• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengetahuan Hukum Syariat Mesum terhadap Perilaku Seks Bersiko di SMA 2 Peusangan Matangglumpang Dua Kabupaten Bireuen Bersiko di SMA 2 Peusangan Matangglumpang Dua Kabupaten Bireuen

Dalam dokumen T E S I S. Oleh RINA HANUM /IKM (Halaman 105-114)

HASIL PENELITIAN

5.1. Pengaruh Pengetahuan Hukum Syariat Mesum terhadap Perilaku Seks Bersiko di SMA 2 Peusangan Matangglumpang Dua Kabupaten Bireuen Bersiko di SMA 2 Peusangan Matangglumpang Dua Kabupaten Bireuen

Pengetahuan dalam penelitian ini adalah pemahaman remaja siswa SMAN 2 Peusangan, Matangglumpang Dua, Kabupaten Bireuen tentang informasi mengenai hukum syariat mesum yang telah diterapkan di Aceh saat ini. Hasil penelitian tentang variabel pengetahuan hukum syariat mesum ditemukan data sebagai berikut, mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan tentang wilayatul hisbah rendah sebanyak 65 orang (72,22%) sedangkan responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang wilayatul hisbah sebanyak 25 orang (27,78%).

Pendapat tentang hukum dikemukakan oleh Philip Seznick dalam

Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,016 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan tentang wilayatul hisbah dengan perilaku seks beresiko siswa SMAN 2 Peusangan, matangglumpangdua, kabupaten Bireuen.

pembahasan tentang perubahan hukum dan perubahan masyarakat serta hubungan timbal balik diantara keduanya. Salah satu persepsi penting dalam kajian sosiologi hukum adalah bahwa perubahan yang terjadi dalam masayarakat dapat direkayasa, dalam arti direncanakan terlebih dahulu oleh pemerintah dengan menggunakan perangkat hukum sebagai alatnya (Lismanto 2010).

Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan tentang aturan rendah sebanyak 58 orang (64,44%) sedangkan responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang aturan sebanyak 32 orang (35,56%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,023 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan tentang aturan dengan perilaku seks beresiko siswa SMAN 2 Peusangan, matangglumpangdua, kabupaten Bireuen.

Dalam norma agama, hukum adalah peraturan hidup yang harus diterima manusia sebagai perintah-perintah, larangan-larangan dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu dari peraturan itu dituangkan dalam qanun No 14/2003 tentang khalwat ( Dinas Syariat Islam 2010 ).

Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan tentang sanksi rendah sebanyak 47 orang (52,22%) sedangkan responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang sanksi sebanyak 43 orang (47,78%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,002 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan tentang mahkamah dengan perilaku seks beresiko siswa SMAN 2 Peusangan, matangglumpangdua, kabupaten Bireuen.

Beberapa ahli psikologi telah banyak membuat definisi tentang sikap, diantaranya oleh Louis Thurstone dan Rensis Linkert. Mereka mengatakan bahwa definisi sikap adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu.

Sikap juga dapat didefinisikan sebagai penilaian positif atau negatif dari seseorang tentang suatu objek, pemikiran atau kejadian tertentu. Beberapa psikolog telah

mengidentifikasi bahwa terdapat tiga hal penting yang saling mempengaruhi dalam pembentukan sikap manusia, tiga hal tersebut adalah: pengaruh sosial atau pengaruh orang lain, pengaruh koqnitif, atau pengaruh dari pemikiran dan pengaruh perilaku.

Sikap yang diperoleh dari pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya. Sikap meliputi rasa suka atau tidak suka, mendukung atau tidak mendukung, kelompok dan aspek lingkungan yang dapat dikenal lainnya termasuk gagasan abstrak dan kebijakan sosial. Nilai (value) dan opini atau pendapat sangat erat berkaitan dengan sikap, bahkan kedua konsep tersebut sering kali digunakan dalam definisi mengenai sikap. Nilai lebih bersifat mendasar dan stabil sebagai bagian dari ciri kepribadian, sedangkan sikap bersifat evaluatif dan berakar.

Sikap remaja tentang perilaku seksual remaja adalah perasaan menyetujui atau memihak (favourable) dan tidak menyetujui atau tidak memihak (unfavourable) pada objek tersebut (Azwar, 2010).

Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan tentang mahkamah rendah sebanyak 52 orang (57,78%) sedangkan responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang mahkamah sebanyak 38 orang (42,22%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,006 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan tentang mahkamah dengan perilaku seks beresiko siswa SMAN 2 Peusangan, matangglumpangdua, kabupaten Bireuen. Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan tentang subjek rendah sebanyak 44 orang (48,89%) sedangkan responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang subjek sebanyak 46 orang (51,11%).

