• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.4 Teori Penduduk

2.4.4 Penganut Kelompok Teknologi yang optimistis

Pandangan yang suram dan pesimis dari Malthus beserta penganut-penganutnya ditentang keras oleh kelompok tenologi. Mereka beranggapan bahwa manusia dengan ilmu pengetahuannya mampu melipatgandakan produksi pertanian.

Mereka mampu mengubah kembali barang-barang yang sudah habis dipakai, sampai akhirnya dunia ketiga mengakhiri masa transisi demografinya.

Ahli futurology Herman Kahn (1976) mengatakan bahwa Negara-negara kaya akan membantu Negara-negara miskin, dan akhirnya kekayaan itu juga akan jatuh kepada orang-orang miskin. Dalam beberapa dekade tidak akan terjadi lagi perbedaan yang mencolok di antara umat manusia di dunia ini.

Dengan tingkat teknologi yang ada sekarang ini mereka memperkirakan bahwa dunia ini dapat menampung 15 miliun orang dengan pendapatan melebihi

Amerika Serikat dewasa ini. Dunia tidak akan kehabisan sumber daya alam, karena seluruh bumi ini terdiri dari mineral-mineral. Proses pengertian dan recycling akan terus terjadi dan era ini disebut Era Substitusi. Mereka mengkritik bahwa the limit to growth bukan memecahkan masalah tetapi memperbesar permasalahan tersebut.

Kelompok Malthus dan kelompok teknologi mendapat kritik kelompok ekonomi, karena kedua-duanya tidak memperhatikan masalah-masalah organisasi sosial di mana distribusi pendapatan tidak merata. Orang-orang miskin yang kelaparan, karena tidak meratanya distribusi pendapatan Negara-negara tersebut.

(Demografi Umum,2003) 2.5 Teori Migrasi

2.5.1 Teori migrasi Todaro

Model ini bertolak dari asumsi bahwa migrasi dari desa ke kota pada dasarnya merupakan suatu fenomena ekonomi. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan migrasi juga merupakan suatu keputusan yang tela dirumuskan secara rasional; para migran tetap saja pergi, meskipun mereka tahu betapa tingginya tingkat pengangguran yang ada di daerah-daerah perkotaan. Selanjutnya, model todaro mendasarkan diri pada pemikiran bahwa arus migrasi itu berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaaan pendapatan antara kota dan desa. Namun, pendapatan yang dipersoalkan di sini bukanlah penghasilan yang aktual, melainkan penghasilan yang diharapakan (expected income). Adapun premis dasar dalam model ini adalah bahwa para migran senantiasa mempertimbangkan dan membandingkan-bandingkan berbagai macam pasar tenaga kerja yang tersedia bagi mereka di sektor

pedesaan dan perkotaan, serta kemudian memilih salah satu di antaranya yang dapat memaksimumkannya keuntungan yang diharapkan (expected gains) dari migrasi.

Pada dasarnya, model todaro tersebut beranggapan bahwa segenap angkatan kerja, baik yang aktual maupun potensial, senantiasa membandingkan penghasilan yang diharapkan selama kurun waktu tertentu di sektor perkotaan (yaitu selisih antara penghasilan dan biaya migrasi) dengan rata-rata tingkat penghasilan yang bisa diperoleh di pedesaan. Mereka baru akan memutuskan untuk melakukan migrasi jika penghasilan bersih di kota melebihi pengasilan bersih yang tersedia di desa.

