakyat, Ibu P Beru.Barus berkata bahwa sedari dulu sudah diajarkan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. laki-laki lebih diutamakan baik dari segi pendidikan dan ekonomi dan posisi dalam adat- istiadat.

Kekerasan dalam rumah tangga dijawab Ibu P Beru.Barus tidak pernah terjadi dalam rumahtangganya. Beban kerja ganda pun dijawab Ibu P Beru.Barus tidak terjadi padanya, karena ada anak abang iparnya yang mengerjakan pekerjaan rumah, dan Ibu yang pergi ke ladang, bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Informan VIII

Ibu Rk. Beru.Barus pernah mendengar kata gender, dan menjawab tidak pernah merasa termarginalisasi secara gender. Subordinasi yang digambarkannya terjadi di dalam budaya Karo, dicontohkan Ibu Rk. Beru.Barus mengenai rapat adat ketika ada pesta. Dimana kaum laki-laki lah yang pendapatnya lebih di dengar dan diutamakan daripada perempuan. Pendapat apapun dari perempuan sebelum ditanya oleh laki-laki, dikatakan belum sah. Meskipun pada akhirnya boleh jadi pendapat perempuanlah yang akhirnya diterima. Beban kerja juga tidak dirasakan olehnya, karena suami dan Ibu Rk. Beru.Barus sering masak bersama dan bekerja ke ladang pun bersama.

Informan IV

Ibu lulusan SMA ini pernah mendengar kata gender dan tidak merasa termarginalisasi secara gender. Mengenai strereotype terhadap janda dijawabnya hal tersebut tergantung keberadaan janda tersebut, jawabnya. Subordinasi dikatakannya terasa di budaya Karo dengan alasan, bahwa anak laki-laki dianggap lebih berharga. Sampai ada keluarga yang menganggap apabila belum ada anak laki-laki, keluarga tersebut terasa belum lengkap, sampai ada keluarga yang mempunyai anak banyak hanya

untuk mendapat anak laki-laki. Kekerasan dalam rumahtangga tidak terjadi dalam keluarga Ibu DI Beru. Sitepu, tetapi Ia yakin hal tersebut pasti ada terjadi pada rumah tangga wanita Karo.

Beban kerja ganda juga dijawab Ibu DI Beru. Sitepu tidak dialami olehnya, dengan alasan sekarang dia dibantu oleh anak-anaknya dalam mengerjakan pekerjaan rumah maupun ke ladang. Meskipun suaminya sudah tidak ada lagi.

Informan X

Ibu lulusan SMA ini, pernah mendengar kata gender, dan tidak merasa termarginalisasi. Stereotype terhadap janda, dari masyarakat dijawabnya hal tersebut juga tergantung perilaku janda itu ditengah masyarakat. Jikalau Ibu Rk Beru.Tarigan sendiri, dia masih merasakan hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar.

Subordinasi dalam budaya karo, dicontohkannya mengenai perbedann jumkah warisan, dimana laki-laki yang mendapat lebih banyak dan mengenai posisi kaum laki- laki yang dianggap lebih tinggi dari perempuan. misalkan ketika ada musyawarah di pesta. Laki-laki mengemukakan pendapat di depan, sedangkan perempuan hanya duduk mendengar dibelakang, dan hanya berpendapat ketika ditanya.

Kekerasan dalam rumah tangga, kadang-kadang dialami Ibu Rk Beru.Tarigan, apabila bertengkar dengan suaminya, tetapi setelah itu, kami baikan lagi, tambahnya. Beban kerja ganda, dijawab Ibu Rk Beru.Tarigan tidak dialami olehnya. Sewaktu mendiang suami masih hidup, mereka sama-sama pergi berladang, dan terkadang suami membantu istri di rumah. Sekarang yang membantu Ibu Rk Beru.Tarigan berladang dan mengerjakan pekerjaan rumah adalah anak-anaknya.

4.2.4. Kondisi Ketidakadilan Gender Yang Dialami Informan 4.2.4.1. Gender dan marginalisasi Perempuan

Proses marginalisasi, yang mengakibatkan kemiskinan, sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan Negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan. Namun salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan disebabkan oleh Gender. Ada beberapa jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan Gender tersebut. Dari sumbernya bisa dari keyakinan tradisi atau aturan adat, maupun kebiasaan.

Marginalisasi kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi di dalam rumahtangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi, dimulai di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi terhadap anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. marginalisasi juga diperkuat oleh adat maupun tafsir keagamaan. Misalnya banyak di antara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapat warisan sama sekali.

Dokumen terkait