• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pilihan Hukum yang Berlaku dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis E-commerce melalui Arbitrase Transaksi Bisnis E-commerce melalui Arbitrase

commit to user 5.Prinsip Exhaustion of Local Remedies

B. Pilihan Hukum yang Berlaku dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis E-commerce melalui Arbitrase Transaksi Bisnis E-commerce melalui Arbitrase

Masalah hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce adalah salah satu masalah krusial dalam hukum kontrak internasional termasuk dalam hukum perdagangan internasional, masalahnya adalah hukum yang berlaku ini akan menjadi penentu kepastian hukum terutama bagi badan peradilan bahwa ia telah menetapkan hukumnya dengan benar, dalam hal ini badan peradilan tidak mengambil jalan pintas dalam menetapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa yang dibawa kehadapannya.

Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) UU ITE pada dasarnya mengatur berkaitan dengan hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce, sebagai berikut: ayat (2) “Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya”, ayat (3) “dan apabila para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas-asas Hukum Perdata Internasiona”l.

Pilihan hukum (choice of law, proper law atau applicable law) suatu hukum nasional dari suatu negara tertentu berarti bahwa badan peradilan negara tersebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya, dan pada prinsipnya choice of law ini berbeda dengan choice of forum sebagai peran choice

of law dalam transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce adalah

hukum yang akan digunakan oleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase) dalam hal :

1. Menentukan keabsahan suatu kontrak dagang (dalam konteks ini khusus

berkaitan dengan sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan

e-commerce);

2. Menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan atau persetujuan dalam kontrak yang dibuat para pihak;

3. Menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi yang menjadi objek kontrak tersebut (pelaksanaan suatu kontrak dagang);

commit to user

4. Menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap kontrak yang telah disepakati para pihak.

Hukum yang berlaku ini dapat mencangkup beberapa macam hukum, hukum-hukum tersebut adalah :

1. Hukum yang diterapkan dalam hal terhadap pokok sengketa (applicable

substantive law atau lex causae);

2. Hukum yang akan berlaku untuk proses persidangan yang akan dilaksanakan dalam penyelesaian perselisihanatau sengketa yang terjadi antara para pihak.

Hukum yang berlaku ini akan sedikit banyak bergantung pada kesepakatan para pihak, hukum yang akan berlaku tersebut dapat berupa hukum nasional suatu negara tertentu, biasanya hukum nasional tersebut ada atau terkait dengan nasionalitas salah satu pihak, cara pemilihan inilah yang lazim ditetapkan dewasa ini. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak sepakat mengenai salah satu hukum nasional tersebut, biasanya kemudian mereka akan berupaya mencari hukum nasional yang relatif lebih netral.

Alternatif lainnya yang memungkinkan dalam hukum perdagangan internasional adalah menerapkan prinsip-prinsip kepatutan dan kelayakan (ex

aequo et bono) namun demikian penerapan prinsip ini pun harus berdasarkan pada

kesepakatan para pihak. Menurut Gerald Cooke, kebebasan para pihak untuk menentukan pilihan hukum yang mereka gunakan akan banyak dipengaruhi oleh sistem hukum nasional yang akan dipilih (baik oleh salah satu pihak maupun oleh kedua belah pihak), tidak hanya sekedar menentukan hukum suatu negara, tetapi juga mempertimbangkan apakah hukum di negara tersebut konsisten atau tidak, artinya apakah hukum di suatu negara tertentu sering berubah-ubah atau tidak. Dengan tegas Cooke menyatakan sebagai berikut (Gerald Cooke , 2001:22):

“The significance of needing to provide for the 'prover' law is that the parties will frequently prefer to have their disputes dealt with by a legal system which is perhaps independent of each of the parties or which is recognized to have highly sophisticated and consistent trading law”

Arti pentingnya perlu memberikan standar benar kepada para pihak untuk memilih hukum yang digunakan sebagai penyelesaian perselisihan mereka alami

commit to user

oleh sistem hukum yang mungkin independen dari salah satu pihak atau yang memiliki sangat canggih dan koheren hukum dagang.

