• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengolahan Aerasi untuk Menurunkan Polutan Lindi

4.1.1 Pengaruh Laju Aerasi terhadap Efektivitas Penurunan BOD 5 ,

NH3dan Sulfida

Pengolahan aerasi merupakan cara tradisional dalam pengolahan lindi. Cara ini efektif dalam menghilangkan pencemar organik terlarut yang terdapat dalam lindi (Abbas et al., 2009). Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa selama proses aerasi berlangsung, nilai BOD5 yang ada dalam lindi mengalami

penurunan. Besar penurunan tiap jam dari masing-masing laju aerasi sebagaimana disajikan pada Gambar 13 dengan efektivitas dalam menurunkan nilai BOD5 dari

keempat laju aerasi disajikan pada Gambar 14.

Gambar 13 memperlihatkan bahwa perlakuan dengan laju aerasi tertinggi (70 liter/menit) menyebabkan BOD5mengalami penurunan yang drastis dan mencapai

nilai terendah (73,12 ppm) dalam waktu yang paling singkat yakni pada jam ke 2. Pada laju aerasi 30 liter/menit, BOD5 minimum (81,36 ppm) dicapai pada jam ke 5,

sedangkan pada perlakuan dengan laju aerasi 10 liter/menit dan 0 liter/menit, nilai- nilai BOD5 pada jam ke 2 dan jam ke 5 masih jauh lebih tinggi dibanding nilai BOD5

pada laju aerasi 70 liter/menit dan 30 liter/menit. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan nilai BOD5terdapat pada perlakuan pemberian udara dengan laju aerasi 70 liter/menit

(Gambar 14).

Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa laju aerasi berpengaruh terhadap laju penurunan nilai BOD5. Metcalf dan Eddy (2003) mengemukakan bahwa penghilangan

BOD5 terjadi sebagai akibat degradasi bahan organik oleh mikroorganisme menjadi zat- zat lain yang lebih sederhana. Disamping itu, menurut Park et al. (2004), penurunan BOD5 juga dapat disebabkan bahan organik terlarut dapat teroksidasi langsung akibat

keberadaan oksigen.

Perhitungan terhadap laju penguraian BOD5pada empat taraf laju aerasi dilakukan

dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Peterson dan Cummin (1974 dalamGoldman dan Horne (1983)) dengan hasil disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Laju penguraian BOD5(k) tiap jam pada 4 tingkat laju aerasi

Gambar 15 memperlihatkan bahwa perlakuan pengolahan lindi dengan memberikan udara pada laju 70 liter/menit selalu mempunyai laju penguraian BOD5

tertinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan pemberian udara dengan laju 30 liter/menit dan 10 liter/menit. Laju penguraian BOD5 pada perlakuan tanpa aerasi memiliki nilai

terendah. Sejalan dengan hasil penelitian ini, Shofuan (1996) yang melakukan penelitian dengan mengolah limbah cair dari rumah sakit di Jakarta dengan menerapkan beberapa tekanan aerasi yang berbeda mendapatkan bahwa tekanan aerasi berpengaruh terhadap penurunan nilai BOD5. Berdasarkan hasil penelitiannya, laju penurunan BOD5 (k)

tertinggi terjadi pada tekanan aerasi 2 atm yang dilakukan selama 5 jam, yakni sebesar 0,4465. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), nilai k dalam kondisi normal berkisar antara 0,050,3 per hari.

Laju penguraian BOD5 dari pengolahan melalui pemberian udara pada laju

70 liter/menit selama 4 jam ternyata hampir mendekati nilai laju penguraian BOD5

dengan menggunakan aerasi bertekanan 2 atm yang dilakukan Shofuan (1996) yakni 0,4587 (Gambar 15). Bila mengacu pada pendapat Peterson dan Cummin dalam Goldman dan Horne (1983) seperti pada Tabel 26, maka perlakuan dengan laju aerasi 70 liter/menit, 30 liter/menit dan 10 liter/menit tergolong cepat mulai dari jam ke 1 hingga jam ke 6.

