• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

Matriks 7. Pengalaman Informan Terhadap Marginalisasi

Pengalaman informan terhadap marginalisasi No Nama informan Mengalami

marginalisasi ya/tidak

Alasan informan

1. M Beru Barus Tidak Karena saya mendapat warisan dari suami.

saya yang memegang uang dalam rumah tangga, sesuai dengan kesepakatan suami istri, dan sebagai janda saya juga mendapatkan warisan. 3. R.Beru Tarigan Ya Semasa hidup, saya memang diberikan

nafkah oleh suami, tetapi saya tidak mendapatkan warisan, saya sebagai anak, dan ketika saya menjadi janda. 4. Ru Beru.tarigan Tidak Karena dalam rumah tangga, saya

dipercaya untuk memegang uang dalam rumah tangga, dan saya juga mendapatkan warisan.

5. M Beru.Tarigan Tidak Karena saya dapat uang belanja sewaktu suami masih hidup, dan saya juga mendapat warisan.

6. M Beru.Keliat Tidak Meskipun saya tidak mendapat warisan sebagai anak, tetapi hal tersebut dikarenakan warisan dari orangtua saya tidak banyak.

7. P Beru.Barus Tidak Karena saya mendapatkan warisan dari suami saya.

8. R.Beru Barus Tidak Karena sebagai janda, saya

mendapatkan warisan.

9. D.I Beru.Sitepu Tidak Karena suami beri uang belanja kepada saya selagi masih hidup, dan sebagai istri saya juga mendapat warisan.

10 Rk Beru.Tarigan Tidak Karena semasa hidup, suami beri uang juga dan saya juga mendapat warisan.

Hasil dari penelitian di Desa Penen juga menunjukkan bahwa sebahagian perempuan mengalami marginalisasi, meskipun mereka mengakui mereka tidak mengalami kemiskinan secara ekonomi, dengan alasan, mereka diberi uang belanja oleh suami, dan mendapatkan warisan ketika mereka sebagai anak dan sebagai seorang perempuan yang ditinggal

mati suaminya. Kurangnya kesadaran marginalisasi ini dikarenakan beberapa dari informan yang tidak pernah sama sekali mendengar kata Gender, sehingga mereka tidak menyadari, bahwa mereka merupakan korban dari marginalisasi, dimana marginalisasi ini juga didukung oleh aturan adat, yang memberikan kepada laki-laki hak yang lebih besar. Sebagian informan juga mendapat warisan yang lebih sedikit dari orangtua mereka, bahkan ada yang tidak mendapatkan warisan sama sekali.

Seperti yang diungkapkan oleh informan K.Beru Ginting :

“…kami hanya dua orang bersaudara. Saya dan saudara laki-laki saya yang lebih tua. Warisan orangtua saya ada sama abang semuanya. saya enggak dapat, tapi enggak apa- apa lah enggak ada dia saya tuntut sikit pun. Menantu abang saya yang perempuan pun slalu dia datang ke rumahku, baik-baiknya dia kusambut. Jadi enggak masalah sama saya..”

Demikian halnya dengan yang diungkapkan oleh informan R.Beru Tarigan:

“…saya tidak mendapatkan warisan sama sekali dari mendiang suami. Begitu juga dengan warisan dari kedua orangtua. Yang saya tahu, kalau warisan dari suami, itu diserahkan ke isteri terus nanti di serahkan sama anak yang laki-laki. meskipun pun itu warisan dari mertua. Tetapi hal tersebut tidak terjadi pada saya. Sebenarnya saya tidak setuju dibuat seperti itu, tapi ya sudah lah, saya tidak mau menuntut. Karena harta orangtua saya juga tidak banyak, yah,saya pasrah saja. Setelah menjadi janda, saya sudah tidak punya kedua orangtua lagi, dan keluarga dari mendiang suami memang tidak pernah memperdulikan keluarga saya, sedangkan hidup saya masih membutuhkan bantuan, jadi saya kembali ke keluarga saya sendiri, yaitu kepada sudara laki-laki saya yang paling tua..”

Hasil musyawarah, memutuskan bahwa informan tidak mendapatkan warisan dari orangtuanya. Dan yang bertanggungjawab terhadap pembagian harta tersebut adalah rakut si telu5 (anak beru, kalimbubu, dan senina). Karena ketika musyawarah, terjadi perselisihan,

5 Peran rakut sitelu dalam pembagian warisan pada masyarakat Karo adalah sebagai saksi dan

penengah apabila terjadi perselisihan antara ahli waris. Tetapi saat ini peran rakut sitelu telah mengalami pergeseran dalam masyarakat Karo, khususnya dalam proses pembagian harta warisan, hal ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu:

saudara laki-laki dari informan tidak mau berbagi warisan dengannya, sehingga membutuhkan rakut si telu sebagai penengah. Jadi yang menjadi ahli waris dari warisan tersebut hanyalah saudara laki-laki informan. Sedangkan informan hanya diberikan uang tunai sebanyak Rp.1juta.