Model ekonomi mengenai migrasi yang biasa digunakan, yakni yang lebih menitikberatkan pengaruh faktor selisih pendapatan sebagai penentu keputusan akhir untuk bermigrasi, tidak akan mengalami kesulitan dalam menunjukkan pilihan mana yang akan diambil oleh para pekerja di desa. Mereka pasti akan memutuskan untuk bermigrasi guna mencari mencari upah di kota yang lebih tinggi. Meskipun demikian, penting untuk dipahami bahwa model migrasi ini dikembangkan dalam konteks perekonomian industri maju sehingga secara implisit mengasumsikan adanya kesempatan kerja yang penuh atau hampir penuh. Dalam situasi kesempatan kerja penuh, kesempatan untuk bermigrasi memang dapat didasarkan semata-mata pada keinginan untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang relatif tinggi, di mana pun pekerjaan itu tersedia. Lebih lanjut, arus migrasi itu akan berhenti dengan sendirinya jika selisih pendapatan desa dan kota mengecil (upah di kota menurun karena jumlah pekerja yang tersedia bertambah, sedangkan upah di desa meningkat karena jumlah tenaga pekerja menyusut) sampai akhirnya sama. Bertolak dari pemikiran ini, model atau teori yang sederhana itu menganggap migrasi bukan suatu masalah yang perlu

dikhawatirkan, karena mekanisme pasar akan mampu menghentikan atau, sebaliknya, meningkatkannya sesuai dengan kebutuhan yang ada.

Sayangnya, analisis seperti ini tidaklah realistis, apalagi jika dikaitkan dengan kerangka kelembagaan dan ekonomi di sebagian negara-negara berkembang.

Terdapat sejumlah alasan yang kuat untuk mengatakan analisis itu tidak realistis.

Pertama, negara-negara berkembang pada umumnya menghadapi masalah pengangguran yang serius dan kronis sehingga seorang migran tidak dapat berharap segera mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi di perkotaan. Pada kenyataannya, ketika masuk ke dalam pasar kerja di perkotaan, banyak migran yang sebagian besar tidak terdidik dan tidak mempunyai keahlian, akan betul-betul menjadi pengangguran atau mencoba mencari pekerjaan lepas sebagai penjual keliling, pedagang asongan, petugas reparasi, atau pekerja harian yang berpindah-pindah di sektor perkotaan tradisional atau informal, yang relatif mudah dimasuki, beroperasi pada skala kecil, dan dengan upah yang relatif bersaing. Pada kasus penduduk migran yang terdidik peluangnya lebih baik, dan beberapa diantaranya akan menemukan pekerjaan di sektor formal relatif lebih cepat. Namun pekerja terdidik ini hanya bagian kecil dari aliran penduduk migran secara total. Itu berarti sebelum memutuskan untuk bermigrasi, para calon migran juga harus mempertimbangkan kemungkinan dan resiko menganggur (baik terbuka maupun terselubung) dalam jangka waktu yang cukup lama.

Mayoritas usia migran yang muda membuat keputusan mereka untuk melakukan migrasi harus dilandaskan pada suatu jangka waktu yang lebih panjang guna memungkinkan mereka memperhitungkan penghasilan yang lebih permanen.

Apabila para calon migran itu memperkirakan bahwa nilai-nilai kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan tetap relatif rendah pada periode awal, bobot kemungkinan tersebut diharapkan akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu dan semakin luasnya hubungan atau koneksinya, sehingga tetap rasional baginya untuk bermigrasi meskipun penghasilan yang diharapkan pada periode awal mungkin lebih rendah daripada pendapatan yang diperolehnya di pedesaan. Jadi, sepanjang nilai sekarang (present value) dari penghasilan bersih yang diharapkan selama kurun waktu yang diperhitungkannya melebihi pendapatan yang bisa diperoleh di pedesaan, maka keputusan untuk bermigrasi tetap dapat di benarkan.

Dengan demikian, migrasi dari desa ke kota bukanlah suatu proses positif yang menyamakan tingkat upah di kota dan di desa seperti yang diungkapkan oleh model-model kompetitif, melainkan kekuatan yang menyeimbangkan jumlah pendapatan yang diharapkan (expected income) di pedesaan serta di perkotaan.

