• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Dan Pengalaman Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Persepsi Dan Pengalaman Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

PERSEPSI DAN PENGALAMAN PEREMPUAN KARO YANG DITINGGAL MATI SUAMI TERHADAP HARTA WARISAN

(Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

D I S U S U N

OLEH :

SISKA FERIANITA SEMBIRING 020901051

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa, atas limpahan berkat dan karunia yang begitu

besar untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Segala hormat dan

kemuliaan bagi-Nya penulis persembahkan karena hanya berkat bimbingan

tangan-Nyalah maka penulis dapat merangkai kata demi kata sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

Dengan ketulusan hati, skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orangtua

tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang tanpa henti kepada penulis mulai dari kecil

hingga saat ini. Terima kasih juga kepada adik-adikku Ika, Peni dan Nuel yang telah

memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik yang berjudul: “Persepsi Dan Pengalaman

Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus

masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dukungan dari semua pihak sangat berarti

dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik itu

berupa moril maupun materil. Dengan segala kerendahan hati izinkanlah penulis

menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terima kasih yang mendalam kepada

(3)

1. Bapak Prof.Dr.Arif Nasution,MA, Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr.Badaruddin,M.Si, Selaku Ketua Departemen Sosiologi.

3. Ibu Dra.Rosmiani,MA, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi.

4. Ibu Harmona Daulay.S.Sos,M.Si sebagai dosen pembimbing, rasa hormat dan terima

kasih yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata untuk beliau yang telah

mencurahkan waktu, tenaga, dan ide-ide untuk membimbing penulis dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Henry Sitorus.M.Si, Sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah

memberikan pengarahan dan motivasi bagi penulis selama mengikuti perkuliahan di

Departemen Sosiologi. Teristimewa kepada dosen-dosen Sosiologi yang telah

memberikan bekal pengetahuan yang berharga kepada penulis.

6. Terima kasih juga buat Kak Peny, Kak Nurbety, Bang Fritz dan Kak Absah yang

selama masa perkuliahan telah membantu penulis dalam kelancaran proses

administrasi.

7. Segenap dosen dan staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pendidikan.

8. Bapak Lesteng Perangin-angin, selaku Kepala Desa Penen Kec.Biru-biru yang telah

membantu penulis di lapangan.

9. Penghargaan dan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Nek Iting dan Bulang

‘Engkong’. Buat semua kebaikan yang sudah saya terima, baik itu berupa tenaga,

waktu, pemikiran, dan tempat tinggal selama di lapangan. Doa saya supaya

(4)

10.Terima kasih juga buat Keluarga Surbakti, buat Bibi, Bapak, Ka’Ina dan keluarga

semuanya, buat dukungan yang memberi semangat hingga skripsi ini dapat selesai.

Buat ‘mama dan mami tengah’ terima kasih untuk bantuannya.

11.Terima Kasihku untuk Bi’Tengah (Lina), Bi’Uda (Sabarita) untuk semangat yang

memberi kekuatan untuk terus mau berusaha dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Rekan-rekan Sosiologi ’02, Juni, Ziza, Ade (terima kasih untuk persahabatan kita

selama ini), Roy, Horhosana, Riko, B’Jordan (makasi buat semua perhatian dan

kebaikan kalian selama ini), dan Mona, Witha, Intan, Eka, Dea, Citra, Deddy (maju

terus yah…), Bornok, Ana Aritonang, Masly, dan buat semua teman-teman yang

lebih dulu telah menyelesaikan kuliahnya.

13.Special buat B’Henryco yang ‘ndut, makasi banyak buat cerewetnya, buat

marah-marahnya (kalo aku lagi malas), buat pinjaman komputernya, buat masukannya,

waktu, tenaga, dan semua perhatian serta kebaikan yang buat aku tetap semangat

berusaha menyelesaikan skripsi ini. Makasi buat “Benk, Ka’Herlin, d’Clovers, rekan

pelayananku di Sola Gratia (Rumah Doa) makasi buat doanya, anak-anak ‘PSC,

semua orang yang sempat tanyain skripsiku ‘hehe tandanya kalian semua masih

perhatian padaku.

14.Akhirnya, kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu terima

kasih atas bantuannya. Tuhan memberkati.

Medan, Mei 2008

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa, atas limpahan berkat dan karunia yang begitu

besar untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Segala hormat dan

kemuliaan bagi-Nya penulis persembahkan karena hanya berkat bimbingan

tangan-Nyalah maka penulis dapat merangkai kata demi kata sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

Dengan ketulusan hati, skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orangtua

tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang tanpa henti kepada penulis mulai dari kecil

hingga saat ini. Terima kasih juga kepada adik-adikku Ika, Peni dan Nuel yang telah

memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik yang berjudul: “Persepsi Dan Pengalaman

Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus

masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dukungan dari semua pihak sangat berarti

dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik itu

berupa moril maupun materil. Dengan segala kerendahan hati izinkanlah penulis

menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terima kasih yang mendalam kepada

(6)

1. Bapak Prof.Dr.Arif Nasution,MA, Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr.Badaruddin,M.Si, Selaku Ketua Departemen Sosiologi.

3. Ibu Dra.Rosmiani,MA, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi.

4. Ibu Harmona Daulay.S.Sos,M.Si sebagai dosen pembimbing, rasa hormat dan terima

kasih yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata untuk beliau yang telah

mencurahkan waktu, tenaga, dan ide-ide untuk membimbing penulis dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Henry Sitorus.M.Si, Sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah

memberikan pengarahan dan motivasi bagi penulis selama mengikuti perkuliahan di

Departemen Sosiologi. Teristimewa kepada dosen-dosen Sosiologi yang telah

memberikan bekal pengetahuan yang berharga kepada penulis.

6. Terima kasih juga buat Kak Peny, Kak Nurbety, Bang Fritz dan Kak Absah yang

selama masa perkuliahan telah membantu penulis dalam kelancaran proses

administrasi.

7. Segenap dosen dan staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pendidikan.

8. Bapak Lesteng Perangin-angin, selaku Kepala Desa Penen Kec.Biru-biru yang telah

membantu penulis di lapangan.

9. Penghargaan dan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Nek Iting dan Bulang

‘Engkong’. Buat semua kebaikan yang sudah saya terima, baik itu berupa tenaga,

waktu, pemikiran, dan tempat tinggal selama di lapangan. Doa saya supaya

(7)

10.Terima kasih juga buat Keluarga Surbakti, buat Bibi, Bapak, Ka’Ina dan keluarga

semuanya, buat dukungan yang memberi semangat hingga skripsi ini dapat selesai.

Buat ‘mama dan mami tengah’ terima kasih untuk bantuannya.

11.Terima Kasihku untuk Bi’Tengah (Lina), Bi’Uda (Sabarita) untuk semangat yang

memberi kekuatan untuk terus mau berusaha dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Rekan-rekan Sosiologi ’02, Juni, Ziza, Ade (terima kasih untuk persahabatan kita

selama ini), Roy, Horhosana, Riko, B’Jordan (makasi buat semua perhatian dan

kebaikan kalian selama ini), dan Mona, Witha, Intan, Eka, Dea, Citra, Deddy (maju

terus yah…), Bornok, Ana Aritonang, Masly, dan buat semua teman-teman yang

lebih dulu telah menyelesaikan kuliahnya.

13.Special buat B’Henryco yang ‘ndut, makasi banyak buat cerewetnya, buat

marah-marahnya (kalo aku lagi malas), buat pinjaman komputernya, buat masukannya,

waktu, tenaga, dan semua perhatian serta kebaikan yang buat aku tetap semangat

berusaha menyelesaikan skripsi ini. Makasi buat “Benk, Ka’Herlin, d’Clovers, rekan

pelayananku di Sola Gratia (Rumah Doa) makasi buat doanya, anak-anak ‘PSC,

semua orang yang sempat tanyain skripsiku ‘hehe tandanya kalian semua masih

perhatian padaku.

14.Akhirnya, kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu terima

kasih atas bantuannya. Tuhan memberkati.

