• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Pengaturan yang digunakan dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis Internasional E-commerce di Indonesia

commit to user BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Pengaturan yang digunakan dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis Internasional E-commerce di Indonesia

Transaksi-transaksi atau hubungan bisnis yang menggunakan e-commerce

ini pada dasarnya bermacam-macam seperti hubungan jual-beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dan lain-lain. Transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan konflik atau sengketa. Berkaitan dengan sengketa dan bagaimana cara menyelesaikannya adalah inheren dalam setiap sistem hukum, termasuk dalam sistem hukum Internasional, perbedaan pendapat dan bagaimana para subyek hukum mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat ini untuk sampai pada suatu penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa, baik secara sukarela maupun karena dirasakan sebagai kewajiban sebagai anggota masyarakat yang diatur sistem hukum yang bersangkutan, akan memperkuat dan memperkaya sis-tem hukum yang bersangkutan secara normatif maupun dalam implementasinya

sebagaimana yang dikemukakan oleh Shabtai Rosenne bahwa “Dispute and

controversy are the life blood of international law (as of all law) without which international law would degenerate simply into an abstraction, unrelated to what

is happening in the world,”yaitu perselisihan dan kontroversi adalah nyawa dari

hukum internasional (sebagai hukum semua) tanpa yang hukum internasional akan menurun hanya sebuah abstraksi, tidak berhubungan dengan apa yang sedang terjadi di dunia (http//:mkn.perdagangan internasional.blog.com: diakses tanggal 15 Agustus 2010).

Salah satu fungsi dari penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis yang

menggunakan e-commerce adalah agar norma-norma hukum yang mengatur

hubungan di antara anggota masyarakat dipatuhi, dengan perkataan lain di dalamnya terkandung fungsi pengawasan, dalam masyarakat nasional pengawasan ini dipercayakan kepada suatu lembaga yaitu negara, sedangkan dalam

commit to user

masyarakat internasional yang tidak terdapat atau mempunyai kekuatan sentral maka pengawasan ini diserahkan kepada para anggotanya sendiri. Transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce salah satu institusi yang terkait dengan pengawasan terhadap kepastian atau pengesahan terhadap identitas dari seseorang atau pelanggan adalah apa yang disebut dengan Certification Authority

(CA), C.A. berkedudukan sebagai pihak ketiga yang dipercaya untuk memberikan kepastian atau pengesahan terhadap identitas dari seseorangatau pelanggan (klien C.A. tersebut), selain itu C.A. juga mengesahkan pasangan kunci publik dan kunci privat milik orang tersebut. Proses sertifikasi untuk mendapatkan pengesahan dari C.A. dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahap:

1. Pelanggan atau subscriber membuat sendiri pasangan kunci privat dan kunci publiknya dengan menggunakan software yang ada di dalam komputernya. 2. Menunjukkan bukti-bukti identitas dirinya sesuai dengan yang disyaratkan

C.A.

3. Membuktikan bahwa dia mempunyai kunci privat yang dapat dipasangkan

dengan kunci publik tanpa harus memperlihatkan kunci privatnya.

Tahapan-tahapan tersebut tidak mutlak harus seperti di atas, akan tetapi tergantung pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh C.A. itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan level atau tingkatan dari sertifikat yang diterbitkannya dan level atau tingkatan ini berkaitan juga dengan besarnya kewenangan yang diperoleh pelanggan atau “subscriber” berdasarkan sertifikat yang didapatkannya. Semakin besar kewenangannya yang diperoleh dari suatu Digital Certificate yang diterbitkan oleh C.A., semakin tinggi pula level sertifikat yang diperoleh serta semakin ketat pula persyaratan yang ditetapkan oleh C.A.. Sebagai contoh, untuk mendapatkan suatu sertifikat yang mempunyai level kewenangan yang cukup tinggi, terkadang C.A. bahkan memerlukan kehadiran secara fisik si “subscriber”

sehingga C.A. dapat memperoleh kepastian pihak yang akan memperoleh sertifikat tersebut, setelah persyaratan-persyaratan tersebut diuji keabsahannya