2.5.2 Teori Migrasi Everett S. Lee

Dalam keputusan bermigrasi selalu terkandung keinginan untuk memperbaiki salah satu aspek kehidupan, sehingga keputusan seseorang melakukan migrasi dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Menurut Lee (1987) ada empat faktor yang perlu diperhatikan dalam studi migrasi penduduk, yaitu :

1. Faktor-faktor daerah asal

2. Faktor-faktor yang terdapat pada daerah tujuan 3. Rintangan antara

4. Faktor-faktor individual

Faktor-faktor 1,2 dan 3, secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal dan daerah tujuan serta rintangan antara

Pada masing-masing daerah terdapat faktor-faktor yang menahan seseorang untuk tidak meninggalkan daerahnya atau menarik orang untuk pindah ke daerah tersebut (faktor +), dan ada pula faktor-faktor yang memaksa mereka untuk meninggalkan daerah tersebut (faktor -). Selain itu ada pula faktor-faktor yang tidak mempengaruhi penduduk untuk melakukan migrasi (faktor o). Diantara keempat faktor tersebut, faktor individu merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan untuk migrasi. Penilaian positif atau negatif terhadap suatu daerah tergantung kepada individu itu sendiri.

Besarnya jumlah pendatang untuk menetap pada suatu daerah dipengaruhi besarnya faktor penarik (pull factor) daerah tersebut bagi pendatang. Semakin maju kondisi sosial ekonomi suatu daerah akan menciptakan berbagai faktor penarik, seperti perkembangan industri, perdagangan, pendidikan, perumahan, dan transportasi. Kondisi ini diminati oleh penduduk daerah lain yang berharap dapat

Daerah Asal Daerah Tujuan

memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Pada sisi lain, setiap daerah mempunyai faktor pendorong (push factor) yang menyebabkan sejumlah penduduk migrasi ke luar daerahnya. Faktor pendorong itu antara lain kesempatan kerja yang terbatas jumlah dan jenisnya, sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai, fasilitas perumahan dan kondisi lingkungan yang kurang baik.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang dilakukan dalam mengumpulkan informasi empiris guna memecahkan masalah dan menguji hipotesis dari penelitian.

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisa pengaruh Pendapatan Total dan Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja terhadap Tingkat Kepadatan Penduduk di Kota Medan.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari sumber informasi yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu: Badan Pusat Statistik (BPS) SUMUT, dan Badan Pusat Statistik (BPS) kota Medan.

Disamping itu, data lainnya yang mendukung penelitian ini diperoleh dari sumber bacaan seperti, jurnal,dan buku bacaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data runtun waktu (time series) dengan kurun waktu 20 tahun (1988-2007).

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan melalui bahan-bahan kepustakaan berupa tulisan-tulisan ilmiah, jurnal, artikel, majalah, dan laporan-laporan penelitian yang ada hubungannya dengan topik yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan pencatatan secara langsung dari sumber informasi yang berkaitan dengan penelitian ini.

3.4 Pengolahan Data

Penulis melakukan pengolahan data dengan metode statistika menggunakan program komputer E-Views 5.1 untuk mengolah data dalam skripsi ini.

3.5 Model Analisis Data

Model analisis yang digunakan dalam menganalisis data adalah model ekonometrika. Dalam menganalisis data yang diperoleh untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat maka digunakan model ekonometrik dengan meregresikan variabel-variabel yang ada dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Squared). Data yang digunakan dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan analisis statistika yaitu persamaan regresi linier berganda.

Model persamaannya adalah sebagai berikut :

Y = f(X1, X2) ... (1)

Kemudian fungsi tersebut dispesifikasikan kedalam bentuk model persamaan regresi linier sebagai berikut :

Y = α+β1X12X2... (2)

Dimana :

Y = Tingkat Kepadatan Penduduk (jiwa) X1 = Pendapatan Total Masyarakat (rupiah) X2 = Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja (jiwa) α = Intercept / Konstanta

2 1

β = Koefisien Regresi

µ = Term of Error ( Kesalahan Pengganggu )

Bentuk hipotesis di atas secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : ,

Y Artinya jika X1 (Pendapatan Total Masyarakat) meningkat

maka Y (Tingkat Kepadatan Penduduk) akan mengalami kenaikan, ceteris paribus.