Hukum nasional Indonesia menjelaskan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, yaitu dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa hukum yang akan diberlakukan oleh para pihak diserahkan sepenuhnya kepada mereka, Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut menyatakan sebagai berikut: “para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin telah timbul antara para pihak”.

Model Arbitration Law 1985 juga mengandung prinsip yang sama dalam hal hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa ini. Pasal 28 Model Law menggariskan sebagai berikut :

1. The arbital tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of

law as are chosen by the parties as applicable to, the substance of the dispute, any designation of the law or legal, system of a given state shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that state and not to its conflict of law rules.

2. Failing any designation by the parties, the arbital tribunal shall apply the law

determined by the conflict of law rules which it considers applicable.

3. The arbital tribunal shall decide ex aequo ot bono or amiable compositeur

only if the parties expressly authorized to do so.

4. In all cases, the arbital tribunal shall decide in accordance with the terms of

the contract and shall take into account the usages of the trade applicable to

the transaction.

Kedua instrumen hukum di atas menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang cukup penting. Pertama, yang menonjol adalah bahwa kedua instrumen berbeda dalam hal prioritas pengaturan mengenai hukum yang berlaku terhadap kontrak, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menekankan arbiter atau badan arbitrase harus menyandarkan pada hukum untuk mengambil suatu putusan, Pasal ini tidak mensyaratkan atau menentukan bahwa hukum yang akan diterapkan tersebut haruslah pilihan hukum para pihak, sementara itu Model Law dengan

commit to user

tegas menyatakan bahwa badan arbitrase harus menetapkan hukum yang dipilih para pihak. Kedua, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 membolehkan arbiter atau badan arbitrase untuk menerapkan ex aequo ot bono (Pasal 56 ayat (1)), ketentuan yang sama dengan Model Law tercantum dalam Pasal 28 ayat (3), bedanya adalah Undang-Undang nasional kita tidak dengan tegas menyatakan bahwa penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan apabila para pihak dengan tegas memerintahkan hal tersebut. Penjelasan Pasal 56 hanya menyebutkan “dalam hal arbiter diberi kebebasan” rumusan ini tidak dengan tegas siapa yang memberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan. Ketiga, adalah masalah ketika para pihak tidak memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dalam hal ini, UU nasional kita dan Model Law memuat aturan yang berbeda, UU nasional kita tampaknya menganut jalan pintas. Penjelasan Pasal 56 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 bahwa apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbiter atau badan arbitrase harus menerapkan hukum tempat arbitrase dilakukan, sementara itu

Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak tidak memilih hukum, badan

arbitrase atau arbiter harus mengacu kepada hukum yang ditentukan berdasarkan aturan-aturan hukum perdata internasional (conflict of law rules) yang dianggap berlaku oleh arbiter atau badan arbitrase.

Oleh karena sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan

e-commerce ini menyangkut asas-asas dalam hukum perdata internasional, maka

berarti harus ditinjau dari segi Hukum Perdata Internasional (HPI). Hukum perdata negara mana dapat diketahui bahwa hukum perdata yang diberlakukan dalam rangka penyelesaian sengketa mengenai transaksi e-commerce antarnegara, maka perlu diketahui asas-asas maupun prinsip-prinsip yang diatur di dalam Hukum Perdata Internasional (HPI). Hukum Perdata Internasional (HPI) memuat istilah pilihan hukum atau (choice of law), sedangkan S. Gautama menyebutnya sebagai “Rechtskenze” atau “Rechtswakl”. Pilihan hukum merupakan masalah sentral dalam Hukum Perdata Internasional. la telah diterima baik di kalangan akademisi maupun praktek pengadilan. Yansen Derwanto Latif, sebagaimana

commit to user

dikutip oleh Ridwan Khairandy menyebutkan bahwa pilihan hukum dihormati dengan beberapa alasan, yaitu (Ridwan Khairandy, 2007:127) :

1. Pilihan hukum sebagaimana dimaksud para pihak, dianggap sangat

memuaskan oleh mereka yang menganggap kebebasan akhir individu adalah dasar murni dari hukum. Prinsip ini berlaku dibanyak Negara. Hal ini merupakan fakta yang menarik karena hal itu terjadi tanpa ada perjanjian antara pengadilan di berbagai Negara.