Medan, Mei 2008

(8)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR………i

DAFTAR ISI………..……… iv

DAFTAR TABEL DAN MATRIKS……...………..….v

ABSTRAKSI………viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………..……..……1

1.2. Perumusan Masalah………..……….…9

1.3. Tujuan Penelitian……….…….…10

1.4. Manfaat Penelitian……….……...10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender……….……12

2.2. Analisis Gender………15

2.3. Akses Terhadap Kekayaan………..……….…17

2.4. Kerangka Konsep………..…19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Peneliti.………21

(9)

3.3. Unit Analisa Data………22

3.4. Teknik Pengumpulan Data………..…………23

3.5. Teknik Analisa Data………..………..…………24

3.6. Jadwal Penelitian……….………..…………..25

3.7. Keterbatasan Penelitian………..………..………...…26

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Daerah Penelitian……….………..…27

4.1.1. Sejarah Desa Penen………..………..…27

4.1.2. Keadaan Fisik……….…….…28

4.1.3. Keadaan Non Fisik……….……….…29

4.1.3.1. Jumlah Penduduk……….……29

4.1.3.2. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin…….29

4.1.3.3. Komposisi Penduduk Menurut Umur..………29

4.1.3.4. Komposisi Penduduk Menurut Agama………30

4.1.3.5. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian………..…...…32

4.2. Interpretasi Data Penelitian………...…34

4.2.1. Profil Informan……….………..…34

4.2.1.1. Informan Kunci………..………...34

4.2.1.2. Informan Biasa………47

4.2.2. Persepsi Dan Pengalaman Informan Terhadap Hak Waris Janda………....49

(10)

4.2.2.2. Informan biasa……….………...…64

4.2.3. Pemahaman Informan Terhadap Issue Gender……….…….…...68

4.2.4. Kondisi Ketidakadilan Gender Yang Dialami Informan………...…76

4.2.4.1. Gender Dan Marginalisasi Perempuan………..…..…...76

4.2.4.2. Gender Dan Subordinasi……….80

4.2.4.3. Gender Dan Stereotype………...85

4.2.4.4. Gender Dan Kekerasan……….…..87

4.2.4.5. Gender Dan Beban Kerja………89

4.2.5. Patriarki Dalam Kebudayaan Masyarakat Karo………94

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan………..100

5.2. Saran……….…103

(11)

DAFTAR MATRIKS

Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian………..……..25

Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur……….30

Tabel 3. Komposisi Penduduk Desa Penen Menurut Agama………...31

Tabel 4. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian……….32

Matriks 5. Pengalaman Informan Terhadap Hak Waris Janda………63

Matriks 6. Persepsi Informan Terhadap Harta Warisan………..66

Matriks 7. Pengalaman Informan Terhadap Marginalisasi……….76

Matriks 8. Pengalaman Informan Terhadap Subordinasi………82

Matriks 9. Pengalaman Informan Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga…87 Matriks 10. Pengalaman Informan Terhadap Burden atau Beban Kerja………….90

(12)

Abstrak

Dalam hal kebudayaan, masyarakat Karo masih memegang teguh adat istiadatnya meskipun mereka bertempat tinggal di perantauan. Mereka tetap menunjukkan eksistensi mereka sebagai orang Karo, salah satunya yaitu dengan menempatkan merga sesudah nama diri. Hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo berdasarkan merga, namun dua hal penting yang mempengaruhi hubungan kekeluargaan itu, yaitu kelahiran dan perkawinan. Kedua hubungan tersebut akan menimbulkan hubungan darah, karena hubungan darah itulah dapat diketahui jauh dekatnya hubungan kekerabatan dalam masyarakat itu sendiri.

Masyarakat karo menganut sistem patrilinial. Yaitu dengan menempatkan keturunan mengikuti garis keturunan dari laki-laki. Hal ini menyebabkan adanya ketimpangan antara derajat perempuan dan laki-laki dimana laki-laki dianggap lebih berkuasa dan lebih berharga daripada perempuan. Akhirnya wanita di dominasi oleh laki-laki.

Mengenai warisan, kebudayaan masyarakat Karo menempatkan laki-laki sebagai pewaris utama, sedangkan anak perempuan tidak dianggap berhak untuk mendapatkan warisan. Janda wanita Karo sendiri, tidak dianggap sebagai ahli waris, tetapi mendapat hak untuk menikmati warisan dari suaminya.

Yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah :

Bagaimana persepsi dan pengalaman wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam pembagian warisan, adat istiadat Karo di Desa Penen Biru-biru. Bagaimana persepsi tokoh masyarakat, tokoh adat dan masyarakat formal terhadap wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam pembagian warisan di Desa Penen Biru-biru.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyak ketimpangan yang dialami informan jika kita meninjau dari kaca mata gender, informan seluruhnya mengalami subordinasi, sebagian kecil mengalami marginalisasi secara ekonomi dari segi pembagian harta warisan, tetapi sebagian besar mengalami marginalisasi dari segi pendidikan. Sebagian kecil mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dengan anggapan informan bahwa pertengkaran dan berujung kekerasan fisik maupun non fisik adalah hal biasa dalam bahtera rumah tangga. Sebagian besar informan mengalami burden, tetapi tidak satupun informan mendapatkan stereotype yang negatif dari lingkungan sosialnya. Hasil tersebut tidak lain merupakan buah dari sistem patriarki, sehingga menempatkan perempuan berada di posisi yang dirugikan.

(13)

Abstrak

Dalam hal kebudayaan, masyarakat Karo masih memegang teguh adat istiadatnya meskipun mereka bertempat tinggal di perantauan. Mereka tetap menunjukkan eksistensi mereka sebagai orang Karo, salah satunya yaitu dengan menempatkan merga sesudah nama diri. Hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo berdasarkan merga, namun dua hal penting yang mempengaruhi hubungan kekeluargaan itu, yaitu kelahiran dan perkawinan. Kedua hubungan tersebut akan menimbulkan hubungan darah, karena hubungan darah itulah dapat diketahui jauh dekatnya hubungan kekerabatan dalam masyarakat itu sendiri.

Masyarakat karo menganut sistem patrilinial. Yaitu dengan menempatkan keturunan mengikuti garis keturunan dari laki-laki. Hal ini menyebabkan adanya ketimpangan antara derajat perempuan dan laki-laki dimana laki-laki dianggap lebih berkuasa dan lebih berharga daripada perempuan. Akhirnya wanita di dominasi oleh laki-laki.

Mengenai warisan, kebudayaan masyarakat Karo menempatkan laki-laki sebagai pewaris utama, sedangkan anak perempuan tidak dianggap berhak untuk mendapatkan warisan. Janda wanita Karo sendiri, tidak dianggap sebagai ahli waris, tetapi mendapat hak untuk menikmati warisan dari suaminya.

Yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah :

Bagaimana persepsi dan pengalaman wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam pembagian warisan, adat istiadat Karo di Desa Penen Biru-biru. Bagaimana persepsi tokoh masyarakat, tokoh adat dan masyarakat formal terhadap wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam pembagian warisan di Desa Penen Biru-biru.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyak ketimpangan yang dialami informan jika kita meninjau dari kaca mata gender, informan seluruhnya mengalami subordinasi, sebagian kecil mengalami marginalisasi secara ekonomi dari segi pembagian harta warisan, tetapi sebagian besar mengalami marginalisasi dari segi pendidikan. Sebagian kecil mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dengan anggapan informan bahwa pertengkaran dan berujung kekerasan fisik maupun non fisik adalah hal biasa dalam bahtera rumah tangga. Sebagian besar informan mengalami burden, tetapi tidak satupun informan mendapatkan stereotype yang negatif dari lingkungan sosialnya. Hasil tersebut tidak lain merupakan buah dari sistem patriarki, sehingga menempatkan perempuan berada di posisi yang dirugikan.

(14)

BAB I Pendahuluan

I.1. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Karo merupakan salah satu bagian dari suku bangsa yang besar, yaitu

Batak. Selain Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Batak Nias, Batak Dairi,

dan Batak Angkola. (www.tanahkaro.com). Masyarakat Karo, selain sebagian besar

tinggal di daerah pegunungan , tidak sedikit juga yang tinggal di daerah perantauan.

Seperti halnya suku-suku lain, masyarakat Karo mempunyai sistem

kemasyarakatan, hal ini terjadi karena masyarakat ingin mempertahankan sistem

kehidupan keluarga untuk kelangsungan hidup dalam mempertahankan nilai-nilai yang

dimiliki, terutama yang berkaitan dengan jati diri. Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh

E.Wvana-Pritchard dalam (Limbeng 1995 : 3).

“…Dalam tiap-tiap masyarakat, walaupun dalam bentuk yang paling sederhana sekali, kita akan dapat menemui suatu bentuk kehidupan keluarga, pengakuan mengenai ikatan kekeluargaan, sistem ekonomi dan politik, status sosial, ibadah agama, cara menyelesaikan konflik dan hukuman terhadap penjahat dan lain-lain disamping kebudayaan material, suatu kumpulan pengetahuan mengenai alam semesta, tehnik, dan tradisi…”

Pada masyarakat Karo, sistem kemasyarakatan dikenal dengan nama merga si lima,

tutur si waluh, rakut si telu. Merga (Merga)1 tersebut dipakai untuk laki-laki, sedangkan

untuk perempuan disebut beru, yang disandang di belakang nama diri seseorang.

Merga si lima, dalam masyarakat Karo ada lima Klen besar (Merga) yaitu :

- Ginting

1 Istilah Merga (Merga) dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai kelompok kekerabatan dalam

(15)

- Karo-Karo

- Tarigan

- Perangin-angin

- Sembiring

Kelima merga ini mempunyai sub merga masingg-masingg. Setiap orang Karo

mempunyai merga dari salah satu merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari

ayah, tetapi ada juga merga yang didapat berdasarkan pemberian2.

