• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Kerja

Dalam dokumen HUMAN CAPITAL DEVELOPMENT (Teori dan Aplikasi) (Halaman 100-109)

Perilaku manusia dalam bekerja tercermin dari sifat, kebiasaan, ide, pemahaman, keyakinan, sikap terhadap tata nilai, keinginan, kepentingan, motivasi, dan reaksi yang akan berlaku dimana saja manusia beraktivitas (Sawarjuwono, 2012:2).

Tuntunan perilaku dalam bekerja ditegaskan dalam Al-Quran Surah At-Taubah 105:





105. Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.

Hal ini bermakna bahwa Islam sangat menghargai dan mengajurkan setiap umat untuk senantiasa bekerja keras dan bersungguh-sungguh dalam bekerja (etos kerja). Ada dua makna penting dalam kaitanya dengan penelitian ini, yaitu: kata bekerjalah kamu yang menunjukkan perilaku dosen dalam

92

bekerja, dan kata pekerjaanmu yang menunjukkan hasil yang dicapai sebagai kontribusi perilaku kerja yang berarti kinerja dosen baik kinerja intellectual capital dan kinerja Tridharma Perguruan Tinggi. Perilaku manusia dalam bekerja mempunyai makna yang sangat variatif, sehingga menurut Bornstein, Kagan, and Lerner (2010), menyatakan bahwa perilaku manusia adalah potensi dan kapasitas yang diekspresikan melalui fisik, mental, dan aktivitas sosial yang terjadi pada masa hidupnya.

Teori Human Resource Development modern bukan hanya menjadikan upaya Human Resource Development sebagai kontributor kinerja tetapi lebih dipandang sebagai komponen kritis kesuksesan organisasi. Sehingga intervensi Human Resource Development lebih difokuskan pada perubahan perilaku kerja (Kaswan, 2015:73). Perubahan perilaku manusia dalam theory of behaviour change menjelaskan pada keadaan apa dan bagaimana manusia akan mengalami perubahan atau perkembangan perilaku.

Menurut Werner dan DeSimone (2012), bahwa perubahan perilaku kerja dipengaruhi oleh faktor internal individu (intrinsik) dan faktor eksternal individu (lingkungan), dimana perubahan perilaku kerja dapat memengaruhi performance, baik dalam bentuk task performance (kinerja tugas) maupun contextual performance (kinerja kontekstual), Borman dan Motowidlo 1993 (Kaswan, 2015:156-157). Lebih lanjut Borman and Motowidlo menyatakan bahwa perubahan perilaku manusia dalam bekerja dapat dipengaruhi oleh: pertama faktor predisposisi (predisposing factor) yang bersifat internal individu seperti kompetensi, kepercayaan, kenyakinan, dan nilai-nilai.

Kedua faktor pemungkin (enabling factor) merupakan faktor pendukung seperti sarana dan prasarana.

93

Perubahan perilaku menurut Prochaska dan DiClemente 1992 (Sawarjuwono, 2012:9-10) dapat disebabkan oleh: (1) social features, yaitu perubahan perilaku manusia yang disebabkan karena perbedaan kelas sosial, hubungan, informasi dan pengetahuan. (2) cultural features, yaitu perubahan perilaku yang disebabkan penerimaan budaya (etis dan tidak etis menurut budaya yang berlaku). (3) ethical and spiritual features, yaitu perubahan perilaku yang lebih disebabkan pada kesesuaian sistem tata nilai etika dan moral yang berlaku. (4) legal features, yaitu perubahan perilaku yang mengacu kepada adanya peraturan. (5) political features, mengacu pada sistem pemerintahan yang membuat perilaku berubah, dan (6) resource features, mengacu kepada berbagai hal yang diperlukan agar sesuatu terjadi seperti faktor uang, kebijakan, ekonomi dan lain-lain. Williams (2007), menyatakan bahwa perubahan perilaku manusia dalam bekerja tidak bersifat linier tetapi sangat bergantung pada konsekuensinya.

Pendapat tentang perubahan perilaku manusia dalam bekerja sesuai makna surah Ar-Ra’d 11:

... pada diri sendiri) mereka sendiri”.

Makna surah Ar-Ra’d ayat 11 selaras dengan falsafah bugis Makassar “Resopa temmangingi namalomo naletei pammase dewata”, Artinya hanya dengan kerja keras yang terus menerus yang akan mendapatkan ridho dari Allah SWT. Implementasi makna surah Ar-Ra’d ayat 11 dan falsafah bugis Makassar

94

diwujudkan dalam bentuk kedisiplinan dalam menjalankan tugas, bertanggungjawab dalam mengembang amanah, komitmen organisasional, pengembangan intellectual capital dan kinerja Tridharma Perguruan Tinggi.