Meskipun informan tidak setuju dengan hasil pembagian warisan tersebut, informan tidak berniat ntuk menuntut. Pada kondisi ini, informan tidak dapat berbuat apa-apa dari sisi pandangan adat, karena memang yang mutlak untuk mendapatkan warisan adalah anak laki-laki dan bukan anak perempuan.

Ketika mereka sudah menikah dan menjadi janda, mereka justru mendapat harta dari mendiang suami, meskipun tidak secara tertulis dan hanya boleh dinikmati apabila si istri tidak menikah lagi. Hal ini juga menjadi alasan dalam budaya Karo untuk tidak membagikan warisan secara merata kepada anak laki-laki dan perempuan, atau tidak memberikan sama sekali, karena apabila anak perempuan menikah kelak, ia juga akan mendapatkan warisan dari suaminya. Tetapi pandangan tersebut tentunya tidak bisa dijadikan alasan untuk anak perempuan tidak mendapatkan warisan, karena tidak semua perempuan Karo yang beruntung untuk mendapatkan warisan yang banyak dari mendiang suaminya, seperti yang dituturkan oleh informan M.Beru Keliat :

“…saya dapat warisan dari mendiang suami hanya berupa uang Rp.600.000. pembagian warisan tersebut hanya dihadiri keluarga istri dan keluarga mendiang suami. Sehingga yang bertanggung jawab terhadap warisan tersebut hanyalah keluarga, tanpa adanya peran dari rakut si telu. Saya, sebagai pewaris satu-satunya setuju dengan pembagian warisan tersebut dengan alasan bahwa memang tidak ada lagi harta lain yang mau dibagi…”

1. Anak perempuan telah mendapat harta warisan

Ada juga informan yang tidak mendapatkan warisan sama sekali dari mendiang suaminya. Seperti yang diutarakan informan R.Beru Tarigan :

“..saya tidak mendapatkan warisan sama sekali dari mendiang suami. Begitu juga dengan warisan dari kedua orangtua. Yang saya tahu, kalau warisan dari suami, itu diserahkan ke isteri terus nanti di serahkan sama anak yang laki-laki. meskipun pun itu warisan dari mertua. Tetapi hal tersebut tidak terjadi pada saya. Sebenarnya saya tidak setuju dibuat seperti itu, tapi ya sudah lah, saya tidak mau menuntut..”

Marginalisasi di bidang pendidikan juga terlihat dari sebahagian besar informan yang berpendidikan tamatan Sekolah Rakyat (SR) dan sebagian lagi berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).

4.2.4.2. Gender dan Subordinasi

Masalah warisan pada kenyataan adat istiadat orang Karo masih dipegang teguh di beberapa komunitas masyarakat Karo. Adat istiadat itu pulalah salah satu pengikat yang terbukti mampu memelihara keutuhan, kesejahteraan, kebudayaan, dan persaudaraan dikalangan masyarakat Karo, kekuatan spiritual adat terbukti hasilnya tentang kemampuan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan besar dalam lingkungan masyarakat sehar-hari. Hukum waris tersebut terjadi pada masa lampau ketika masyarakat masih jauh berbeda dengan keadaaan masyarakat sekarang.

Sebelum terjadi pergeseran sistem pembagian warisan pada masyarakat Karo, harta yang ditinggalkan oleh orang tuanya hanyalah diberikan kepada anak laki-laki, dan anak perempuan tidak mendapat bagian. Walaupun anak perempuan tidak mendapat harta warisan, tetapi sebelum orang tuanya meninggal, anak perempuan sering diberi perhiasan berupa emas dan sebagainya oleh ibunya, meskipun hal tersebut tidak berlaku secara mutlak dalam pelaksanaanya. Anak perempuan memang tidak mendapat harta warisan, tetapi bisa memakai tanah atau harta warisan

lainya, dan suatu saat nanti, pihak kalimbubu (saudara laki-laki dari perempuan tersebut) memintanya kembali harta yang dipakainya, maka tanah atau harta warisan yang dipakai perempuan tersebut harus di kembalikan.

Subordinasi dirasakan sangat kuat mengakar dalam kebudayaan Suku Karo.

Menurut sejumlah ahli salah satu faktor yang mendasari dominasi laki-laki dan patriarki adalah seksisme (sexism), yaitu keyakinan bahwa keunggulan suatu jenis kelamin merupakan pembawaan sejak lahir. Menurut Horton dan Hunt (dalam Kamanto, 2000 : 112), seksisme merupakan keyakinan atau kebijaksanaan mengenai keunggulan laki-laki atau ketimpangan seks, serta penerimaan terhadap stereotip peran seks tanpa mempertanyakannya.

Ketidakadilan gender itu biasanya menimpa perempuan karena kuatnya dominasi laki- laki terhadap perempuan baik secara sosial maupun budaya. Akibatnya, menjadi hubungan asimetris, antara perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan menjadi golongan yang menjalani ketidakberuntungan di lingkup publik. Dalam berbagai bentuknya kaum perempuan, masih mengalami sub-ordinasi, perendahan, pengabaian, pengeksplotasian dan lain-lain (Wijaya 1996:22).

Dokumen terkait