,

Y Artinya jika X2 (Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja) meningkat

maka Y (Tingkat Kepadatan Penduduk) akan mengalami kenaikan, ceteris paribus.

3.6. Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian) 3.6.1. Koefisien Determinasi (R-Square)

Koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersama-sama memberi penjelasan terhadap variabel dependen . Nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1 (0≤R<1).

3.6.2. Uji t-statistik

Uji t-statistik merupakan suatu pengujian secara parsial yang bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap

variabel dependen dengan menganggap variabel lainnya konstan. Dalam uji ini digunakan hipotesis sebagai berikut :

H0 : bi = b Ha : bi ≠b

Dimana bi adalah koefisien variabel independen ke-i nilai parameter hipotesis, biasanya b dianggap = 0. Artinya tidak ada pengaruh variabel X terhadap Y. Bila nilai t-hitung > t-tabel maka pada tingkat kepercayaan tertentu H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel independen yang diuji berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap variabel dependen. Nilai t-hitung diperoleh dengan rumus :

t-hitung =

( )

Sb b bi

Dimana :

bi = Koefisien variabel independen ke-i b = Nilai hipotesis nol

Sbi = Simpangan baku dari variabel independen ke-i Kriteria pengambilan keputusan :

H0 : β =0 H0 diterima (t*<t-tabel) artinya variabel independen secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

Ha : β ≠0 Ha diterima (t*>t-tabel) artinya variabel independen secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

Ha diterima

Ho diterima

0 Gbr 3.1 Kurva Uji t- statistik 3.6.3. Uji F-statistik

Uji F-statistik ini adalah pengujian yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh koefisien regresi secara bersama-sama terhadap variabel dependen.

Untuk pengujian ini digunakan hipotesa sebagai berikut :

2

Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai statistik dengan F-tabel. Jika F-hitung > F-tabel maka H0 ditolak, yang berarti variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen. Nilai F-hitung dapat diperoleh dengan rumus :

F-hitung =

( )

n = Jumlah sampel

Kriteria pengambilan keputusan : 0

: 1 2

0 β =β =

H H0 diterima (F*<F-tabel) artinya variabel independen secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

0 :β1 ≠ β2

Ha Ha diterima (F*>F-tabel) artinya variabel independen secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik 3.7.1. Multikolinearity

Multikolinearity adalah alat untuk mengetahui suatu kondisi apakah terdapat korelasi variabel independen diantara satu sama lainnya. Untuk mengetahui ada

tidaknya multikolinearity dapat dilihat dari nilai R2, F-hitung, t-hitung, dan standart error.

Adanya multikolinearity ditandai dengan :

• Standart error tidak terhingga

• Tidak ada satupun t-statistik yang signifikan pada α = 1%, α = 5%, α = 10%

• Terjadi perubahan tanda atau tidak sesuai dengan teori

• R2 sangat tinggi.

3.7.2. Autokorelasi (Serial Correlation)

Serial Correlation didefenisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu dan ruang. Model regresi linear klasik mengasumsikan autokorelasi tidak terdapat didalamnya distribusi atau gangguan μi

dilambangkan dengan :

(

i : j

)

=0

E µ µ ij

Ada beberapa cara untuk menguji keberadaan autokorelasi, yaitu : 1. Dengan menggunakan atau memplot grafik

2. Dengan D-W Test (Uji Durbin-Watson) Uji D-W ini dirumuskan sebagai berikut :

D-hitung =

Dengan hipotesis sebagai berikut :

, 0

0 :ρ =

H artinya tidak ada autokorelasi ,

0 :ρ ≠

Ha artinya ada autokorelasi

Dengan jumlah sampel tertentu dan jumlah variabel independen tertentu diperoleh nilai kritis dl dan du dalam tabel distribusi Durbin-Watson untuk berbagai nilai α. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut :

Gambar 3.3 Kurva Durbin-Watson

Keterangan :

