• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di RSUD Kota Padangsidimpuan Kota Padangsidimpuan

HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

5.2 Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di RSUD Kota Padangsidimpuan Kota Padangsidimpuan

Kepemimpinan di RSUD Kota Padangsidimpuan meliputi: kepiawaian menggunakan posisi, kemampuan memecahkan masalah secara efektif, ketegasan sikap dan komitmen dalam pengambilan keputusan, kemampuan menjadi media penyelesaian konflik kinerja dan keterampilan dalam komunikasi dan advokasi. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa secara keseluruhan variabel kepemimpinan pada kategori kurang sebesar 70,2%.

Hasil uji multivariat dengan uji statistik regresi berganda menunjukkan variabel kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana (p<0,05). Mengacu kepada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa perbaikan pada aspek kepemimpinan kepala ruang rawat inap akan berkontribusi terhadap peningkatan kinerja perawat pelaksana.

Indikator kepemimpinan yang digunakan dalam penelitian ini yang mengadopsi pendapat Gillies (1994) lebih mengarah sebagai bentuk aplikatif kepemimpinan dalam pelayanan keperawatan. Jika dikaji secara teoritis maka kepemimpinan yang dimaksud dalam penelitian ini lebih relevan dengan teori fungsi kepemimpinan sebagaimana disebutkan dalam teori kepemimpinan kontingensi yang dalam perkembangannya dikenal “teori kepemimpinan situasional”. Teori ini dikembangkan oleh Fiedler dan Chemers (Thoha, 2006), menyatakan bahwa efektifitas kepemimpinan seseorang adalah tergantung pada interaksi antara kepribadian pemimpin dan situasi Berdasarkan teori kepemimpinan ini, perilaku

kepemimpinan berbeda-beda dari suatu situasi ke situasi lain. Oleh sebab itu seorang pemimpin harus mampu melakukan diagnosa dengan sebaik-baiknya terhadap situasi seorang pemimpin yang baik menurut teori ini harus mampu membawakan perilakunya sesuai dengan situasi, mampu memperlakukan bawahan sesuai dengan kebutuhan dan motif yang berbeda-beda.

Fungsi kepemimpinan sebagaimana dinyatakan dalam kepemimpinan kontingensi meliputi : (a) pimpinan sebagai penentu arah, (b) pimpinan sebagai wakil

dan juru bicara organisasi, (c) pemimpin sebagai komunikator yang efektif dan (d) pemimpin sebagai mediator

a. Kepiawaian Menggunakan Posisi

. Keterkaitan antara indikator kepemimpinan dalam penelitian ini berdasarkan pendapat Gillies (1994) dengan fungsi kepemimpinan kontigensi menjadi bahan pembahasan dengan melihat relevansi antara kedua aspek tersebut.

Indikator kepemimpinan tentang kepiawaian menggunakan posisi yang sering dilakukan kepala ruangan adalah menyusun jadwal dan jenis pekerjaan yang menjadi tanggung jawab perawat pelaksana dinyatakan 17,5% responden, namun 63,2% responden menyatakan kepala ruangan tidak pernah memberikan pengarahan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Persentase jawaban responden tentang aspek kepiawaian menggunakan posisi dalam kepemimpinan tersebut menunjukkan peran kepala ruangan yang paling dominan melaksanakan tanggungjawabnya dalam membuat uraian dan pedoman kerja yang akan dilakukan perawat pelaksana. Dengan adanya jadwal dan jenis pekerjaan bagi setiap perawat pelaksana menjadi acuan yang

akan dipedomani dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Namun akibat kurangnya pengarahan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan menyebabkan pelaksanaan kinerja perawat pelaksana belum optimal.

Kelemahan kepala ruangan sebagai atasan perawat pelaksana di RSUD Padangsidimpuan dalam kepiawaian menggunakan posisi diakibatkan kurangnya pemahaman kepala ruangan tentang Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) antara lain : mengevaluasi kinerja perawat, membuat daftar dinas, menyediakan material keperawatan dan melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan.