maka C.A. menerbitkan sertifikat pengesahan (dapat berbentuk hard-copy

maupun soft-copy).“Subscriber” telah diumumkan secara luas sebelumnya, terlebih dahulu mempunyai hak untuk melihat apakah informasi-informasi yang

commit to user

ada pada sertifikat tersebut telah sesuai atau belum. Jika informasi-informasi tersebut telah sesuai, maka subscriber berdapat mengumumkan sertifikat tersebut secara luas atau tindakan tersebut dapat diwakilkan kepada C.A. atau suatu badan lain yang berwenang untuk itu (suatu lembaga notariat). Selain untuk memenuhi sifat integrity dan authenticity dari sertifikat tersebut, C.A. akan membubuhkan

digital signature miliknya pada sertifikat tersebut.

Informasi-informasi yang terdapat di dalam sertifikat tersebut di antaranya dapat berupa :

1. Identitas C.A. yang menerbitkannya.

2. Pemegang atau pemilikatau subscriber dari sertifikat tersebut. 3. Batas waktu keberlakuan sertifikat tersebut.

4. Kunci publik dari pemilik sertifikat.

Setelah sertifikat tersebut diumumkan maka pihak-pihak lain dapat melakukan transaksi, transfer pesan dan berbagai kegiatan dengan media internet secara aman dengan pihak pemilik sertifikat. Fungsi-fungsi C.A yang telah kita bicarakan di atas dapat kita golongkan sebagai berikut :

1. Mernbentuk hierarki bagi penandatanganan digital.

2. Mengumumkan peraturan-peraturan mengenai penerbitan sertifikat. 3. Menerima dan memeriksa pendaftaran yang diajukan.

Berkaitan dengan konteks transaksi bisnis internasional yang menggunakan

e-commerce dalam fungsi pengawasan internasional ada baiknya kita lihat

pendapat Van Hoof sebagaimana dikutip dalam buku Diana Anastasya yang membagi pengawasan internasional ini menjadi tiga fungsi (Diana Anastasya, 2001:36):

1. Review Function : pada umumnya “review” diartikan sebagai mengukur atau

menilai sesuatu berdasarkan tolak ukur tertentu, dalam konteks hukum hal ini berarti menilai sesuatu perilaku untuk menentukan kesesuaiannya dengan

aturan hukum, review function dalam hubungannya dengan negara

dilaksanakan apabila perilaku suatu negara dinilai menurut hukum internasional oleh suatu lembaga pengawasan yang mempunyai status internasional, pengawasan ini dilakukan oleh suatu negara atau lebih atau

commit to user

oleh suatu lembaga yang dibentuk menurut perjanjian internasional. Hasil dari pengawasan ini adalah suatu keputusan tentang sesuai tidaknya tindakan dengan hukum.

2. Correction Function: fungsi ini dilaksanakan manakala telah timbul suatu

keadaan yang bertentangan dengan hukum internasional, namun demikian fungsi ini dapat pula bersifat preventif, misalnya dalam transaksi bisnis

internasional yang menggunakan e-commerce, CA dapat memberitahukan

apabila ternyata identitas dari seseorang atau pelanggan (klien C.A. tersebut) ternyata tidak valid atau tidak benar. Tujuan dari correction function ini adalah untuk menjamin dan memastikan kepatuhan terhadap aturan-aturan hukum para pihak, oleh karena itu terhadap pelanggarnya harus diperbaiki atau dikoreksi.

3. Creative Function: sekalipun review dan creative function merupakan bagian

pokok dari pengawasan, namun pengawasan ini juga dapat berfungsi kreatif, terutama dalam hukum internasional, hal ini disebabkan karena tidak adanya semacam lembaga eksekutif dan judikatif, tindakan-tindakan legislatif seringkali abstrak dan tidak jelas, oleh karena itu usaha untuk memperjelas norma-norma hukum internasional ini khususnya berkaitan dengan transaksi

bisnis yang menggunakan e-commerce merupakan bagian dari fungsi

pengawasan yaitu fungsi kreatif, jadi fungsi kreatif ini berupa penafsiran atas aturan-aturan hukum internasional yang belum jelas.

