• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Bina Suasana terhadap Partisipasi Masyarakat dalam

Dalam dokumen MASDELILAH /IKM (Halaman 118-0)

BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.8. Pengaruh Bina Suasana terhadap Partisipasi Masyarakat dalam

Advokasi Partisipasi Masyarakat Total P Baik Tidak Baik

n % n % N %

1 Baik 24 61,5 15 38,5 39 100,0 0,013

2 Tidak Baik 20 35,7 36 64,3 56 100,0

4.8. Pengaruh Bina Suasana terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan Gizi Buruk pada Balita

Tabel silang antara bina suasana dengan partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita menunjukkan bahwa dari 32 responden yang menilai bina suasana dalam kategori baik, ada 21 responden (65,6%) yang mempunyai partisipasi masyarakat dalam pencegahan buruk pada balita dalam kategori baik, sedangkan dari 63 responden yag menilai bina suasana dalam kategori tidak baik, sebagian besar responden mempunyai partisipasi masyarakat dalam pencegahan buruk pada balita dalam kategori tidak baik yaitu 40 orang (63,5%).

Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,007 (p<0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh bina suasana terhadap partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita. Hasil selengkapnya seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut :

Tabel 4.19. Pengaruh Bina Suasana terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan Gizi Buruk pada Balita

No Bina Suasana Partisipasi Masyarakat Total P Baik Tidak Baik

n % n % N %

1 Baik 21 65,6 11 34,4 32 100,0 0,007

2 Tidak Baik 23 36,5 40 63,5 63 100,0

4.9. Pengaruh Pemberdayaaan Masyarakat terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan Gizi Buruk pada Balita

Tabel silang antara pemberdayaan masyarakat dengan partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita menunjukkan bahwa dari 22 responden yang menilai pemberdayaan masyarakat dalam kategori baik, ada 16 responden (72,7%) yang mempunyai partisipasi masyarakat dalam pencegahan buruk pada balita dalam kategori baik, sedangkan dari 73 responden yag menilai pemberdayaan masyarakat dalam kategori tidak baik, sebagian besar responden mempunyai partisipasi masyarakat dalam pencegahan buruk pada balita dalam kategori tidak baik yaitu 45 orang (61,6%). Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,005 (p<0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberdayaan masyarakat terhadap partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita. Hasil selengkapnya seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut :

Tabel 4.20. Pengaruh Pemberdayaaan Masyarakat terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan Gizi Buruk pada Balita

No Pemberdayaan Masyarakat

Partisipasi Masyarakat Total P Baik Tidak Baik

n % n % N %

1 Baik 16 72,7 6 28,3 22 100,0 0,005

2 Tidak Baik 28 38,4 45 61,6 73 100,0

4.10. Analisis Variabel Strategi Promosi Kesehatan yang Paling Berpengaruh terhadap Partisipasi Masyarakat

Untuk menganalisis variabel strategi promosi kesehatan (variabel bebas) yaitu advokasi, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat yang paling berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk (variabel terikat) maka dilakukan analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik Dalam uji ini semua variabel yang berhubungan (signifikan) pada uji bivariat α = 0,05 akan dimasukkan secara bersama-sama kedalam uji multivariat.

Sebelum uji multivariat dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pemilahan variabel yang memenuhi syarat untuk dimasukkan kedalam uji multivariat yaitu bila hasil analisis bivariat didapat nilai p value < 0,25 maka variabel tersebut dimasukkan ke dalam uji multivariat dan sebaliknya bila nilai p value > 0,25 maka variabel itu tidak dapat dimasukkan atau dikeluarkan dari uji multivariat.

Berdasarkan hasil uji bivariat pada tabel sebelumnya dapat diketahui bahwa semua variabel bebas yaitu advokasi (p=0,013), bina suasana (p=0,007) dan pemberdayaan masyarakat (p= 0,005) mempunyai p value <0,25, sehingga dapat

dilanjutkan dengan uji multivariat. Hasil akhir analisis tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.21. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Untuk Identifikasi Variabel Bebas yang Paling Berpengaruh Terhadap Partisipasi

Masyarakat dalam Pencegahan Gizi Buruk pada Balita

No Variabel Independen B P value Exp (B)/

Odds Ratio

1 Advokasi 1,092 0,016 2,980

2 Pemberdayaan Masyarakat 1,490 0,007 4,439

Constant -4,227 0,000 0,015

Hasil regresi logistik pada tabel 4.21 diatas menunjukkan bahwa ada dua variabel yang mempunyai pengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita yaitu advokasi dan pemberdayaan masyarakat karena mempunyai nilai p < 0,05. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap partisipasi masyarakat adalah pemberdayaan masyarakat dengan nilai odds ratio 4,439, yang dapat diartikan bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dengan baik akan berpeluang untuk meningkatkan 4,439 kali partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita dari pada pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dengan tidak baik.

