• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pengaruh Teknologi Terhadap Efisiensi Usahatani

Dalam kondisi teknologi yang ada, peningkatan produktivitas dapat dicapai melalui efisiensi. Penelitian Idiong (2007) membuktikan bahwa pada kondisi tingkat adopsi teknologi yang rendah di Cross River State Nigeria, maka

pilihan terbaik untuk peningkatan produktivitas dalam jangka pendek yaitu melalui peningkatan efisiensi. Namun dalam jangka panjang teknologi dapat meningkatkan efisiensi. Melalui peningkatan teknologi maka akan menggeser kurva total produk ke atas dan kurva biaya rata-rata jangka panjang ke bawah. Bojnec dan Latruffe (2007) menyelidiki efisiensi teknis pertanian Slovenia pada periode 1994-2003 menggunakan analisis stokastik frontier parametrik dan nonparametric DEA. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa efisiensi teknis „usahatani keluarga‟ Slovenia meningkat dari 0.5 di tahun 1994 menjadi 0.8 di tahun 2003 sebagai dampak teknologi. Spesialisasi usahatani yang terkait dengan perubahan teknologi menjadi faktor penting untuk meningkatkan efisiensi teknis.

Shapiro dan Muller (1977) mendukung bahwa efisiensi teknis berhubungan positif yang erat dengan modernisasi dan informasi. Demikian pula Shapiro (1983) mendukung bahwa teknologi modern dapat meningkatkan produktivitas dan teknologi tradisional mengalami inefisiensi. Shapiro (1983) mengukur efisiensi teknis dari 37 petani kapas sampel di Tanzania dengan model produksi frontier Cobb-Douglas dan menggunakan linear programming. Rata-rata

efisiensi teknis petani sampel adalah 66 persen. Demikian juga Seyoum, et al.

(1998) menyimpulkan bahwa petani yang mengadopsi teknologi, secara teknis lebih efisien. Seyoum, et al. (1998) mengestimasi efisiensi teknis petani jagung di

dalam dan luar proyek Sawakawa-Global tahun 2000 di Ethiopia Timur. Penulis menggunakan produksi frontier stokastik translog. Efisiensi teknis rata-rata petani dalam proyek 0.937 sementara petani luar proyek 0.794.

Hassan (2004) mengestimasi efisiensi teknis petani kapas di Kecamatan Vehari Punjab menggunakan model fungsi produksi frontier stokastik di mana efek inefisiensi teknis diasumsikan sebagai fungsi dari variabel lain yang mempengaruhi usahatani. Mereka menyimpulkan bahwa inefisiensi produksi kapas secara teknis cenderung menurun untuk petani yang paling terdahulu menggunakan irigasi dan yang menerapkan rogging, tetapi inefisiensi cenderung meningkat pada petani yang menerapkan multicropping. Hal ini membuktikan bahwa teknologi irigasi dan teknologi budidaya dapat meningkatkan efisiensi.

Kemajuan teknologi dapat bersumber dari tiga hal yaitu (1) peningkatan produktivitas manusianya seperti peningkatan keterampilan sebagai dampak

pendidikan dan pelatihan, (2) mesin yang lebih produktif dan efisien, (3) perbaikan organisasi produksi dan teknik budidaya. Jika dilihat dari adopsi teknologi baru seperti benih unggul dan pupuk buatan, ditemukan bahwa ternyata petani kecil lebih ketinggalan dalam adopsi teknologi baru pada awalnya, namun kemudian dapat menyusul sampai keuntungannya meningkat karena bertambahnya produktivitas (Grant and Posada, 1978).

Teknologi ada yang menghemat tenaga kerja (capital intensif) dan ada

pula yang menambah tenaga kerja (labor intensif). Teknologi penggunaan pupuk (terutama pupuk organic) misalnya, akan memerlukan tambahan tenaga kerja untuk melaksanakan pemupukan itu sendiri (frekuensi pemupukan tanaman padi terdapat tiga tahap) dan juga memerlukan tambahan tenaga kerja untuk membersihkan rumput yang semakin subur tumbuhnya sebagai akibat sampingan dari pemupukan tanaman utama. Teknologi pengendalian hama dan penyakit tanaman (terutama pengendalian organic) juga menambah tenaga kerja terlebih tanaman yang membutuhkan frekuensi tinggi dalam penyemprotan/pengendalian. Kasyrino (1985) meneliti pengaruh teknologi terhadap efisiensi ekonomi usahatani selama periode waktu tahun 1977-1983. Data yang dipergunakan adalah cross section dan time series untuk daerah Jawa Barat dan Jawa Timur.