Hubungan kekerabatan tetap menjadi unsur terpenting dalam aspek kehidupan

masyarakat Karo. Kekerabatan dalam masyarakat Karo disebut perkade-kaden dan

kerabat disebut kade-kade. Pengertian kekerabatan dalam masyarakat Karo sangat luas,

jika diabstraksikan pada masyarakat Karo akan terbentang suatu jaringan kekerabatan

yang menyangkut semua orang Karo, dalam arti bahwa setiap orang Karo jika dicari

silsilahnya maka akan didapat hubungan kekerabatan. Dalam arti inilah pentingnya

merga tersebut.

Pada dasarnya hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo berdasarkan merga,

namun dua hal penting yang mempengaruhi hubungan kekeluargaan itu, yaitu kelahiran

dan perkawinan. Kedua hubungan tersebut akan menimbulkan hubungan darah, karena

hubungan darah itulah dapat diketahui jauh dekatnya hubungan kekerabatan dalam

masyarakat itu sendiri.

Rakut si telu berarti ikatan nan tiga adalah kelengkapan hidup bagi masyarakat

Karo. Kelengkapan maksudnya merupakan lembaga sosial yang terdapat dalam

masyarakat Karo, yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu kalimbubu, anak beru, dan

(16)

senina.3 Institusi rakut si telu memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat

Karo, termasuk dalam pembagian harta warisan. Pembagian harta warisan bagi

masyarakat Karo selalu didasarkan musyawarah diantara pihak-pihak anggota keluarga

yang ada pertalian darah dengan pewaris. Dalam adat Karo tidak ada aturan tertulis

dalam pembagian harta warisan pada masyarakat Karo, sehingga kadang-kadang

menimbulkan perselisihan diantara para keluarga yang bertalian darah dengan pembagi

warisan.

Tutur si waluh, yaitu sistem kekerabatan yang terdapat di dalam kegiatan adat,

yang dapat dikembangkan menjadi delapan sub kekerabatan, yaitu :

- Puang Kalimbubu

- Kalimbubu

- Senina

- Sembuyak

- Senina Sipemeren

- Senina Sepengalon/Sendalanen

- Anak Beru

- Anak Beru menteri

Masyarakat Karo menganut sistem kekerabatan patrilineal, garis keturunan menurut

ayah. Garis keturunan Patrilineal adalah “…yang menghitung hubungan kekerabatan

melalui orang laki-laki saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap individu

dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk dalam batas hubungan

3Limbeng (1995) memberi pengertian Kalimbubu adalah kelompok pemberi anak dara kepada keluarga

(17)

kerabatnya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh di luar batas itu”

(Koentjaraningrat, 1967: 124). Garis keturunan laki-laki dan menjadi musnah atau hilang

kalau tidak ada anak laki-laki yang dilahirkannya. Sistem kekerabatan patrilineal adalah

tulang punggung masyarakat Karo, yang terdiri dari keturunan, merga kelompok, suku

yang semuanya dihubungkan menurut garis laki-laki.

Salah satu sisi yang menempatkan kedudukan perempuan lebih lemah dari laki-laki

telah melahirkan sistem kekeluargaan ‘patrilineal geneologis’. Kemampuan untuk

melanjutkan keturunan hanya terbatas pada lelaki. Peran perempuan hanya sekedar

menjadi ibu yang berfungsi menjadi wadah benih lelaki sebagai tempat pembuahan anak

untuk dilahirkan. Dalam analisis gender, hal ini disebut peran gender (gender role). Anak

yang dilahirkannya bukan miliknya, tetapi menjadi anak suaminya serta merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari ikatan kekerabatan suami secara ‘geneologis’.

Hal di atas sejalan dengan pendapat IC Vergowen (dalam Harahap 1997 : 114)

yang menyatakan :

“…Hak waris adalah hak menggantikan (suksesi) menurut keturunan langsung dalam alur laki-laki (male line). Alasan filosofisnya, karena lelaki pelaksana wajar dari kesinambungan keturunan lelaki jalur Bapak. Kehidupan dunia para leluhur yang sudah mati, dilanjutkan oleh anak lelaki mereka. Keturunan lelaki melakukan pemujaan dan mengurus arwah mereka dalam kerajaan semangat, dan pasang surut kemakmuran dan kemiskinan yang menimpa ditentukan oleh pemujaan dan penghormatan turunan laki-laki terhadap leluhur laki-laki…”

Konsekuensi atas patrilineal ini telah melahirkan sistem kewarisan yang ditegakkan

dengan prinsip :

1. Anak lelaki jauh lebih utama dari anak perempuan.

(18)

3. Harta warisan tidak dibolehkan berpindah kepada keluarga lain atas

perkawinan.

Sebagaimana masyarakat yang menganut garis keturunan patrilineal, masyarakat

Karo yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris dari orangtuanya.

Sementara perempuan tidak mempunyai hak menuntut bagian dari warisan itu.

Seorang wanita Karo yang ditinggal mati oleh suaminya disebut Mbalu4. Kematian

seorang suami dapat memunculkan kuasa atas isteri berpindah ke kerabat mendiang

suaminya, yang dapat bertindak bebas, jika tidak ada keturunan laki-laki. Karena si

wanita ini dianggap tidak berhak untuk mendapatkan warisan suaminya secara hukum

adat. Namun, jika ada anak laki-laki, anak paling sulung dapat bertindak atas nama

keluarga dan apabila si-anak telah cukup umur, maka keluarga mereka dapat sepenuhnya

menguasai harta warisan. Seorang janda bisa tetap tinggal di bawah kuasa dan di dalam

lingkungan kerabat mendiang suami (waris) karena si wanita tersebut masih menjadi hak

keluarga dari suaminya atau dia boleh kembali ke pihak kalimbubu (pemberi dara). Dia

dapat kawin dengan seorang saudara mendiang suaminya atas dasar adat yaitu dengan

sebutan “ganti tikar” (gancih abu). Namun, bisa juga kerabatnya sendiri

mengawinkannya dengan anggota keluarga jauh, anggota dari merga yang sama dengan

mendiang suaminya atau orang dengan merga yang lain. Semua kemungkinan ini

mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda dalam hal perkawinan dan dalam hal yang

lain. Dia juga menginginkan tetap tinggal di dalam kelompok kerabat mendiang

suaminya bersama anak-anaknya sebagai janda yang tidak kawin lagi. Dalam hal ini

jangkauan kekuasaan seorang janda atas hartanya harus ditentukan. Akan tetapi, pada

(19)

dasarnya ia bukan waris dari suaminya, namun ia tetap berhak menikmati harta kekayaan

yang ditinggalkan suaminya.

Seiring dengan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Karo, perempuan

yang selama ini tidak mendapat harta warisan, mencoba merubah dominasi laki-laki

terhadap harta warisan. Hal ini ditandai dengan dengan dikeluarkannya keputusan

Makamah Agung, yang mengubah ketentuan ahli waris menurut hukum adat, khususnya

ahli waris anak dan janda. Misalnya, keputusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961,

tanggal 23 oktober 1961, yang menyatakan bahwa :

“…berdasarkan selain rasa perikemanusiaan dan keadilan umum, juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.

…berhubungan dengan itu maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya” (Soekanto, 1983: 263).

Juga keputusan Mahkamah Agung No. 100 K/Sip/1967, tanggal 14 juni 1968,

yang menyatakan bahwa (Soekanto, 1983: 263-264) :

“…karena mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju ke arah persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris telah merupakan yurispodensi yang dianut oleh Mahkamah Agung,…” (Soekanto, 1983: 263)

Demikian juga, menurut Rehgena Purba dalam (Soekanto, 1983: 264): Keputusan

Mahkamah Agung No. 179 K/Sip/1961 dibuat untuk kasus yang terjadi pada masyarakat

yang terjadi di Tanah Karo, menulis di dalam makalahnya:

(20)

haknya ataupun dalam pembagian warisan, yaitu dapat kita lihat pada banyaknya perkara yang masuk ke pengadilan mengenai masalah warisan….”

Suatu fakta bahwa orang yang mengenal karakter normatif dari hukum, yang

meyakini hukum sebagai suatu sistem yang mengikat, tidak pernah berusaha untuk

membuat suatu solusi yang dapat memecah problema yang menyangkut hubungan antara

hukum dengan realita. Problema yang akan terjadi kemudian adanya dua hukum yang

dipakai dalam pembagian harta warisan pada masyarakat Karo, yaitu pembagian menurut

hukum adat dan ketentuan dari Mahkamah Agung No. 179 K/Sip/1961. Memang tidak

seluruhnya masyarakat Karo memakai ketentuan dari Mahkamah Agung sebagai hukum

dalam pembagian harta warisan. Banyak wanita Karo yang membawa kasus pembagian

harta warisan ke pengadilan, karena menganggap “tidak adil” kalau anak laki-laki saja

yang memperoleh harta warisan, karena mereka (anak perempuan) juga anak dari orang

tua mereka. Pembagian harta warisan sendiri di masyarakat Karo tidak seluruhnya

mempunyai aturan yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh letak wilayah tempat tinggal

masyarakat tersebut dan aturan yang berlaku di wilayah tersebut.

