• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : Analisis Data

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

3.10. Pengaruh Perubahan Sistem Pemilu Terhadap Tingkat Akuntabilitas Anggota Legislatif Pada Pemilu 2009

Indonesia merupakan Negara yang menggunakan sistem demokrasi dimana rakyat memiliki peranan penting di dalam urusan Negara atau dengan kata lain demokrasi merupakan kekuasaan rakyat berbentuk pemerintahan dengan

71

semua tingkatan rakyat ikut mengambil bagian dalam pemerintahan. Oleh karena itu, kekuasaan para pemimpin itu bukan muncul dari pribadinya, akan tetapi merupakan titipan rakyat atau merupakan kekuasaan yang dilimpahkan rakyat kepada pemimpin dan pribadi-pribadi penguasa. Rakyat membuat kontrak politik lewat perwakilannya untuk mendelegasikan kekuasaanya kepada pemerintah yang dipilih melalui pemilu, yakni sarana demokrasi yang daripadanya dapat ditentukan siapa yang berhak menduduki kursi di lembaga politik Negara, legislatif dan eksekutif. Untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi itulah pemilu dijadikan akses bagi semua warga negara yang memenuhi syarat untuk mendapatkan hak pilih, perlindungan bagi tiap individu terhadap pengaruh-pengaruh luas yang tidak diinginkan saat ia memberikan suara, dan penghitungan suara yang jujur dan terbuka terhadap hasil pemungutan suara. Dengan sistem pemilu yang demokratis masyarakat akan benar-benar selektif dalam menetapkan pilihannya kepada calon anggota legislatif yang benar-benar jujur serta memliki kinerja dan tanggung jawab yang baik demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pemilu juga diharapkan tidak hanya sekedar formalitas belaka bagi kepentingan pribadi para pemimpin dan pejabat untuk meraup keuntungan dan memperkaya diri sebagaimana terjadi pada era orde baru.

Kualitas wakil rakyat akan menjadi sorotan publik dengan sistem pemilu yang demokratis, hal ini tentunya berbicara tentang kinerja dan akuntabilitas anggota legislatif yang sebenarnya. Kinerja para anggota legislatif pada tahun 2004 yang notabene adalah mandataris dari rakyat belum menunjukan hasil yang optimal dalam hal memperjuangkan kepentingan rakyat, ini dikaitkan dengan sistem pemilu yang digunakan pada pemilu 2004 dinilai belum cukup demokratis.

72

Memang secara umum, pemilu 2004 mengikutsertakan masyarakat dalam proses pemilihan anggota legislatif, akan tetapi nilai-nilai demokrasi masih terbentur dengan penetapan caleg terpilih berdasarkan nomor urut. Selain itu sistem pemilu 2004 membuat terjadinya ketergantungan wakil rakyat terhadap partai yang mencalonkannya, hal ini dapat dipahami karena partailah yang memegang kekuasaan penuh untuk menentukan nomor urut calegnya. Hal ini tentunya berdampak kepada kinerja dan akuntabilitas wakil rakyat, yang lebih mengutamakan kepentingan partai dibanding kepentingan masyarakat.

Perubahan sistem pemilu pada hasil pemilihan umum tahun 2009 melahirkan harapan dan optimisme dikalangan masyarakat mengingat akumulasi kekecewaan publik terhadap akuntabilitas dan penampilan partai-partai politik di lembaga-lembaga legislatif produk pemilu sebelumnya.

Sistem pemilu 2009 adalah sistem proporsional terbuka terbatas. Dikatakan terbatas karena yang berhak mendapatkan kursi adalah partai-partai yang mendapatkan suara mencapai angka BPP atau mendekati angka BPP melalui akumulasi suara yang didapatkan oleh para caleg dari partai tersebut di suatu daerah pemilihan, kemudian wakil rakyat akan ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak pada daftar caleg partai tersebut. Sistem pemilu ini sedikit lebih demokratis dibandingkan dengan sistem pemilu pada tahun 2004, karena dengan sistem seperti ini, ketergantungan wakil rakyat terhadap partai menjadi berkurang yang membuat wakil rakyat akan lebih fokus dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat.