Aspek kelihaian menggunakan posisi dalam kepemimpinan keperawatan terkait dengan faktor individu dari kepala ruangan itu sendiri. Jika seorang kepala ruangan kurang memiliki kompetensi sebagai pimpinan maka dalam implementasinya kurang baik pada saat kepala ruangan tersebut mengelola suatu tim kerja di unit ruang keperawatan yang menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu seorang perawat yang berperan sebagai kepala ruangan dan sekaligus sebagai pimpinan dari perawat pelaksana hendaknya memiliki jiwa kepemimpinan sebagaimana yang diamanatkan pada model keperawatan profesional yang berkembang saat ini

Dampak dari lemahnya kepemimpinan kepala ruangan di RSUD Padangsidimpuan pada aspek kelihaian menggunakan posisi, bukan saja kepada kurang optimalnya pelayanan keperawatan kepada pasien, tetapi juga berdampak kurang baik terhadap proses pembelajaran atau pengembangan manajemen keperawatan di rumah sakit. Oleh karena itu manajemen RSUD Padangsidimpuan

melalui Kepala Bidang Keperawatan perlu mempertimbangkan sistem pengembangan kepegawaian, khususnya sistem promosi atau pengangkatan kepala ruangan dengan memperhatikan kemampuan kepemimpinannya.

Hasil penelitian tentang kepiawaian menggunakan posisi yang masih lemah belum sesuai dengan konsep kepemimpinan dalam pelayanan keperawatan menurut Swanburg (2000) yaitu kesanggupan untuk mengkonsep dan melihat usaha sebagai keseluruhan belum mampu diwujudkan oleh kepala ruangan di RSUD Kota Padangsidimpuan.

Kepiawaian menggunakan posisi sebagai perilaku kepemimpinan kepala ruang perawatan relevan dengan fungsi kepemimpinan sebagai penentu arah dalam teori kepemimpinan kontigensi (Thoha, 2006). Telah umum dari fungsi kepemimpinan tersebut diketahui bahwa setiap organisai diciptakan atau dibentuk sebagai wahana untuk mecapai sesuatu tujuan tertentu. Kenyataan yang selalu dihadapi oleh organisasi ialah bahwa sarana dan prasarana yang tersedia mungkin terbatas sedangkan tujuan yang hendak dicapai adalah sifatnya yang tidak terbatas. Pada gilirannya situasi kelangkaan yang selalu dihadapi organisasi menuntut agar seluruh komponen dan jajaran suatu organisasi bekerja optimal sehingga dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan tidak terjadi pemborosan karena akan membuat jalannya organisasi tidak efektif.

Sesuai dengan penelitian Sigit (2009) bahwa penerapan model praktek perawatan professional tidak dijalankan konsisten dan pemahaman kepala ruang dan ketua tim tentang fungsi pengarahan di Rumah Sakit Umum Daerah Blambangan

Banyuwangi sebelum dilatih fungsi pengarahan rendah, padahal fungsi pengarahan sangat penting diimplementasikan secara konsisten untuk meningkatkan kinerja.

Aplikasi dari fungsi kepemimpinan sebagai penentu arah dalam pelayanan keperawatan dapat dilihat pada metode penugasan pada metode tim sebagaimana dinyatakan Swanburg (2000), dimana perawat profesional kepala tim perawat), perawat pelaksana dan tenaga kesehatan lainnya dalam satu tim untuk memberikan perawatan pada sekelompok klien. Dimana perawat untuk memberikan perawatan pada sekelompok klien. Dimana perawat profesional bertugas sebagai ketua tim yang bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan dan merencanakan asuhan keperawatan. Keuntungan dalam metode ini adalah pelayanan yang profesional, tanggung jawab dan tanggung gugat jelas, pelayanan tidak terkotak-kotak, kepuasan pasien tinggi. Sedangkan kerugian metode ini yaitu tenaga perawat harus mencukupi, perlu pelatihan teknik yang benar, perlu kemampuan yang baik dari ketua tim untuk menangani konflik yang muncul dalam tim.