H0 : Tidak ada korelasi

DW<dl : Tolak H0 (ada korelasi positif) DW>4-dl : Tolak H0 (ada korelasi negatif) du<DW<4-du : Terima H0 (tidak ada korelasi)

dl≤ Dw<4-du : Tidak bisa disimpulkan (inconclusive) (4-du)≤ Dw ≤ (4-dl) : Tidak bisa disimpulkan (inconclusive)

3.8. Defenisi Operasional

1. Tingkat Kepadatan Penduduk adalah banyaknya jumlah penduduk di kota Medan dibagi luas wilayah kota Medan yang dinyatakan dalam jiwa/Km2. 2. Pendapatan Total adalah PDRB perkapita Kota Medan menurut harga berlaku

yang dinyatakan dalam Rupiah.

3. Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja adalah Jumlah tenaga kerja di Kota Medan yang bekerja di sektor industri sedang dan besar yang dinyatakan dalam jiwa.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Daerah penelitian

4.1.1 Kondisi geografis

Kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil, tetapi dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 2° 27' – 2°

47' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter diatas permukaan laut.

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan.

Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di

Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administratif ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis. Kota Medan memiliki luas 26.510 Hektar (265,10 Km 2 ) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara.

Secara administratif , wilayah kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong

perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

4.1.2 Kondisi Iklim

Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun Polonia pada tahun 2006 berkisar antara 23,00C-24,10C dan suhu maksimum berkisar 30,60C-33,10C. serta menurut Stasiun Sampali suhu minimumnya berkisar antara 23,60C-24,40C dan suhu maksimum berkisar antara 30,20C-32,50C.

Selanjutnya mengenai kelembapan udara di wilayah kota Medan rata-rata 78%-82%. Dan kecepatan angin rata-rata sebesar 0,42 m/sec sedangkan rata-rata total laju penguapan tiap bulannya 100,6 mm. Hari hujan kota Medan pada tahun 2006 rata-rata perbulannya 19 hari dengan rata-rata curah hujan menurut Stasiun Sampali perbulannya 230,3 mm dan pada Stasiun Polonia perbulannya 211,67 mm.

4.1.3 Kondisi Demografis

Berdasarkan data kependudukan tahun 2007, penduduk Kota Medan saat ini diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria, (1.048.460 jiwa > 1.034.696 jiwa). Jumlah penduduk tersebut diketahui merupakan penduduk tetap , sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 500.000 jiwa, yang merupakan penduduk commuters. Dengan demikian Kota Medan Merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar, sehingga memiliki deferensiasi pasar.

Di siang hari, jumlah ini bisa meningkat hingga sekitar 2,5 juta jiwa dengan dihitungnya jumlah penglaju (commuters). Dilihat dari struktur umur penduduk, Kota Medan dihuni lebih kurang 1.377.751 jiwa berusia produktif, (15-59 tahun).

Selanjutnya dilihat dari tingkat pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk telah mencapai 10,5 tahun. Dengan demikian Kota Medan secara relatif tersedia tenaga kerja yang cukup, yang dapat bekerja pada berbagai jenis perusahaan, baik jasa, perdagangan, maupun industri manufaktur.

Mayoritas penduduk kota Medan sekarang adalah suku Jawa dan Batak, tetapi di kota ini banyak tinggal pula orang keturunan India dan Tionghoa. Komunitas Tionghoa di Medan cukup besar, sekitar 25% dari jumlah total. Keanekaragaman etnis di Medan terlihat dari jumlah masjid, gereja dan vihara Tionghoa yang banyak tersebar di seluruh kota. Daerah di sekitar Jalan Zainul Arifin bahkan dikenal sebagai Kampung Madras (Kampung India).

Pada tahun 2006, angka harapan hidup di Medan 71,1 dan pada tahun 2007 terjadi peningkatan sekitar 0,4 sehingga menjadi 71,5. Secara historis, pada tahun 1918 tercatat Medan dihuni 43.826 jiwa. Dari jumlah tersebut, 409 orang berketurunan Eropa, 35.009 berketurunan Indonesia, 8.269 berketurunan Tionghoa, dan 139 lainnya berasal dari ras Timur lainnya.

