• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pendidikan dalam Keluarga terhadap Perilaku Seks Beresiko Remaja di SMAN 2 Peusangan Kabupaten Bireuen

Dalam dokumen T E S I S. Oleh RINA HANUM /IKM (Halaman 114-122)

HASIL PENELITIAN

5.2 Pengaruh Pendidikan dalam Keluarga terhadap Perilaku Seks Beresiko Remaja di SMAN 2 Peusangan Kabupaten Bireuen

Hasil penelitian tentang variabel pendidikan dalam keluarga ditemukan data sebagai berikut, terdapat 44 orang responden pada kategori tingkat pendidikan agama baik dengan persentase 48,89% dan jumlah responden yang memiliki pendidikan agama buruk adalah 46 orang dengan persentase 51,11%. Uji stastitik diperoleh nilai p = 0,001 < 0,05. Artinya dapat disimpulkan ada hubungan signifikan antara pendidikan agama dalam keluarga dengan perilaku seks beresiko remaja.

Hasil studi medis yang dilakukan (Reuters Cit. Dhyatmika, 2003) menyebutkan lebih dari 50 % remaja yang komunikasi anak - orang tua buruk, memiliki keinginan untuk berhubungan seks di usia dini. Hal ini sejalan dengan pendapat Nugraha (2004) kasus-kasus kehamilan pranikah pada remaja dapat disebabkan oleh hubungan orang tua anak kurang akrab.

Jessor (1995) menyebutkan kurangnya monitoring orang tua dan hubungan dengan rekan-rekan yang menyimpang merupakan prediktor yang kuat terlibat dalam

masalah perilaku. Meskipun hubungan dengan teman-teman yang mempunyai perilaku menyimpang proximal sosial yang paling berpengaruh pada masalah perilaku, pemantauan orang tua dan faktor keluarga (konflik dalam keluarga) adalah praktek orang tua yang dipengaruhi dalam proses perkembangan. Teori ekologi sosial menyebutkan bahwa perkembangan remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terutama berasal dari keluarga, teman sebaya, teman sekolah, agama dan masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, perilaku remaja dipengaruhi oleh interaksi remaja dengan lingkungannya, kebijakan dan norma yang ada di sekitarnya.

Melihat faktor risiko untuk aktivitas seksual remaja terdiri dari beberapa lapisan yaitu individu meliputi kesehatan fisik, temperamen, kemampuan intelektual. Selanjutnya adalah lapisan keluarga, sekolah, teman sebaya, dan lingkungan agama. pada lapisan ini faktor risiko terdiri dari orang tua tunggal, rendahnya pengawasan orang, hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua, kurangnya pengamalan ilmu agama serta keterlibatan dalam komitmen dengan teman sebaya, perilaku seksual aktif dari teman sebaya. Selanjutnya lapisan mesosistem yaitu hubungan antar struktur mikrosistem remaja, seperti hubungan guru remaja dengan orang tuanya, tempat ibadah dengan remaja dengan lingkungan disekitarnya. Selanjutnya lapisan makrosistem yang merupakan lapisan paling luar dari lingkungan remaja terdiri dari nilai budaya, adat, hukum, mass media dan ekonomi.

Pada kategori tingkat pendidikan moral baik, terdapat 40 orang responden dengan persentase 44,44% dan jumlah responden yang memiliki pendidikan moral buruk adalah 50 orang dengan persentase 55,56%. Uji stastitik diperoleh nilai p =

0,023 < 0,05. Artinya dapat disimpulkan ada hubungan signifikan antara pendidikan moral dalam keluarga dengan perilaku seks beresiko remaja.

Perkembangan moral yang sesuai dengan Syariat Islam merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan syariat Islam bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa.

Dengan demikian remaja tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Disisi lain, tiada moral dan religi ini sering kali dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya kenakalan remaja (Sarwono, 2010).

Pada kategori tingkat pendidikan demokrasi baik terdapat 48 orang responden dengan persentase 53,33% dan jumlah responden yang memiliki pendidikan demokrasi buruk adalah 42 orang dengan persentase 46,67. Uji stastitik diperoleh nilai p = 0,018 < 0,05. Artinya dapat disimpulkan ada hubungan signifikan antara pendidikan demokrasi dalam keluarga dengan perilaku seks beresiko remaja.