2. Pilihan hukum dalam kontrak internasional memberikan kepastian, yakni

memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukum yang mengatur kontrak tersebut.

3. Akan memberikan efisiensi, manfaat dan keuntungan. Alasan tersebut

memberikan keuntungan untuk menghindari hukum memaksa yang tidak efisien, meningkatkan persaingan hukum dan mengurangi ketidakpastian tentang hukum yang digunakan.

4. Pilihan hukum akan memberikan kepada negara insentif bersaing. Kebebasan para pihak memilih dan menentukan hukum yang berlaku bagi kontrak yang mereka buat, yang berarti tidak semata-mata hak mereka untuk menggantikan atau memindahkan peraturan yang tidak pasti dari

setiap sistem hukum.

Pada dasarnya para pihak bebas untuk menentukan pilihan hukum dengan mengingat beberapa pembatasan :

1. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

2. Pilihan hukum tidak mengenai hukum yang bersifat memaksa.

3. Pilihan hukum diperkenankan berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

Kebebasan tersebut bukan tidak ada batasnya tetapi dibatasi oleh ketentuan ketertiban umum (public policy) dan hukum yang memaksa (dwingen recht). Pembatasan-pembatasan tersebut ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi kehidupan modern, seperti perlindungan konsumen, pencegahan penyalahgunaan wewenang dari penguasa ekonomi serta menjaga iklim persaingan yang adil dalam ekonomi pasar.

commit to user

4 (empat) macam pilihan hukum yang dikenal dalam Hukum Perdata Internasional (HPI), yaitu (Ridwan Khairandy, 2007:130):

1. Pilihan hukum secara tegas, di dalam klausula kontrak tertentu dapat dilihat adanya pilihan hukum yang ditentukan secara tegas dan jelas oleh para pihak.

2. Pilihan hukum secara diam-diam, para pihak dalam suatu kontrak dapat

memilih hukum secara diam-diam. Hal ini dapat disimpulkan dari maksud, ketentuan-ketentuan dan fakta-fakta yang terdapat dalam kontrak tersebut. Misalnya bahasa yang digunakan, mata uang yang digunakan, gaya kontrak, pelaksanaan kontrak dan pilihan domisili.

3. Pilihan hukum yang dianggap, pilihan hukum secara ini dianggap hanya

merupakan presumption iuris, atau suatu dugaan hukum. Hakim menerima telah terjadi suatu pilihan hukum berdasar dugaan belaka. Dugaan hakim merupakan pegangan yang dipandang cukup untuk mempertahankan bahwa para pihak benar-benar telah menghendaki berlakunya suatu sistem hukum tertentu.

4. Pilihan hukum secara hipotesis, sebenarnya para pihak tidak menentukan pilihan hukum, namun hakimlah yang memilih. Hakim yang melakukan pilihan hukum, Hakim bekerja dengan fiksi.