Di dalam wilayah suku bangsa Karo, terdapat beberapa bagian daerah, yaitu:

1. Daerah Karo Gugung, yaitu tanah tinggi Karo, meliputi wilayah kabupaten

Karo sekarang ini. Daerah Karo gugung terbagi lagi dengan beberapa

daerah, yaitu Taneh Urung Julu, Taneh Urung Gunung-gunung (Singalor

lau) dan Taneh Urung Melas.

2. Daerah Karo Timur yaitu Serdang Hulu dan daerah bekas Kecamatan

Cingkes tahun 1946.

(21)

4. Daerah Karo Jahe atau Deli Hulu.

5. Daerah Karo Bingge, Karo Salapian, Karo Buah Orok, sekarang semuanya

disebut Karo Langkat.

Dari lima bagian daerah Karo ini, sedikit banyaknya ada terdapat perbedaan, yaitu

dari segi adat-istiadat, bahasa, dan norma kebiasaan masyarakatnya. Desa Penen, sesuai

dengan wilayahnya disebut Karo Jahe. Selama ini masyarakat Karo baik yang tinggal di

Kabupaten Karo atau yang tinggal di perantauan masih menghormati eksistensi hukum

adat dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Demikian halnya dengan masyarakat

Karo yang bertempat tinggal di Desa Penen. Adat istiadat masih dipegang teguh sebagai

jiwa suatu masyarakat yang mampu menciptakan kesejahteraan. Jiwa gotong-royong5

yang masih tetap dijaga semakin mempererat persaudaraan antar sesamanya. Seiring

dengan berjalannya waktu, banyak perubahan yang terjadi di Desa Penen ini dalam hal

pembagian warisan terhadap perempuan dan warisan terhadap wanita Karo yang

ditinggal mati suaminya. Dimana perempuan sudah dianggap berhak untuk mendapatkan

warisan.

Di dalam beberapa kasus dalam penelitian ini, kita dapat menemukan beberapa

janda yang sudah mendapatkan bagian dalam hal pembagian warisan. Perubahan inilah

yang ingin diteliti oleh peneliti dan ingin dicari tahu, pengaruh apakah yang

mempengaruhi perubahan tentang warisan tersebut, apakah dipengaruhi oleh hukum

yang berlaku, pendidikan, isu gender dan pengaruh agama, sehingga merubah persepsi

masyarakat Karo di Desa Penen.

(22)

bergotong-1.2. Perumusan Masalah

Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis harus

merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana harus pergi, dan

dengan apa. (Arikanto, 2002: 22).

Berdasarkan uraian diatas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut

:

1. Bagaimanakah persepsi dan pengalaman wanita Karo yang ditinggal mati

suaminya dalam pembagian warisan, adat istiadat Karo di Desa Penen

Biru-biru?

2. Bagaimana persepsi tokoh masyarakat, tokoh adat dan masyarakat formal

terhadap wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam pembagian

warisan di Desa Penen Biru-biru?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

- Untuk mengetahui bagaimana persepsi dan pengalaman wanita Karo yang

ditinggal mati suaminya dalam pembagian warisan, adat istiadat Karo di Desa

Penen Biru-biru.

- Untuk mengetahui bagaimana persepsi tokoh masyarakat, tokoh adat dan

masyarakat formal terhadap wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam

pembagian warisan di Desa Penen Biru-biru.

(23)

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

- Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan peneliti, dalam

melakukan penelitian di bidang ilmu sosial, khususnya dalam ilmu

sosiologi, dan

- Hasil penelitian diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah dan masukan

penting bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang menganut

sistem patriarki dan instansi terkait yang menangani masalah warisan.

2. Manfaat Praktis

- Untuk memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi pihak-pihak

terkait dengan permasalahan yang terjadi dan dapat menjadi referensi

untuk kajian atau penelitian selanjutnya, dan

- Memberikan masukan kepustakaan serta memberi masukan kepada

instansi terkait dalam membuat kebijakan-kebijakan proses pembagian

(24)

BAB II Kajian Pustaka

2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender

Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada

khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun temurun menurut

hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

diwariskan kepada anak laki-laki.

Ada kesan kedudukan wanita atau perempuan tergolong rendah yang diambil dari

beberapa pengertian yang bertolak dari anggapan adanya mas kawin (tukur), seakan

perempuan dijual. Adanya lakoman dan gancih abu1 yang menandakan bahwa

perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal dan perempuan

tidak mendapat warisan. Sebenarnya pendapat demikian sangat dangkal dan tidak

memiliki pemahaman yang mendalam tentang kultur budaya masyarakat Karo. Emas

kawin pengertiannya bukanlah menandakan wanita itu dijual tetapi merupakan

perubahan status dari seorang gadis serta dianggap golongan kedalam kelompok merga

lain. Lakoman dalam masyarakat Karo bukanlah merupakan suatu paksaan setelah

suaminya meninggal dimana ia tidak otomatis bercerai dengannya. Adat memberikan

suatu kesempatan ia kawin dengan saudara suaminya jika ia setuju dan dapat menolak

bila ia tidak setuju.

1Lakoman berarti saudara kandung laki-laki dari mendiang suami ditunjuk secara adat untuk mengambil

(25)

Mengenai sistem kekeluargaan masyarakat Karo, Djaja S.meliala (1997 : 30)

mengatakan :

“…Sistem patrilineal dengan sistem perkawinan eksogami dengan membayar uang jujur dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan, membawa akibat bahwa:

1. Simempelai wanita setelah menikah dan setelah dibayar uang jujur mengikuti suaminya.

2. Anak-anak yang kemudian lahir dari perkawinan akan mengikuti klen ayahnya, dan hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan keturunan dan menerima warisan.

3. Harta yang diperoleh selama masa perkawinan adalah milik suami.”

Dengan sistem kekeluargaan patrilineal yang dianut masyarakat Karo, di mana

anak laki-laki menjadi penerus garis keturunan dari orangtuanya, maka hanya laki-laki

saja yang berhak mewarisi harta kekayaan orangtuanya. Atas alasan itu pula maka wanita

dalam adat masyarakat Karo sejak dahulu bukan merupakan ahli waris.

Adanya ketimpangan dalam pembagian kekayaan, kekuasaan, antara laki-laki dan

perempuan yang menguntungkan kaum laki-laki ini oleh sejumlah ahli dikaitjkan dengan

dominasi laki-laki terhadap perempuan (male domination). Suatu bentuk organisasi

sosial dalam mana laki-laki mendominasi perempuan oleh Mancions (1992:261)

dinamakan patriarki (patriarchy). Sedangkan menurut bentuk sebaliknya, dalam mana

perempuan mendominasi laki-laki dinamakan matriarki (matriarchy).

Unit analisis mengenai wanita di dalam masyarakat, hal ini merupakan suatu

perkembangan yang penting, karena status atau posisi seseorang pada suatu tatanan

sosial berhubungan dengan kekuasaan. Dalam hal ini wanita sering sekali dirugikan,

seperti halnya wanita di masyarakat Karo selalu mendapat posisi lebih rendah terutama

dalam hal pembagian harta warisan, seperti hal yang telah diuraikan di atas. Di

(26)

hal pewarisan. Untuk menganalisa kedudukan wanita di masyarakat Karo dari perspektif

gender kita akan menemukan sub-ordinasi mengacu pada “posisi bawah” dalam

hubungan antara pria dan wanita. Diskriminasi juga yang dialami wanita Karo, sebagai

akibat dari sistem kekeluargaan patrilineal yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai

ahli waris, dan mengabaikan hak anak perempuan.

Perubahan sosial pada masyarakat Karo telah mampu merubah sebagian pemikiran

perempuan untuk berani memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan

merdeka dari ketertindasan kaum laki-laki. Keterikatan terhadap nilai-nilai adat budaya

dalam pembagian harta warisan lambat laun mulai pudar karena perempuan menganggap

hal ini tidak adil. Hal ini ditandai dengan dengan dikeluarkannya Keputusan Mahkamah

Agung No. 179/Sip/1961, tanggal 23 oktober 1961, yang menyatakan bahwa

“…berdasarkan selain rasa perikemanusiaan dan keadilan umum, juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.

Berhubungan dengan itu maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan

dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang

tuanya” (Soekanto, 1983: 263).