b. Kemampuan Memecahkan Masalah secara Efektif

Hasil penelitian tentang aspek kemampuan memecahkan masalah secara efektif dalam kepemimpinan yang paling dominan dilakukan adalah kepala ruangan berkonsultasi dengan perawat pelaksana tentang hambatan asuhan keperawatan yang dinyatakan sering oleh 17,5% responden, namun ditemukan 68,4% yang menyatakan kepala ruangan tidak pernah mampu menyelesaikan masalah pelaksanaan asuhan keperawatan.

Kelemahan kemampuan kepala ruangan sebagai pimpinan dari perawat pelaksana di RSUD Padangsidimpuan dalam memecahkan masalah secara efektif diakibatkan kurangnya keterampilan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai kepala ruang yaitu mengadakan diskusi untuk pemecahan masalah.

Kemampuan memecahkan masalah secara efektif akan optimal dilakukan kepala ruangan, jika dilakukan diskusi antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana saat terjadi masalah. Dalam diskusi tersebut, kepala ruangan harus mencari fakta secara lengkap tentang permasalahan yang ada, kemudian mengkaji penyebabnya serta mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah.

Kondisi yang terjadi di RSUD Padangsidimpuan menunjukkan kurangnya respon dari kepala ruangan terhadap masalah yang dihadapi perawat pelaksana dalam pelaksanaan tugasnya, padahal dalam konsep kepemimpinan keperawatan dengan jelas disebutkan bahwa salah satu fungsi kepala ruangan dalam hal pengarahan adalah membimbing bawahan (perawat pelaksana) yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugasnya.

Akibat dari lemahnya kepemimpinan kepala ruangan di RSUD Padangsidimpuan pada aspek kemampuan memecahkan masalah secara efektif adalah terganggunya pelaksanaan asuhan keperawatan karena masalah yang ada pada perawat pelaksana tidak diselesaikan secara efektif oleh kepala ruangan, bukan saja kepada kurang optimalnya pelayanan keperawatan kepada pasien. Upaya menyesaikan masalah yang dihadapi perawat pelaksana perlu didukung oleh manajemen RSUD Padangsidimpuan melalui Kepala Bidang Keperawatan dengan

membuat suatu pertemuan rutin antara perawat pelaksana dengan kepala ruangannya sebagai sarana untuk mendiskusikan segala permasalahan yang dihadapinya. Untuk melaksanakan hal yang demikian tentunya dibutuhkan seorang kepala ruangan yang mampu berperan sebagai auditor internal serta memahami konsep pengelolaan masalah secara bijak. Selanjutnya kembali kepada pimpinan RSUD Padangsidimpuan untuk mengkaji tentang kemampuan setiap kepala ruangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Jika pimpinan RSUD Padangsidimpuan menemukan kepala ruangan yang tidak memiliki kemampuan yang dimaksud, maka pimpinan perlu mengambil kebijakan, apakah memberikan pelatihan kepemimpinan atau melakukan pergantian kepala ruangan.

Hasil penelitian tentang kemampuan memecahkan masalah secara efektif yang masih lemah belum sesuai dengan konsep kepemimpinan dalam pelayanan keperawatan menurut Swanburg (2000) yaitu ketrampilan hubungan antar manusia belum mampu diwujudkan oleh kepala ruangan di RSUD Kota Padangsidimpuan.

