• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh berbagai serbuk bahan baku dan komposisi bahan baku pada produk biopelet.

Pada proses pembuatan biopelet ini, rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) 1 faktor. Perlakuan yang diuji adalah konsentrasi bahan baku murni dengan 3 taraf yaitu 100% bagas industri besar, 100% bagas industri gula merah dan 100% kulit kacang tanah. Konsentrasi komposisi bagas industri besar dan kulit kacang tanah dengan masing-masing 3 taraf yaitu 40%, 50%, dan 60%. Konsentrasi komposisi bagas industri kecil dan kulit kacang tanah dengan masing-masing 3 taraf yaitu 40%, 50%, dan 60%. Konsentrasi komposisi bahan baku dan arang kulit kacang tanah dengan masing- masing 4 taraf arang kulit kacang tanah yaitu 10%, 20%, dan 30% dan 40%. Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali, sehingga total percobaan adalah 39 unit percobaan. Model linier yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut :

Yij =  + i + ij

21 Yij = Nilai kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, kadar karbon terikat, nilai kalor pembakaran, densitas kamba, densitas, kekuatan tekan, kandungan sulfur, nitrogen, klorin dan uji ketahanan kapang pada konsentrasi taraf ke-i dan ulangan ke-j

 = Rataan umum

i = Pengaruh konsentrasi bahan baku ke-i

ij = Pengaruh acak pada konsentrasi bahan ke-i dan ulangan ke-j

Data yang diperoleh dianalisa keragamannya dengan uji atau analisis ragam

Analysis of variance (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji duncan apabila hasil

analisa ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata dari perlakuan terhadap respon peubah.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik bagas Trangkil, bagas industri kecil dan kulit kacang tanah Karakterisasi bahan baku diperlukan untuk mengetahui pengaruh proses pembentukan menjadi biopelet dapat memperbaiki karakteristik masing-masing bahan baku sebagai bahan bakar, mengetahui sifat bahan baku awal, kondisi awal baku agar bisa mengasumsikan seperti apa komposisi paling baik untuk digunakan dalam proses percetakan biopelet tersebut. Hasil pengujian karakteristik masing- masing bahan baku dapat dilihat pada Tabel 12.

Kandungan air merupakan salah satu parameter kualitas biopelet yang sangat penting sebab berpengaruh terhadap nilai kalori yang dihasilkan. Sehingga kadar air bahan diharapkan memiliki nilai yang tidak tinggi dan tidak terlalu rendah. Jika kadar air terlalu tinggi, efeknya berpengaruh terhadap nilai kalori, sedangkan jika terlalu rendah akibatnya dalam proses percetakan akan memerlukan perekat dengan konsentrasi tinggi.

Tabel 12 Hasil uji karakteristik bahan baku pembuatan biopelet Parameter Uji Satuan

Bagas Trangkil Kulit kacang tanah Bagas industri kecil Kadar air %bk 8,33 ± 0,01 10,46 ± 0,02 9,6 ± 0,1 Kadar abu %bk 6,8 ± 0,1 6,24 ± 0,06 7,05 ± 0,05 Zat terbang %bk 42,55 ±0,09 31,7 ± 0,1 50,8 ± 0,1 Karbon terikat %bk 50,61 ± 0,03 62,09 ± 0,04 43,76 ± 0,07 Nilai Kalor kkal/kg 4170 ± 14 4230 ± 20 4050 ± 20

Lignin % 13,3 ± 0,1 30,1 ± 0,2 15,3 ± 0,1 Selulosa % 20,5 ± 0,2 27,2 ± 0,2 24,6 ± 0,2 Hemiselulosa % 22,1 ± 0,3 29,4 ± 0,3 29,4 ± 0,1 Nitrogen % 0,5 ± 0,4 1,5 ± 0,5 0,6 ± 0,4 Sulfur % 0,39 ± 0,08 0,38 ± 0,08 0,42 ± 0,08 Klorin % 1,5 ± 0,3 1,6 ± 0,3 2,1 ± 0,3

Nilai kadar air bagas Trangkil, bagas industri kecil dan kulit kacang tanah yang diperoleh berkisar antara 8,33-10,46% (bb), nilai yang diperoleh ini lebih

22

kecil dari nilai kadar air maksimal bahan baku yang disyaratkan untuk pembuatan biopelet sebesar 10-15% bb (Hahn et al. 2004). Nilai yang diperoleh ini juga lebih kecil dari kadar air bahan baku serbuk geragaji kayu dan dedak yang masing- masing kadar airnya sebesar 10,62% dan 10,75% yang diteliti (Tuti et al. 2010). Obernberger dan Thek (2004) menyatakan bahwa biopelet berkualitas tinggi hanya akan diperoleh jika bahan baku yang digunakan memiliki kadar air antara 8-12%.