Keinginan memilih caleg tampaknya sulit terwujud karena mayoritas masyarakat Kabupaten Nias Dapem IV belum tahu nama caleg yang mau dipilih.

73

Dari masyarakat yang berkeinginan memilih caleg, hanya sebagian kecil yang sudah tahu nama caleg yang mau dicentang. Hal ini perlu dicermati dalam perbaikan kualitas perwakilan politik, seperti dominannya caleg yang berasal dari luar daerah pemilihan terutama untuk DPR, terlalu banyaknya caleg dalam satu daerah pemilihan disebabkan jumlah partai yang banyak, serta masih kurangnya caleg yang secara langsung menemui masyarakat. Masyarakat umumnya mengetahui informasi tentang nama danprogram caleg melalui spanduk atau atribut kampanye lainnya.

Keinginan pemilih untuk memilih caleg memang harus diakomodasi oleh partai politik dengan mencalonkan orang yang berasal dari daerah pemilihannya. Survei ini mengkonfirmasi bahwa mayoritas masyarakat lebih menyukai caleg yang asli daerah bersangkutan. Sementara ada sejumlah masyarakat yang tidak mempersoalkan asal daerah caleg.

Perubahan sistem pemilu ini ternyata disambut baik oleh masyarakat dimana peneliti menemukan dari 100 responden, ada 86% responden yang mengetahui perubahan sistem pemilu 2009 ini dan 85% yang menyatakan bahwa sistem pemilu 2009 lebih baik daripada sistem pemilu 2004. Demikian juga ada 62% responden yang menyatakan bahwa pemilu legislatif 2009 yang dilakukan sudah mencerminkan nilai-nilai demokrasi seutuhnya. Walaupun masih ada 38% responden yang belum meyakini hal ini, karena sistem pemilu 2009 yang masih menggunakan sistem proporsional terbuka terbatas yang berarti bahwa caleg ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak pada daftar caleg yang berasal dari partai yang mendapatkan kursi, sehingga tidak sepenuhnya merupakan suara terbanyak dari pilihan masyarakat. Walaupun demikian hal ini merupakan suatu

74

kemajuan dalam sistem pemilu di Indonesia yang dari tahun ke tahun mengalami perubahan demi menerapkan nilai-nilai demokrasi serta mengembalikan kedaulatan seutuhnya di tangan rakyat Indonesia. Dan pada saatnya masyarakat dapat merasakan manfaat keikutsertaannya dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia melalui sistem pemilu yang lebih baik dan lebih demokratis, sehingga pilihan masyarakat merupakan orang-orang yang tepat dan dapat mempertanggungjawabkan tugas dan tanggungjawabnya kepada masyarakat yang memilihnya.

Tingginya antusiasme masyarakat yang menilai bahwa akuntabilitas anggota legislatif periode 2009-2014 akan lebih baik daripada akuntabilitas anggota legislatif periode 2004-2009 yang lalu merupakan bukti bahwasanya sistem pemilu 2009 lebih demokratis dibandingkan dengan sistem pemilu 2004. Kepercayaan masyarakat kepada akuntabilitas anggota legislatif 2009 kepada konstituennya meningkat 24% daripada sebelumnya. Demikian juga dapat dilihat dari peningkatan jumlah keyakinan masyarakat terhadap akuntabilitas anggota legislatif sebagai wakil masyarakat di daerah yaitu sebanyak 30% dari tahun 2004 yang lalu. Dimana pada tahun 2009 ada 75% responden yang meyakini bahwa anggota legislatif ini mampu menunjukkan kinerjanya sebagai wakil masyarakat dalam memajukan daerahnya.

Pernyataan ini lebih diperkuat lagi dengan hasil yang diperoleh peneliti berdasarkan masing-masing aspek dari akuntabilitas itu sendiri, yakni keyakinan masyarakat terhadap akuntabilitas adminsitratif berupa penggunaan dana publik seperti penghasilan, tunjangan-tunjangan, fasilitas Negara lainnya serta pengumuman harta kekayaan sebelum dan sesudah menjabat, pada anggota

75

legislatif 2009 naik menjadi 63% dari anggota legislatif 2004. yang berarti bahwa akuntabilitas administratif anggota legislatif 2009 lebih baik daripada akuntabilitas administratif anggota legislatif 2009.