Kemampuan memecahkan masalah secara efektif sebagai perilaku kepemimpinan kepala ruang perawatan relevan dengan fungsi kepemimpinan sebagai wakil dan juru bicara organisasi dalam teori kepemimpinan kontigensi (Thoha, 2006). Dalam fungsi kepemimpinan ini dijelaskan bahwa setiap organisasi dalam usaha pencapaian tujuan harus : menyatukan persepsi yang tepat tentang organisasi tersebut, adanya pemahaman bebagai kebijaksanaan yang ditempuh oleh organisasi dalam rangka pencapaian tujuannya serta mencegah timbulnya salah pengertian tentang arah yang ditempuh oleh organisasi. Keseluruhan hal yang diuraikan di atas merupakan

bentuk dari k

Manajemen keperawatan pada dasarnya berfokus pada perilaku manusia. Untuk mencapai tingkat tertinggi dari produktivitas pada pelayanan keperawatan, pasien membutuhkan manajer perawat yang terdidik dalam pengetahuan dan keterampilan tentang perilaku manusia untuk mengelola perawat profesional serta pekerja keperawatan non profesional. Pimpinan yang mampu menyelesaikan masalah dengan efektif dan menciptakan kondisi untuk mewujudkan kepemimpinan yang efektif dengan membentuk suasana yang dapat diterima oleh bawahan, sehingga bawahan tidak merasa terancam dan ketakutan. Untuk dapat melakukan hal tersebut di atas, baik atasan maupun bawahan perlu memahami tentang pengelolaan kepemimpinan secara baik, yang pada akhirnya akan terbentuk motivasi dan sikap kepemimpinan yang profesional. Kepemimpinan dalam keperawatan merupakan penerapan pengaruh dan bimbingan yang ditujukan kepada semua staf keperawatan untuk menciptakan kepercayaan dan ketaatan sehingga timbul kesediaan melaksanakan tugas dalam rangka mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien.

emampuan kepala ruang perawatan memecahkan masalah secara efektif dalam proses pelayanan keperawatan di rumah sakit.

c. Ketegasan Sikap dan Komitmen dalam Pengambilan Keputusan

Hasil penelitian tentang aspek ketegasan sikap dan komitmen dalam pengambilan keputusan dalam kepemimpinan dirasakan masih lemah, karena 71,9% responden menyatakan kepala ruangan tidak pernah membuat aturan yang tegas

tentang sanksi bagi perawat pelaksana yang melakukan kesalahan. Aspek ketegasan sikap dan komitmen dalam pengambilan keputusan yang positif dan paling dominan dilakukan dari seluruh item pertanyan lainnya adalah kepala ruangan bersikap tegas kepada setiap perawat pelaksana supaya mematuhi peraturan dalam bekerja yang dinyatakan sering oleh 12,3% responden.

Proses pengambilan keputusan dalam suatu unit kerja (ruang perawatan) merupakan wewenang dari pimpinan (kepala ruangan). Kesalahan atau keterlambatan kepala ruangan dalam mengambil keputusan akan berdampak kepada kurang terarahnya pelaksanaan asuhan keperawatan. Sikap kurang tegas dari kepala ruangan di RSUD Padangsidimpuan dalam mengambil keputusan merupakan akibat dari kurangnya keberanian dalam memutuskan suatu hal akibat terlalu mempertmbangkan berbagai kepentingan antar kelompok atau individu perawat pelaksana.

Tugas-tugas pimpinan yang terkait dengan sikap dalam mengambil keputusan adalah sebagai pengambil keputusan itu sendiri, sebagai pemikul tanggung jawab dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sebagai pemikir konseptual. Dengan demikian kepala ruangan harus memiliki sebagai pemikir konseptual dan bertanggung jawab sehingga dapat memutuskan segala sesuatu untuk peningkatan asuhan keperawatan. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh kepala ruangan yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai dengan kriteria

asertif, self direction, kemampuan mengambil keputusan yang tepat, menguasai keperawatan klinis, akuntabel, serta mampu berkolaborasi dengan berbagai displin ilmu.

Lemahnya ketegasan sikap dan komitmen kepala ruangan di RSUD Padangsidimpuan dalam pengambilan keputusan sebagai salah satu aspek kepemimpinan keperawatan mengakibatkan terkendalanya pelayanan keperawatan. Upaya meningkatkan kemampuan kepala ruangan sehingga tegas menentukan sikap dan memiliki komitmen dalam mengambil keputusan harus difasilitasi oleh manajemen RSUD Padangsidimpuan dengan membuat kriteria kebijakan apa saja yang mesti diputuskan oleh kepala ruangan dan kebijakan apa yang perlu dimusyawarahkan dengan manajemen rumah sakit atau dengan perawat pelaksana.