Tabel 26. Hubungan nilai k dengan laju penguraian BOD5

Nilai k Kriteria

> 0,01 Cepat

0,005 - 0,01 Moderat

< 0,005 Lambat

Sumber : Peterson dan Cummin (1974dalamGoldman dan Horne (1983)

Di dalam limbah cair yang diproses melalui cara aerasi, mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak menjadi banyak karena di dalam bahan yang diproses ada makanan bagi mikroorganisme pengurai yang bersifat aerobik ataupun fakultatif berupa bahan organik yang biodegradable (BOD5). Proses penguraian bahan organik oleh

mikroorganisme membutuhkan oksigen yang cukup (Sugiharto, 1987). Oleh karenanya, selama proses aerasi berlangsung, nilai BOD5 menjadi berfluktuasi setiap saat sebagai

akibat bahan tersebut dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Bahan organik (BOD5) dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk diubah menjadi

sel-sel tubuh maupun senyawa lain yang relatif tidak berbahaya dan sebagian lagi menjadi bahan yang mudah menguap, diantaranya CO2. Pemanfaatan bahan organik dalam

limbah cair yang diproses menjadi sel-sel tubuh mikroorganisme mengakibatkan jumlah mikroorganisme dalam limbah cair tersebut juga mengalami fluktuasi.

Nilai MLVSS sering dijadikan sebagai petunjuk tidak langsung jumlah mikroorganisme yang berada dalam bahan yang diproses. Nilai ini penting diketahui untuk mendapatkan saat mikroorganisme berada dalam jumlah maksimal, terutama untuk dijadikan sebagai sumber lumpur aktif yang akan dimasukkan ke dalam tangki pemrosesan yang akan digunakan dalam proses pengolahan berikutnya dengan tujuan agar pengolahan berikutnya menjadi lebih cepat dalam volume tertentu. Fluktuasi nilai MLVSS selama 6 jam proses aerasi yang diperoleh dari hasil percobaan disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Fluktuasi nilai MLVSS pada 4 taraf laju aerasi

Gambar 16 menunjukkan bahwa nilai MLVSS dari perlakuan pemberian udara dengan laju 70 liter/menit mencapai maksimal (2166 mg/l) terjadi dalam waktu yang relatif lebih cepat dibanding perlakuan lain yakni pada jam ke 2, sedangkan pada laju aerasi 30 liter/menit dicapai pada jam ke 5 (2029 mg/l). Pada laju aerasi 10 liter/menit nilai MLVSS masih di bawah nilai MLVSS dari perlakuan 70 liter/menit dan 30 liter/menit.

Pada laju aerasi 70 liter/menit dan 30 liter/menit, nilai MLVSS maksimum dan nilai BOD5 minimum tercapai pada waktu yang sama (Gambar 13 dan Gambar 16).

Hal ini menunjukkan ada keterkaitan antara nilai MLVSS (jumlah mikroorganisme) dengan jumlah makanan yang tersisa (BOD5). Informasi ini penting artinya dalam

menentukan waktu saat proses aerasi sebaiknya dihentikan apabila hanya BOD5saja yang

menjadi target untuk dihilangkan dalam proses pengolahan lindi dan akan memanfaatkan lindi yang diproses pada saat tersebut sebagai bahan lumpur aktif.

Pada dasarnya, proses pengolahan limbah cair dengan cara memberikan udara pada laju yang tinggi ke dalam air limbah ditujukan untuk meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam bahan yang diproses. Oksigen penting artinya karena oksigen diperlukan dalam jumlah cukup agar mikroorganisme aerobik maupun fakultatif aktif dalam mendegradasi bahan pencemar yangbiodegradable. Semakin tinggi laju aerasi membuat oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi polutan yang biodegdradable menjadi semakin terpenuhi dan tidak menjadi faktor pembatas bagi

mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak dibanding pada proses pengolahan yang dilakukan dengan memberikan udara pada laju yang lebih rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian udara menyebabkan oksigen terlarut (dissolve oxygen (DO)) pada lindi menjadi meningkat (Gambar 17).

Gambar 17. Fluktuasi nilai DO pada 4 taraf laju aerasi

Gambar 17 memperlihatkan bahwa laju aerasi 70 liter/menit memberikan sumbangan terhadap peningkatan DO yang lebih tinggi dalam waktu yang relatif lebih cepat dibanding laju aerasi 30 liter/menit,10 liter/menit dan tanpa aerasi (0 liter/menit). Hal ini pula yang menyebabkan perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menurunkan bahan organik yang non biodegradable(COD) dengan tingkat efektifitas tertinggi (74,53%) dibanding perlakuan dengan laju aerasi yang lebih rendah (30 liter/menit, 10 liter/menit dan 0 liter/menit) (Gambar 18 dan Gambar 19). Menurut Parket al. (1994), suplai udara yang tinggi dapat berperan dalam oksidasi secara langsung bahan-bahan organik yang non biodegradable sehingga dapat menurunkan kandungan COD dalam air limbah.