Kontrak mengenai transaksi bisnis e-commerce antar negara, tidak

semuanya memuat dan menggunakan kontrak sebagaimana kontrak bisnis pada umumnya, akan tetapi dalam transaksi bisnis yang berhubungan dengan software

umumnya para pihak (penjual) menentukan adanya pilihan hukum baik secara tegas maupun diam-diam, dan umumnya hukum yang diberlakukan dalam hal jika terjadinya sengketa antara mereka adalah hukum dari negara penjual software, misalnya jika yang menjual software tersebut adalah Amerika Serikat maka dalam kontrak pembelian software tersebut akan dinyatakan bahwa jika terjadi sengketa maka perdata negara yang dipilih adalah Hukum Amerika Serikat. Dengan adanya pilihan hukum tersebut, para pihak yang membuat kontrak dalam transaksi bisnis e-commerce harus tunduk dan taat pada hukum yang ditentukan (Ridwan Khairandi, 2007:135).

commit to user

Sebaliknya, apabila dalam kontrak mengenai transaksi e-commerce, para pihak tidak menentukan adanya pilihan hukum, maka jelas menimbulkan masalah mengenai hukum perdata negara mana yang akan diberlakukan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Maka dapat menggunakan asas-asas HPI untuk menentukan hokum yang berlaku yaitu:

1. Lex Loci Contractus

Lex Loci Contractus ini adalah teori klasik, di mana ditentukan bahwa

hukum yang berlaku bagi suatu kontrak internasional adalah hukum di mana tempat perjanjian atau kontrak itu dibuat. Dalam Pasal 18 AB disebutkan bahwa: "De vorm van elke handeling wordbeoordeeld naarde wetten van net

land of de plaats, alwaardie handeling is verrigt". terjemahannya adalah

"bentuk dari tiap perbuatan ditentukan oleh Undang-Undang (hukum) dari negara atau tempat di mana perbuatan tersebut telah dilakukan (Werhan Asmin, 2003:89).

Transaksi bisnis konvensional di mana para pihak yang mengadakan kontrak berada pada tempat yang sama (face to face) mungkin teori ini masih dapat digunakan, namun pada saat sekarang apalagi berkaitan dengan transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce maka teori ini sulit sekali untuk dapat diterapkan karena dalam transaksi bisnis yang menggunakan

e-commerce tersebut para pihak yang mengadakan kontrak tidak hadiratautidak

berada pada tempat yang sama, sehingga tidak mudah untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi kontrak tersebut apalagi menyangkut beberapa negara karena sangat sulit untuk bisa menentukan di mana kontrak tersebut terjadi.

2. Mail Box Theory dan Theory of Declaration

Kesulitan pada penerapan teori lex loci contractus dapat diatasi, maka

negara-negara Common Law memperkenalkan Mail Box Theory, di mana

dalam teori ini dinyatakan bahwa kedua belah pihak dalam suatu kontrak tidak saling bertemu muka, maka yang terpenting adalah salah satu pihak mengirimkan surat yang berisi penerimaan atas tawaran kontrak tersebut, dalam hal ini hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut adalah hukum, negara

commit to user

pihak yang mengirimkan penerimaan penawaran tadi, Sudargo Gautama memberikan contoh; A yang berada di Negara X menawarkan kepada B di negara Y (negara common law) suatu barang dengan kondisi tertentu, B kemudian menulis surat penerimaannya dan memposkannya di negara Y, jadi jika diterima lex loci contractus di negara Y, maka hukum yang berlaku adalah hukum negara Y( Sudargo Gautama, 1989:50)

Adanya perbedaan ini tidak dapat ditentukan di mana tempat dilangsungkannya perjanjian, permasalahan ini penting artinya dalam hubungannya dengan penentuan di hadapan forum hakim mana perkara ini dapat diajukan. Jadi walaupun posisi kasusnya sama bisa saja hasilnya akan berbeda, di samping itu penggunaan lex loci contractus ini dapat menimbulkan digunakannya hukum yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kontrak yang bersangkutan.

Menurut teori ini, suatu kontrak atau perjanjian terjadi pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos. Dalam hal transaksi e-commerce maka hukum yang berlaku adalah hukum dimana pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya. Teori ini mempunyai kelemahan sebab ada kemungkinan pihak lawan tidak menerima pesannya atau terlambat menerima pesan tersebut. Oleh karena itu diperlukan konfirmasi pihak penjual.