Hasil penelitian tentang ketegasan sikap dan komitmen dalam pengambilan keputusan yang masih lemah belum sesuai dengan konsep kepemimpinan dalam pelayanan keperawatan menurut Swanburg (2000) yaitu ketrampilan pimpinan dalam memengaruhi perawat dibawah pengawasannya untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya belum mampu diwujudkan oleh kepala ruangan di RSUD Kota Padangsidimpuan.

Sesuai dengan pendapat Thoha (2006) yang menyatakan bahwa ketegasan sikap dan komitmen dalam pengambilan keputusan sebagai perilaku kepemimpinan kepala ruang perawatan relevan dengan fungsi kepemimpinan selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan. Pemimpin yang membuat keputusan dengan memperhatikan situasi sosial kelompok organisasinya, akan dirasakan sebagai keputusan bersama yang menjadi tanggung jawab bersama pula dalam melaksanakannya. Dengan demikian akan terbuka peluang bagi pemimpin untuk mewujudkan fungsi-fungsi kepemimpinan sejalan dengan situasi sosial yang

dikembangkannya. Fungsi ini berarti juga keputusan yang ditetapkan tidak akan ada artinya tanpa kemampuan mewujudkan atau menterjemahkannya menjadi instruksi atau perintah. Selanjutnya perintah tidak akan ada artinya jika tidak dilaksanakan. Oleh karena itu sejalan dengan pengertian kepemimpinan, intinya adalah kemampuan pimpinan menggerakkan orang lain agar melaksanakan perintah, yang bersumber dari keputusan yang telah ditetapkan.

d. Kemampuan Menjadi Media dalam Penyelesaian Konflik Kinerja

Hasil penelitian tentang kemampuan menjadi media dalam penyelesaian konflik kinerja dalam kepemimpinan dirasakan masih lemah, karena aspek yang positif dan paling dominan dilakukan dari seluruh item pertanyaan adalah kepala ruangan sering melakukan penyelesaian masalah yang dihadapi dalam pembagian tugas keperawatan dinyatakan oleh 10,5% responden, sedangkan 73,7% responden menyatakan kepala ruangan tidak pernah membantu perawat pelaksana yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan asuhan keperawatan.

Penyelesaian konflik pada pelayanan keperawatan di RSUD Padangsidimpuan yang lemah sebagai akibat dari kepala ruangan kurang memahami tentang konflik itu sendiri dan bagaimana cara mengelolanya. Secara teoritis konflik didefinisikan sebagai suatu perselisihan atau perjuangan yang timbul bila keseimbangan antara perasaan, pikiran, hasrat, dan perilaku seseorang yang terancam. Terdapat sembilan faktor umum yang berkaitan dengan semua kemungkinan penyebab konflik, yaitu :

a. Spesialisasi. Sebuah kelompok yang bertanggung jawab untuk suatu tugas tertentu atau area pelayanan tertentu memisahkan dirinya dari keompok lain. Seringkali berakibat terjadinya konflik antar kelompok.

b. Peran yang bertugas banyak. Peran keperawatan membutuhkan seseorang untuk dapat menjadi seorang manajer, seorang pemberi asuhan yang trampil, seorang ahli dalam hubungan antar manusia, seorang negosiator, penasihat , dan sebagainya. Setiap sub peran dengan tugas - tugasnya memerlukan orientasi yang berbeda - beda yang dapat menyebabkan konflik.

c. Interdependensi peran. Peran perawat pelaksana dalam praktek pribadi tidak akan serumit seperti peran perawat dalam tim kesehatan yang multidisiplin, dimana tugas seseorang perlu didiskusikan dengan orang lain yang mungkin bersaing untuk area - area tertentu.

