• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I Pendahuluan

I.1. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Karo merupakan salah satu bagian dari suku bangsa yang besar, yaitu

Batak. Selain Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Batak Nias, Batak Dairi,

dan Batak Angkola. (www.tanahkaro.com). Masyarakat Karo, selain sebagian besar

tinggal di daerah pegunungan , tidak sedikit juga yang tinggal di daerah perantauan.

Seperti halnya suku-suku lain, masyarakat Karo mempunyai sistem

kemasyarakatan, hal ini terjadi karena masyarakat ingin mempertahankan sistem

kehidupan keluarga untuk kelangsungan hidup dalam mempertahankan nilai-nilai yang

dimiliki, terutama yang berkaitan dengan jati diri. Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh

E.Wvana-Pritchard dalam (Limbeng 1995 : 3).

“…Dalam tiap-tiap masyarakat, walaupun dalam bentuk yang paling sederhana sekali, kita akan dapat menemui suatu bentuk kehidupan keluarga, pengakuan mengenai ikatan kekeluargaan, sistem ekonomi dan politik, status sosial, ibadah agama, cara menyelesaikan konflik dan hukuman terhadap penjahat dan lain-lain disamping kebudayaan material, suatu kumpulan pengetahuan mengenai alam semesta, tehnik, dan tradisi…”

Pada masyarakat Karo, sistem kemasyarakatan dikenal dengan nama merga si lima,

tutur si waluh, rakut si telu. Merga (Merga)1 tersebut dipakai untuk laki-laki, sedangkan

untuk perempuan disebut beru, yang disandang di belakang nama diri seseorang.

Merga si lima, dalam masyarakat Karo ada lima Klen besar (Merga) yaitu :

- Ginting

1 Istilah Merga (Merga) dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai kelompok kekerabatan dalam

(2)

- Karo-Karo

- Tarigan

- Perangin-angin

- Sembiring

Kelima merga ini mempunyai sub merga masingg-masingg. Setiap orang Karo

mempunyai merga dari salah satu merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari

ayah, tetapi ada juga merga yang didapat berdasarkan pemberian2.

Hubungan kekerabatan tetap menjadi unsur terpenting dalam aspek kehidupan

masyarakat Karo. Kekerabatan dalam masyarakat Karo disebut perkade-kaden dan

kerabat disebut kade-kade. Pengertian kekerabatan dalam masyarakat Karo sangat luas,

jika diabstraksikan pada masyarakat Karo akan terbentang suatu jaringan kekerabatan

yang menyangkut semua orang Karo, dalam arti bahwa setiap orang Karo jika dicari

silsilahnya maka akan didapat hubungan kekerabatan. Dalam arti inilah pentingnya

merga tersebut.

Pada dasarnya hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo berdasarkan merga,

namun dua hal penting yang mempengaruhi hubungan kekeluargaan itu, yaitu kelahiran

dan perkawinan. Kedua hubungan tersebut akan menimbulkan hubungan darah, karena

hubungan darah itulah dapat diketahui jauh dekatnya hubungan kekerabatan dalam

masyarakat itu sendiri.

Rakut si telu berarti ikatan nan tiga adalah kelengkapan hidup bagi masyarakat

Karo. Kelengkapan maksudnya merupakan lembaga sosial yang terdapat dalam

masyarakat Karo, yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu kalimbubu, anak beru, dan

2 pemberian yang dimaksud apabila ada orang yang bukan berasal dari suku Karo, ingin mendapatkan

(3)

senina.3 Institusi rakut si telu memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat

Karo, termasuk dalam pembagian harta warisan. Pembagian harta warisan bagi

masyarakat Karo selalu didasarkan musyawarah diantara pihak-pihak anggota keluarga

yang ada pertalian darah dengan pewaris. Dalam adat Karo tidak ada aturan tertulis

dalam pembagian harta warisan pada masyarakat Karo, sehingga kadang-kadang

menimbulkan perselisihan diantara para keluarga yang bertalian darah dengan pembagi

warisan.