Nilai kadar abu bahan baku yang diperoleh berkisar antara 6,24-7,05%. Nilai yang diperoleh ini lebih kecil dari kadar abu dedak hasil penelitian (Tuti et al. 2010) yang nilainya 10,75% dan lebih tinggi dari standar Prancis (6%). Perbedaan kadar abu yang diperoleh disebabkan perbedaan kandungan mineral anorganik masing-masing bahan (Liliana 2010). Kadar abu sangat penting untuk diukur karena sisa hasil pembakaran berupa abu cenderung membentuk kerak pada alat pembakaran yang mengganggu kinerja alat pembakar dan harus sering dibersihkan.

Kadar zat terbang dapat menurunkan kualitas bahan baku karena dapat menimbulkan banyak asap pada saat proses pembakaran (Liliana 2010). Nilai kadar zat terbang yang diperoleh berkisar 31,67-50,81%. Nilai yang diperoleh ini masih cukup tinggi sehingga perlu upaya untuk mengurangi kadar zat terbang bahan baku tersebut. Kadar zat terbang dipengaruhi oleh jenis bahan baku sehingga perbedaan jenis bahan baku akan berpengaruh terhadap kadar zat menguap (Hendra 2012). Zat terbang serabut sawit hasil penelitian (Bantacut et al. 2013) sebesar 77,03% dan masih lebih tinggi dibandingkan kadar zat terbang yang didapatkan. Namun jika dibandingkan dengan standar Inggris (30%), hasil yang didapatkan lebih tinggi.

Kadar karbon terikat suatu bahan penting untuk diukur sebab mempengaruhi nilai kalor. Hasil perhitungan nilai karbon terikat diperoleh nilai yang berkisar antara 43,76-62,09%. Karbon yang terdapat dalam bahan baku akan bereaksi dengan oksigen pada saat pembakaran berlangsung sehingga semakin tinggi nilai karbon bahan, maka nilai pembakaran bahan akan semakin tinggi. Nilai karbon bungkil jarak (Liliana 2010) sebesar 31,69% sehingga hasil yang diperoleh masih lebih tinggi.

Nilai kalor merupakan parameter utama dalam menentukan kualitas suatu bahan bakar. Nilai kalor bagas Trangkil, bagas industri kecil dan kulit kacang tanah yang diperoleh masing-masing 4168 kkal/kg, 4052 kkal/kg dan 4230 kkal/kg. Hasil nilai kalor bahan baku berbanding sejalan dengan peningkatan nilai karbon terikat masing-masing bahan. Nilai kalori yang dihasilkan lebih tinggi dari nilai kalor cangkang kemiri (4032 kkal/kg, Demirbas 1999 dalam Liliana 2010) dan serabut sawit 4048,08 kkal/kg hasil penelitian (Bantacut et al. 2013).

Karakterisasi Pod Kakao

Dari hasil pengukuran lignin pod kakao, hasil yang diperoleh sebesar 17,48%. Hasil kadar air diperoleh sebesar 14,76% (bb). Kedua parameter ini penting diketahui sebab berpengaruh terhadap kerekatan produk pada saat terjadinya proses densifikasi. Pari et al. (2006) menyebutkan bahwa kandungan lignin dalam tanaman berlignoselulosa bisa digunakan sebagai bahan perekat

23 dengan proses tertentu secara fisik maupun kimia seperti proses likuifikasi. Dari hasil analisa yang diperoleh, pod kakao bisa digunakan sebagai perekat meskipun masih perlu dikombinasikan dengan kanji karena pada saat penelitian pendahuluan, biopelet dengan menggunakan perekat pod kakao sudah baik dari aspek densitas dan kuat tekan, namun belum begitu baik dari tampilan tekstur.