Berdasarkan hasil regresi logistik tersebut, maka dapat dibuat model persamaan regresi untuk mengidentifikasi probabilitas partisipasi masyarakat sebagai berikut :

p = 1

1+𝑒−(−4,227+1,092 (𝑥1)+1,490𝑥3)

Keterangan :

p = Nilai probalititas individu e = Bilangan natural

x1 = Advokasi

x3 = Pemberdayaan masyarakat

99 BAB 5

PEMBAHASAN

5.1. Analisis Implementasi Advokasi dan Pengaruhnya terhadap Pencegahan Gizi Buruk bagi Balita

Strategi promosi kesehatan adalah cara bagaimana mencapai atau mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan secara berhasil guna yaitu meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Berdasarkan rumusan WHO (1994), dan Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan, dinyatakan bahwa strategi promosi kesehatan secara global ini terdiri dari 3 hal, yaitu advokasi, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat. Strategi promosi kesehatan tersebut, juga diterapkan dalam pencegahan dan penanggulangan gizi buruk seperti yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk (Depkes RI 2005).

Salah satu dari ketiga strategi promosi kesehatan dan pencegahan gizi buruk tersebut adalah advokasi. Advokasi menurut Notoatmodjo adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stake holders) yaitu tokoh masyarakat formal (misalnya pihak-pihak pemerintah; lurah, camat, Dinas Kesehatan, Walikota, DPRD, dinas terkait) yang umumnya sebagai penentu kebijakan pemerintah atau penyandang dana pemerintah.

Implementasi berhasil atau tidaknya kegiatan advokasi dalam pencegahan gizi buruk

dapat diukur dari ketersediaan kebijakan (peraturan-peraturan, surat instruksi), sarana/prasarana, sumber daya manusia, sosialisasi, dan kelengkapan data, dana dan lain-lain yang mendukung kegiatan pencegahan dan penanggulangan gizi buruk.pada balita.

Untuk Kota Medan berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang hasil dari advokasi dalam pencegahan gizi buruk sudah cukup baik hal ini terlihat dari adanya komitmen dari Kepala Daerah untuk pencegahan dan penanggulangan gizi buruk, seperti adanya kebijakan yang dicanangkan di Medan Labuhan pada tahun 2011 yaitu Medan Bebas Gizi Buruk Tahun 2015, dimana pada pencanangan tersebut ada penandatanganan komitmen dari beberapa dinas terkait tentang pencegahan dan penanggulangan gizi buruk. Pada penandatangan tersebut, seluruh dinas terkait tersebut yaitu Dinas Kesehatan, Badan Ketahan Pangan, Dinas Sosial, TP. PKK, Dinas Pendidikan sepakat untuk bekerjasama dalam pencegahan gizi buruk. Bentuk dari kerjasama tersebut seperti adanya program-program pencegahan dan penanggulangan gizi buruk dari Dinas Kesehatan antara lain revitalisasi posyandu, pemberian makanan tambahan untuk gizi kurang dan gizi buruk, pembentukan dan pelatihan kader gizi masyarakat, surveilans gizi buruk, pembentukan dan pengadaan opersional Pusat Pemulihan Gizi (PPG) di puskesmas, pengadaan dan distribusi Vitamin A dan zat besi. Dari Badan Ketahanan Pangan berupa pemberian beras jimpitan untuk penderita gizi kurang dan gizi buruk, bantuan dana BOS untuk masyarakat tidak mampu yang menderita gizi buruk, bantuan BLT untuk penderita gizi buruk.

Dengan adanya komitmen dari Kepala Daerah tersebut, maka setiap kegiatan pencegahan dan penanggulangan gizi buruk, tidak mendapat hambatan dari pemerintah dan selalu mendapat dukungan baik dari segi anggaran. Hal ini terlihat dari tingginya anggaran untuk pencegahan gizi buruk yang dianggarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Medan. Untuk tahun 2011 pada saat penacangan tersebut anggaran untuk pencegahan dan penanggulangan gizi buruk sebesar Rp. 3.256,050.000 (5%

dari total anggaran kegiatan), Tahun 2012 setelah pencanangan sebesar Rp.