Tutur si waluh, yaitu sistem kekerabatan yang terdapat di dalam kegiatan adat,

yang dapat dikembangkan menjadi delapan sub kekerabatan, yaitu :

- Puang Kalimbubu

- Kalimbubu

- Senina

- Sembuyak

- Senina Sipemeren

- Senina Sepengalon/Sendalanen

- Anak Beru

- Anak Beru menteri

Masyarakat Karo menganut sistem kekerabatan patrilineal, garis keturunan menurut

ayah. Garis keturunan Patrilineal adalah “…yang menghitung hubungan kekerabatan

melalui orang laki-laki saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap individu

dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk dalam batas hubungan

3Limbeng (1995) memberi pengertian Kalimbubu adalah kelompok pemberi anak dara kepada keluarga

(4)

kerabatnya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh di luar batas itu”

(Koentjaraningrat, 1967: 124). Garis keturunan laki-laki dan menjadi musnah atau hilang

kalau tidak ada anak laki-laki yang dilahirkannya. Sistem kekerabatan patrilineal adalah

tulang punggung masyarakat Karo, yang terdiri dari keturunan, merga kelompok, suku

yang semuanya dihubungkan menurut garis laki-laki.

Salah satu sisi yang menempatkan kedudukan perempuan lebih lemah dari laki-laki

telah melahirkan sistem kekeluargaan ‘patrilineal geneologis’. Kemampuan untuk

melanjutkan keturunan hanya terbatas pada lelaki. Peran perempuan hanya sekedar

menjadi ibu yang berfungsi menjadi wadah benih lelaki sebagai tempat pembuahan anak

untuk dilahirkan. Dalam analisis gender, hal ini disebut peran gender (gender role). Anak

yang dilahirkannya bukan miliknya, tetapi menjadi anak suaminya serta merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari ikatan kekerabatan suami secara ‘geneologis’.

Hal di atas sejalan dengan pendapat IC Vergowen (dalam Harahap 1997 : 114)

yang menyatakan :

“…Hak waris adalah hak menggantikan (suksesi) menurut keturunan langsung dalam alur laki-laki (male line). Alasan filosofisnya, karena lelaki pelaksana wajar dari kesinambungan keturunan lelaki jalur Bapak. Kehidupan dunia para leluhur yang sudah mati, dilanjutkan oleh anak lelaki mereka. Keturunan lelaki melakukan pemujaan dan mengurus arwah mereka dalam kerajaan semangat, dan pasang surut kemakmuran dan kemiskinan yang menimpa ditentukan oleh pemujaan dan penghormatan turunan laki-laki terhadap leluhur laki-laki…”

Konsekuensi atas patrilineal ini telah melahirkan sistem kewarisan yang ditegakkan

dengan prinsip :

1. Anak lelaki jauh lebih utama dari anak perempuan.

(5)

3. Harta warisan tidak dibolehkan berpindah kepada keluarga lain atas

perkawinan.

Sebagaimana masyarakat yang menganut garis keturunan patrilineal, masyarakat

Karo yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris dari orangtuanya.

Sementara perempuan tidak mempunyai hak menuntut bagian dari warisan itu.

Seorang wanita Karo yang ditinggal mati oleh suaminya disebut Mbalu4. Kematian

seorang suami dapat memunculkan kuasa atas isteri berpindah ke kerabat mendiang

suaminya, yang dapat bertindak bebas, jika tidak ada keturunan laki-laki. Karena si

wanita ini dianggap tidak berhak untuk mendapatkan warisan suaminya secara hukum

adat. Namun, jika ada anak laki-laki, anak paling sulung dapat bertindak atas nama

keluarga dan apabila si-anak telah cukup umur, maka keluarga mereka dapat sepenuhnya

menguasai harta warisan. Seorang janda bisa tetap tinggal di bawah kuasa dan di dalam

lingkungan kerabat mendiang suami (waris) karena si wanita tersebut masih menjadi hak

keluarga dari suaminya atau dia boleh kembali ke pihak kalimbubu (pemberi dara). Dia

dapat kawin dengan seorang saudara mendiang suaminya atas dasar adat yaitu dengan

sebutan “ganti tikar” (gancih abu). Namun, bisa juga kerabatnya sendiri

mengawinkannya dengan anggota keluarga jauh, anggota dari merga yang sama dengan

mendiang suaminya atau orang dengan merga yang lain. Semua kemungkinan ini

mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda dalam hal perkawinan dan dalam hal yang

lain. Dia juga menginginkan tetap tinggal di dalam kelompok kerabat mendiang

suaminya bersama anak-anaknya sebagai janda yang tidak kawin lagi. Dalam hal ini

jangkauan kekuasaan seorang janda atas hartanya harus ditentukan. Akan tetapi, pada

4 Mbalu dalam bahasa Indonesia diartikan : Janda namun dianggap tidak bercerai,meskipun suaminya telah

(6)

dasarnya ia bukan waris dari suaminya, namun ia tetap berhak menikmati harta kekayaan

yang ditinggalkan suaminya.