Tabel 13 Hasil uji karakterisasi pod kakao

Parameter uji Satuan Nilai

Air %bk 14,76 ± 0,08 Abu %bk 17,58 ± 0,09 Lignin %bk 17,48 ± 0,09 Selulosa %bk 22,12 ± 0,07 Hemiselulosa %bk 3,41 ± 0,04 Protein %bk 9,81 ± 0,06 Kandungan lainnya %bk 14,84

Proses Torefikasi Kulit Kacang Tanah

Torefikasi atau pengarangan adalah suatu proses untuk menaikkan nilai kalor biomassa yang menghasilkan pembakaran yang bersih dengan sedikit asap. Dalam penelitian ini digunakan suhu 200°C, 250°C dan 300°C untuk kemudian ditentukan suhu terbaik yang digunakan dalam penelitian. Parameter suhu terbaik akan dinilai dari kadar air, abu, zat terbang, karbon terikat dan nilai kalor.

Kadar air dan kadar abu

Dari hasil proses torefikasi kulit kacang tanah yang dilakukan, torefikasi dengan suhu 300°C memiliki kadar air paling rendah dibandingkan dengan suhu 200°C dan suhu 250°C. Hal ini disebabkan banyaknya air dan komponen lain yang menguap saat pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi. Nilai kadar air yang diperoleh berkisar 1,42-4,54% bk. Perbedaan suhu torefikasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (α = 0,05) pada kadar air yang dihasilkan (Lampiran 5). Kadar air arang kulit kacang tanah dapat dilihat pada Gambar 11. Hasil kadar air arang cangkang sawit (Bantacut et al. 2013) sebesar 2,7% pada suhu 450°C. Nilai maksimal kadar air arang menurut SNI 06-4369-1996 sebesar 6%, sehingga kadar air arang kulit kacang tanah pada suhu 300°C yang diperoleh lebih rendah.

Kandungan abu dipengaruhi oleh kandungan mineral anorganik biomassa yang digunakan. Hasil torefikasi menunjukkan suhu 300°C memiliki kadar abu paling tinggi dibandingkan suhu lainnya. Kadar abu yang diperoleh berkisar antara 7,34-9,10% (bk). Peningkatan kadar abu juga disebabkan semakin banyaknya komponen organik yang terurai pada saat torefikasi dengan suhu yang lebih tinggi (Liliana 2010).

Perbedaan suhu torefikasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata α = 0,05) pada kadar abu yang dihasilkan (Lampiran 5). Semakin tinggi suhu torefikasi maka kadar abu semakin tinggi. Kadar abu arang kulit kacang tanah dapat dilihat pada Gambar 11. Kadar abu arang cangkang sawit (Bantacut et al. 2013) sebesar 11,40% sehingga kadar abu arang kulit kacang masih lebih rendah.

24

Kadar abu maksimal SNI 06-4369-1996 sebesar 4% sehingga kadar abu yang diperoleh belum memenuhi standar.

Gambar 11 Kadar air dan abu arang kulit kacang suhu torefikasi 200-300°C. Kadar Zat Terbang dan Karbon terikat

Kadar zat terbang dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengukur banyaknya asap yang dihasilkan pada saat pembakaran. Semakin tinggi Jumlah kadar zat terbang dari suatu bahan bakar maka Jumlah asap yang dihasilkan semakin tinggi. Kadar zat terbang merupakan zat yang dapat menguap sebagai hasil dekomposisi senyawa-senyawa yang masih terdapat di dalam arang selain air (Hendra 2012).

Hasil analisis menunjukkan kadar zat terbang tertinggi diperoleh dari torefikasi suhu 200°C sebesar 42,37% bk. Kadar zat terbang yang dihasilkan pada arang kulit kacang berkisar antara 35,33-42,37% bk. Hasil zat terbang arang bungkil jarak (Liliana 2010) pada suhu 300°C sebesar 55,42% sehingga zat terbang yang dihasilkan masih lebih rendah. Jika dibandingkan dengan SNI 06- 3730-1995 dengan nilai standar 30%, kadar zat terbang yang diperoleh lebih belum memenuhi standar. Perbedaan suhu torefikasi memberikan pengaruh yang

berbeda nyata α = 0,05 pada kadar zat terbang yang dihasilkan (Lampiran 5). Kadar zat terbang arang kulit kacang tanah dapat dilihat pada Gambar 12.