11.161.467.500 (14 % dari total seluruh anggaran kegiatan) tahun 2013 sebesar Rp.

6.378.380.000,- (14 % dari total seluruh anggran kegiatan).

Tingginya anggaran tersebut dipergunakan untuk segala kegiatan dalam pencegahan dan penanggulangan gizi buruk yaitu mulai dari pemenuhan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan promosi kesehatan dalam pencegahan gizi buruk buruk antara lain, pemenuhan sarana dan prasarana puskesmas dan posyandu, untuk Kota Medan terdapat 39 puskesmas dan 41 pustu yang aktif berperan dalam pencegahan dan penanggulangan gizi buruk, terdapat 1396 posyandu atau hampir ada di tiap lingkungan di Kota Medan, dimana posyandu diharapkan sebagai wadah wujud pemberdayaan masyarakat yang berperan aktif dalam pencegahan gizi buruk pada balita, mulai dari kegiatan penimbangan rutin pada balita yang dilakukan di posyandu, penyuluhan gizi, pemberian makanan tambahan dan imunisasi. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk pelaksanaaan kegiatan diposyandu sangat cukup, yaitu tiap posyandu memiliki timbangan dacin, buku KMS/KIA yang cukup untuk semua balita sasarannya, balok SKDN. Selain itu juga disediakan anggaran transport

kader yang mendorong keaktifan kader dalam pelaksanaan posyandu. Tetapi sarana dan prasarana untuk kegiatan promosi langsung pada masyarakat, baik promosi kesehatan mealui media cetak misalnya leaflet, poster sangat sedikit dianggarkan dan sangat kurang dilaksanakan. Begitu juga untuk promosi kesehatan secara elektronik baik melalui radio, televisi dan pemutaran film pada masyarakat tidak pernah dianggarkan. Sehingga hasil advokasi berupa dana anggaran untuk kegiatan promosi langsung pada masyarakat sangat sedikit, mungkin tidak dirasa penting oleh pembuat program baik di tingkat Dinas Kesehatan atau Pemerintah Daerah karena hasil dari kegiatan tersebut yang tidak dapat diukur langsung efeknya pada masyarakat.

Ketersediaan sumberdaya manusia yang betugas untuk pencegahan dan penanggulangan gizi buruk sudah cukup karena tiap puskesmas sudah mempunyai tenaga penanggung jawab gizi, tenaga promosi kesehatan puskesmas dan tenaga lainnya yang menjadi penanggung jawab posyandu. Untuk setiap petugas yang berperan, merupakan petugas yang terlatih yang sesuai dengan latar pendidikan dari si petugas tersebut, serta adanya pengarahan rutin bagi petugas pada waktu mini lokakarya puskesmas tiap bulannya.

Ketersediaan pendataan dan pelaporan sebagai implementasi dari hasil advokasi untuk Kota Medan cukup berjalan dengan baik, karena merupakan kegiatan rutin yang harus dilaksanakan, baik pendataan kelompok sasaran yaitu ibu hamil, dan balita serta keluarga miskin. Juga pendataan dan pelaporan untuk balita yang mempunyai masalah gizi baik gizi kurang maupun gizi buruk agar segera ditangani

baik di tangani di Pusat Pemulihan Gizi yang terdapat di 10 puskesmas rawat inap di Kota Medan ataupun untuk segera di rujuk kerumah sakit terdekat.

Jika dilihat dari hasil advokasi tersebut yang diterima dan dirasakan masyarakat terlihat berbanding terbalik. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 95 orang responden yang berada di Kecamatan Helvetia diketahui bahwa sebagian besar responden menilai aspek advokasi dalam kategori tidak baik yaitu sebanyak 56 orang (58,9%) dan yang menyatakan baik hanya sebanyak 39 orang (41,1%). Dari hasil tabulasi silang antara advokasi dengan partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita menunjukkan bahwa dari 39 responden yang menilai advokasi dalam kategori baik, ada 24 responden (61,5%) yang mempunyai partisipasi masyarakat dalam pencegahan buruk pada balita dalam kategori baik, sedangkan dari 56 responden yang menilai advokasi dalam kategori tidak baik, sebagian besar responden mempunyai partisipasi masyarakat dalam pencegahan buruk pada balita dalam kategori tidak baik yaitu 36 orang (64,5%). Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,013 (p<0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa advokasi mempunyai pengaruh terdapat partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita atau dapat diartikan kegiatan advokasi yang dilakukan dengan baik akan berpeluang untuk mempengaruhi meningkatnya partisipasi partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita.