Hasilnya mengemukakan bahwa dalam beberapa hal petani kelihatannya telah bertindak memaksimumkan keuntungan, misalnya untuk input pupuk dan obat- obatan, tetapi belum dalam sektor tenaga kerja. Agar produktivitas marjinal dari tenaga kerja lebih tinggi dari marjinal cost, maka sarannya adalah sebagian orang harus keluar dari sektor pertanian dan kekurangan tenaga kerja digantikan oleh tenaga mesin (traktor), yang akan menyebabkan biaya produksi menjadi turun. Dengan penggunaan traktor ternyata dapat meningkatkan efisiensi.

Penggunaan alat mekanis seperti traktor, alat panen mekanis dan alat-alat lainnya akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dari satu sisi (yaitu tenaga kerja pengguna mesin tersebut), sedangkan dari sisi yang lainnya memberi dampak negatif yaitu mengurangi lapangan kerja karena lebih sedikitnya tenaga kerja manusia yang diperlukan yang disebabkan oleh penggunaan alat mekanis tersebut. Oleh karena itu menurut Gotsch (1972), ramalan bahwa introduksi teknologi baru yang akan berdampak terhadap pemerataan pendapatan, tidak akan

mempunyai arti apabila sifat dari teknologi itu tidak dihubungkan dengan sifat sosial dan lembaga politik dari negara yang bersangkutan. Biasanya perubahan teknologi akan menimbulkan konflik antara golongan yang mendapat manfaat dengan golongan yang tidak memperoleh pelayanan dari teknologi tersebut. Perubahan teknologi dapat berdampak pada petani kaya menjadi semakin kaya namun petani miskin menjadi semakin miskin karena kehilangan pekerjaan, sebagai susbstitusi mekanisasi. Dengan demikian, inovasi teknologi baru harus dapat dipahami dan diadopsi secara merata baik oleh petani besar juga petani kecil sehingga semuanya mendapat manfaat, dengan kata lain teknologi tepat guna.

Ogunayinka dan Ajibefun (2004) juga mendukung bahwa kesadaran dan pemahaman petani terhadap teknologi yang efisien merupakan faktor kunci yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan. Penelitian Kalijaran (1984) yang menggunakan model frontier stokastik translog untuk meneliti bagaimana teknologi baru mempengaruhi tingkat produksi usahatani padi dari Filipina, menunjukkan adanya variasi efisiensi teknis yang lebar, yaitu pada kisaran 42.00-91.00 persen. Kalijaran menyimpulkan bahwa teknologi baru ini tidak sepenuhnya dipahami oleh para petani sampel. Seandainya saja petani memahami teknologi yang digunakan maka akan meningkatkan produktivitas.

Dalam penelitian Rawlins (1985) sebernarnya terdapat indikasi bahwa teknologi yang diterapkan tidak tepat guna, walaupun penulis menyimpulkan program teknologi telah berhasil menggeser frontier produksi peserta ke level yang lebih tinggi dengan cara meningkatkan taraf efisiensi teknis para petani kecil. Indikasi tersebut dilihat dari efisiensi teknis non-peserta yang lebih tinggi dari peserta Jamaican Second Integrated Rural Development Project (IRDPII). Efisiensi mencapai 75 persen untuk non-peserta dan 71 persen untuk peserta.

Krasachat (2000) menganalisis efisiensi teknis pertanian Thailand selama periode 1972-1994 dengan teknik DEA, menyimpulkan bahwa dari waktu ke waktu terjadi penurunan total efisiensi teknis, dan efisiensi skala. Demikian juga Goyal dan Suhag (2003) yang meneliti tingkat inefisiensi teknis usahatani gandum di negara bagian Haryana India. Penulis menggunakan fungsi produksi frontier stokastik, menggunakan data panel tidak seimbang selama tiga tahun 1996-1997 ke1997-1998, dan 1998-99. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi teknis

bervariasi dari waktu ke waktu dan cenderung menurun. Efisiensi teknis menurun dari 0.92 pada tahun ke-1 menjadi 0.90 pada tahun ke-3. Penulis menyimpulkan bahwa faktor sosial ekonomi dan berbagai teknologi mempengaruhi meningkatnya inefisiensi dalam produksi gandum di India.