Perilaku kerja adalah segala tindakan karyawan dalam organisasi yang dikategorikan ke dalam dua dimensi, yaitu:

pertama pekerja yang mampu mengelola diri sendiri, memiliki pemikiran kritis, aktif dan bertanggungjawab dalam organisasi.

Kedua pekerja yang mempunyai perilaku ketergantungan, tidak berfikir kritis dan pasif dalam organisasi artinya bagaimana persepsi pimpinan terhadap segala tindakan karyawan dalam organisasi (Kelley, 1992). Dampak dari kedua dimensi perilaku kerja akan menghasilkan adanya perbedaan kinerja dosen, perbedaan kinerja ini dapat disebabkan karena perbedaan kemampuan (ability) dalam bentuk kecerdasan yang dimiliki dosen.

Menurut Bloom (1956), bahwa pengetahuan diperlukan sebagai dorongan psikis dalam menumbuhkan sikap dan perilaku kerja individu. Sedangkan Notoatmodjo (2003), mengatakan bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang yang dapat menimbulkan perubahan persepsi dan terbentuknya kepercayaan sehingga membentuk sikap yang konsisten.

Dosen dalam menjalankan tugas Tridharma Perguruan Tinggi pada dasarnya membutuhkan 3 (tiga) kecerdasan fundamental, yaitu: 1) kecerdasan intelektual (IQ), 2) kecerdasan emosional (EQ) dan 3) kecerdasan spritual (SQ). Munculnya konsep kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spritual (SQ) manusia sebagai bentuk adanya perubahan paradigma dalam memandang tentang ukuran keberhasilan dan kesuksesan

95

manusia yang selama ini hanya diukur dari sisi kecerdasan intelektual.

Goleman (1995), menyatakan bahwa pengaruh kecerdasan intelektual dalam menentukan kesuksesan seseorang dalam karier dan kehidupan hanya sebesar 20%, sedangkan 80%

dipengaruhi oleh faktor lain termasuk di dalamnya adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Lebih lanjut Goleman menyatakan bahwa dalam menghadapi tantangan di abad 21, kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional saja tidaklah cukup, tanpa disertai dengan kecerdasan spritual sebagai penunjang perilaku dalam bekerja, (Moore, et al., 2006;

dan Milliman, et al., 2003).

Perilaku kerja itu sendiri menurut Moore et al., (2006) dan Milliman et al., (2003), dapat ditunjukkan dengan indikator, seperti kepuasan kerja, komitmen kepada organisasi, keterlibatan pekerja dan penghargaan terhadap organisasi. Lebih lanjut Moore et al., (2006) dan Milliman et al., (2003), menjelaskan bahwa bahwa kecerdasan spiritual akan memengaruhi terhadap kepuasan kerja. Hal ini disebabkan karena seseorang yang memiliki kecerdasan spritual berarti telah memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dan dalam bekerja penuh dengan pengabdian dan tanggung jawab.

Steers (1985:152), menyatakan bahwa perilaku kerja dipengaruhi oleh minat dan kepribadian seseorang dalam bekerja, yang dapat diukur dari indikator seperti: kemampuan (ability), keterampilan individu, dan kejelasan peran. Sedangkan Ivancevich et al., (2006:85), menyatakan bahwa selain kemampuan, perilaku kerja individu dalam suatu organisasi dapat pula dipengaruhi oleh faktor keragaman (seperti: atribut

96

fisik, pendidikan, status, pengalaman kerja), keterampilan, sikap (seperti persepsi, kepribadian, perasaan, dan motivasi).

Kecerdasan spritual sulit diukur dengan parameter empiris karena berkaitan dengan dimensi yang tidak berwujud yang memberikan kekuatan dan makna kehidupan (Mathai & North, 2003; Narayanasamy & Owen, 2001). Kecerdasan spritual dapat dibangkitkan dengan tiga pendekatan, yaitu: pertamaoutside-in dengan cara memberikan pengaruh informasi dari luar untuk membangkitkan kesadaran spritual di dalam diri. Kedua inside-out membangkitkan kesadaran spritual di dalam diri individu yang dapat memengaruhi kondisi sekitarnya. (Chakraborty, 2004).