Gambar 18. Nilai COD pada jam ke 6

Gambar 19. Efektivitas penurunan COD pada jam ke 6

Kenaikan konsentrasi oksigen sebagai akibat pemberian udara dengan laju yang tinggi juga dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang toksik terhadap proses enzimatik metabolisme bakteri anaerob sehingga mengakibatkan pertumbuhan bakteri anaerob yang umumnya merupakan bakteri patogen menjadi terhambat (Park et al., 1994). Hal ini ditunjukkan oleh jumlah E. coli (bakteri yang umum digunakan

sebagai petunjuk keberadaan bakteri patogen) yang semakin rendah dengan meningkatnya laju aerasi. Pada proses pengolahan dengan laju aerasi 70 liter/menit selama 6 jam ternyata mampu menyebabkan nilai E. coli terendah (450 MPN/100 ml) (Gambar 20) dengan efektifitas penghilangan E. coli tertinggi (66,49%) dan berbeda nyata dibanding perlakuan dengan laju aerasi 30 liter/menit, 10 liter/menit dan 0 liter/menit (Gambar 21). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Seaman et al. (2009) yang mendapatkan bahwaE. colidanSalmonella sppberkurang akibat proses aerasi.

Park et al. (1994) mengemukakan bahwa pemberian udara pada laju yang tinggi menyebabkan pembentukan radikal bebas berupa anion superoksida (O2-) yang dalam air

akan bereaksi membentuk hidrogen peroksida (H2O2). H2O2disamping sebagai oksidator

kuat, juga mempunyai sifat desinfektan.

Gambar 21. Efektivitas penurunanE. colipada jam ke 6

Selain BOD5, COD dan E. colisebagai sumber masalah dan sering terdapat dalam

lindi, maka NH3 juga merupakan sumber masalah. Oleh karenanya, NH3 harus ditekan

jumlahnya. NH3 dalam lindi dapat berasal dari degradasi biologi asam amino maupun

nitrogen organik. Secara individu atau berikatan dengan senyawa lain, NH3 dapat

berpengaruh terhadap toksisitas lindi (Clementet al., 1993). NH3merupakan racun utama

bagi kehidupan akuatik (Kurniawanet al., 2006). Pada konsentrasi 0,43 ppm hingga 2,1 ppm, NH3sudah dapat mematikanCiprinus carpio(Hasan dan Machintosh, 1986).

Bahan lain yang juga dapat menjadi masalah bagi lingkungan adalah sulfida. Bahan ini juga menjadi penyebab bau busuk yang menyengat sama seperti halnya dengan NH3.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa jumlah NH3dan sulfida sebagai akibat proses

aerasi selama 6 jam mengalami penurunan (Gambar 22 dan Gambar 23) dengan efektifitas penurunan NH3 dan sulfida dari masing-masing laju aerasi seperti yang

disajikan pada Gambar 24. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), penurunan kedua bahan polutan ini disebabkan suplai oksigen ke dalam air limbah mampu mengaktifkan bakteri yang memanfaatkan NH3dan sulfida menjadi bahan lain yang kurang berbahaya sehingga

menyebabkan kedua bahan tersebut menjadi berkurang. Selain itu, menurut Achmad (2004), proses aerasi juga dapat menyebabkan terjadi oksidasi langsung terhadap NH3dan

Hasil penelitian ini mendapatkan konsentrasi NH3 pada efluen yang dihasilkan

melalui pemberian udara pada laju 70 liter/menit sebesar 2,33 ppm. Konsentrasi tersebut masih bersifat toksik bagi kehidupan akuatik. Oleh karena itu, pada efluen ini perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk menurunkan jumlah NH3yang masih ada. Salah

satu caranya dengan menggunakan zeolit agar NH3dapat dijerap karena menurut Sutarti

dan Rachmawati (1994) zeolit memiliki afinitas yang tinggi terhadap NH3.