3. Lex Loci Solution

Teori ini hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah tempat di mana kontrak itu tersebut dilaksanakan. Sudargo Gautama menjelaskan dalam praktek hukum internasional umumnya diakui bahwa berbagai peristiwa tertentu dipastikan oleh hukum yang berlaku pada tempat pelaksanaan kontrak. Berkaitan dengan hal ini ketentuan Pasal 18, A-B juga menentukan bahwa suatu permasalahan yang berkaitan dengan perbuatan hukum harus diselesaikan berdasarkan hukum dimana perbuatan itu dilaksanakan, kontrak adalah suatu perbuatan hukum, dengan perkataan lain bahwa kontrak adalah bagian dari perbuatan hukum, sehingga dalam hal ini jika ada perkara kontrak

commit to user

yang mengandung unsur asing di Indonesia, dan ternyata tidak dijumpai klausula pilihan hukum dalam penyelesaian sengketanya maka harus diselesaikan berdasarkan hukum negara di mana kontrak itu dilaksanakan, misalnya A yang berada di Bandung membeli suatu barang dari perusahaan B yang berada di Amerika, kemudian barang-barang tersebut diserahkan di Bandung, barang tersebut telah diterima di Bandung, karena merasa telah dirugikan karena A wanprestasi dalam hal pembayaran maka Perusahaan B menggugat A di pengadilan negeri Bandung, jika ternyata dalam klausula kontrak mereka tidak dijumpai adanya pilihan hukum maka pengadilan dapat menyelesaikan perkara wanprestasi ini didasarkan kepada hukum Indonesia, karena perjanjian dilaksanakan di Bandung, Indonesia (Sudargo Gautama, 1989:54).

Penerapan teori ini dalam praktek juga sering menimbulkan berbagai permasalahan, karena saat ini para pihak yang melakukan kontrak dapat melaksanakan kontrak di berbagai negara, sehingga dalam konteks ini akan mengalami kesulitan hukum negara mana yang akan diberlakukan mengingat ada beberapa negara yang terlibat dalam melaksanakan kontrak tersebut.

4. The Proper Law of Contract

Prinsipnya asas ini tidak akan digunakan jika para pihak memilih suatu sistem hukum tertentu ketika kontrak dibuat (pilihan hukum), pengadilan akan menerapkan sistem hukum lain yang bertujuan untuk menyesuaikan maksud para pihak, walaupun sudah ada pilihan hukum, pengadilan masih memperhatikan lex loci contractus dengan menafsirkan hal-hal yang tidak terkait dengan hukum suatu negara di mana kontrak itu dibuat, jadi pengadilan lebih mengutamakan hukum suatu negara dengan menggunakan pandangan pada suatu hukum di mana kontrak itu dibuat.

Pengadilan Kanada mengadopsi doktrin Proper law yang kemudian

banyak dimodifikasi oleh Dicey dan Morris yaitu sebagai suatu sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak. Jika maksud para pihak baik yang diungkapkan secara tegas atau tidak dapat diketahui dari keadaan sekitarnya, maka digunakan suatu sistem hukum yang mempunyai kaitan paling erat dan

commit to user

paling nyata dengan transaksi yang terjadi. Ketika para pihak telah

mengungkapkan bahwa proper law yang mereka pilih, maka tidak ada

kesulitan untuk menerapkan hukum yang dikehendaki oleh para pihak, akan tetapi jika tidak disebutkan tentang proper law yang mereka pilih, hal ini tidak menjadi masalah apakah pengungkapan maksud mereka merupakan sistem hukum yang dikehendaki secara langsung oleh para pihak dalam kontrak, ataupun merupakan sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak yang paling berwenang dalam kontrak.