d. Kekaburan tugas. Ini diakibatkan oleh peran yang mendua dan kegagalan untuk memberikan tanggung jawab dan tanggung gugat untuk suatu tugas pada individu atau kelompok.

e. Perbedaan. Sekelompok orang dapat mengisi peran yang sama tetapi perilaku sikap, emosi, dan kognitif orang - orang ini terhadap peran mereka bisa berbeda. f. Kekurangan sumber daya. Persaingan ekonomi, pasien, jabatan, adalah sumber

absolut dari konflik antar pribadi dan antar kelompok.

g. Perubahan. Saat perubahan menjadi lebih tampak, maka kemungkinan tingkat konflik akan meningkat secara proporsional.

h. Imbalan. Bila orang mendapat imbalan secara berbeda - beda, maka sering timbul konflik, kecuali jika mereka terlibat dalam perbuatan sistem imbalan.

i. Masalah komunikasi. Sikap mendua, penyimpangan persepsi, kegagalan bahasa, dan penggunaan saluran komunikasi secara tidak benar, semuanya akan menyebabkan konflik

Untuk melaksanakan hal yang demikian tentunya dibutuhkan seorang kepala ruangan yang mampu berperan sebagai mediator serta memahami konsep manajemen konflik. Mengakomodasikan pihak yang terlibat konflik dengan cara meningkatkan kerja sama dan keseimbangan serta mengembangkan kemampuan penyelesaian masalah yang tepat dengan cara mengumpulkan data yang akurat dan mengambil suatu kesepakatan bersama.

Kemampuan menjadi media dalam penyelesaian konflik kinerja relevan dengan fungsi kepemimpinan sebagai mediator yang andal khususnya dalam hubungan ke dalam, terutama dalam menangani konflik (Thoha, 2006). Sesuai dengan pengertian konflik menurut Deutsch (1969) adalah suatu perselisihan atau perjuangan yang timbul bila keseimbangan antara perasaan, pikiran, hasrat, dan perilaku seseorang yang terancam. Dalam Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) disebutkan bahwa konflik adalah perbedaan pandangan atau ide antara satu orang dengan orang yang lain. Dalam organisasi yang dibentuk dari sekumpulan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda konflik mudah terjadi. Demikian juga di ruang MPKP konflik pun bisa terjadi. Untuk mengantisipasi terjadinya konflik

maka perlu dibudayakan upaya-upaya mengantisipasi konflik dan mengatasi konflik sedini mungkin.

Cara-cara penanganan konflik ada beberapa macam, meliputi: bersaing, berkolaborasi, menghindar, mengakomodasi dan berkompromi, dengan uraian sebagai berikut : Yulia (2006)

a. Mengatasi konflik dengan bersaing adalah penanganan konflik dimana seseorang atau satu kelompok berupaya memuaskan kepentingannya sendiri tanpa mempedulikan dampaknya pada orang lain atau kelompok lain. Cara ini kurang sehat bila diterapkan karena bisa menimbulkan potensi konflik yang lebih besar terutama pada pihak yang merasa dikalahkan. Untuk itu organisasi sebaiknya menghindari metode penyelesaian konflik jenis ini.

b. Berkolaborasi adalah upaya yang ditempuh untuk memuaskan kedua belah pihak yang sedang berkonflik. Cara ini adalah salah satu bentuk kerjasama. Berbagai pihak yang terlibat konflik didorong menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dengan jalan mencari dan menemukan persamaan kepentingan dan bukan perbedaan. Situasi yang diinginkan adalah tidak ada satu pihakpun yang dirugikan. Istilah lain cara penyelesaian konflik ini disebut juga win-win solution.

c. Menghindar adalah cara menyelesaikan konflik dimana pihak yang sedang berkonflik mengakui adanya konflik dalam interaksinya dengan orang lain tetapi menarik diri atau menekan konflik tersebut (seakan-akan tidak ada konflik atau masalah). Cara ini tidak dianjurkan dalam upaya penyelesaian

konflik karena masalah mendasar tidak diselesaikan, penyelasaian yang terjadi adalah penyelesaian semu. Untuk itu tidak dianjurkan organisasi untuk menggunakan metode ini.