Gambar 22. Kadar amoniak (NH3) pada jam ke 6

Gambar 24. Efektivitas penurunan NH3dan sulfida pada jam ke 6

Gambar 22 dan Gambar 23 memperlihatkan bahwa pada lama aerasi yang sama (pada jam ke 6), semakin tinggi laju aerasi akan menyebabkan jumlah NH3 dan sulfida

pada efluen semakin rendah. Perbedaan kemampuan dalam menurunkan jumlah NH3dan

sulfida tersebut disebabkan oleh perbedaan kemampuan dalam mensuplai oksigen ke dalam limbah cair yang diproses. Pada laju aerasi yang lebih tinggi, suplai oksigen lebih besar dibanding pada laju aerasi yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan pemanfataan NH3dan sulfida oleh bakteri menjadi lebih besar pula. Selain itu, pada laju aerasi yang

tinggi, proses oksidasi secara langsung baik pada NH3maupun sulfida menjadi nitrat dan

sulfat juga berjalan lebih cepat dibanding pada laju aerasi yang rendah.

Proses aerasi menyebabkan amoniak (NH3) menjadi nitrat, sulfida menjadi sulfat

(SO42-) dan bahan organik yang mengandung phosphor akan diubah menjadi phosphat.

Sebagai produk yang dihasilkan dari proses aerasi, nitrat, sulfat maupun phosphat relatif tidak berbahaya bagi kehidupan aquatik. Secara rinci, gambaran reaksi perubahan NH3

dan sulfida dikemukakan Achmad (2004) sebagai berikut:

NH3 --- NH4+

NH4+ + 2O2 --- 2H+ + NO3- + H2O

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lindi yang diberi perlakuan pemberian udara cenderung memiliki kandungan nitrat, sulfat dan phosphat yang lebih tinggi dibanding pada perlakuan yang tidak diberi udara (Gambar 25, 26 dan 27).

Gambar 25. Kadar nitrat (NO3-) pada jam ke 6

Gambar 27. Kadar fosfat pada jam ke 6

Uraian di atas menunjukkan bahwa pengolahan lindi dengan memberikan udara pada laju yang tinggi memberikan suatu keuntungan dengan semakin berkurang bahan- bahan yang bersifat toksik pada efluennya, diantaranya: BOD5, COD, NH3 dan sulfida

dalam jumlah yang lebih tinggi dibanding apabila pengolahan dilakukan dengan pemberian udara pada laju yang lebih rendah.

4.1.2 Pengaruh Laju Aerasi terhadapTotal Disolve Solid(TDS), pH dan Logam Terlarut

Efektivitas penghilangan polutan lindi merupakan fungsi dari besarnya laju aerasi dan lama aerasi. Fenomena ini terkait dengan perubahan populasi bakteri yang mendegradasi polutan yang ada pada lindi. Semakin meningkat laju aerasi dan semakin lama aerasi akan menyebabkan semakin banyak populasi bakteri pendegradasi hingga akhirnya semakin banyak pula jumlah polutan yang dapat diubah ke dalam bentuk yang tidak toksik (Attar, Bina dan Moeinian, 2005). Besarnya perubahan kadar polutan pada lindi dapat dideteksi oleh nilai TDS. Nilai TDS biasa dijadikan sebagai indikator kadar polutan baik organik maupun anorganik yang masih ada dalam lindi yang diproses (Khouryet al., 2000).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama proses aerasi berlangsung, nilai TDS terus mengalami penurunan dan penurunan nilai TDS tiap jam makin besar pada laju aerasi yang makin besar. Hal ini mengindikasikan selama aerasi berlangsung, polutan organik maupun anorganik terus berkurang. Nilai TDS tiap jam dari masing-masing laju aerasi disajikan pada Gambar 28.

Gambar 28. Nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi

Pada jam ke 6, nilai TDS terendah didapatkan pada perlakuan pemberian udara pada laju aerasi 70 liter/menit yakni sebesar 2850 ppm dengan efektivitas penurunan nilai TDS dari perlakuan tersebut terbesar dan nyata berbeda dari perlakuan lainnya yakni sebesar 12,83% (Gambar 28 dan Gambar 29).

Perbedaan nilai TDS sebagai akibat pemberian udara pada laju yang berbeda berkaitan dengan perbedaan jumlah bahan padatan terlarut yang dapat diendapkan. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan jumlah kandungan logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) pada efluen yang diambil dari kran atas dan kran bawah setelah lindi diaerasi selama 6 jam (Gambar 30 - Gambar 33).