4.1.4 Perkembangan Tingkat Kepadatan Penduduk di Kota Medan

Kepadatan penduduk merupakan indikator dari tekanan penduduk suatu daerah. Kepadatan penduduk di suatu daerah biasanya dinyatakan dengan banyaknya penduduk perkilometer persegi. Laju pertumbuhan penduduk Kota Medan periode tahun 2000-2004 cenderung mengalami peningkatan, dimana tingkat pertumbuhan penduduk pada tahun 2000 adalah 0,09% dan menjadi 0,63% pada tahun 2004.

sedangkan tingkat kapadatan penduduk mengalami peningkatan dari 7.183 jiwa per

Km2 pada tahun 2004. jumlah penduduk paling banyak ada di Kecamatan Medan Deli, disusul kecamatan Medan Helvetia dan Medan Tembung. Jumlah penduduk yang paling sedikit , terdapat di kecamatan Medan Baru, Medan Maimun dan Medan Polonia. Tingkat kepadatan Penduduk tertinggi ada di kecamatan Medan Perjuangan, Medan Area dan Medan Timur

Tahun kepadatan penduduk

1988 6.248

Sumber :Badan pusat statistik Provinsi Sumatera Utara

Tabel 4.1 Tingkat kepadatan penduduk di Kota Medan

Dapat dilihat dari tabel diatas kepadatan penduduk Medan pada tahun 1988 adalah sebesar 6.248 jiwa/km2. Kepadatan penduduk tersebut meningkat terus hingga tahun 1998 sebesar 7.563 jiwa/km2. Pada tahun 1999 mengalami penurunan akibat terjadinya kerusuhan pada mei 1998 yang lalu. Banyak penduduk etnis cina yang meninggal dan pindah ke daerah lain akibat dari kerusuhan tersebut. Selain itu

keadaan perekonomian pun semakin memburuk. Setelah semakin membaiknya keadaan politik dan ekonomi di Indonesia dan khususnya setiap daerah-daerah. Maka pada tahun 2000 kepadatan penduduk terus meningkat sampai pada sekarang ini yaitu sebesar 7.858 jiwa/km2.

4.1.5 Perkembangan Pendapatan Total Masyarakat dan Tingkat Peyerapan Tenaga Kerja di Kota Medan

Dengan terjadinya pertumbuhan PDRB yang industri tinggi belum tentu mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat, karena hal ini sangatb tergantung pada perkembangan jumlah penduduk walaupun pertumbuhan PDRB mengalaminpeningkatan yang cukup signifikan tetapi jika pertumbuhan penduduk tidak bisa ditekan bahkan lebih besar pertumbuhan penduduk daripada pertumbuhan ekonomi maka dalam hal ini tidak dapat mengangkat tingkat kemakmuran masyarakat. Untuk itu PDBR perkapita sebagai salah satu alat pengukur tingkat kemakmuran merupakan hasil pembagi antara PDRB dengan jumlah penduduk. Jika PDRB perkapita mengalami peningkatan maka boleh dikatakan adanya peningkatan kemakmuran dari masyarakat.

1996 3.324.255,00

Sumber :Badan pusat statistik Provinsi Sumatera Utara

Tabel 4.2 Pendapaan Total Masyarakat di Kota Medan

Jika dilihat dari tabel diatas maka perkembangan PDRB perkapita atas dasar harga berlaku sejak dari tahun 1988 sampai dengan tahun 2007 terus mengalami kenaikan. Pada tahun 1988 sebesar Rp. 1.116.878,58 dan pada 10 tahun kedepannya

Jika dilihat dari tabel diatas maka perkembangan PDRB perkapita atas dasar harga berlaku sejak dari tahun 1988 sampai dengan tahun 2007 terus mengalami kenaikan. Pada tahun 1988 sebesar Rp. 1.116.878,58 dan pada 10 tahun kedepannya

Dokumen terkait