Pada aspek akuntabilitas politik, pandangan responden terhadap tingkat akuntabilitas politik anggota legislatif naik menjadi 66% dari tingkat akuntabilitas anggota legislatif 2004 yang lalu. Yang berarti bahwa responden menilai bahwa anggota legislatif 2009 akan lebih baik dalam kinerjanya serta tingkat akuntabilitasnya dalam membuat kebijakan politik seperti pembuatan Peraturan Daerah (Perda) dan keputusan-keputusan lain untuk kepentingan daerah serta hasilnya akan disosialisasikan kepada masyarakat.

Sebanding dengan hal di atas responden juga menilai bahwa akuntabilitas Moral anggota legislatif 2009 lebih baik daripada akuntabilitas moral anggota legislatif 2009, ada 65% reponden yang menyatakan bahwa anggota legislatif 2009 memiliki moral serta kepribadian yang baik yang akan mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi, karena masyarakat tahu bahwa anggota legislatif terpilih 2009 ini benar-benar merupakan pilihan yang tepat. Hal ini juga mengalami peningkatan sebesar 31% dari periode sebelumnya.

Masyarakat juga menilai aspek akuntabilitas profesional anggota legislatif 2009 lebih baik daripada akuntabilitas profesional anggota legislatif 2004, Masyarakat meyakini bahwa anggota legislatif 2004 yang lalu belum menunjukkan sikap profesionalitas dalam menjalankan fungsinya sebagai anggota legislatif yang seharusnya benar-benar mengkaji kebutuhan serta persoalan yang dihadapi masyarakat. Responden memiliki harapan yang lebih baik kepada

76

anggota legislatif 2009 terlihat dimana meningkatnya penilaian masyarakat sebesar 37% dari tahun 2004 sebelumnya.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tersebut di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa perubahan sistem pemilu 2009 mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap tingkat akuntabilitas anggota legislatif terpilih di Daerah Pemilihan IV Kabupaten Nias. Pengaruh tersebut secara langsung berkaitan dengan mekanisme penetapan calon legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak yang dinilai lebih demokratis dan lebih menjamin kualitas anggota legislatif pada pemilu 2009. Perubahan sistem pemilu itu juga pada dasarnya telah merubah pola pikir para pemilih untuk lebih selektif dalam menjatuhkan pilihannya kepada sosok yang dianggap benar-benar mampu menyampaikan aspirasinya. Harapan segenap rakyat Indonesia kepada anggota legislatif terpilih tahun 2009 adalah untuk menunjukkan hasil yang optimal dalam hal memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam kaitan ini, maka partisipasi masyarakat harus juga dipandang sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi akuntabilitas legislatif. Pengawasan dari masyarakat juga sangat penting bagi anggota legislatif untuk dapat lebih bertanggung jawab dalam mengemban tugas dan amanat dari rakyat.

Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat Akuntabilitas wakil rakyat Kabupaten Nias pada konstituennya adalah “Rendah” dilihat dari kinerja mereka seperti kunjungan maupun pelaporan. Penyebab rendahnya akuntabilitas para wakil rakyat pada konstituen/warga pemilihnya dapat disebabkan oleh faktor-faktor :

77

1. Perundang-undangan (UUD; UU) yang tidak secara tegas dan jelas

menugaskan agar anggota DPR melakukan kontak dan komunikasi serta melakukan fungsi perwakilan dengan baik. Dalam UUD tugas DPR adalah legislasi, pengawasan dan anggaran sementara tugas “Representasi” (melaksanakan aspirasi konsituen) tidak dicantumkan secara tegas. Dalam UU Susduk dinyatakan bahwa wakil rakyat akan datang ke daerah pemilihan dalam masa reses namun tidak terdapat mekanisme yang jelas mengenai kewajiban mereka.

2. Dukungan anggaran sangat rendah.. Namun dalam prakteknya mereka tidak

mempunyai rencana kerja dan pertanggung jawaban yang jelas berkaitan dengan kontak dan komunikasi dengan konstituen.