Juga keputusan Mahkamah Agung No. 100 K/Sip/1967, tanggal 14 juni 1968, yang

menyatakan bahwa (Soekanto, 1983: 263-264) :

“…karena mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju ke arah persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris telah merupakan yurispodensi yang dianut oleh Mahkamah Agung,…” (Soekanto, 1983: 263)

(27)

Analisis gender muncul sebagai akibat dari kesadaran bahwa peningkatan peran

wanita dalam pembangunan telah gagal membebaskan perempuan dari diskriminasi dan

ketidakadilan. Salah satu yang dianggap menjadi persoalan terletak bukan pada kaum

perempuannya, melainkan pada ideologi yang dianut oleh baik laki-laki maupun

perempuan yang sangat berpengaruh dalam kebijakan dan pelaksanaan pembangunan,

yakni bias gender dalam pembangunan.

Analisis gender sebagai analisis sosial konflik memusatkan perhatian pada

ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh keyakinan gender yang mengakar dan

tersembunyi diberbagai tempat, seperti tradisi masyarakat, keyakinan keagamaan, serta

kebijakan dan perencanaan pembangunan.

Gender (bahasa Inggris) adalah suatu pemahaman sosial budaya tentang apa dan

bagaimana lelaki dan perempuan seharusnya berperilaku. Oakley dalam (Mansour Fakih,

2002:171) dalam bukunya yang berjudul sex, gender dan society memberi makna gender

sebagai perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Gender

adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang sosial constructed,

yakni yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh kaum

laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Menurut Caplan

dalam (Mansour Fakih, 2002:171) yang dituliskan dalam bukunya yang berjudul The

cultural construction of sexuality menegaskan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki

dan perempuan selain secara biologis, sebagian justru terbentuk melalui proses sosial dan

kultural. Gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas

ke kelas, sementara jenis kelamin (sex) akan tetap tidak berubah. Perbedaan gender,

(28)

Secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya bisa hamil,

melahirkan dan menyusui, dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat,

pengasuh dan pendidik anak, sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak pelu digugat.

Peran gender melahirkan masalah yang perlu digugat, yakni “ketidakadilan” yang

ditimbulkan oleh “peran gender” dan “perbedaan gender” tersebut.

Berbagai manifestasi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya asumsi gender

adalah sebagai berikut :

1. Marginalisasi (kemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan yang

disebabkan oleh perbedaan gender.

2. Subordinasi pada salah satu jenis sex, yang umumnya pada kaum

perempuan. selama berabad-abad atas alasan agama, kaum

perempuan tidak boleh memimpin apapun, termasuk masalah

keduniawian, tidak dipercaya untuk memberikan kesaksian, bahkan

tidak mendapat warisan.

3. Stereotype (pelabelan negative) terhadap jenis kelamin tertentu,

terutama perempuan, dan akibat dari stereotype itu, terjadi

diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya.

4. Violence (kekerasan) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya

perempuan. kekerasan di sini dimulai dari kekerasan fisik seperti

pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang

lebih halus, seperti pelecehan seksual (sexual harassment) dan

(29)

5. Burden (beban kerja). Karena peran gender adalah mengelola rumah

tangga, banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih

banyak dan lebih lama (burden). Beban kerja tersebut menjadi dua

kali lipat terlebih bagi kaum perempuan, yang juga bekerja di luar

rumah. Mereka selain bekerja di luar, juga masih harus bertangung

jawab untuk kepentingan seluruh pekerjaan domestik.

Analisa gender membantu memahami pokok persoalan, sistem dan struktur yang

tidak adil. Baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami

dehumanisasi karena ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan mengalami

dehumanisasi karena ketidakadilan gender, sementara kaum laki-laki menjadi

dehumanisasi karena melanggengkan penindasan gender.

Kesemua ketidakadilan gender tersebut, saling terkait dan saling mempengaruhi,

dan tersosialisasi kepada laki-laki dan perempuan secara baik. Dimana lambat-laun

ketidakadilan itu dianggap sebagai “kodrat” yang diterima dan tidak dirasakan ada yang

salah. Perempuan adalah mayoritas yang dirugikan sehingga seolah-olah gender hanya

menjadi alat memperjuangkan perempuan.

2.3 Akses Terhadap Kekayaan

Di sebagian besar di kawasan Selatan, kekayaan (properti) biasanya dalam bentuk

tanah, adalah kunci kelangsungan hidup, dan akses maupun kontrol terhadapnya sangat

berkaitan dengan pola kekeluargaan dan perkawinan. Demikian pula, hak tanah dan

kekayaan maupun perluasan kontrol keluarga atas anggotanya. Karena itulah

(30)

akses yang dimiliki oleh laki-laki terhadap tanah, dan sangat sedikit sekali perempuan

yang memiliki kontrol penuh terhadap tanahnya yang berhasil diperoleh dengan

usahanya sendiri. Pada saat yang sama, ada perbedaan pola yang besar dalam praktik

pewarisan, yang diatur oleh kesukuan, agama, kebiasaan, maupun undang-undang

setempat.

Di banyak masyarakat, kekayaan diwariskan melalui garis patrilineal, tetapi tidak

disebagian kecil masyarakat dimana pewarisan mengikuti garis matrilineal (seperti

masyarakat Asanthe Ghana, dan masyarakat Rembau di Malaysia) kontrol atas kekayaan

dan tanah cenderung tetap berada di tangan laki-laki, perbedaanya adalah bahwa dalam

sistem matrilineal laki adalah paman dari garis ibu, saudara laki dan anak

laki-laki dari perempuan.(Mansour Fakih 2002: 72-74).

Di Negara Islam dan banyak Negara di Afrika sub-Sahara, di Peru, Bolivia dan

Paraguay. Perempuan tidak memiliki hak waris yang sama dengan laki-laki. Menurut

hukum Islam, waris yang diterima seorang anak perempuan dibatasi setengah dari yang

diterima oleh anak laki-laki (karena anak perempuan diharapkan menikah dan

kebutuhannya dipenuhi oleh suaminya, berarti membiarkan mereka tetap bergantung

kepada anak laki-laki). Di Afrika sub-Sahara, hukum adat melakukan diskriminasi

terhadap perempuan. Hak tanah sering berpindah kepada laki-laki atas asumsi bahwa

kepala keluarga senantiasa laki-laki. .(Mansour Fakih 2002:82).

Secara tradisional, gagasan yang dianut tentang perilaku gender yang tepat bias

sangat memperngaruhi kehidupan perempuan yang makin menguatkan pola-pola gender

dalam masyarakat. Pemahaman tentang perbedaan gender dalam kepemilikan dan

(31)

perempuan perlu diseimbangkan dengan pandangan lainnya, karena hidup perempuan

juga ditentukan oleh pandangan tentang melahirkan anak, maupun peristiwa

lainnya,--pubertas, kejandaan, yang dirasakan dan diatur oleh masyarakat. (Mansour Fakih

2002:82).

2.4. Kerangka Konsep

Konsep dalam penelitian sangat diperlukan agar tidak menimbulkan kekacauan

atau kesalahpahaman. Sehubungan dengan itu, maka batasan-batasan konsep yang

dipakai dalam penelitian ini adalah :

- Persepsi

Menurut kamus bahasa Indonesia yang disebut dengan persepsi adalah

tanggapan sosial. Jadi pengertian persepsi adalah bagaimana tanggapan

masyarakat Karo mengenai warisan terhadap wanita yang ditinggal mati

suaminya bersuku Karo.

- Warisan

Menurut Hazairin warisan berasal dari kata “waris” yang berasal dari

bahasa Arab “wraith” yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

“waris” (Soekanto, 1983). Warisan adalah harta peninggalan yang

ditinggal oleh orang tuanya, yang kemudian diteruskan kepada

anak-anaknya (keturunannya), baik peninggalan yang berupa materiil maupun

immateriil. Dalam masyarakat Karo ada warisan harta gono-gini (warisan

yang dapat dibagi kepada anak perempuan dan anak laki-laki, merupakan

(32)

turun-temurun yaitu warisan yang diperoleh dari orang tua laki-laki dan hanya

boleh diwariskan kepada anak laki-laki. Apabila dalam sebuah keluarga

tidak mempunyai anak laki-laki, warisan turun-temurun diserahkan kepada

keluarga lain yang punya anak laki-laki.

- Suku Karo

Suku Karo adalah Suku Bangsa yang berasal dari dataran tinggi Tanah

Karo. Suku Karo adalah satu Suku Bangsa Batak yang mendiami dataran

tinggi Tanah Karo, dan ada sebagian yang menyebar (merantau) ke

seluruh pelosok Tanah Air.