d. Akomodasi adalah upaya menyelesaikan konflik dengan cara salah satu pihak yang berkonflik menempatkan kepentingan pihak lain yang berkonflik dengan dirinya lebih tinggi. Salah satu pihak yang berkonflik mengalah kepada pihak yang lain. Ini suatu upaya lose – win solution. Upaya penyelesaian konflik dengan akomodasi sebaiknya juga tidak digunakan terlalu sering karena kepuasan tidak terjadi secara penuh dan bisa menimbulkan potensi konflik di masa mendatang.

e. Kompromi adalah cara penyelesaian konflik di mana semua pihak yang berkonflik mengorbankan kepentingannya demi terjalinnya keharmonisan hubungan dua belah pihak tersebut. Dalam upaya ini tidak ada salah satu pihak yang menang atau kalah. Ini adalah lose-lose solution di mana masing-masing pihak akan mengorbankan kepentingannya agar hubungan yang dijalin tetap harmonis.

Upaya mengatasi konflik yang diterapkan di MPKP adalah upaya yang win-win solution. Pembudayaan kolaborasi antar staf menjadi prioritas utama dalam menyelenggarakan pengelolaan ruangan MPKP. Pendekatan penyelesaian konflik yang ditempuh adalah dengan pendekatan penyelesaian masalah (problem solving) yang meliputi: (a) mengidentifikasi akar permasalahan yang terjadi dengan melakukan klarifikasi pada pihak yang berkonflik (b) mengidentifikasi penyebab

timbulnya konflik, (c) mengidentifikasi alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin diterapkan, (d) memilih alternatif penyelesaian terbaik untuk diterapkan, (e) menerapkan solusi pilihan dan (f) mengevaluasi peredaan konflik. Bila pendekatan internal yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi belum berhasil maka kepala ruangan dapat berkonsultasi dengan kepala seksi perawatan atau konsultan.

e. Keterampilan dalam Komunikasi dan Advokasi

Hasil penelitian tentang keterampilan dalam komunikasi dan advokasi dalam kepemimpinan dirasakan masih lemah, karena hanya 8,8% responden yang menyatakan kepala ruangan sering berkonsultasi dengan perawat pelaksana tentang hambatan yang dihadapi perawat pelaksana dalam pelaksanaan asuhan keperawatan sebagai aspek yang positif dan paling dominan dilakukan dari seluruh item pertanyaan, sedangkan 73,7% responden menyatakan kepala ruangan tidak pernah mampu menjelaskan kepada perawat pelaksana tentang cara menghadapi keluarga pasien.

Kelemahaan kepala ruangan dalam komunikasi dan advokasi merupakan hambatan yang sangat besar dalam pelayanan keperawatan, karena hubungan antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana dalam setiap kegiatan di rumah sakit tidak dapat lepas dari proses komunikasi.

Kepala ruangan di RSUD Padangsidimpuan kurang memiliki keterampilan dalam komunikasi dan advokasi karena kurangnya memahami karakteristik kelompok

meliputi : norma, nilai-nilai kemampuannya, pola komunikasi, tujuan, ekspresi dan keakraban kelompok. Pemahaman tentang karakteristik individu perawat pelaksana juga sangat penting karena setiap individu unik dan masing - masing mempunyai kontribusi yang berbeda.

Sebagai kepala ruangan juga berperan sebagai penghubung interpersonal, yaitu merupakan simbul suatu kelompok dalam melakukan tugas secara hukum dan sosial, mempunyai tanggung jawab dan memotivasi, mengatur tenaga dan mengadakan pengembangan serta merupakan penghubung jaringan kerja di luar kelompok atau tim keperawatan. Sebagai pemberi informasi, yaitu memonitor