Dalam memecahkan persoalan yang sering terjadi pada masa remaja peran orang tua sangat besar dalam masaalah ini, di mana ddengan cara melakukan komunikasi lebih terbuka antara orang tua - anak dan memberikan kepercayaan dari orang tua kepada anak sehingga remaja lebih bertanggung jawab terhadap perilaku seksualnya (Pratiwi, 2004).

Pada kategori tingkat pendidikan sosial baik terdapat 33 orang responden dengan persentase 36,67% dan jumlah responden yang memiliki pendidikan sosial buruk adalah 57 orang dengan persentase 63,33%. Uji stastitik diperoleh nilai p =

0,019 < 0,05. Artinya dapat disimpulkan ada hubungan signifikan antara pendidikan sosial dalam keluarga dengan perilaku seks beresiko remaja.

Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) yang dilakukan pada tahun 2002-2003 didapatkan 2,4% atau sekitar 511.336 orang dari 21.264.000 jumlah remaja berusia 15-19 tahun dan 8,6% atau sekitar 1.727.929 orang dari 20.092.200 remaja berusia 20-24 tahun yang belum menikah, pernah hamil dan melakukan aborsi. Kenakalan remaja bukan karena murni dari dalam diri remaja itu sendiri, tetapi mungkin kenakalan itu merupakan efek samping dari hal-hal yang tidak dapat ditanggulangi oleh remaja dalam keluarga. Bahkan orang tua sendiri pun tidak mampu mengatasinya, akibatnya remaja menjadi korban dari keadaan keluarga (Dariyo, 2004).

Sochib (2010) mengemukakan temuan pendidikan menunjukkan bahwa kesatuan hubungan antara anak dengan orang tua dan sesama saudara adalah yang didasari rasa kebersamaan, menghargai pendapat orang lain, serta kerelaan berkorban demi kepentingan keluarga dan lingkungan. Temuan ini sependapat dengan temuan Alisjahbana (1973) yang menyatakan bahwa nilai – nilai sosial dan ditegakkan atas dasar cinta, simpatik, persahabatan dan solidaritas dan dapat membuat anak merasa kepemilikan dirinya terhadap nilai – nilai sosial, dengan demikian komunikasi dialogis yang penuh keterbukaan, keakraban dan keintiman dalam keluarga merupakan pranata sosial yang sangat esensial bagi upaya orang tua untuk menanamkan rasa kepemilikan dan pengembangan nilai-nilai sosial kedalam diri anak.

Pada katagori tingkat pendidikan seks baik terdapat 41 orang responden dengan persentase 45,56% dan jumlah responden yang memiliki pendidikan seks buruk adalah 49 orang dengan persentase 54,44%. Uji stastitik diperoleh nilai p = 0,003 < 0,05. Artinya dapat disimpulkan ada hubungan signifikan antara pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seks beresiko remaja.

Pada masa remaja sangat dibutuhkan dukungan untuk mendapatkan informasi dalam mengakses sumber daya untuk menghadapi perubahan kematangan dan status sosial. Peran orang tua dan keluarga merupakan bagian penting dari lingkungan sosial yang dibutuhkan sebagai pusat perkembangan remaja menuju kematangan sebagai upaya pencegahan perilaku seksual berisiko. Sedangkan keterlibatan orang tua untuk pencegahan dan mempromosikan perilaku berisiko bagi kesehatan sangat diperlukan (WHO, 2007).

Kualitas rumah tangga atau kehidupan keluarga mempunyai peranan paling besar dalam membentuk kepribadian remaja, Keluarga yang disfungsional seperti keluarga yang tidak stabil, orang tua tunggal, tinggal tidak serumah dengan orang tua, pengawasan yang kurang terhadap aktivitas remaja, serta orang tua yang tidak suportif, merupakan faktor prediksi kemungkinan peningkatan seksual aktif yang lebih dini. Komunikasi adalah inti suksesnya suatu hubungan antara remaja dengan orang tua, hubungan komunikasi secara lancar dan terbuka harus selalu dijaga agar dapat diketahui hal-hal yang diinginkan oleh remaja sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan remaja. Orang tua harus menyediakan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan anak remaja di rumah dan saling berbicara apa saja

mengenai kehidupan yang berhubungan dengan remaja, serta dapat menjadi teman yang baik bagi remaja (Dariyo, 2004).