Karbon terikat merupakan komponen fraksi karbon (C) yang terdapat di dalam bahan selain air, abu, dan zat terbang, sehingga keberadaan karbon terikat pada arang dipengaruhi oleh nilai kadar abu dan kadar zat terbang pada biopelet tersebut. Pengukuran karbon terikat menunjukkan Jumlah material padat yang dapat terbakar setelah komponen zat terbang dihilangkan dari bahan tersebut (Speight 2005). Berdasarkan hasil analisis, semakin tinggi suhu torefikasi maka kadar karbon terikat arang semakin tinggi.

Peningkatan persentase karbon dalam arang diduga disebabkan oleh semakin banyaknya senyawa non karbon yang menguap selama proses torefikasi berlangsung. Dari hasil perhitungan, kadar karbon terikat yang di dapatkan berkisar 50,29-55,65% bk. Hasil penelitian kadar karbon terikat arang bungkil jarak Liliana 2010 sebesar 36,25% sehingga kadar karbon terikat yang diperoleh lebih tinggi. Perbedaan suhu torefikasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata

25

Gambar 12 Kadar zat terbang dan kadar karbon terikat arang kulit kacang pada berbagai suhu torefikasi.

Nilai kalor

Semakin tinggi nilai kalor, maka kualitas bahan bakar semakin baik. Nilai kalor yang dihasilkan berbanding lurus dengan kadar karbon terikat yang didapatkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan suhu torefikasi menaikkan nilai kalor arang kulit kacang. Hal ini disebabkan peningkatan kadar karbon terikat pada suhu yang semakin tinggi menyebabkan kenaikan nilai kalor. (Liliana 2010). Nilai kalor yang didapat bekisar 4672-6460 kkal/kg.

Nilai kalor arang cangkang sawit yang diteliti (Bantacut et al. 2013 pada suhu 450°C nilai kalornya sebesar 5921,68 kkal/kg, sehingga nilai kalor yang dihasilkan arang kulit kacang masih lebih tinggi. Perbedaan suhu torefikasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (α = 0,05) pada nilai kalor yang dihasilkan (Lampiran 5). Nilai kalor arang kulit kacang tanah dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Nilai kalor arang kulit kacang pada berbagai suhu torefikasi.

Dari hasil karakterisasi arang kulit kacang tanah, maka perlakuan suhu terbaik yang digunakan pada komposisi pembuatan biopelet yaitu suhu 300°C dengan nilai kadar air 1,42% bk, abu 9,10% bk, zat terbang 35,33% bk, karbon terikat 55,65% dan nilai kalor 6460,33 kkal/kg. Karena dari hasil karakterisasi yang diperoleh, suhu 300°C mampu menurunkan kadar air, kadar zat terbang serta mampu menaikkan kadar karbon terikat dan nilai kalor yang dihasilkan.

0 10 20 30 40 50 60 200 250 300 K a d a r z a t t er b a n g d a n fi x ed c a rb o n (% ) Suhu ka rbonisa si ( C) za t terba ng Fixed ca rbon 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 200 250 300 N ila i k a lo r (k k a l/ k g) Suhu ka rbonisa si ( C)

26

Pembuatan Biopelet

Pada pencetakan biopelet semua bahan baku pada saat proses densifikasi akan dikomposisikan sesuai ketetapan pembuatan biopelet. Pada produksi biopelet ini, ada 13 perlakuan yang masing-masing dipisahkan sesuai dengan komposisi yang akan dicobakan.