Indikator perilaku kerja menurut pendapat para pakar menunjukkan komponen yang berbeda akan tetapi subtansinya sama bahwa perilaku kerja dipengaruhi oleh faktor motif dan kemampuan (ability) yang dimiliki individu. Sehingga dari beberapa pendapat tersebut, maka dalam penelitian ini indikator perilaku kerja merujuk pada pendapat Robbins (2003), yang menyatakan bahwa perilaku kerja dapat dipengaruhi oleh faktor:

1) effort/motivasi (usaha), 2) ability/individual atribute, dan 3) lingkungan kerja (atmosfer akademik). Pertama faktor effort diwujudkan dalam bentuk motivasi kerja, keduaability diwujudkan dalam bentuk kompetensidan ketigasituasi lingkungan diwujudkan dalam bentuk dukungan atasan, teman kerja, sarana dan prasana memadai.

Indikator perilaku kerja berdasarkan beberapa definisi dapat dijelaskan pada tabel berikut ini:

97

Tabel 4.2: Elaborasi Indikator Perilaku Kerja

Indikator

Pakar Capacity Lingkungan

Kerja Kepuasan Motivasi

Bloom, 1956 - - -

Bornstein et al. 2010 - -

Notoatmodjo, 2003 - - -

Goleman, 2006

Moore et al. 2006 -

Milliman et al.2003 - - -

Werner, 2012 -

Sawarjuwono, 2012 -

Williams, 2007 - - -

Kaswan, 2015 - - -

Ivancevich, 2006 -

Chakraborty, 2004 - -

Robbins, 2003 -

Sumber : Hasil olah data, 2017

Berdasarkan elaborasi beberapa pendapat para pakar, maka perilaku kerjadapat diukur dari faktor internal individu seperti individual attributes dan work efforts sedangkan faktor eksternal seperti lingkungan kerja (atmosfer akademik).

Indikator perilaku kerja ini dikembangkan Robbins (2003), dan didukung beberapa pendapat pakar, sehingga dalam penelitian ini work efforts, individual attributes dan lingkungan kerja (atmosfer akademik) dijadikan sebagai indikator perilaku kerja.

↜oOo↝

98

99

Bagian 5

KOMPONEN INTELLECTUAL CAPITAL

A. Pendahuluan

Pengelolaan komponen intellectual capital dalam pengembangan sumber daya manusia secara maksimal akan membawa institusi perguruan tinggi kepada competitive advantage juga dapat memberi informasi akan kemampuan perguruan tinggi dalam menggali pengembangan pengetahuan yang dimiliki. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Khalique et al., (2011), Sharabati et al., (2010), Cohen and Kaimenakis, (2007), Cabrati et al., (2007), Chen et al., (2004), Belkaoui, (2003). Lebih lanjut Bontis et al., (2000) dan Chen, (2008), menyatakan bahwa intellectual capital juga dapat meningkatkan kesejahteraan bagi organisasi dan pemegang saham pernyataan ini didukung oleh kajian Mageza, (2004).

Pentingnya pengelolaan dan peran komponen intellectual capital dijelaskan dalam riset yang dilakukan oleh Sigit Hermawan, 2012. “Peran, pengelolaan, dan pemberdayaan intellectual capital, serta perbaikan praktik bisnis industry farmasi”. Hasil penelitian menemukan bahwa: 1) peran

100

intellectual capital bagi perusahaan farmasi dapat menunjang kegiatan operasional, inovasi, meningkatkan kinerja, daya saing, dan kesejahteraan. 2) pemberdayaan intellectual capital dapat dilakukan melalui CICM model 3) perbaikan praktik bisnis industry farmasi dapat dilakukan dengan pengelolaan intellectual capital berbasis etika dan moral serta adanya dukungan dari stakeholder. Demikian pula hasil riset Roxanne Helm Stevens, 2012. “Comparison and association of intellectual capital: an investigation and measurement of the value of intellectual capital assets and their contribution to stakeholder perception within the framework of higher education”. Hasil penelitian menemukan bahwa komponen intellectual capital yang terdiri dari human capital, structural capital, and relasional capital saling berhubungan. Penelitian ini juga melahirkan informasi awal mengenai interaksi intellectual capital, kemampuan organisasi, dan persepsi pemangku kepentingan.

Dalam dokumen HUMAN CAPITAL DEVELOPMENT (Teori dan Aplikasi) (Halaman 100-109)