Seiring dengan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Karo, perempuan

yang selama ini tidak mendapat harta warisan, mencoba merubah dominasi laki-laki

terhadap harta warisan. Hal ini ditandai dengan dengan dikeluarkannya keputusan

Makamah Agung, yang mengubah ketentuan ahli waris menurut hukum adat, khususnya

ahli waris anak dan janda. Misalnya, keputusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961,

tanggal 23 oktober 1961, yang menyatakan bahwa :

“…berdasarkan selain rasa perikemanusiaan dan keadilan umum, juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.

…berhubungan dengan itu maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya” (Soekanto, 1983: 263).

Juga keputusan Mahkamah Agung No. 100 K/Sip/1967, tanggal 14 juni 1968,

yang menyatakan bahwa (Soekanto, 1983: 263-264) :

“…karena mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju ke arah persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris telah merupakan yurispodensi yang dianut oleh Mahkamah Agung,…” (Soekanto, 1983: 263)

Demikian juga, menurut Rehgena Purba dalam (Soekanto, 1983: 264): Keputusan

Mahkamah Agung No. 179 K/Sip/1961 dibuat untuk kasus yang terjadi pada masyarakat

yang terjadi di Tanah Karo, menulis di dalam makalahnya:

(7)

haknya ataupun dalam pembagian warisan, yaitu dapat kita lihat pada banyaknya perkara yang masuk ke pengadilan mengenai masalah warisan….”

Suatu fakta bahwa orang yang mengenal karakter normatif dari hukum, yang

meyakini hukum sebagai suatu sistem yang mengikat, tidak pernah berusaha untuk

membuat suatu solusi yang dapat memecah problema yang menyangkut hubungan antara

hukum dengan realita. Problema yang akan terjadi kemudian adanya dua hukum yang

dipakai dalam pembagian harta warisan pada masyarakat Karo, yaitu pembagian menurut

hukum adat dan ketentuan dari Mahkamah Agung No. 179 K/Sip/1961. Memang tidak

seluruhnya masyarakat Karo memakai ketentuan dari Mahkamah Agung sebagai hukum

dalam pembagian harta warisan. Banyak wanita Karo yang membawa kasus pembagian

harta warisan ke pengadilan, karena menganggap “tidak adil” kalau anak laki-laki saja

yang memperoleh harta warisan, karena mereka (anak perempuan) juga anak dari orang

tua mereka. Pembagian harta warisan sendiri di masyarakat Karo tidak seluruhnya

mempunyai aturan yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh letak wilayah tempat tinggal

masyarakat tersebut dan aturan yang berlaku di wilayah tersebut.

Di dalam wilayah suku bangsa Karo, terdapat beberapa bagian daerah, yaitu:

1. Daerah Karo Gugung, yaitu tanah tinggi Karo, meliputi wilayah kabupaten

Karo sekarang ini. Daerah Karo gugung terbagi lagi dengan beberapa

daerah, yaitu Taneh Urung Julu, Taneh Urung Gunung-gunung (Singalor

lau) dan Taneh Urung Melas.

2. Daerah Karo Timur yaitu Serdang Hulu dan daerah bekas Kecamatan

Cingkes tahun 1946.

3. Daerah Karo Baluren, Urung Taneh Pinem dan Pamah, masing-masingg

(8)

4. Daerah Karo Jahe atau Deli Hulu.

5. Daerah Karo Bingge, Karo Salapian, Karo Buah Orok, sekarang semuanya

disebut Karo Langkat.