Berkaitan dengan permasalahan apakah doktrin proper law ini sebaiknya diformulasikan secara subjektif atau objektif, maka jika diterima pandangan bahwa para pihak dapat selalu memilih proper law secara tegas dengan batasan tertentu, maka perbedaan formulasi proper law secara subjektif dan objektif sangat penting, khususnya jika seseorang mempertimbangkan hasil-hasil yang diperoleh oleh pengadilan, hasil-hasilnya akan tetap sama apabila digunakan kedua formulasi tersebut. Jika tidak ada pilihan yang tegas, maka pengadilan akan menerapkan hukum suatu negara di mana kontrak tersebut dianggap berada, atau di mana transaksi tersebut mempunyai kaitan dengan faktor-faktor yang relevan yang mempunyai hubungan paling dekat dan subtansial, pengadilan akan menegaskan proper law secara objektif yang sesuai dengan fakta dan keadaan tiap kasus, termasuk tempat kontrak itu dibuat, tempat pelaksanaan kontrak, tempat kedudukan atau bisnis para pihak, subjek kontraknya, dan lain-lain. Formulasi doktrin proper law secara singkat dapat dinyatakan sebagai berikut: "Jika dalam suatu kontrak telah ditentukan sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak, maka pilihan hukum itulah yang akan diberlakukan bagi penyelesaian sengketa kontrak tersebut, namun jika kehendak itu tidak dinyatakan secara tegas, atau tidak dapat diketahui dari keadaan sekitarnya, maka proper law bagi kontrak tersebut adalah sistem hukum yang mempunyai kaitan yang paling erat dan nyata dengan transaksi yang terjadi" (Sudargo Gautama 1989: 58).

Sistem hukum dalam penentuannya yang mempunyai kaitan paling erat dan nyata dengan transaksi yang terjadi, pengadilan mempertimbangkan

commit to user

faktor-faktor relevan yang memungkinkan seperti tempat pembuatan kontrak dan tempat pelaksanaan kontrak, selain itu juga tetap diperhatikan aturan-aturan domestik suatu negara yang bersangkutan dan juga hubungan antara negara terhadap transaksi yang terjadi dan para pihaknya. Kepentingan negara yang bersangkutan terhadap putusan tentang hal-hal yang menyangkut kepentingan mereka juga harus diperhatikan, terlebih lagi jika negara tersebut mempunyai kepentingan yang lebih daripada pihak lainnya untuk menerapkan sistem hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan. Jika para pihak menyetujui pengadilan dari negara tertentu mempunyai eksklusif jurisdiksi terhadap kontrak tersebut, maka pengadilan akan berpendapat bahwa hukum yang dikehendaki para pihak adalah hukum yang diterapkan oleh negara itu. Adanya klausula tersebut bukanlah merupakan hal yang menentukan akan tetapi hal ini hanya merupakan bahan pertimbangan saja.

Tidak ada pernyataan tentang pilihan hukum proper law oleh para pihak

dalam kontrak mereka, pengadilan di common law, khususnya

Anglo-Canadian dalam menyatakan bahwa mereka akan menghubungkan setiap maksud para pihak atau menentukan proper law bagi para pihak dan dalam hal ini sistem hukum yang digunakan dalam kontrak adalah sistem hukum suatu negara di mana kontrak itu dianggap berlokasi, lokasi ini ditandai oleh pengelompokan elemen-elemen, berdasarkan fakta-fakta atau lainnya dalam transaksi tersebut.

Kelemahan teori ini menurut Sudargo Gautama adalah bahwa sebelum suatu perkara yang terjadi diajukan ke pengadilan, sukar sekali menentukan terlebih dahulu hukum mana yang berlaku bagi kontrak tersebut, sebab di sini hakim harus menyelidiki dulu dengan seksama semua titik taut yang ada dalam kontrak tersebut untuk menentukan hukum negara mana yang berlaku bagi kontrak itu (Sudargo Gautama, 1989:60).

5. Teori Most Characteristic Connection

Teori ini menurut Sudargo Gautama merupakan teori yang terbaik untuk dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan persoalan pemakaian