Hasil penelitian kualitatif tentang implementasi dari kegiatan advokasi dari pembuat program khususnya disini dari Dinas Kesehatan Kota Medan yang terlihat cukup baik, namun dirasakan masyarakat secara keseluruhan belum terlalu baik (hasil

penelitian kuantitatif terhadap responden), walaupun sebagian dari advokasi tersebut sudah dirasakan responden cukup baik seperti ketersediaan posyandu (86,3%), sarana dan prasarana di posyandu (63,2%), SDM untuk pencegahan gizi buruk (67,4%) serta ketersediaan PMT pada balita (52,6%), namun secara keseluruhan dari kegiatan advokasi yang telah dilaksanakan masih dianggap sebagian besar masyarakat dalam kategori tidak baik hal ini dikarenakan karena sebagian besar dari kegiatan advokasi tersebut lebih ditujukan untuk kegiatan penanggulangan gizi buruk, bukan terhadap pencegahan gizi buruk, dimana untuk kegiatan penanggulangan gizi buruk anggaran yang dilaksanakan hampir dua pertiga dari seluruh anggaran kegiatan misalnya untuk pemberian makanan tambahan untuk penderita gizi buruk dan dana operasional pusat pemulihan gizi, yang sasarannya hanya untuk balita gizi buruk dan gizi kurang.

Sedangkan dana anggaran untuk pelaksanaan kegiatan promosi tentang gizi misalnya kadarzi yang sasarannya untuk seluruh balita sangat sedikit dilaksanakan bahkan untuk tahun 2013 tidak dianggarkan. Hal terlihat dari ketidak tersediaanya media penyebaran informasi (leaflet, poster, film dll) tentang gizi buruk dan pencegahannya di posyandu (68,4%) yang seharusnya sangat membantu masyarakat untuk meningkatkan pengetahuannya dan pencegahan gizi buruk pada balitanya.

Sehingga konsep mencegah lebih baik dari mengobati atau pencegahan gizi buruk lebih baik dari pada upaya penanggulangan, juga masih sebatas semboyan dan belum bisa menjadi sebuah landasan dalam pembuatan program-program kesehatan. Oleh karena itu hasil advokasi ini kurang dirasakan oleh masyarakat yang balita tidak menderita gizi buruk.

Kegiatan dari advokasi yang dilaksanakan oleh pembuat program dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Medan yang terlihat sudah banyak, namun secara keseluruhan belum maksimal karena walaupun sudah ada komitmen dari pemerintah daerah yaitu pencangan Medan Bebas Gizi Buruk 2015, tetapi belum menghasilkan suatu peraturan daerah yang mengikat bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pencegahan dan penanggulangan gizi buruk, seperti ada peraturan tentang wajib timbang bagi setiap balita, peraturan wajib pemberian ASI eksklusif. Peraturan atau instruksi seharusnya merupakan bentuk tegas dari pemerintah daerah agar masyarakat berpartisipasi dalam pencegahan gizi buruk pada balita.

Menurut Notoatmodjo (2007) salah satu cara mengajak atau menumbuhkan partisipasi masyarakat adalah dengan paksaan (enforcement participation), artinya memaksa masyarakat untuk kontribusi dalam suatu program, baik melalui perundang-undangan, peraturan maupun dengan perintah lisan, cara ini akan lebih cepat hasilnya dan mudah.

Berdasarkan hasil studi di tiga wilayah di Indonesia ternyata strategi paksaan melalui kepemimpinan yang otoriter dan tekanan kelompok dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam Pembinaan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) memberikan hasil yang positif berupa kesediaan ikut serta dalam program PKMD itu.

Hal ini ada hubungannya dengan kenyataan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya kurang menyadari akan perlunya melakukan upaya kesehatan dan mereka terbiasa diarahkan/diperintahkan sehingga mematuhi saja apa yang diperintahkan oleh lurah, kepala puskesmas dan tokoh masyarakat lainnya.