- Janda

Adalah seorang wanita yang setelah menikah, berpisah dengan suaminya

karena kematian, atau seorang isteri yang suaminya telah meninggal

dunia, tetapi dalam kultur orang Karo, wanita yang ditinggal mati oleh

suaminya tidak disebut janda, Karena ia masih milik kerabat suaminya,

sampai ia mengatakan secara lisan untuk meninggalkan kerabat suaminya

(33)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian menyangkut cara pola tehnik yang digunakan dalam

mengadakan penelitian, sehingga sampai pada tujuan dan sasaran penelitian yang

dilakukan. Metode penelitian yang dipakai adalah model analisa deskriptif. Hal ini

dimaksudkan untuk dapat memahami permasalahan atau yang diteliti sehingga

diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang gejala-gejala dan

fenomena yang diteliti dan diharapkan diperoleh data sesuai dengan yang diperlukan.

3.1. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Desa Penen, Kecamatan

Biru-biru, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Yang menjadi alasan pemilihan

lokasi ini adalah :

- Peneliti melihat bahwa di daerah ini ada hal-hal yang tidak biasa dialami

oleh masyarakat banyak tentang hak waris wanita yang ditinggal mati

suaminya.

- Peneliti merasa dapat memasuki Suku Karo yang menetap di daerah

tersebut karena satu etnis dengan informan sehingga diharapkan peneliti

dapat memperoleh informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian.

(34)

Untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam sebuah metode penelitian maka

diperlukan suatu metode penelitian yang dapat menjawab permasalahan yang akan

diteliti. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi

kasus. Esensi studi kasus, adalah mencoba menjelaskan tentang masyarakat Karo

khususnya pembagian warisan terhadap wanita yang ditinggal mati suaminya. Dengan itu

studi kasus adalah menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan, bermasyarakat

dengan melihat fenomena dan konteks kultur yang ada dengan ditopang oleh beberapa

sumber yang bermanfaat terhadap penelitian ini.

Hasil pengamatan dituangkan dalam sebuah catatan lapangan yang nantinya

merupakan sumber data. Studi kasus adalah tipe penelitian yang penelaahannya terhadap

suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetail, dan konphrehensif (Faisal, 1995;

22).

3.3. Unit Analisa Data

Adapun yang menjadi unit analisa data dalam penelitian ini adalah masyarakat

Karo di Desa Penen. Informan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yakni informan

kunci dan informan biasa. Dimana yang menjadi informan kunci adalah : Wanita Karo

yang ditinggal mati suami (janda).

Sedangkan yang menjadi informan biasa terdiri dari

1. Pemuka (pengetua) adat Karo.

2. Kepala Desa Penen Biru-biru

3. Masyarakat Karo yang sudah berkeluarga yang tinggal di Desa

(35)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data

pertama yang diperoleh di lokasi penelitian atau objek penelitian. Adapun

langkah-langkah dalam pengumpulan data primer adalah dengan cara :

- Observasi langsung adalah pengamatan yang dilakukan secara

langsung pada objek yang diobservasi, dalam arti bahwa

pangamatan tidak menggunakan “media-media transparan”

(Burngin, Burhan 2001 : 143). Yang dimaksud dalam hal ini

bahwa peneliti secara langsung melihat atau mengamati apa yang

terjadi pada objek penelitian.

- Wawancara mendalam (depth interview) yaitu dengan

menggunakan daftar pertanyaan (interview guide) kepada

informan yang telah ditentukan. Wawancara mendalam, yaitu

peneliti melakukan komunikasi secara langsung dengan

mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan kepada informan.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber data kedua

(36)

untuk tahap yang mendukung data penelitian ini. Data sekunder diperoleh

dengan cara studi kepustakaan, peneliti mendapat suatu landasan teori

yang kuat untuk mendukung panulisan ini dari berbagai literature seperti

buku-buku serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian

ini.

3.5. Teknik Analisa Data

Analisa data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola

kategori dan satuan uraian, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dianalisa

selanjutnya (Maleong, 1993: 103). Analisa data ditandai dengan pengolahan dan

penafsiran data yang diperoleh dari setiap informasi baik secara pengamatan, wawancara

ataupun catatan-catatan lapangan, dipelajari dan ditelaah kemudian tahap selanjutnya

adalah mereduksi data yaitu melalui pembuatan abstraksi yang merupakan usaha

membuat rangkuman inti. Langkah selanjutnya adalah mengadakan pemeriksaan

keabsahan data, setelah itu dilanjutkan dengan pengolahan atau analisa dan penulisan

laporan hasil penelitian.

3.6 Jadwal Penelitian

Tabel 1.

(37)

Kegiatan Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4

Pra Penelitian:

- Penyusunan Proposal

- Perbaikan Proposal X

Persiapan:

- Pengurusan Izin X

- Persiapan Instrumen Penelitian X Penelitian:

- Observasi X X X X X X

- Wawancara X X X X X

Pasca Penelitian:

- Analisis Data X X X

- Penyusunan Laporan X X X

3.7. Keterbatasan penelitian

Keterbatasan dalam penelitian disebabkan oleh terbatasnya kemampuan

(38)

ilmiah. Yang menjadi keterbatasan peneliti semasa melaksanakan penelitian, yaitu

salah satunya masalah bahasa. Karena informan adalah mayoritas sudah lanjut

usia, jadi mereka tidak begitu mengerti bahasa Indonesia. Sehingga peneliti harus

berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Daerah, yaitu bahasa Karo. Untuk

mempermudah, peneliti juga membawa seorang ibu yang memang tinggal di Desa

Penen untuk lebih mudah bersosialisasi. Keterbatasan peneliti juga dialami ketika

mengajukan pertanyaan kepada informan, sering ditemukan mereka sulit

memberikan jawaban, sehingga peneliti harus memberikan contoh jawaban yang

sudah dijawab informan lain, kemudian mereka berfikir untuk memilih jawaban

yang sama.

Sewaktu bertamu ke rumah informan, hal yang pertama kali dibicarakan

adalah ertutur (mencaritahu silsilah keluarga yang dapat ditelusuri dari marga

seseorang, kampung halaman dan kerabat yang ada sehingga diketahui bagaimana

sistem kekerabatannya). Beruntung peneliti membawa seorang teman yang dahulu

keluarga besar orangtuanya tinggal di Desa Penen ini, meskipun sekarang mereka

sudah menetap di Medan. Sehingga ketika bertamu, dapat terjalin komunikasi

yang lebih baik.

Keterbatasan peneliti yang lain adalah masalah waktu yang tepat untuk

melakukan wawancara dengan informan. Dikarenakan informan berprofesi

sebagai petani, dan kebanyakan petani cokelat, informan tidak bisa dijumpai

sesuka hati. Informan dapat diwawancarai pada pagi dan siang hari karena pada

pagi hari mereka mengurus rumah tangga, kemudian pergi ke ladang untuk

(39)

untuk menjemur cokelat dan ada sebagian yang menjual cokelat yang sudah

kering.

Pada malam hari, sebagian masyarakat pada malam tertentu melakukan

kegiatan ibadah, dan hanya pada malam hari adalah waktu mereka untuk bersantai

sejenak sebelum tidur. Ditambah lagi cuaca di Desa Penen ketika dilakukan

penelitian adalah musim hujan. Pada malam hari sering hujan deras, sehingga

PLN setempat mengadakan pemadaman listrik sehingga tidak memungkinkan

peneliti untuk melakukan wawancara ke rumah informan.

Namun meskipun terdapat berbagai keterbatasan, peneliti tetap berusaha

semaksimal mungkin dalam mengumpulkan informasi dari informan, serta

(40)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Daerah Penelitian

4.1.1 Sejarah Desa Penen

Sebelum Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia Desa Penen didirikan oleh

beberapa rumah tangga yang dipimpin oleh seorang kepala kampung. Dulunya

penduduk desa ini mayoritas bermerga Barus.

Nama Penen sebenarnya berasal dari sebuah pohon kayu yang tumbuh rindang di

loods Pekan Penen, kemudian oleh kepala kampung pada saat itu pohon kayu yang

rindang tersebut dinamai Penen. Mulai dari proses itulah kemudian kampung tersebut

dinamakan Desa Penen.

Pada tahun 1945, oleh kepala kampung pohon tersebut ditebang untuk

pembangunan Loods Pekan Penen yang akan dijadikan sebgai tempat proses berbagai

transaksi bagi masyarakat Desa Penen, dan setelah ditebang maka hingga saat ini

pohon kayu tersebut sudah tidak ada lagi di daerah tersebut dan dari situlah hingga

sekarang desa tersebut disebut Desa Penen.

Pada tahun 1990 Desa Penen mendapat penggabungan desa yitu Desa Kuta

Tinggi dan desa yang digabung tersebut sekarang menjadi salah satu dari empat

dusun yang ada di Desa Penen. Adapun keempat dusun tersebut adalah Dusun Penen,

(41)

4.1.2 Keadaan Fisik Letak dan Luas

Desa Penen adalah salah satu Desa dari tujuh belas (17) desa yang berada di

Kecamatan Biru-biru. Desa ini terdiri dari empat Dusun yang terdiri dari Dusun

Penen, Dusun Kuta Tinggi, Dusun Air Panas dan Dusun Namonggang. Daerah Desa

Penen ini luasnya sekitar 400 Ha, dari total luas keseluruhan Kecamatan Biru-biru

Kabupaten Deli Serdang.