Sebenarnya jika teknologi yang diterapkan adalah tepat guna dan labor intensif, hal itu akan meningkatkan efisiensi dan pemerataan pendapatan. Seperti penelitian Raju di India (1976) bahwa penggunaan teknologi benih unggul dan pupuk buatan telah meningkatkan pendapatan petani dan juga berdampak pada pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan. Demikian halnya dengan penelitian Soejono (1977) untuk kasus di Indonesia.

Perubahan teknologi dapat menurunkan fungsi biaya rata-rata jangka panjang (cost function downward) atau meningkatkan fungsi penawaran (supply function downward). Dalam kondisi permintaan dan penawaran terhadap padi adalah inelastis, maka dengan penggunaan teknologi baru, yaitu produksi padi meningkat, akan menggeser kurva penawaran ke kanan yang berdampak pada penurunan total penerimaan petani padi. Dampak perubahan penerimaan sebagai akibat penggunaan teknologi baru telah diteliti oleh Hayami dan Herdt (1977) dan Srivastava and Heady (1973) di India dan hasilnya adalah walaupun penerimaan turun namun keuntungan meningkat sebagai dampak efisiensi. Sinaga (1978) di Indonesia juga menyimpulkan bahwa teknologi dapat meningkatkan keuntungan petani. Namun oleh karena teknologi tersebut tidak tepat guna maka tidak dapat memperbaiki sumbangan tenaga kerja di bidang pertanian. Oleh karena itu teknologi dalam penggunaannya haruslah bersifat selektif dan dengan suatu program terinci yang dapat memberi lapangan pekerjaan yang berkesinambungan. Jika banyak tenaga kerja yang disingkirkan akibat teknologi dan mereka tidak dapat disalurkan ke alternatif sektor yang lain, maka teknologi berdampak pada membesarnya ketimpangan distribusi pendapatan di pedesaan.

Terobosan teknologi baru diperlukan saat ruang peningkatan efisiensi sangat kecil atau hampir mencapai maksimum. Jika segala upaya telah dilakukan dalam pencapaian target produksi dan telah mencapai efisiensi yang tinggi maka satu-satunya cara adalah dengan terobosan teknologi baru. Hanya saja untuk kasus di negara berkembang, teknologi yang ditawarkan haruslah tepat guna dan labor

intensif sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara merata. Salah satu teknologi tepat guna untuk padi di negara berkembang yaitu teknologi benih unggul (produktivitas tinggi, umur pendek, tahan kekeringan dan rendaman, tahan roboh karena angin, tahan hama penyakit, dan rasanya enak) karena pemakaian benih unggul dapat meningkatkan efisiensi (Kalirajan dan Flinn, 1983; Sharif dan Dar, 1996; Tian dan Wan, 2000; Fuwa, et al., 2005; Azad, Mustafi dan Hossian , 2008;

Saka dan Lawal, 2009).

Kondisi leveling off productivity terjadi di Nigeria. Penelitian Femi, et.al

(2004) di Nigeria mencoba membedakan efisiensi teknik usahatani padi dengan dua varietas yaitu varietas tradisional dan varietas baru. Rata-rata efisiensi teknik pada kedua kelompok petani bernilai lebih dari 0.9 yang mengindikasikan kecilnya peluang untuk meningkatkan efisiensi pada kondisi teknologi yang ada. Kondisi ini menuntut terobosan teknologi lain yang dapat menggeser frontier lebih ke atas lagi.

Demikian pula penelitian Okoruwa, et al (2006) menghasilkan rata-rata efisiensi teknik dua kelompok petani (benih tradisional dan modern) bernilai lebih dari 0.9 yang mengindikasikan kecilnya peluang untuk meningkatkan efisiensi pada kondisi teknologi yang ada. Persamaan kondisi efisiensi teknik antara kedua kelompok menunjukkan dampak program pembangunan usahatani padi yang intensif selama beberapa decade di Nigeria, dimana melalui program tersebut menghasilkan efisiensi teknis yang sama walaupun terdapat perbedaan varietas. Dengan demikian untuk mengembangkan usahatani padi di Nigeria diperlukan terobosan teknologi baru yang lain.

2.3. Pengaruh Agroekosistem Antar Wilayah Terhadap Efisiensi Usahatani

Dokumen terkait