Dari lima bagian daerah Karo ini, sedikit banyaknya ada terdapat perbedaan, yaitu

dari segi adat-istiadat, bahasa, dan norma kebiasaan masyarakatnya. Desa Penen, sesuai

dengan wilayahnya disebut Karo Jahe. Selama ini masyarakat Karo baik yang tinggal di

Kabupaten Karo atau yang tinggal di perantauan masih menghormati eksistensi hukum

adat dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Demikian halnya dengan masyarakat

Karo yang bertempat tinggal di Desa Penen. Adat istiadat masih dipegang teguh sebagai

jiwa suatu masyarakat yang mampu menciptakan kesejahteraan. Jiwa gotong-royong5

yang masih tetap dijaga semakin mempererat persaudaraan antar sesamanya. Seiring

dengan berjalannya waktu, banyak perubahan yang terjadi di Desa Penen ini dalam hal

pembagian warisan terhadap perempuan dan warisan terhadap wanita Karo yang

ditinggal mati suaminya. Dimana perempuan sudah dianggap berhak untuk mendapatkan

warisan.

Di dalam beberapa kasus dalam penelitian ini, kita dapat menemukan beberapa

janda yang sudah mendapatkan bagian dalam hal pembagian warisan. Perubahan inilah

yang ingin diteliti oleh peneliti dan ingin dicari tahu, pengaruh apakah yang

mempengaruhi perubahan tentang warisan tersebut, apakah dipengaruhi oleh hukum

yang berlaku, pendidikan, isu gender dan pengaruh agama, sehingga merubah persepsi

masyarakat Karo di Desa Penen.

5 Orang yang bekerja bergotong royong disebut dalam bahasa Karo : Aron. Mereka sering

(9)

1.2. Perumusan Masalah

Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis harus

merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana harus pergi, dan

dengan apa. (Arikanto, 2002: 22).

Berdasarkan uraian diatas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut

:

1. Bagaimanakah persepsi dan pengalaman wanita Karo yang ditinggal mati

suaminya dalam pembagian warisan, adat istiadat Karo di Desa Penen

Biru-biru?

2. Bagaimana persepsi tokoh masyarakat, tokoh adat dan masyarakat formal

terhadap wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam pembagian

warisan di Desa Penen Biru-biru?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

- Untuk mengetahui bagaimana persepsi dan pengalaman wanita Karo yang

ditinggal mati suaminya dalam pembagian warisan, adat istiadat Karo di Desa

Penen Biru-biru.

- Untuk mengetahui bagaimana persepsi tokoh masyarakat, tokoh adat dan

masyarakat formal terhadap wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam

pembagian warisan di Desa Penen Biru-biru.

(10)

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

- Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan peneliti, dalam

melakukan penelitian di bidang ilmu sosial, khususnya dalam ilmu

sosiologi, dan

- Hasil penelitian diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah dan masukan

penting bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang menganut

sistem patriarki dan instansi terkait yang menangani masalah warisan.

2. Manfaat Praktis

- Untuk memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi pihak-pihak

terkait dengan permasalahan yang terjadi dan dapat menjadi referensi

untuk kajian atau penelitian selanjutnya, dan

- Memberikan masukan kepustakaan serta memberi masukan kepada

instansi terkait dalam membuat kebijakan-kebijakan proses pembagian

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulakan bahwa peran guru BK dalam meningkatkan Self Control siswa di SMA Muhammadiyah 2 Banjarmasin adalah dengan

Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut PPK-BLU, adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk

By combining multiple sources of vessel location data, such as Automated Information Systems (AIS), Long Range Identification and Tracking (LRIT) and SAR-based ship detection,

It means that the fractal dimension of soil pollution in Fukushima nuclear power plant accident corresponded to the one of Abukuma river watershed.. On the other hand, the

Strategi dan arah kebijakan merupakan rumusan perencanaan yang komprehensif mengenai bagaimana Pemerintah Kabupaten Wonogiri dapat mencapai tujuan dan sasaran

ANEEL (2014b) – the Brazilian Electricity Regulatory Agency – calculates the monthly quantity and value of hydropower produced by reservoirs, and identifies the amount of

Dari grafik lama waktu penyelesaian KTI mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan tingkat akhir di STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta didapatkan hasil dengan presentase

Dari database yang dihasilkan dalam penelitian ini kita juga bisa berharap ada penelitian ini telah memberikan gambaran penting akan kandungan senyawa bioaktif yang dimiliki