Adapun jarak pemerintahan Desa Penen dengan :

a. Pusat pemerintahan Kecamatan berjarak sekitar 12 km.

b. Ibu kota Kabupaten berjarak sekitar 63 km.

c. Ibu Kota profinsi berjarak 45 km.

Desa Penen secara Administratif memiliki batas-batas sebagai berikut ;

- Sebelah utara berbatasan dengan Dusun Kuala Sabah Desa Kuala Dekah.

- Sebelah selatan berbatasan dengan Dusun Pamah dan Desa Penungkiren

- Sebelah barat berbatasan dengan Desa Mardinding Hulu dan Dusun Laja.

(42)

4.1.3 Keadaan Non Fisik 4.1.3.1.Jumlah Penduduk

Di Desa Penen ini sebenarnya terdapat empat Dusun yakni, Dusun Penen, Dusun

Kuta Tinggi, Dusun Air Panas dan Dusun Namonggang. Namun seiring dengan

perguliran waktu menyebabkan lambat laun penduduk yang dahulunya berada di

empat dusun tadi kini terpusat hanya di dua dusun yaitu dusun Penen dan Air Panas.

Menurut data dari buku Monografi Desa Penen Tahun 2005, maka jumlah penduduk

Desa Penen adalah sebanyak 902 jiwa, yang terdiri dari 250 rumah tangga.

4.1.3.2. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin.

Berdasarkan buku Monografi Desa Penen tahun 2005 dan juga informasi dari

sekretaris desa serta buku kecamatan Biru-biru dalam angka dari 902 jiwa jumlah

penduduk Desa Penen terdiri dari 431 jiwa adalah laki-laki dan 471 jiwa adalah

perempuan.

4.1.3.3. Komposisi Penduduk Menurut Umur.

Untuk mengetahui tingkat perkembangan dan potensi suatu daerah dapat dilihat

dari komposisi penduduknya menurut kelompok umur, karena memang

berdasarkan komposisi penduduknya menurut kelompok umur kita dapat melihat

dengan jelas jumlah usia penduduk yang tergolong produktif dan non produktif.

Usia 16-59 tahun adalah usia yang tergolong masuk ke dalam usia yang produktif,

karena memang pada usia seperti inilah manusia memiliki kemampuan yang

(43)

Sedangkan usia 0-15 tahun masih dalam kategori non produktif sama dengan usia

60 tahun ke atas. Adapun penggolongan penduduk menurut umur di Desa Penen

dapat dilihat pada matriks berikut ini :

Tabel 2.

Komposisi penduduk menurut umur

no kelompok umur jumlah jiwa persentase (%)

1 0-4 tahun 60 6,66

2 5-6 tahun 85 9,42

3 7-15 tahun 217 28,94

4 16-21 tahun 333 34,48

5 22-45 tahun 138 12,86

6 46-59 tahun 42 4,65

7 > 60 tahun 27 2,99

jumlah 902 100

Sumber : Data Monografi Desa penen,2005.

4.1.3.4. Komposisi Penduduk Menurut Agama.

Dilihat dari segi agama maka di Desa Penen terdapat penduduk yang memeluk

jenis agama yang berbeda, namun dalam kesehariannya, perilaku umat beragama

yang rukun dan saling menghormati sangat jelas kelihatan. Adapun jenis agama

yang dipeluk oleh penduduk Desa Penen dapat di lihat pada matriks berikut.

Tabel 03.

(44)

No Agama Jumlah (Jiwa) Persentase %

1 Islam 35 3,88

2 Protestan 363 40,42

3 Katholik 504 55,88

Jumlah 902 100

Sumber : Data Monografi Desa Penen Tahun 2005

Dari matriks di atas menunjukkan bahwasanya penduduk Desa Penen mayoritas

adalah beragama Kristen yang terdiri dari Katholik sebanyak 55,88% dan protestan

sebanyak 40,24% yang apabila kita nominalkan maka jumlah penduduk Desa Penen yang

beragama Kristen sebanyak 96,02% atau 867 jiwa. Sangat mayoritas disbanding dengan

penduduk yang beragama Islam yang hanya berjumlah 3,88% atau 35 jiwa.

Penduduk Desa Penen menjalankan aktivitas keagamaanya di rumah ibadat yang

dibangun oleh pihak yayasan keagamaan dan masyarakat sendiri. Adapun sarana rumah

peribadatan yang ada di Desa Penen yang dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat

penyembahan kepada Yang Maha Kuasa hanyalah gereja sebanyak empat buah. Adapun

keempat tersebut adalah gereja GSRI, GKPI, Rohol Kudus, dan GBKP. Berbeda pula

dengan penduduk Desa Penen yang beragama Islam tidak memiliki sarana

peribadatannya sehingga penduduk melangsungkan prosesi keagamaannya di rumah

masing-masing

4.1.3.5. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Mata pencaharian adalah jenis pekerjaan yang sedang atau pernah dilakukan

seseorang yang mencirikan pekerjaan yang dilaksanakan dalam tujuan untuk memenuhi

(45)

umumnya bekerja di sawah sebagai petani dan mengusahakan ladang, selain itu juga ada

yang bekerja sebagai wiraswasta/dagang, pegawai negeri dan peternak serta

mengumpulkan batu yang akan diolah menjadi pupuk.

Sesuai dengan penggunaan lahan yang telah disebut di atas kita dapat melihat

sekitar 90% lahan yang terdapat di Desa Penen diperuntukkan di sektor pertanian dan

perkebunan, inilah signifikansi dari penggunaan lahan di desa terhadap mata pencaharian

penduduk Desa Penen.

Tabel 4. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah Persentae %

1. Karyawan

a. PNS 13 2,53

b. ABERUI -

-c.Swasta 9 1,75

2. Wiraswasta/Pedagang 10 1,75

3. Petani 400 77,98

4. Pertukangan 8 1,55

5. Buruh Tani 58 11,30

6. Pensiunan 15 2,92

Jumlah 513 100

Sumber : Data Monografi Desa Penen Tahun 2005

Dari matriks 04 di atas terlihat bahwa jenis mata pencaharian yang mayoritas

digeluti oleh penduduk Desa Penen adalah bertani yakni sebanyak 400 jiwa atau

77,98% dari 513 penduduk yang tergolong ke dalam kategori usia produktif. Ini

sesuai dengan kondisi dan penggunaan lahan yang ada di desa. Kemudian sebanyak

(46)

PNS ataupun swasta sebanyak 22 jiwa atau 4,28% penduduk Desa Penen

menggelutinya diikuti dengan adanya penduduk yang bekerja sebagai pedagang

sebanyak 10 jiwa.

4.2. Interpretasi Data Penelitian 4.2.1. Profil Informan

4.2.1.1. Informan Kunci

(47)

Ibu M.Beru Barus, lahir di Nagri Suah pada tanggal 13 Desember 1936, saat ini

tinggal bersama seorang anak lelaki bungsunya yang sudah berkeluarga, dengan 3

orang cucunya. Selain bertani, keluarga ini juga membuka sebuah warung kedai kopi

di depan rumahnya. Meskipun sudah tua, ibu 72 tahun ini masih tetap pergi ke

ladang cokelatnya untuk mengambil buahnya, kemudian mengambil bijinya dan

menjemur cokelat, namun Ibu M.Beru Barus sudah tidak sekuat dulu lagi, jadi tidak

terlalu sering pergi ke ladang, karena kondisi fisiknya, yang sudah renta.

Setelah tamat Sekolah Rakyat, ibu ini menikah 56 tahun yang lalu, tepatnya pada

tahun 1951, karena Ibu M.Beru Barus tidak dapat lagi mengingat waktu yang lebih

spesifik. Sewaktu berumur 16 tahun ia menikahi suaminya yang masih berumur 12

tahun (empat tahun lebih muda), karena dijodohkan. Ibu M.Beru Barus menikah

sebagai istri pertama dan satu-satunya, dan mempunyai 9 orang anak, tetapi 4 orang

meninggal, jadi yang masih hidup dan sudah menikah semua ada 3 orang anak

laki-laki, 2 orang anak perempuan.

Ibu M.Beru Barus bercerita, delapan tahun pertama pernikahannya diwarnai

dengan pertengkaran yang sangat sering, bahkan kekerasan pun dialami Ibu ini dari

suaminya, seperti dipukul dan dijambak rambutnya. Dikatakan Ibu M.Beru Barus

bahwa suaminya dahulu masih suka pacaran dengan wanita lain, ketika istri susah

mencari makan justru si suami yang sibuk jalan-jalan, layaknya seperti masih lajang

saja. Sehingga membuat Ibu ini berfikir untuk bercerai saja. Tapi sampai suaminya

meninggal, perceraian tersebut tidak pernah terjadi.

