• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.7 Analisis Multivariat (Uji Regresi Berganda)

4.7.1 Pengujian secara Parsial

Pengujian secara parsial ini dimaksudkan untuk menguji pengaruh dari masing-masing variabel bebas, yaitu variabel kepemimpinan (X1) dan komunikasi (X2) terhadap kinerja perawat pelaksana (Y).

a. Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di RSUD Kota Padangsidimpuan

Berdasarkan hasil perhitungan pada lampiran 5 dan terangkum pada Tabel 4.23 di atas diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,684 dan nilai signifikansi atau nilai p=0,000<0,05. Hasil uji berarti variabel kepemimpinan (X1

b. Pengaruh Komunikasi terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di RSUD Kota Padangsidimpuan

) berpengaruh signifikan terhadap kinerja perawat pelaksana (Y).

Berdasarkan hasil perhitungan pada lampiran 5 dan terangkum pada Tabel 4.23 di atas diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,331 dan nilai signifikansi atau nilai p=0,005<0,05. Hasil uji berarti variabel komunikasi (X2

Secara keseluruhan variabel bebas yang paling besar (dominan) pengaruhnya terhadap kinerja perawat pelaksana yang diukur berdasarkan pelaksanaan asuhan keperawatan adalah variabel kepemimpinan dengan nilai koefisien (β) 0,684.

) berpengaruh signifikan terhadap kinerja perawat pelaksana (Y).

Besar pengaruh variabel kepemimpinan dan komunikasi terhadap kinerja perawat pelaksana ditunjukkan oleh nilai koefisien determinan (R2). Hasil uji statistik menunjukkan nilai koefisien determinan (R2) adalah sebesar 56,8%, hal ini memberikan makna bahwa variabel bebas (kepemimpinan dan komunikasi) mampu menjelaskan variasi perubahan yang terjadi pada variabel terikat (kinerja perawat pelaksana) sebesar 56,8%, sisanya sebesar 43,2% dipengaruhi oleh faktor lain (variabel lain) yang tidak diteliti.

4.7.2 Uji F (Uji Serempak)

Analisis F-hitung (Lampiran-5), dengan derajat kebebasan (degree of freedom) dalam perhitungan df2 =2 dan df2 = 54, dengan nilai signifikansi

p=0,000<0,05, maka hipotesa penelitian diterima, berarti ada pengaruh yang signifikan dan positif variabel kepemimpinan (X1) dan komunikasi (X2) terhadap variabel kinerja perawat pelaksana (Y).

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Kinerja Perawat Pelaksana di RSUD Kota Padangsidimpuan

Hasil penelitian menunjukkan kinerja perawat pelaksana di RSUD Kota Padangsidimpuan sebesar 54,4% pada kategori tidak baik. Pengukuran kinerja perawat pelaksana mengacu kepada asuhan keperawatan melalui tahapan: pengkajian, diagnosis, perencanaan tindakan keperawatan, pelaksanaan tindakan keperawatan dan evaluasi tindakan keperawatan.

a. Pengkajian

Kinerja perawat pelaksana pada aspek pengkajian secara umum rendah dan untuk pilihan jawaban yang terbaik (sering dilakukan) paling tinggi adalah melakukan anamnesa, biodata pasien, keluhan utama dan mengkonfirmasikan kepada ketua tim keperawatan sebagai penanggung jawab tentang data pasien yaitu 36,8 %.

Pengkajian data pasien serta penyakit yang dideritanya merupakan tahap awal yang menjadi acuan bagi proses asuhan keperawatan pada tahap berikutnya. Apabila pada tahap pengkajian tidak dilakukan dengan baik maka akan berdampak kepada kurang akuratnya tahap diagnosis sampai kepada pelaksanaan tindakan keperawatan. Rendahnya pelaksanaan pengkajian oleh perawat pelaksana di RSUD Kota Padangsidimpuan menggambarkan kurangnya pemahaman perawat tentang fungsi dari data yang dikumpulkan pada tahap pengkajian.