Gambar 30. Kadar Cu dan Zn pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke 6

Gambar 32. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran atas pada keempat laju aerasi pada jam ke 6

Gambar 33. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran bawah pada keempat laju aerasi pada jam ke 6

Tabel 27. Selisih kadar logam terlarut antara efluen dari kran atas dan kran bawah pada jam ke 6

Jenis Logam

Selisih Kadar Logam Mikro antara Kran Atas dan Kran Bawah (ppm) 0 liter/menit 10 liter/menit 30 liter/menit 70 liter/menit

Cu 0,005a 0,018ab 0,039b 0,104c

Zn 0,005a 0,016a 0,042a 0,380b

Mn 0,073a 0,962ab 2,22b 4,670c

Fe 1,215a 3,230a 6,135b 8,615b

Pb 0,002a 0,003a 0,005a 0,009a

Cd 0,006a 0,022ab 0,048b 0,080c

Cr 0,016a 0,063ab 0,120b 0,234c

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.

Logam menjadi berkurang pada efluen yang berasal dari kran atas dan makin meningkat jumlahnya di bagian bawah. Hal ini menunjukkan terjadi pengendapan logam terlarut akibat proses aerasi. Pada perlakuan dengan laju aerasi yang lebih besar, selisih jumlah logam terlarut antara efluen yang dikeluarkan dari kran atas dan bawah menjadi semakin besar (Tabel 27). Menurut Parket al., (1994), proses aerasi dapat menyebabkan suasana menjadi lebih oksidatif. Selanjutnya Suriawiria (1993) mengemukakan bahwa suasana yang lebih oksidatif dapat menyebabkan logam terlarut menjadi mengendap. Manahan (2005) menggambarkan reaksi dari proses pengendapan besi dalam pengolahan air limbah melalui cara aerasi sebagai berikut.

4Fe2+ + O2 + 10H2O --- 4Fe(OH)3(s) + 8H+

Menurut Achmad (2004), reaksi tersebut dikatalisis oleh bakteri besi thiobacillus ferroxidans.

Selama proses aerasi berlangsung, pH juga terus mengalami peningkatan. Dari proses aerasi yang dilakukan selama 6 jam, pH tertinggi (9,05) terdapat pada perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit (Gambar 34).

Gambar 34. pH tiap jam pada empat laju aerasi

Peningkatan pH yang semakin tinggi sebagai akibat pemberian udara pada laju yang semakin besar berkaitan dengan perubahan senyawa yang bersifat asam yang ada dalam limbah cair yang diproses menjadi senyawa yang lebih basa seperti yang digambarkan oleh Achmad (2004) sebagai berikut.

O2 + H2O --- 2OH-

CO2 + OH- --- HCO3-

HCO3- + OH- ---- CO32-

H2S + OH- --- HS- + H2O

Jumlah logam terlarut yang lebih rendah pada efluen yang dikeluarkan dari kran atas dibanding jumlah logam terlarut pada efluen yang dikeluarkan dari kran bawah akibat aerasi, juga berkaitan dengan terjadinya peningkatan pH pada lindi yang diproses. Menurut Hardjowigeno (2010), dalam kondisi pH yang lebih rendah, logam berada dalam kondisi terlarut; sedangkan apabila pH mengalami kenaikan, maka logam terlarut akan bereaksi dengan OH- membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap. Reaksi pembentukan senyawa besi dan mangan hidroksida yang mudah mengendap akibat proses aerasi seperti yang digambarkan Ahmad (2004) sebagai berikut.

4Fe(HCO3)2 + O2 + H2O --- 4 Fe(OH)3(s) + 8CO2

Logam terlarut terutama yang dalam keadaan bebas dapat bersifat toksik (Vigneault dan Campbell, 2005). Hal ini berarti peningkatan pH akibat aerasi dapat memberikan dampak positif karena logam terlarut yang lebih bersifat toksik akan berkurang akibat pengendapan sehingga efluen yang dihasilkan menjadi lebih aman dialirkan ke lingkungan. Sebaliknya, pada endapan karena mengandung kadar logam yang lebih tinggi, maka endapan ini menjadi lebih berpotensi untuk dijadikan pupuk cair. Secara visual perbedaan efluen yang berasal dari kran atas dari ke 4 laju aerasi disajikan pada Gambar 35.

Gambar 35. Perbedaan visual dari lindi setelah diolah melalui empat tingkat laju aerasi

4.2 Penggunaan Zeolit untuk Menurunkan Polutan yang Masih Tersisa

Pengolahan lanjutan dengan melewatkan efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit melalui zeolit pada tiga ukuran partikel yang berbeda (5 - 10 mesh, 10 - 20 mesh, 20 - 30 mesh) memberikan efektivitas yang berbeda dalam menurunkan polutan lindi. Secara umum, efluen yang telah melewati zeolit menunjukkan kualitas yang lebih baik dibanding bila pengolahan hanya dilakukan dengan cara aerasi saja. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 6.

