• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pendidikan Formal Terhadap Pengembangan Intellectual Capital

Dalam dokumen HUMAN CAPITAL DEVELOPMENT (Teori dan Aplikasi) (Halaman 180-185)

Kompetensi intelektual atau biasa disebut kecerdasan intelektual merupakan bagian dari kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli Psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20, kemudian Lewis Ternman dari University Stanford berusaha membakukan test IQ tersebut yang kemudian dikenal sebagai test Stanford-Binet. Kecerdasan intelektual pada awal abad ke-20 sampai menjelang akhir abad ke-20 dianggap sebagai determinan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang bertautan dengan aspek kognitif yang kemudian diformalkan dalam bentuk pendidikan formal atau pendidikan bergelar.

Pendidikan formal adalah suatu proses pengembangan kemampuan atau perilaku ke arah yang diinginkan yang dilakukan pada suatu lembaga tertentu, dalam jangka waktu tertentu dan untuk mendapatkan kualifikasi akademik tertentu.

Secara teoritik bahwa pendidikan formal yang diwujudkan dalam

172

bentuk studi lanjut dapat diukur melalui tiga indikator, yaitu: 1).

jenjang pendidikan, 2). bidang ilmu, 3). keadilan dan penghargaan (UU Nomor 20 Tahun 2003 dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentangGuru dan Dosen Pasal 7; Hasibuan, 2003).

Hasil analisis statistik distribusi frekuensi dari ketiga indikator pendidikan formal menunjukkan bahwa indikator yang memiliki nilai mean terendah adalah indikator keadilan dan penghargaan dengan kategori penilaian cukup penting atau cukup bagus, sedangkan indikator yang memiliki nilai mean tertinggi adalah indikator bidang ilmu dengan kategori penilaian sangat penting atau sangat bagus. Dengan demikian, secara keseluruhan variabel pendidikan formal dinilai oleh dosen Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Sulawesi Selatan berada pada kategori bagus atau penting dengan nilai total mean indikator 3,83 atau 76,66%.

Hal ini bermakna bahwa bidang ilmu sangat penting diperhatikan dalam studi lanjut. Hasil ini sejalan dengan program pemerintah melalui kemeristedikti yang mencanangkan linearitas bidang ilmu demikian pula program pimpinan Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang lebih selektif memberikan rekomendasi dan beasiswa studi lanjut kepada dosen yang tidak sesuai bidang ilmunya, karena terkait kontribusi bidang ilmu yang dimiliki dosen setelah menyelesaikan studi dengan kebutuhan institusi khususnya program studi.

Kompetensi bidang ilmu yang dimiliki seorang dosen akan memudahkan dalam melaksanakan tugas dan fungsi dosen sebagai pendidik yang profesional yang diaplikasikan melalui kemampuan mentransformasi, mengembangkan, menyebarluas-kan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi.

173

Fakta yang terjadi di lapangan bahwa dari sisi kualifikasi akademik dosen yang dijadikan responden dalam penelitian ini masih dominan S2 sebanyak 81,50% dari 146 orang dosen, bahkan secara keseluruhan di 19 Perguruan Tinggi Muhammadiyah di bawah koordinasi Kopertis Wilayah IX Sulawesi Selatan masih ada 26,51% dosen masih berpendidikan S1. Sedangkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 sudah menegaskan bahwa kualifikasi akademik minimal dosen untuk S1 adalah S2. Selain kualifikasi akademik bidang ilmu dosen juga khususnya yang telah melanjutkan studi pada jenjang S2 dan S3 masih banyak belum linear dengan bidang ilmu sebelumnya baik S1 maupun S2. Menurut Notoatmodjo (2003), bahwa kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi akan memengaruhi kemampuan seseorang dalam mencapai kinerja yang optimal karena tanpa bekal pendidikan mustahil orang akan mudah mempelajari hal-hal yang bersifat baru dalam suatu sistem kerja.

Faktor lain yang menjadi permasalahan dalam studi lanjut adalah biaya, Perguruan Tinggi Muhammadiyah belum mampu membiayai sepenuhnya biaya kuliah dan biaya hidup dosen, kalaupun ada yang dibiayai hanya uang kuliah semata, kemudian dalam hal kesempatan untuk memperoleh beasiswa kampus ini juga belum dijalankan dengan baik karena masih ada unsur lain seperti kedekatan dan siapa yang menjadi pimpinan, sehingga sistem pemberian beasiswa di Perguruan Tinggi Muhammadiyah belum dilakukan secara adil dan dosen yang menyelesaikan studi tepat waktu belum mendapatkan penghargaan dari institusi.