Dalam kerangka teoritis tersebut di atas maka mekanisme penyelesaian

sengketa internasional, (khususnya transaksi bisnis yang menggunakan

e-commerce) merupakan salah satu bentuk dari mekanisme pengawasan dalam

hukum internasional.

Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang

menggunakan e-commerce dan pengaturanya hukumnya di Indonesia dapat di

commit to user

Tabel 1. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa bisnis internasional yang menggunakan e-commerce dan pengaturan hukumnya di Indonesia

No Prinsip-prinsip yang Digunakan dalam

Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional e-commerce

Pengaturan dalam Hukum Indonesia

1 Prinsip kesepakatan para pihak

(Konsensus)

UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 4 ayat (1)

2 Prinsip kebebasan memilih

cara-cara penyelesaian sengketa

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 18 ayat (4)

3 Prinsip kebebasan memilih

hukum

a. UU No. 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 18 ayat (2)

b. UU No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 56 ayat (2)

4 Prinsip itikad baik (good faith) KUH Perdata Pasal 1338 ayat (3)

5 Prinsip Exhaustion of Local

Remedies

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 2

Penjelasan berdasarkan Tabel 1 dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)

Prinsip kesepakatan para pihak ini merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa bisnis internasional termasuk transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce, karena prinsip ini yang merupakan dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak. Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri atau tidak, jadi prinsip ini sangat esensial dan logis karena dalam suatu sengketa setidak-tidaknya ada kehendak para pihak yang saling berseberangan atau

commit to user

bertentangan dan tentu saja kesepakatan para pihak untuk memilih cara-cara penyelesaian sengketa tersebut adalah sangat penting, badan-badan peradilan (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang telah menjadi kesepakatan para pihak ini. Lingkup pengertian kesepakatan ini adalah sebagai berikut (Huala Adolf, 2003).

a. Bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya melakukan tindakan yang mengarah kepada penipuan, menekan atau berupaya menyesatkan pihak lainnya.

b. Bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan para pihak, artinya pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.

Prinsip diatas termuat dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatife Penyelesaian Sengketa yaitu: ” Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka”. Dari Pasal tersebut menjelaskan bahwa dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan hasil kesepakatan para pihak sehinngga para pihak harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan.

2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa

Prinsip ini mengandung makna di mana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (Principle of free choice of means). Prinsip ini

termuat dalam Pasal 7 The UNCITRAL Model Law on International

commercial Arbitration, Pasal ini memuat mengenai definisi perjanjian

arbitrase, yaitu perjanjian menyerahkan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak, artinya penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya. Bahwasanya para pihak dalam hal terjadinya sengketa antara mereka mempunyai kebebasan penuh untuk memilih cara-cara apa yang

commit to user

mereka gunakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi tersebut (Huala Adolf, 2003:74).

Kebebasan memilih cara penyelesaian sengketa di Indonesia juga diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: ”Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang

dibuatnya”. Isi Pasal tersebut menjelaskan bahwa para pihak dalam transaksi

e-commerce apabila terjadi sengketa diantara mereka mempunyai kebebasan

memilih cara penyelesaian sengketa.

3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum

Prinsip kebebasan memilih hukum ini juga merupakan salah satu prinsip penting dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk juga kebebasan untuk memilih kepatutan atau kelayakan

(exaequo etbono).

Prinsip ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutuskan sengketa berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan atas suatu penyelesaian sengketa, contoh kebebasan memilih ini yang harus dihormati

oleh badan peradilan adalah Pasal 28 ayat (1) UNCTTRAL Model Law on

International Commercial Arbitration adalah sebagai berikut :

The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such

rules of law as are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute, Any designation of the law or legal system of a given state shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that state and not to its conflict of law rules”

Kebebasan dalam memilih hukum ini (Lex Cause) sudah barang tentu ada batas-batasnya, hal yang paling umum dikenal balk dalam sistem hukum

Common Law maupun Civil Law adalah bahwa kebebasan memilih hukum

tersebut harus (Huala Adolf, 2003:76):

a. Tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau ketertiban umum; b. Kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;

commit to user