Biopelet 100% bahan baku

Kadar air, abu, zat terbang, karbon terikat dan nilai kalor

Tingginya kadar air biopelet dapat menurunkan nilai kalor pembakaran, menyebabkan proses penyalaan menjadi lebih sulit, dan menghasilkan banyak asap pada proses pembakaran (Liliana 2010). Masing-masing bahan baku memiliki kandungan air yang berbeda dalam bahan sehingga juga ikut berpengaruh terhadap kadar air biopelet yang dihasilkan. Kadar air terendah dihasilkan oleh biopelet bagas Trangkil dan kadar air paling tinggi dihasilkan biopelet kulit kacang tanah. Rendahnya kadar air biopelet bagas Trangkil dipengaruhi lebih rendahnya kadar air bahan baku bagas Trangkil dibandingkan bahan baku lainnya (Tabel 12). Kadar air biopelet ampas kelapa yang diteliti Hasanuddin dan Lahay (2012) kadar airnya sebesar 4,80%, serta standar Prancis maksimal 15%, sehingga kadar air biopelet yang diperoleh lebih rendah.

Berdasarkan hasil analisis ragam, perbedaan jenis bahan baku memberikan

pengaruh yang berbeda nyata α = 0,05 terhadap kadar air biopelet yang

dihasilkan. Hasil analisa kadar air biopelet yang didapatkan berkisar antara 3,04- 4,20% bk dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Hasil analisa kadar air, abu, zat terbang dan karbon terikat biopelet Bahan baku Kadar air (%) Kadar abu (%) Zat terbang (%)

Karbon terikat (%)

BIB 3,42 6,94 31,64 61,42

KKT 4,2 6,77 30,1 62,6

BIK 3,65 7,3 32,37 60,85

Standar Prancis Maks 15 Maks 6

Standar Inggris Min 30 Min 60

Abu dapat menurunkan efisiensi pembakaran karena abu merupakan komponen yang tidak menghasilkan energi yang besar. Semakin rendah kadar abu yang didapatkan akan semakin baik. Dari hasil analisis, kadar abu yang didapatkan berkisar antara 6,77-7,3% bk. Kadar abu tertinggi dihasilkan biopelet bagas industri kecil, hal ini dipengaruhi kandungan abu bahan baku bagas industri kecil yang lebih besar dibandingkan bahan baku lainnya (Tabel 12).

Kadar abu biopelet komposisi jerami, sekam dan dedak yang diteliti oleh (Praptiningsih dan Nuraini 2014) sebesar 23,72% sehingga kadar abu yang dihasilkan biopelet dalam penelitian ini masih lebih rendah. Namun jika dibandingkan dengan standar Prancis (6%), maka kadar abu yang diperoleh belum

27 memenuhi standar. Dari hasil analisis ragam, jenis bahan baku memberikan

pengaruh yang berbeda nyata α = 0,05) satu sama lain (Lampiran 6).

Kadar zat terbang juga merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan kecocokan antara alat pembakaran dan bahan bakar yang digunakan. Semakin tinggi kadar zat terbang maka semakin banyak asap yang dihasilkan. Asap yang dihasilkan dapat berupa karbon dan partikel abu (Hendra 2012). Berdasarkan hasil analisa, kadar zat terbang yang diperoleh berkisar antara 30,10- 32,37% bk. Hasil penelitian (Hasanuddin dan Lahay 2012) kadar zat terbangnya berkisar antara 25,12-54,56% sehingga kadar zat terbang yang diperoleh jauh lebih rendah meskipun kadar zat terbang yang diperoleh belum memenuhi standar zat terbang maksimum Inggris sebesar 30%. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 6), perbedaan jenis bahan baku memberikan pengaruh yang berbeda

nyata terhadap kadar zat terbang biopelet α = 0,05 .

Berdasarkan hasil analisis, kadar karbon terikat biopelet berkisar 60,85- 62,60% bk. Kadar karbon terikat tertinggi dihasilkan oleh biopelet kulit kacang tanah sementara kadar terendah dihasilkan biopelet bagas industri kecil. Hal ini berbanding lurus dengan kadar zat terbang yang didapatkan, semakin rendah kadar zat terbang maka karbon terikat akan semakin tinggi. Hasil karbon terikat biopelet komposisi sekam padi, jerami dan dedak yang diteliti (Praptiningsih dan Nuraini 2014) nilainya berkisar antara 38,37-54,48%, sehingga kadar karbon terikat yang dihasilkan masih jauh lebih tinggi. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 6), perbedaan jenis bahan baku memberikan pengaruh yang berbeda

nyata terhadap kadar karbon terikat biopelet α = 0,05 .