Begitu juga untuk kegiatan pencegahan gizi buruk pada balita, karena tidak adanya peraturan/instruksi yang mengharuskan masyarakat untuk menimbangkan balitanya baik di posyandu dan sarana kesehatan lainnya, menyebabkan masyarakat tidak mengetahui sedini mungkin tentang adanya masalah gizi pada balitanya. Karena sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa posyandu atau sarana kesehatan lainnya hanya merupakan tempat imunisasi pada balitanya, sehingga jika telah selesai masa imunisasi (9 bulan) maka tidak ada kewajiban lagi untuk membawa balitanya untuk ditimbang dan dibawa ke posyandu atau sarana kesehatan lainnya. Sehingga keadaan gizi banyak balita tidak terpantau, dan masyarakat tidak segera tahu jika balitanya sudah mempunyai masalah gizi, oleh karena itu kejadian gizi buruk dan gizi kurang masih terus terjadi di Kota Medan.

5.2. Analisis Implementasi Bina Suasana dan Pengaruhnya terhadap Pencegahan Gizi Buruk bagi Balita

Bina Suasana adalah upaya untuk menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat untuk melakukan perilaku pencegahan penyakit. Terdapat tiga pendekatan dalam bina suasana yaitu, pendekatan individu tokoh masyarakat dalam menyebarluaskan opini yang positif kepada individu-individu di lingkungannya, pendekatan kelompok masyarakat seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), Pengurus Rukun Warga (RW), majelis pengajian, perkumpulan seni, organisasi profesi, organisasi wanita dan lain-lain dan pendekatan masyarakat umum, dengan membina dan memanfaatkan media-media komunikasi, seperti radio, televisi, koran, majalah dan lain-lain sehingga dapat tercipta pendapat umum. Keberhasilan

kegiatan bina suasana dapat diukur dari terlaksananya kegiatan pertemuan, perlombaan dan penyuluhan atau penyebaran informasi baik individu, tokoh masyarakat maupun memanfaatkan media komunikasi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa pelaksanaan promosi kesehatan tentang pencegahan gizi buruk biasanya sasaran yang diambil adalah tokoh masyarakat, yaitu kepala lingkungan, kader, perangkat kelurahan.

Kemudian diharapkan tokoh masyarakat atau kader tersebut yang melaksanakan penyuluhan langsung kepada masyarakat baik di posyandu atau di lingkungannya.

Secara teori pada awalnya tahapan bina suasana dapat dilakukan melalui pendekatan kepada tokoh masyarakat/tokoh agama. Kemudian diharapkan tokoh masyarakat tersebut yang menyebarluaskan informasi kesehatan tersebut kepada masyarakat sehingga tokoh masyarakat mampu merubah opini masyarakat yang tidak mau berpatisipasi dalam program kesehatan menjadi peduli dan mau berpartisipasi.

Begitu juga strategi promosi kesehatan tentang pencegahan gizi buruk yang dilakukan di Kota Medan, telah dilakukan bina suasana terhadap tokoh masyarakat terutama kader posyandu. Bentuknya berupa pelatihan kader, jambore kader, lomba kader, dimana dilakukan secara bertahap mengingat jumlah kader yang cukup banyak di Kota Medan. Selain pelatihan ada juga pembinaan langsung terhadap kader posyandu yang dilakukan petugas penanggungjawab posyandu pada setiap hari buka posyandu.

Yang pada akhirnya kader-kader inilah yang diharapkan untuk aktif. melaksanakan penyuluhan dan pembinaan langsung pada masyarakat tentang pencegahan dan

penanggulangan gizi buruk. Untuk itu kader tersebut memperoleh dana transport kader setiap bulannya. Hal ini sesuai dengan yang dirasakan oleh responden bahwa 58,9 % responden pernah memperoleh informasi dari tokoh agama, tokoh masyarakat tentang gizi buruk dan pencegahannya dan 61,1 % tokoh masyarakat, tokoh agama pernah menganjurkan pada responden untuk membawa balitanya agar ditimbang di posyandu atau sarana kesehatan.

Selanjutnya pendekatan yang diharapkan adalah pendekatan terhadap kelompok masyarakat atau masyarakat secara umum. Pendekatan tersebut baik dilaksanakan oleh petugas kesehatan secara langsung maupun oleh tokoh masyarakat.