Suami Ibu M.Beru Barus meninggal tahun 2001 karena sakit. Sampai saat ini

(48)

ini bahwa ketika Ibu sakit, keluarga suami masih mengunjungi, dan kalau ada pesta

keluarga suami masih ingat untuk mengundang.

Informan II

Ibu K Beru. Ginting, usia 69 tahun, menikah pada tahun 1959 di usia 21 tahun.

Di usianya yang 69 ibu ini masih terlihat cantik, kulitnya putih bersih, dan rambut ikalnya

yang terikat rapi. Sepertinya ibu K.Beru Ginting ini tidak mengunyah tembakau di

kegiatan sehari-harinya, karena giginya putih bersih. Ibu ini tinggal di rumah yang

sangat layak huni, dengan lantai rumah yang dikeramik, dinding yang dicat putih. Di

bagian depan rumah ibu ini terdapat satu tempat tidur, yang dialasi kain sprei putih

bersih, yang agak terhalang karena tertutup tirai putih. Dan diseberang tempat tidur ini

ada sebuah meja kantor dan kursi di belakangnya. Ruang tersebut adalah ruang periksa

pasien.

Usia pernikahanya sudah 41 tahun namun tahun 2000 yang lalu, Ibu kelahiran laja

7 juli 1938 sudah menjadi janda. Ibu dengan pendidikan terakhir Sekolah Rakyat ini juga

menikah sebagai istri satu-satunya dari mendiang suami, yang dikaruniai empat anak

laki-laki dan 1 anak perempuan, semua anaknya sudah menikah. Ibu yang masih punya

hubungan baik dengan keluarga mendiang suaminya ini, sekarang tinggal bersama anak

perempuan bungsunya yang sudah berkeluarga, yang berprofesi sebagai seorang bidan

desa, dan membuka praktek di rumahnya sendiri, yang sekaligus digunakan sebagai

tempat tinggal. Namun ketika kami berkunjung, anak Ibu K.Beru Ginting sedang tidak

berada di rumah. Yang kami temui adalah anak perempuan dari saudara mendiang

(49)

kegiatan sehari-harinya. Ibu sendiri untuk bertahan hidup sehari-harinya pergi ke ladang

untuk mengambil cokelat. Dan tidak ada rencana untuk menikah lagi.

Profil Informan III

Pagi itu di Dusun I Desa Penen kami mendatangi sebuah rumah yang sangat

sederhana dengan rumah yang terbuat dari papan, dan beratapkan seng. Rumah yang

tidak begitu tinggi atapnya memberi kesan rumah tersebut sangat kecil, dan tua. Ketika

kami menginjakkan kaki pada semen rumah kecil itu,di ruang tamu banyak terlihat goni

yang ditebar dan buah cokelat yang sedang dijemur, juga kita bisa melihat tempat tidur

tua tanpa kasur, hanya beralaskan tikar pandan.

Ketika peneliti berkunjung, Ibu R Beru.Tarigan sedang membaca Alkitab

Berbahasa Karo. Awalny Ibu R Beru.Tarigan agak terkejut, namun akhirnya ibu yang

menemani peneliti, menjelaskan dalam bahasa Karo, bahwa peneliti sedang mengerjakan

tugas untuk sekolah dan membutuhkan kerjasama dari para janda Karo yang ada di Desa

Penen, sambil menginformasikan bahwa sudah ada juga beberapa janda yang telah

diwawancara sebelumnya.

Dengan suara yang sangat lembut sekali, Ibu kelahiran Nagri Suah 25 september

1947 menjawab setiap, pertanyaan, dan Ibu agak mengerti Bahasa Indonesia, meskipun

beberapa kali peneliti harus mengulang pertanyaan dan membutuhkan ibu yang

menemani peneliti untuk menterjemahkannya dalam bahasa Karo.

Ibu menikah pada tahun 1984 di Jakarta. Di usia ke 39 Ibu menikah sebagai isteri

yang Ke-empat dari lima istri yang dimiliki mendiang suami. Ibu sendiri hanya

(50)

meninggal di tahun berikutnya, yaitu 1985, ketika usia anak perempuannya baru berusia

dua bulan.

Dengan keinginan berbagi, Ibu berusia 60 tahun ini bercerita bahwa dahulu,

mendiang suaminya menggunakan pelet untuk menggaet Ibu. Pada akhirnya juga,

mendiang suaminya dipelet oleh perempuan lain, kemudian menikah dan meninggal

karena sakit.

Kini Ibu tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini hidup dengan menempati

rumah yang dipinjamkan oleh saudara laki-lakinya yang lebih tua (abangnya) dan ia

bertahan hidup sehari-hari dengan mengerjakan milik abangnya, dengan perjanjian

sebagian hasil diberikan kepada abangnya itu.

Ibu memiliki satu anak perempuan, Nina. Sekarang berkerja sambil kuliah di

Palembang, tinggal bersama bapak tengahnya. Hingga sekarang dia tidak kenal

bapaknya. Hanya melalui foto saja. Hingga saat ini, keluarga mendiang suami pun tidak

pernah mengenal Nina, apalagi melihat Nina. Mereka tidak memperhatikan keluarga

kami. Keluarga mendiang suami tidak pernah datang menjenguk atau mengundang.

Sehingga tali kekeluargaan terputus begitu saja, sehingga membuat Ibu tidak pernah mau

berharap banyak dari keluarga mendiang suaminya.

Profil Informan IV

Peneliti berkunjung pada malam hari, sekitar pukul 20.15. beruntung,karena

malam itu tidak turun hujan, seperti malam sebelumnya. Ibu yang menemani peneliti

memilih berkunjung pada malam hari, karena memang pada saat itulah seluruh warga

(51)

masing-masing. Nama-nama Ibu yang akan menjadi informan sudah ada pada peneliti yang

diperoleh dari Kepala Desa, dengan bantuan sebagian warga Penen, peneliti bertanya dan

mencaritahu dimana tempat tinggal Ibu yang dimaksud.

Tinggal di rumah yang sangat baik kondisinya, dan rumah yang ditempati sudah

permanen. Ketika berkunjung, Ibu Ru Beru.Tarigan sudah akan tidur. Raut wajah yang

kelelahan terlihat pada wajah Ibu kelahiran Penen, 1945 yang duduk di tikar bersama

kami. Kesulitan dialami peneliti,karena Ibu usia 62 tahun ini sulit mengerti Bahasa

Indonesia, sehingga pertanyaan harus diterjemahkan ke dalam bahasa Karo, dibantu oleh

teman peneliti.

Ibu Ru. Beru.Tarigan menikah di usia 20 tahun, tepatnya pada tahun 1965 dan

menjadi janda pada tahun 2000. Ibu Ru. Beru.Tarigan menikah sebagai istri pertama dan

satu-satunya. Ibu Ru. Beru.Tarigan pada saat ini tinggal bersama anak laki-lakinya yang

paling bungsu, sudah menikah dan dikaruniai satu orang puteri.

Ibu Ru. Beru.Tarigan berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini sendiri

mempunyai empat orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Semua anaknya

sudah berumah tangga.

Hingga saat ini masih terjalin hubungan yang baik dengan keluarga mendiang

suami. Meskipun sudah tua, Ibu Ru. Beru.Tarigan masih tetap pergi ke sawah yang

ditanaminya padi, untuk bertahan hidup sehari-hari.

Profil Informan V

Hari Minggu pagi sekitar pukul 08.10 peneliti sudah ada di rumah Ibu M

Gambar

Tabel  2.
Tabel  4. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Table pengalaman informan terhadap burden atau beban kerja
Table pengalaman informan terhadap subordinasi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari itu dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak narapidana, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian apakah ketentuan hak-hak narapidana yang

Lokasi Perkebunan Pinang Sebatang Estate sebelah timur berbatasan dengan kebun Aneka Persada Estate, sebelah barat berbatasan dengan Desa Okura (kebun pribadi Atang), sebelah

penerangan horizontal pada arena 1 m diatas permukaan lantai, sebesar minimal 200 lux untuk latihan, minimal 300 lux untuk pertandingan, minimal 1000 lux untuk

Seperti yang dikemukakan Semi (1993): “berbicara atau bercakap memainkan peranan penting karena bahasa pada hakikatnya adalah bahasa lisan”. Dalam kehidupan sehari-hari

Adanya kesulitan pada para pemilik usaha penjualan pakaian(Butik) dalam menentukan lokasi yang tepat untuk mendirikan Butik yang sesuan dengan keinginan pemilik usaha dalam

(3) Sub Seksi Kesehatan Anak mempunyai tugas mengumpulkan bahan penyelenggaraan usaha pemeriksaan dan pembinaan Kesehatan anak melalui Rumah Sakit, Puskesmas

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta kemudahan penulis dalam penyusun skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk

Beberapa parameter uji yang diteliti pada analisis limbah cair industri rumah tangga perikanan dan penentuan bobot adsorben optimum adalah parameter warna secara