Di dalam Butir ke 16 qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Islam dengan tegas melarang melakukan zina. Sementara khalwat/mesum merupakan washilah atau peluang untuk terjadinya zina, maka khalwat/mesum juga termasuk salah satu jarimah (perbuatan pidana) dan di ancam dengan ‘uqubat ta’zir, sesuai kaidah syar’at. Islam dengan tegas melarang zina, sementara mesum merupakan peluang untuk terjadinya zina, maka mesum merupakan salah satu pidana dan diancam dengan ’uqubat ta’zirsesuai kaidah syariat. Qanun tentang larangan khalwat/mesum ini dimaksudkan sebagai upaya promotif, preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqubat dalam bentuk ‘uqubat ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat denda (gharamah) (Dinas Syariat Islam, 2010).

Hasil Uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan variabel pengetahuan hukum syariat mesum yang paling berpengaruh adalah variabel pengetahuan subjek dengan nilai koefisien regresi exp (B) 0,059. Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,001 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan tentang subjek dengan perilaku seks beresiko siswa SMAN 2 Peusangan, Matangglumpangdua, Kabupaten Bireuen.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengetahuan tentang subjek sebagian besar memiliki pengetahuan tinggi (51,1%), namun tingginya pengetahuan

tentang subjek tidak menjamin seseorang untuk tidak melakukan perilaku seks beresiko.

Sikap keberagamaan remaja memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu sikap keberagamaan umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Di usia perkembangan remaja tampak dorongan seksual begitu dominan atau setidak-tidaknya secara psikologis memiliki dampak terhadap nilai-nilai keagamaan. Maksudnya dorongan seks tak jarang turut mempengaruhi munculnya sikap dan perilaku menyimpang sehingga para remaja tidak merasa bersalah atau berdosa melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma agama.

Namun demikian, agama masih tetap dianggap relevan oleh banyak orang karena keberadaannya dianggap bermanfaat bagi manusia dalam usaha mencari makna hidup. Melalui pendekatan dan pemetaan nilai-nilai ajaran agama yang lengkap dan utuh setidaknya dapat memberi kesadaran bagi remaja bahwa agama bukan alat pemasung kreativitas manusia, melainkan sebagai pendorong utama.

Sehingga remaja akan termotivasi untuk mengenal ajaran agama dalam bentuk yang sebenarnya.

Diberlakukannya otonomi khusus bagi Aceh beserta kewenangan untuk melaksanakan syariat islam secara kaffah sesuai maksud Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 menuntut adanya aturan atau norma khusus yang menagtur tentang tata cara pergaulan/khakwat atara pria dan wanita. Berdasarkan Instruksi Gubernur Provinsi NAD nomor 05/INSTR/2002 telah

diatur tentang tata cara pergaulan/khalwat tersebut. Salah satu isi dari Instruksi Gubernur tersebut adalah dilarang berdua-duaan (berkhalwat) bagi yang bukan mahramnya pada tempat yang sunyi dan terhalangdari pandangan umum.

Instruksi Gubernur tersebut belum sepenuhnya ditaati dan dijalankan oleh para siswa, hal ini dibuktikan dengan masih tingginya perilaku siswa yang tidak sesuai dengan kaidah atau tata pergaulan/khalwat itu sendiri. Menurut Koentjoro (2007) ada bebrapa penyebab perilaku seksual remaja yaitu faktor internal, eksternal dan campuran keduanya. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam individu berupa asupan gizi, semakin baik asupan gizi maka semakin memacu pertumbuhan dan perkembangan hormon. Faktor ekternal adalah dampak globalisasi dan budaya materialisme. Remaja yang sedang mengalami masa transisi berupa meningkatnya hasrat seksual akan mendorong untuk memperhatikan informasi-informasi seksual yang mampu memenuhi hasrat seksualitasnya yang kemudian apabila remaja bisa menerima informasi tersebut sebagai sesuatu yang patut dilakukan, maka akan diingat dan disimpan sebagai hal yang akan dilakukan.

Kontrol diri remaja yang kurang menjadi salah satu faktor penyebab penyimpangan perilaku seks remaja. Remaja gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin remaja sudah mengetahui perbedaan antara yang salah dan yang benar namun remaja tidak dapat mengontrol diri.

Tingginya perilaku seks menyimpang yang dilakukan oleh responden walaupun mereka memiliki pengetahuan yang baik hal ini dimungkinkan oleh adanya

dukungan kelompok sebaya. Pada masa remaja pengaruh teman sebaya sangat kuat sehingga munculnya penyimpangan perilaku seksual dikaitkan dengan norma kelompok sebaya (Sarwono, 2010). Hal ini sejalan didukung oleh pendapat Amrillah (2005), mengatakan bahwa perilaku seksual juga dipengaruhi secara positif orang teman sebaya yang juga aktif secara seksual. Jika seorang remaja memiliki teman yang aktif secara seksual maka akan semakin besar pula kemungkinan remaja tersebut untuk juga aktif secara seksual mengingat bahwa pada usia tersebut remaja ingin diterima oleh lingkungannya.