Semakin tinggi kadar air, abu dan zat terbang maka nilai kalor akan semakin rendah dan sebaliknya semakin tinggi kadar karbon terikat, maka nilai kalor akan meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kalor biopelet berkisar antara 4272-4644 kkal/kg. Nilai kalori tertinggi diperoleh biopelet kulit kacang tanah, sebaliknya nilai kalor terendah diperoleh biopelet bagas industri kecil. Nilai kalor yang diteliti Hasanuddin dan Lahay (2012) nilai kalor rata ratanya sebesar 4308 kkal/kg sehingga nilai kalor biopelet bagas Trangkil dan kulit kacang tanah lebih tinggi. Hasil analisis nilai kalor rata-rata biopelet disajikan pada Gambar 14.

Nilai kalori biopelet yang dihasilkan sudah memenuhi standar dari berbagai negara seperti : Swedia (SS 18 71 70), Jerman (DIN 51371) dan Italia (CTI-R 04/5) yang nilai kalornya berkisar 4036-4179 kkal. Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perbedaan jenis bahan baku memberikan nilai

kalor yang berbeda nyata α = 0,05% pada biopelet yang dihasilkan.

Gambar 14 Hasil nilai kalor biopelet 100% bahan baku.

0 1000 2000 3000 4000 5000 BIB KKT BIK N il a i k a lo r (k k a l/ k g )

28

Nilai densitas, densitas kamba dan kuat tekan

Dalam prinsip pembakaran, nilai densitas yang terlalu tinggi tidak diharapkan. Tingginya nilai densitas akan menyebabkan berkurangnya rongga udara pada biopelet sehingga bisa memperlambat laju pembakaran. Biopelet yang terlalu padat akan sulit terbakar dan juga jika terlalu renggang, akan mudah pecah dan sangat menyulitkan pada masalah transportasi (Liliana 2010).

Berdasarkan hasil analisa, nilai densitas yang didapat berkisar antara 1,01- 1,09 g/cm³. Nilai densitas terendah diperoleh biopelet kulit kacang tanah dan nilai tertinggi diperoleh biopelet bagas Trangkil. Tingginya densitas biopelet bagas Trangkil diduga tidak dipengaruhi oleh karakteristik bahan baku, melainkan dipengaruhi oleh proses densifikasi yang terjadi. Selain faktor bahan baku, tekanan yang dihasilkan oleh mesin pencetak juga sangat berpengaruh, semakin tinggi tekanan yang dihasilkan semakin meningkatkan nilai densitas yang dihasilkan. Namun dalam penelitian ini, tidak ditentukan besarnya tekanan dan suhu karena tekanan muncul akibat gesekan antara bahan baku dan mesin.

Nilai densitas biopelet (Liliana 2010) berkisar antara 1,28-1,33 g/cm³ sehingga nilai densitas biopelet yang diperoleh pada penelitian ini lebih kecil dan jika mengacu pada standar densitas biopelet USA yang nilai minimalnya 0,6 g/cm³, maka nilai densitas yang diperoleh masih lebih tinggi dan memenuhi standar. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perbedaan jenis bahan baku memberikan nilai densitas yang berbeda nyata α = 0,05) pada biopelet yang dihasilkan.

Uji kuat tekan merupakan parameter untuk menentukan daya tahan biopelet pada saat proses transportasi dan pengemasan. Semakin tinggi nilai kuat tekan biopelet, maka semakin kuat pula daya tahan biopelet pada saat kegiatan transportasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biopelet memiliki nilai kuat tekan berkisar antara 12,37-13,62 kg/cm².

Pada Tabel 15 dapat diketahui bahwa nilai kuat tekan biopelet tertinggi sebesar 13,62 kg/cm² dihasilkan biopelet kulit kacang tanah, sedangkan nilai kuat tekan terkecil sebesar 12,37 kg/cm² dihasilkan biopelet bagas Trangkil. Kandungan lignin yang cukup tinggi pada kulit kacang menyebabkan biopelet kulit kacang memiliki nilai kuat tekan yang lebih tinggi. Lignin dalam bahan bisa berfungsi sebagai perekat yang memberikan kuat tekan yang bagus pada biomassa (Pari et al. 2006). Standar kuat tekan Inggris sebesar 12,7 kg/cm² sehingga nilai kuat tekan biopelet yang dihasilkan lebih tinggi dan telah memenuhi standar. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perbedaan

jenis bahan baku memberikan nilai kuat tekan yang berbeda nyata α = 0,05 .