Sehubungan dengan sistem kerja pada asuhan keperawatan di rumah sakit sebagai kerja tim, maka data pasien pada tahap pengkajian yang dibuat oleh perawat pelaksana pada saat pasien masuk ke rumah sakit menjadi acuan bagi perawat yang menangani pasien tersebut pada shift berikutnya.

Berdasarkan pada kelompok filosofi keperawatan sekitar 6 atau 7 orang perawat profesional dan perawat bekerja sebagai suatu tim, disupervisi oleh ketua tim. Metode ini menggunakan tim yang terdiri atas anggota yang berbeda-beda dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien. Perawat ruangan dibagi menjadi 2-3 tim/grup yang terdiri atas tenaga profesional, teknikal, dan pembantu dalam satu grup kecil yang saling membantu (Yulia, 2006).

b. Diagnosis

Pelaksanaan asuhan keperawatan tahap diagnosis, ditemukan bahwa hanya 28,1% perawat pelaksana yang sering melakukan analisis, interpretasi data, identifikasi masalah pasien yang ditangani untuk semua pasien. Hal ini menunjukkan kegiatan diagnosis yang dilakukan perawat pelaksana di RSUD Padangsidimpuan masih rendah sehingga belum mendukung pelaksanaan asuhan keperawatan secara keseluruhan.

Keberhasilan suatu asuhan keperawatan kepada pasien sangat ditentukan oleh pemilihan metode pemberian asuhan keperawatan profesional. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan keperawatan dan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang keperawatan, maka metode sistem pemberian asuhan keperawatan harus efektif dan efisien (Nurachmad, 2001).

Berdasarkan orientasi tugas dari filosofi keperawatan perawat melaksanakan tugas (tindakan) tertentu berdasarkan jadwal kegiatan yang ada, salah satunya adalah metode fungsional dilaksanakan oleh perawat dalam pengelolaan asuhan keperawatan sebagai pilihan utama pada saat perang dunia kedua. Pada saat itu, karena masih terbatasnya jumlah dan kemampuan perawat maka setiap perawat hanya melakukan 1-2 jenis intervensi keperawatan kepada semua pasien di ruang perawatan (Yulia, 2006).

Metode fungsional ini efisien, akan tetapi penugasan seperti ini tidak dapat memberikan kepuasan kepada pasien maupun perawat. Keberhasilan asuhan keperawatan secara menyeluruh tidak bisa dicapai dengan metode ini karena asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien terpisah-pisah sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada perawat. Di samping itu, asuhan keperawatan yang diberikan tidak profesional yang berdasarkan pada masalah pasien. Perawat senior cenderung sibuk dengan tugas administrasi dan manajerial, sementara asuhan keperawatan kepada pasien dipercayakan kepada perawat junior (Yulia, 2006).

Untuk mengantisipasi kondisi tersebut maka peran perawat kepala ruang (nurse unit manager) harus lebih peka terhadap anggaran rumah sakit dan kualitas pelayanan keperawatan, bertanggung jawab terhadap hasil dari pelayanan keperawatan yang berkualitas, dan menghindari terjadinya kebosanan perawat serta menghindari kemungkinan terjadinya saling melempar kesalahan. Sekalipun diakui bahwa metode fungsional ini cocok untuk jangka waktu pendek dalam kondisi gawat atau terjadi suatu bencana, tetapi metode ini kurang disukai untuk pelayanan biasa

dan jangka panjang karena asuhan keperawatan yang diberikan tidak komprehensif dan memperlakukan pasien kurang manusiawi (Yulia, 2006).

c. Perencanaan Tindakan Keperawatan

Dari seluruh aspek yang ditanyakan kepada responden tentang perencanaan tindakan keperawatan ditemukan kegiatan yang paling sering dilakukan adalah 24,6% perawat pelaksana yang merencanakan tindakan keperawatan dengan tujuan khusus berdasarkan aspek kognitif, perilaku dan afektif kepada pasien. Rendahnya kegiatan perencanaan tindakan keperawatan yang dilakukan perawat pelaksana di RSUD Padangsidimpuan berdampak kepada kualitas asuhan keperawatan yang dilakukan kepada pasien.