Secara keseluruhan uji yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah dan hipotesis pertama dapat diamati dari hasil analisis path yang menunjukkan bahwa pendidikan formal (X1) berpengaruh positif dan signifikan terhadap intellectual capital

174

(Z). Hal ini dibuktikan dengan nilai Standardized Regression Weight positif sebesar 0,253 dan nilai probabilitas sebesar 0,018<0,05. Temuan ini juga didukung oleh nilai criticalratio (CR) sebesar 2,360, dimana nilai ini lebih besar dari nilai yang disyaratkan sebesar 1,65. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa semakin baik pendidikan formal seorang dosen maka intellectual capital akan semakin signifikan.

Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Carruso (1999), dalam penelitiannya menemukan bahwa kemampuan intelektual yang diukur dengan tingkat pengetahuan masih merupakan hal yang penting dalam kesuksesan kerja. Hasil penelitian Carruso ini didukung penelitian yang dilakukan Kamidin (2010), menemukan bahwa variabel yang dominan memengaruhi prestasi kerja adalah tingkat pengetahuan pegawai yang diperoleh melalui pendidikan formal. Demikian pula hasil penelitian Prisma Astuti (2009), yang meneliti variabel pendidikan formal dan non-formal.

Hasil penelitian menemukan bahwa pendidikan formal berpengaruh terhadap pengembangan kompetensi dalam mendukung kinerja PNS, sedangkan pendidikan non-formal berpengaruh positif tidak signifikan.

Temuan penelitian ini berbeda dengan temuan Goleman (1995), menemukan bahwa kecerdasan intelektual hanya berkontribusi sebesar 20% terhadap kesuksesan hidup seseorang dan pendapat Riggio (2000:43), yang mengatakan bahwa kecerdasan saja tidak terlalu memadai, karena kecerdasan hanya suatu alat. Hasil penelitian Goleman didukung oleh pendapat Riggio, (2000:43), yang mengatakan bahwa kecerdasan saja tidak terlalu memadai, karena kecerdasan hanya suatu alat.

Demikian pula pendapat Mudali (2002:3), mengatakan bahwa untuk menjadi pintar tidak hanya dinyatakan memiliki

175

kecerdasan intelektual yang tinggi, tetapi untuk menjadi sungguh-sungguh pintar seseorang haruslah memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang memadai.

Permasalahan jenjang pendidikan ini bukan hanya berimplikasi pada karier seorang dosen dalam bentuk pengampu mata kuliah, pembimbing, penguji, jabatan fungsional, sertifikasi dan kesempatan memperoleh hibah penelitian dan pengabdian kepada masyarakat tetapi juga berdampak bagi institusi terkait akreditasi institusi maupun akreditasi prodi. Secara khusus terkait masih tingginya angka persentase dosen Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang masih berkualifikasi strata satu (S1) menjadi pekerjaan berat bagi pimpinan Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Sulawesi Selatan karena berdasarkan hasil analisa data dari 26,51% dosen yang berkualifikasi strata satu (S1), 20% adalah tokoh Muhammadiyah yang memilih profesi sebagai dosen. Sehingga komitmen pimpinan penting tetapi yang lebih penting lagi adalah komitmen dosen yang berorentasi pada mutu (qualityassurance), karena kedepan ukuran kualitas suatu perguruan tinggi terletak pada intellectual capital dosen termasuk jenjang pendidikan.

Dosen Perguruan Tinggi Muhammadiyah harus berfikir untuk kemajuan institusi bukan untuk dirinya sendiri, sehingga kehadiran dosen bukan menjadi beban Perguruan Tinggi tetapi menjadi aset Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kualitas melalui akreditasi. Selain permasalahan jenjang pendidikan juga permasalahan linearitas bidang ilmu. Artinya pimpinan Perguruan Tinggi Muhammadiyah kurang memperhatikan linearitas bidang ilmu dalam memberikan izin belajar/tugas belajar kepada dosen, sehingga output dari proses ini sangat sedikit kontribusinya dalam mengangkat nilai akreditasi institusi

176

ataupun prodi, sehingga kedepan Perguruan Tinggi Muhammadiyah perlu manajemen mutu tata kelola sumber daya manusia yang lebih baik.

Demikian pula, terkait keadilan belum semua dosen memiliki peluang yang sama dalam memperoleh beasiswa khususnya beasiswa internal institusi sehingga karena tuntutan profesi maka dosen berusaha secara mandiri, artinya Perguruan Tinggi Muhammadiyah belum memiliki standar baku tentang manajemen biaya (anggaran pendidikan). Selain itu Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) juga belum menerapkan sistem reward bagi dosen yang mampu menyelesaikan studi tepat waktu dan tidak menggunakan beasiswa institusi.

B. Pengaruh Pendidikan Non-Formal terhadap

Dalam dokumen HUMAN CAPITAL DEVELOPMENT (Teori dan Aplikasi) (Halaman 180-185)