Tabel 15 Nilai densitas, kamba dan nilai kuat tekan biopelet 100% bahan baku

Bahan baku Densitas (g/cm³) Nilai kamba (kg/m³) Kuat tekan (kg/ cm²)

BIB 1,09 687,51 12,37 KKT 1,01 695,44 13,62 BIK 1,01 682,30 12,68 Standar USA 0,64 600 Standar Swedia 12,70

29 Densitas kamba biopelet terkadang berbanding lurus dengan nilai densitas, semakin tinggi nilai densitas maka nilai densitas kamba akan semakin tinggi juga, namun tidak sepenuhnya terjadi karena nilai densitas kamba juga bisa dilihat dari besarnya tekanan yang dihasilkan mesin pencetak. Partikel biopelet dengan densitas yang tinggi memiliki kerapatan yang lebih tinggi sehingga menghasilkan bobot yang lebih tinggi pula (Liliana 2010). Semakin tinggi nilai densitas kamba pada suatu bahan maka proses penanganan dan transportasi bahan tersebut semakin mudah. Tinggi atau rendahnya densitas kamba suatu bahan ditentukan oleh berat jenis bahan tersebut. Partikel bahan yang halus dan kecil dapat meningkatkan kerapatan partikel penyusun biopelet.

Biopelet yang dihasilkan memiliki nilai densitas kamba yang berkisar antara 682,30-695,44 kg/m³. Pada Tabel 15, dapat diketahui bahwa densitas kamba biopelet terendah sebesar 682,30 kg/m³ dimiliki oleh biopelet bagas industri kecil, sedangkan densitas kamba tertinggi sebesar 695,44 kg/m³ dimiliki oleh biopelet kulit kacang tanah. Nilai kamba biopelet yang diteliti Liliana (2010) nilai rata rata kambanya sebesar 657,61g/cm³ dan standar kamba biopelet Swedia dengan nilai minimal 600 kg/m³ sehingga nilai kamba biopelet yang diperoleh masih lebih tinggi. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perbedaan jenis bahan baku memberikan nilai kamba yang berbeda nyata

α = 0,05) pada biopelet yang dihasilkan.

Kadar nitrogen (N), sulfur (S) dan klorin (Cl) dan uji ketahanan biopelet 100% bahan baku

Pengujian kandungan sulfur, nitrogen, dan klorin bertujuan untuk mengetahui kandungan unsur tersebut pada biopelet dan potensi emisi yang diakibatkan dari proses pembakaran biopelet. Komponen utama dalam biomassa berupa karbon, oksigen, hidrogen, nitrogen, belerang, klor, dan abu. Pada proses pembakaran, komponen ini keluar dalam bentuk gas yang dapat menjadi polutan atmosfer seperti Nitrogen Oksida (NO, NO2), Sulfur Dioksida (SO2), Hidrogen Klorida (HCl), dan Hidrokarbon terklorinasi (Erna 2013). Pada proses pembakaran, bahan bakar yang mengandung sulfur akan menimbulkan polutan SOx dan meyebabkan iritasi pada saluran pernafasan. Kandungan klorin pada saat pembakaran dapat menyebabkan korosif. Nitrogen pada saat pembakaran mempunyai peran penting dalam reaksi atmosfer yang dapat membentuk partikel– partikel yang berbahaya, berpengaruh pada lapisan ozon dan hujan asam.

(a) 0 0.5 1 1.5 2 2.5

BIB KKT BIK Standar

Prancis Kad ar N, S, C l (%) N S Cl

30

(b)

Gambar 15 (a) Nilai rata-rata kadar N, S, Cl (b) bobot penurunan biopelet 100% bahan baku

Dari hasil analisa, kandungan sulfur, nitrogen, dan klorin yang diperoleh didapatkan hasil kandungan nitrogen berkisar 0,34-1,23%. Kandungan nitrogen terendah terdapat pada biopelet bagas Trangkil dan kandungan nitrogen terbesar