Namun berdasarkan informasi dari informan, bina suasana yang langsung ditujukan pada masyarakat, baik melalui penyuluhan atau pertemuan yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan, jarang dilaksanakan, dan jika dilaksanakan dengan jumlah sasaran yang terbatas. Hal ini sesuai daengan hasil wawancara dengan responden yaitu sebagain besar responden tidak pernah pernah diundang untuk menghadiri acara pertemuan tentang gizi buruk dan pencegahannya di kelurahan, posyandu atau puskesmas (75,8%).

Kegiatan lomba balita sehat dalam rangka meningkatkan motivasi masyarakat dalam menyehatkan balitanya tidak dilaksanakan. Walaupun sering diusulkan oleh pembuat program, namun karena hasil dari kegiatan tersebut dianggap tidak berpengaruh langsung pada penurunan kejadian gizi buruk di Kota Medan, maka kegiatan tersebut sering dihilangkan.

Untuk kegiatan promosi kesehatan tentang pencegahan gizi buruk dengan memanfaatkan media untuk melaksanakan bina suasana terhadap masyarakat secara umum misalanya melalui media cetak yaitu dalam bentuk poster, leaflet, booklet, surat kabar dan media elektronik dalam bentuk penyebarab informasi melalui radio, televisi dan pemutaran film jarang dilaksanakan, karena jarang dianggarkan. Jikapun ada penyebarluasan informasi melalui media cetak, misalnya poster leaflet biasanya dicetak dalam jumlah yang terbatas atau berasal dari Kementrian Kesehatan yang dikirimkan kedaerah dengan jumlah yang terbatas pula. Dan juga media elektronik yaitu radio dan televisi, biasanya berasal dari permintaan dari media itu sendiri.

Responden penelitian juga menyatakan hal yang sama yaitu 51, 6 % responden tidak pernah memperoleh informasi gizi buruk dan pencegahannya melalui selebaran/leaflet, poster atau surat kabar. Namun melalui media elektronik 55, 8%

responden pernah memperoleh informasi gizi buruk dan pencegahannya. Hal ini kemungkinan besar informasi kesehatan tersebut berasal dari siaran televisi pusat atau yang dianggarkan oleh Kementrian Kesehatan.

Jika dilihat dari penerimaan masyarakat terhadap bina suasana menunjukkan hasil secara keseluruhan bahwa sebagian besar responden menilai aspek bina suasana dalam kategori tidak baik yaitu sebanyak 63 orang (66,3%) dan hanya 32 orang (33,7%) yang menilai bahwa aspek bina suasana dalam kategori baik. Terbatasnya kegiatan bina suasana ini, diduga menjadi penyebab sebagian besar responden menilai kegiatan bina suasana yang dilakukan dikategorikan tidak baik. Penilaian ini diperkirakan berasal dari tingkat cakupan sasaran yang relatif terbatas pada saat

penyuluhan, hanya sebagaian kecil anggota masyarakaat yang memperoleh brosur atau poster dan hanya sebagian kecil ibu-ibu yang datang dan memperoleh peyuluhan di posyandu.

Dari hasil tabel silang antara bina suasana dengan partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita menunjukkan bahwa dari 32 responden yang menilai bina suasana dalam kategori baik, ada 21 responden (65,6%) yang mempunyai partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita dalam kategori baik, sedangkan dari 63 responden yag menilai bina suasana dalam kategori tidak baik, sebagian besar responden mempunyai partisipasi masyarakat dalam pencegahan buruk pada balita dalam kategori tidak baik juga yaitu 40 orang (63,5%).

Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,007 (p<0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh bina suasana terhadap partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita atau dapat diartikan kegiatan bina suasana yang dilakukan dengan baik akan berpeluang untuk mempengaruhi meningkatnya partisipasi partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita.

Hasil tersebut, terlihat bahwa kegiatan bina suasana yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah memang sangat kurang, dan lebih ditujukan kepada tokoh masyarakat sedangkan terhadap masyarakat secara langsung jarang dilaksanakan.

Kegiatan bina suasana yang dilakukan lebih berfokus pada kelompok sasaran tokoh masyarakat terutama kader posyandu, yang pada akhirnya diharapkan kader tersebut yang menjembatani pengelola program dengan masyarakat atau melaksanakan bina

Kegiatan bina suasana yang dilakukan lebih berfokus pada kelompok sasaran tokoh masyarakat terutama kader posyandu, yang pada akhirnya diharapkan kader tersebut yang menjembatani pengelola program dengan masyarakat atau melaksanakan bina

Dalam dokumen MASDELILAH /IKM (Halaman 118-0)