Romantisme pacaran yang dominan dirasakan oleh remaja yang jatuh cinta tidak jarang berkembang dan mendorong ke arah perilaku seks. Apabila pasangan dalam pacaran itu sama-sama memiliki dorongan ke arah perilaku seks, maka kemungkinan terjadinya hubungan seks sebelum nikah akan mudah terjadi (Sarwono, 2010). Dalam hal ini Imran dalam Arina (2012) menyatakan bahwa ada beberapa alasan kenapa remaja melakukan hubungan seks yaitu: a). Membuktikan bahwa remaja saling mencintai, b). Ketakutan hubungan akan berakhir, c). Rasa ingin mengetahui hubungan sesksual, d). Hubungan sekseual itu terbayangkan sangat menyenangkan, e). Kepercayaan bahwa kebanyakan teman mereka sudah melakukan, f). Perasaan suka sama suka, g). Mendapat uang atau fasilitas, h). Takut dianggap kurang pergaulan, dan i). Pacar menyatakan hubungan seks tidak akan menyebabkan apa-apa.

Dalam penelitian ini diperoleh bahwa dari 46 orang siswa yang memiliki pengetahuan tentang subjek dengan kategori tinggi, namun sebanyak 45 orang

(97,8%) tetap memiliki perilaku seks menyimpang. Sebanyak 77 orang (85,6%) siswa mengetahui bahwa setiap pelaku mesum dihukum dengan Ancaman Cambukan, sebanyak 58 orang (64,4%) siswa mengetahui bahwa bagi masyarakat yang hidup dilingkungan syariat Islam wajib mencegah perbuatan mesum, sebanyak 47 orang (52,2%) siswa mengetahui bahwa pelaku mesum sering kali di hakimi sendiri oleh masyarakat ketika perbuatan mereka ketahuan, sebanyak 48 orang (53,3%) mengetahui bahwa perbuatan mesum tidak hanya terjadi di tempat-tempat sunyi, tetapi juga di tengah keramaian dan sebanyak 52 orang (57,8%) menyatakan bahwa dalam Perbuatan mesum tidak selalu korbannya pihak wanita. Hal ini tidak mengurangi minat siswa untuk tetap melakukan perbuatan mesum.

Perilaku seks menyimpang yang dilakukan oleh siswa adalah dalam bentuk berpegangan tangan dengan lawan jenis (91,11%), berpelukan dengan pacar (87,8%), berciuman pipi (83,3%), berciuman bibir (66,7%), melakukan onani (58,9%), memegang alat sensitif (48,9%) dan melakukan hubungan seks pranikah (38,9%).

Untuk mengurangi perilaku seks beresiko yang dilakukan oleh siswa diperlukan kerjasama diseluruh sektor. Oleh karena itulah diberlakukan Qanun di provinsi NAD, yakni Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum). Dalam proses pelaksanaannya diberikan juga hukuman yang akan diterima oleh subjek ketika mereka melakukan perbuatan khalwat tersebut. Hukumannya adalah berupa cambukan maupun denda. Hal ini diharapkan selain menjadikan efek jera bagi remaja juga diharapkan mampu menekan terjadinya perilaku seks beresiko dalam hal in khalwat.

Qanun tentang larangan khalwat/mesum ini dimaksudkan sebagai upaya promotif, preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqubat dalam bentuk ‘uqubat ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat denda (gharamah). Dalam penerapan qanun tentang khalwat dilakukan sosialisasi qanun kepada seluruh masyarakat dan juga menegakkan hukum yang berkaitan dengan khalwat. Selain itu juga diperlukan pendidikan yang lebih komprehensif tentang syariat islam sangat penting disampaikan kepada remaja khususnya anak sekolah, bahkan jika memungkinkan harus dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan tingkat SMA di provinsi NAD.

Perkembangan moral yang sesuai dengan Syariat Islam merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan syariat Islam bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa.

Dengan demikian remaja tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan masyarakat (Sarwono, 2010).

Setiap manusia memiliki naluri keagamaan, yaitu naluri untuk berkepercayaan. Naluri itu muncul bersamaan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup dan alam raya yang menjadi lingkungan hidup, karena itu setiap manusia pasti memiliki keinsyafan tentang apa yang dianggap makna hidup. Ajaran agama yang diterima remaja pada waktu kecilnya akan berkembang dan bertambah subur apabila remaja dalam menganut kepercayaan itu tidak mendapat kritikan-kritikan, dalam hal agama apa yang bertumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan melalui pengalaman-pengalaman yang dipercaya (Soetjiningsih, 2004).

Pada umumnya ajaran agama melarang seks bebas/seks pranikah. Dengan demikian tingkat partisipasi remaja dalam organisasi religius dapat menjadi hal yang lebih penting. Para remaja yang sering mengunjungi layanan religius cenderung lebih banyak mendengar pesan-pesan agar menjauhkan diri dari seks. Keterlibatan remaja dalam organisasi religius juga dapat meningkatkan peluang bahwa mereka akan berkawan dengan remaja-remaja yang memiliki sikap yang tidak menyetujui perilaku seksual pra nikah (Kartono, 1994).

5.2 Pengaruh Pendidikan dalam Keluarga terhadap Perilaku Seks Beresiko

Dalam dokumen T E S I S. Oleh RINA HANUM /IKM (Halaman 105-114)