Konsep perencanaan tindakan keperawatan yang dilakukan kepada pasien mencakup kebutuhan pasien secara menyeluruh, dan dasar menyusun rencana tindakan keperawatan tersebut adalah data yang telah dikumpulkan pada tahap asuhan keperawatan sebelumnya yaitu pengkajian dan diagnosis. Oleh karena itu kesesuaian data pasien antar shift kerja perawat perlu dikomunikasikan sehingga dapat dirumuskan suatu rencana tindakan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien serta menghindari terjadinya kesalahan menetapkan tindakan keperawatan (Yulia, 2006).

Komunikasi secara profesional sesuai dengan lingkup tanggung jawab merupakan dasar pertimbangan penentuan model. Model asuhan keperawatan diharapkan akan dapat meningkatkan hubungan interpersonal yang baik antara perawat dengan perawat lain maupun dengan tenaga kesehatan lainnya.

d. Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

Pelaksanaan tindakan keperawatan yang sering dilakukan perawat pelaksana adalah melatih tentang cara-cara perawatan kebersihan diri secara mandiri, makan, berdandan (pada wanita) yang kurang perawatan diri pada seluruh pasien yang dinyatakan 22,8% responden. Pada model asuhan keperawatan fungsional, pemberian asuhan keperawatan ditekankan pada penyelesaian tugas dan prosedur keperawatan. Setiap perawat diberikan satu atau beberapa tugas untuk dilaksanakan kepada semua pasien yang dirawat di suatu ruangan. Seorang perawat mungkin bertanggung jawab dalam pemberian obat, mengganti balutan, monitor infus dan sebagainya. Prioritas utama yang dikerjakan adalah pemenuhan kebutuhan fisik sesuai dengan kebutuhan pasien dan kurang menekankan kepada pemenuhan kebutuhan pasien secara holistik, sehingga dalam penerapannya kualitas asuhan keperawatan sering terabaikan, karena pemberian asuhan yang terfragmentasi. Komunikasi antara perawat sangat terbatas, sehingga tidak ada satu perawat yang mengetahui tentang satu klien secara komprehensif, kecuali mungkin kepala ruangan. Hal ini sering menyebabkan klien kurang puas dengan pelayanan asuhan keperawatan yang diberikan, karena seringkali klien tidak mendapat jawaban yang tepat tentang hal-hal yang ditanyakan, dan kurang merasakan adanya hubungan saling percaya dengan perawat.

Kepala ruangan bertanggung jawab untuk mengarahkan dan mensupervisi perawat pelaksana. Komunikasi antar perawat pelaksana sangat terbatas dalam membahas masalah pasien. Perawat terkadang tidak mempunyai waktu untuk berdiskusi dengan pasien atau mengobservasi reaksi obat yang diberikan maupun

mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang diberikan. Pada model ini kepala ruangan menentukan apa yang menjadi tugas setiap perawat dalam suatu ruangan dan perawat akan melaporkan tugas-tugas yang dikerjakan kepada kepala ruangan dan kepala ruanganlah yang bertanggung jawab dalam membuat laporan pasien (Nurachmad, 2001).

Dalam model fungsional ini koordinasi antar perawat sangat kurang sehingga seringkali pasien harus mengulang berbagai pertanyaan atau permintaan kepada semua petugas yang datang kepadanya dan kepala ruanganlah yang memikirkan setiap kebutuhan pasien secara komprehensif. Informasi yang disampaikan bersifat verbal, yang seringkali terlupakan karena tidak didokumentasikan dan tidak diketahui oleh staf lain yang memberikan asuhan keperawatan (Nurachmad, 2001).