0 l/mnt Anaerobik 10 l/mnt

30 l/mnt 70 l/mnt

Hasil penelitian menunjukkan bahwa efluen hasil olahan aerasi 70 liter/menit yang dilewatkan melalui zeolit memperlihatkan kualitas yang lebih baik dibanding sebelumnya. Hal ini terlihat dari nilai TDS, NH3, sulfida dan kadar logam terlarut (Cu,

Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) serta bahan organik (BOD dan COD) pada efluen yang telah melewati zeolit mengalami penurunan. Secara rinci, hasil percobaan ini akan diuraikan di bawah ini.

4.2.1 Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Nilai TDS

Nilai TDS pada efluen yang dilewatkan melalui zeolit lebih rendah dibanding nilai TDS pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit. Hal ini ditunjukan oleh penurunan nilai TDS setelah efluen hasil aerasi 70 liter/menit dilewatkan melalui zeolit (Gambar 36). Penurunan nilai TDS ini terjadi karena sejumlah bahan terlarut mampu ditahan oleh zeolit. Penurunan nilai TDS pada ketiga efluen menunjukkan bahwa pada awal penuangan nilai TDS akan mengalami penurunan hingga pada volume tertentu untuk kemudian nilai TDS akan meningkat kembali sebagai akibat kompleks jerapan maupun ruang pori zeolit mulai dijenuhi oleh polutan. Nilai TDS dari penuangan ke 1 hingga ke 40 pada efluen dari zeolit berukuran 20–30 mesh menunjukkan nilai terendah. Hal ini menunjukkan bahwa zeolit ukuran 2030 mesh paling efektif dalam menurunkan polutan lindi. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan nilai TDS dari zeolit berukuran 20 –30 mesh terdapat pada penuangan ke 20, yakni sebesar 30,70% (Gambar 37).

Gambar 37. Efektivitas penurunan nilai TDS dari ketiga ukuran partikel zeolit Zeolit ukuran kasar (5 10 mesh atau 10 20 mesh) secara fisik kurang efektif dalam penyaringan karena ada bahan yang tidak mengalami penyaringan dibandingkan zeolit yang lebih halus (20– 30 mesh) sehingga menyebabkan kemampuan menurunkan polutan dari zeolit berukuran lebih kasar (5– 10 mesh atau 10 –20 mesh) menjadi lebih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai TDS pada efluen yang telah melewati zeolit yang lebih kasar lebih tinggi dibanding nilai TDS pada efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran lebih halus.

Kemampuan yang lebih tinggi dari zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh dalam menurunkan nilai TDS dibanding zeolit berukuran 5– 10 mesh atau 10 – 20 mesh juga berkaitan dengan kapasitas tukar kation (KTK) dari zeolit berukuran 20–30 mesh yang lebih tinggi dibanding zeolit berukuran 5 10 mesh atau 10 20 mesh (Tabel 28). Menurut Tan (1993), KTK berkaitan dengan kemampuan dalam menukar ion.

Tabel 28. KTK dari zeolit yang digunakan dalam penelitian

Ukuran Partikel Zeolit KTK (me/100 g)

510 mesh 66,65a

1020 mesh 100,15a

2030 mesh 157,92b

Selain berkaitan dengan kemampuan zeolit dalam menjerap polutan terlarut, KTK juga berkaitan dengan kemampuan dalam menjerap air. Semakin tinggi KTK, semakin tinggi pula kemampuan zeolit dalam menjerap molekul air. Hal ini pula yang menyebabkan jumlah efluen yang mampu melewati zeolit berukuran partikel lebih halus (2030 mesh) pada saat-saat awal penuangan lebih rendah dibanding jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran partikel lebih kasar (5– 10 mesh atau 10– 20 mesh) (Gambar 38).

Gambar 38. Jumlah efluen (ml) yang dapat melewati zeolit (volume bahan yang dialirkan 150 ml)

Gambar 38 memperlihatkan bahwa setiap kali penuangan (penuangan pertama hingga penuangan keenam), jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran 20 30 mesh lebih rendah dibanding jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran partikel 5 10 mesh atau 1020 mesh. Pada zeolit berukuran partikel