3. Kurangnya tekanan publik dari pers, universitas, dan ormas kepada anggota

DPRD NIAS (dan parlemen serta parpol) agar mereka menjadi lebih aspiratif dan responsif pada konstituennya. Berbagai kritik yang ada lebih bersifat sporadis, individual dan tidak berkesinambungan. Misalnya, universitas tidak mengintegrasikan masalah pemantauan dan evaluasi kinerja DPR dalam kurikulum yang melibatkan dosen dan mahasiswa. Selain itu pers tidak merencanakan dan mengalokasikan waktu dan tempat yang cukup dan terencana untuk mengawasi kinerja DPRD dan demokrasi.

4. Kontak dan komunikasi antara wakil rakyat dan pemilih/konstituen tidak

merupakan bagian yang menonjol dalam sejarah politik Indonesia. Kalaupun ada, kontak yang terjadi lebih bersifat mobilisasi dan menjelang pemilu (kampanye). Selain itu materi dalam kontak tidak bersifat program yang jelas dan terukur melainkan lebih merupakan retorika.

78

Peningkatan akuntabilitas perlu diprioritaskan melalui berbagai dimensi yaitu:

1. Perundang-undangan

Kurang terbahasnya masalah akuntabilitas atau kedaulatan rakyat pasca pemilu ini tercermin pula dalam berbagai konstitusi maupun UU. Karena itu, perlu pencatuman secara eksplisit (dalam satu atau beberapa pasal atau ayat) bahwa wakil rakyat mempunyai kewajiban seperti melakukan kontak dan melaporkan kegiatannya pada pemilihnya. Demikian pula perlu ada peraturan yang menjamin hak dari warga di konstituensi untuk memecat wakil rakyat yang melakukan kesalahan.

2. Anggaran

Hal ini berkaitan dengan program “Operation and Maintenance” (O & M). Demokrasi perlu dianggarkan secara rutin oleh negara (seperti layaknya pembangunan fisik). Dengan kata lain anggaran anggaran DPRD perlu ditingkatkan untuk :

1. Kunjungan ke konstituen

2. Pembuatan Laporan Tahunan

3. Dukungan staf profesional dan Administratif

Selain itu perlu pula anggaran bagi Bidang Politik Dalam Negeri dimana warga mendapat kemudahan untuk mengkontak wakil rakyat (Surat Bebas dari Bea), dan tersedianya dana untuk pertemuan rutin dengan wakil rakyat.

79

Tanpa pembuatan “jembatan” antara wakil dan warga maka demokrasi akan terbatas pada kelompok elit atau oligarki saja.

3. Pengorganisasian dan Tekanan Publik

Pengorganisasian ini meliputi optimalisasi lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU/D) untuk membantu pelaksanaan demokrasi pasca pemilu. Mereka diharapkan mempunyai data tentang rencana kerja anggota DPRD dan parpol sehingga dapat diakses dan dievaluasi oleh publik. Selain itu perlu pula peran aktif berbagai organisasi komunitas, organisasi massa, pers, perguruan tinggi, parpol maupun organisasi okupasi (asosiasi profesi, pekerja, petani dan sektor informal). Beberapa lembaga seperti Pers dan Universitas perlu untuk selalu melaporkan kegiatan monitoring demokrasi. Lembaga-lembaga tersebut diminta untuk membuat laporan tahunan keadaan demokrasi sebagai bentuk pertanggung jawaban moral dan intelektual (“moral and intellectual accountability report”). Sebaiknya lembaga tersebut mempunyai “Ombudsman” independen yang memantau (dan membuat laporan/audit setiap akhir tahun). Dengan pola ini dapat diketahui apakah mereka telah cukup aktif atau tidak dalam memantau DPR dan demokrasi di Indonesia.

4. Sistem Pemilu

Perubahan pada sistem pemilu yang menekankan figur (memilih wakil) baik dalam sistem distrik atau sistem proporsional terbuka akan mendukung akuntabilitas jika dilengkapi dengan mekanisme lain seperti kunjungan dan pelaporan kegiatan wakil rakyat. Dalam format pemilu 2004, jika pemilih

80

hanya mencoblos orang namun tidak mencoblos tanda parpol maka hal ini dianggap tidak sah. Seharusnya yang berlaku adalah sebaliknya yakni mencoblos tanda gambar tanpa orang justru dianggap tidak sah dan jika hanya mencoblos orang tanpa tanda gambar dianggap sah.