Dengan menggunakan model ini, kepala ruangan kurang mempunyai waktu untuk membantu stafnya untuk mempelajari cara yang terbaik dalam memenuhi kebutuhan pasien atau dalam mengevaluasi kondisi pasien dan hasil asuhan keperawatan, kecuali terjadi perubahan yang sangat mencolok. Dan orientasi model ini hanya pada penyelesaian tugas, bukan kualitas, sehingga pendekatan secara holistik sukar dicapai. Model fungsional mungkin efisien dalam menyelesaikan tugas-tugas bila jumlah staf sedikit, namun pasien selalu tidak mendapat kepuasan dari asuhan keperawatan yang diberikan (Nurachmad, 2001).

e. Evaluasi Tindakan Keperawatan

Dari kelima aspek dalam asuhan keperawatan, ditemukan persentase terendah (10,5%) yang melakukan evaluasi tindakan keperawatan, yaitu mengevaluasi kemampuan seluruh pasien setelah diberi tindakan keperawatan kepada pasien dan mengevaluasi kemampuan keluarga pasien tentang merawat pasien.

Sesuai dengan konsep dan fungsi evaluasi dalam teori manajemen adalah untuk mengukur kesesuaian pelaksanaan kegiatan keperawatan dengan pedoman asuhan keperawatan yang berlaku di rumah sakit serta untuk mengetahui kendala atau hambatan yang dihadapi perawat pelaksana dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Kurangnya pelaksanaan kegiatan evaluasi berdampak kepada kurang berkembangnya pelayanan keperawatan di RSUD Padangsidimpuan.

Keseluruhan asuhan keperawatan di RSUD Kota Padangsidimpuan sebagai indikator kinerja perawat pelaksana belum terlaksana secara optimal. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsep asuhan keperawatan profesional sebagaimana disebutkan Nursalam (2007) belum dipahami dan diimplementasikan secara baik oleh perawat pelaksana. Setiap tahapan asuhan keperawatan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat terpisah satu dengan lainnya.

Kinerja perawat pelaksana yang kurang terhadap pelaksanaan asuhan keperawatan tidak terlepas dari karakteristik perawat pelaksana itu sendiri, misalnya faktor: umur, pendidikan dan masa kerja. Faktor umur menentukan sejauhmana kematangan seorang perawat pelaksana dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Perawat pelaksana di RSUD Kota Padangsidimpuan paling banyak berumur 21 - 28

tahun (47.4 %) dan ditemukan kinerja tidak baik, dengan demikian perawat pada usia produktif namun kinerjanya rendah perlu diperhatikan tingkat kompetensinya dalam pelayanan keperawatan.

Tingkat pendidikan perawat pelaksana sebanyak 96.5% yang tamatan Akademi Keperawatan (D.III) belum menunjukkan kinerja yang baik dalam asuhan keperawatan. Kondisi tersebut menunjukkan kemampuan perawat yang tamat Akademi Keperawatan belum mampu memenuhi tuntutan pasien yang membutuhkan pelayanan di rumah sakit, sehingga faktor pendidikan perawat perlu ditingkatkan sehingga di masa yang akan datang pelayanan keperawatan di rumah sakit dilakukan oleh perawat dengan tingkat pendidikan Ners (Sarjana Keperawatan / profesi).

Masa kerja dari perawat pelaksana terkait dengan pengalaman dalam melaksanakan asuhan keperawatan, jika perawat pelaksana telah bekerja cukup lama kemungkinan dapat memahami berbagai karakter pasien sehingga mempunyai kiat tersendiri atau cara memberikan pelayanan keperawatan. Hasil penelitian ditemukan sebanyak 54.4% dengan masa kerja 5-10 tahun dan kinerjanya tidak baik. Sehubungan dengan sistem pelayanan asuhan keperawatan di rumah sakit merupakan pekerjaan yang monoton sehingga dapat menimbulkan rasa bosan dalam bekerja. Upaya menanggulangi masalah tersebut maka manajemen rumah sakit hendaknya mempertimbangkan masa kerja perawat dalam membuat kebijakan tentang sistem rotasi antar unit pelayanan.

5.2 Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di RSUD