Orang tua atau pendidik yang menjadi teladan bagi anak adalah yang pada saat bertemu dan tidak bertemu dengan anak senantiasa berperilaku taat terhadap nilai-nilai moral. Dengan demikian, mereka senantiasa patut dicontoh karena tidak sekedar memberi contoh. Artinya, anak mampu menjadikan perilaku orang tua sebagai bahan imitasi dan identifikasi perilaku anak selanjutnya (Shochib, 2010).

Pendidikan dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua harus mampu menghayati dunia perkembangan anak. Orang tua yang mampu menghayati dunia anak dsyaratkan untuk memiliki tiga kemampuan. Yakni kepakaran, keterpercayaan dan kedekatan yang dirasakan oleh sang anak. Kepakaran disini maknanya adalah diperlukan kemampuan orang tua untuk mengerti secara subtansial tentang nilai-nilai moral kehidupan. Keterpercayaan adalah apa yang telah dimengerti oleh orang tua dipolakan menjadi nafas kehidupan sehingga di mata anaknya mereka tidak sekedar berbicara tetapi telah menghayati dalam kehidupannya. Selanjutnya orang tua harus mampu membangun kedekatan dengan anak dengan cara melakukan komunikasi yang dialogis. Dengan ketiga kemampuan ini, orang tua dapat menghayati dunia anaknya dan anak menghayati dunia orang tua sehingga terjadi pertemuan makna didalamnya.

Dalam era globalisasi seperti halnya di wilayah NAD, orang tua dituntut untuk menyadari bahwa sumber nilai-nilai moral yang diupayakan kepada anaknya perlu disandarkan kepada sumber nilai yang memiliki kebenaran mutlak. Hal ini

diharapkan mampu menjadi kompas bagi anak untuk menjalani proses hidup dan kehidupan yang sesuai dengan syariat islam. Bagi anak yang telah memiliki nilai moral yang sesuai dengan ajaran syariat islam maka, tanpa kehadiran orang tua pun nilai tersebut tetap direalisasikan.

Selaian pendidikan tentang keagamaan, orang tua di dalam keluarga juga harus mendidik anak mereka dalam bidang kesehatan terutama yang berkaiatan dengan kesehatan reproduksi. Karena itu semakin aktif orang tua berperan meningkatkan pengetahuan tentng perilaku seks beresiko maka semakin terhindar remaja dari penyimpangan perilaku seks. Menurut Arina (2012), bahwa orang tua yang tidak dapat memberikan pendidikan seks yang baik pada anaknya cenderung dapat meningkatkan perilaku seks bebas pada remaja tersebut.

Pandangan bahwa seks adalah tabu telah lama tertanan dalam masyarakat, sehingga membuat remaja jarang berdiskusi dengan orang tua tentang masalah reproduksi. Rendahnya tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh orang tua sehingga mereka tidak dapat meberikan informasi yang benar kepada anaknya. peran orang tua dalam mencegah perilaku seks beresiko pada remaja adalah dengan pendidikan seks sedini mungkin. Pendidikan seks harus diberikan sejak dini agar mereka sadar bagaimana menjaga supaya organ reproduksi tetap sehat. Sehingga mereka tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada perilaku seks beresiko.

Apabila remaja kurang mendapat bimbingan dalam keluarga, kondisi keluarga yang kurang harmonis, kurang memberikan kasih sayang, dan berteman dengan

kelompok sebaya yang kurang menghargai nilai-nilai agama, maka kondisi tersebut akan menjadi pemicu berkembangnya sikap dan perilaku remaja yang kurang baik/perilaku yang berisiko, maka remaja akan menjadi trouble maker (pembuat keonaran) dalam masyarakat (Jessor, 1997).

BAB 6

Dalam dokumen T E S I S. Oleh RINA HANUM /IKM (Halaman 114-122)