• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dewasa ini masih berlaku, merupakan produk warisan penjajahan Belanda di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan bahwa KUHP Indonesia itu sebenarnya sama sekali berasal dari KUHP Kerajaan Belanda yang diberlakukan Indonesia dengan beberapa penyesuaian disana-sini, kemudian diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia secara tidak resmi oleh para ahli hukum di Indonesia. Menurut Soedarto, teks resmi KUHP itu sendiri hingga kini secara formil masih dalam bahasa Belanda. Hal ini terjadi karena awal pertumbuhan hukum Indonesia modern, sangat banyak ditentukan oleh kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia, Jadi pengaruh Belanda sangat besar dalam hukum Indonesia.86 Dan sebenarnya pada awalnya pemberlakuan peraturan-peraturan hukum warisan Pemerintah Kolonial Belanda tersebut dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum (rehts vacuum). Hal ini disebabkan untuk mewujudkan sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia adalah sangat dibutuhkan pembicaraan yang tidak mudah dan waktu yang sangat panjang. 87 Melihat uraian tersebut, maka jelas menunjukkan bahwa KUHP yang berasal dari zaman Hindia Belanda seharusnya tidak bertahan lebih lama lagi karena awalnya hanya bertujuan untuk

86

Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hal 23-24 87

mengisi kekosongan hukum pada masa kemerdekaan dan seharusnya sudah diganti dengan KUHP baru yang sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kebudayaan bangsa Indonesia.

A. Pengertian zina

Tindak Pidana Perzinahan yang diatur didalam pasal 284 KUHP, adapun bunyinya sebagai berikut; 88

(1) “Dihukum Penjara selama-lamanya Sembilan bulan :

1e. a) Laki-laki yang beristeri, berbuat Zina, sedang diketahuinya pasal 27 KUHPerdata (sipil) berlaku padanya:

b) Perempuan yang bersuami berbuat Zina:

2e. a) Laki-laki yang melakukan perbuatan tersebut, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami:

b) Perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami.

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

88

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea Cetakan Kedelapan 1985), hal. 208

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Menurut Prof. Simons, untuk adanya suatu perzinaan menurut pengertian Pasal 284 ayat (1) KUHP, diperlukan adanya suatu vleeselijk gemenschap atau diperlukan adanya suatu hubungan alat kelamin yang selesai dilakukan antara dua orang dari jenis kelamin yang berbeda. 89

Menurut R. soesilo yang dimaksud dengan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Dan yang dimaksud dengan persetubuhan adalah peraduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak. Anggota kelamin laki-laki harus masuk kedalam anggota kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan (maaf) air mani, sesuai dengan Arrest Hooge Raad, tanggal 5 februari 1912 (W. 9292).90

Menurut Sugandhi pengertian umum zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum

89

P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, Delik-Delik KhususKejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, (Jakarta : Sinar Grafika 2009), hal 79

90

terikat perkawinan. Tetapi menurut pasal ini, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau sumainya. Supaya dapat dituntut menurut pasal ini, persetubuhan itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka, dan tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun. Dan menurut Hukum, baru dapat dikatakan “Persetubuhan”, apabila anggota kelamin pria telah masuk kedalam anggota kemaluan wanita demikian rupa sehingga akhirnya mengeluarkan mani91

B. Tujuan Tindak Pidana Perzinahan diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Dari sejarah orang dapat mengetahui adanya dua pandangan yang berbeda tentang apa sebabnya perzinahan perlu dipandang sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan pidana.

Dahulunya didalam hukum romawi, hanya wanita sajalah yang dapat dipersalahkan telah melakukan perzinaan, yakni isteri yang dengan melakukan hubungan kelamin dengan orang laki-laki yang bukan suaminya, telah dipandang sebagai suatu perbuatan merugikan hak seorang suami untuk menuntut kesetiaan dari isterinya dalam perkawinan. kemudian perlakuan didepan hukum yang tidak seimbang antara wanita dan pria telah diikuti oleh para pembentuk code penal Prancis, yakni seperti yang masih dapat dijumpai didalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 336 sampai dengan pasal 339 Code Penal. 92

91

R Sugandhi, KUHP dan penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional 1980), hal 300 92

Berbeda dengan hukum romawi yang memandang wanita mempunyai kedudukan yang rendah didepan hukum dibandingkan dengan pria, hukum Gereja Katolik telah menempatkan kedudukan wanita sederajat dengan kedudukan pria didepan hukum, hingga kemudian perzinaan telah dipandang sebagai suatu dosa yang dapat dilakukan baik oleh pria maupun oleh wanita, dan bagi Gereja telah dipandang sebagai suatu inbreuk op de heilige band van het huwelijk atau sebagai suatu penodaan terhadap ikatan suci dari suatu perkawinan.93 Inilah awal mula Perzinaan dianggap hanya sebagai Penodaan terhadap ikatan suci perkawinan. Yang kemudian diikuti oleh para pembentuk undang-undang di Negeri Belanda. Dan kemudian menganggap pelaku perzinahan tersebut haruslah orang yang sedang terikat didalam perikatan perkawinan yang sah.

Kemudian yang disebut perzinaan oleh pembentuk undang-undang telah dikaitkan dengan adanya suatu hubungan yang sifatnya tetap dan berlangsung dalam tenggang waktu yang relatif lama antara seorang pria yang telah menikah dan seorang wanita yang bukan isterinya atau antara seorang wanita yang telah menikah dengan seorang pria yang bukan suaminya, atau dengan kata lain telah dihubungkan dengan semacam bigami, yang dilakukan baik oleh seorang pria maupun oleh seorang wanita yang masih terikat dalam suatu perkawinan dengan isterinya atau dengan suaminya.94

93

Ibid, hal. 80-81 94

Tentang apa sebabnya bigamy itu telah dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, berkatalah Prof. Van Bemmelen dan Prof. van Hantum antara lain, bahwa: 95

De voornamste redden, waarom bigamie wordt straftbaar gesteld is dezeflde als bij overspel, n.I. om de exclusiviteit van de sexuale verbintenis, welke bij ons en in alle andere monogame landen haar

uitdrukking viendt in het huwelijk te bach baschermen.” Artinya:

“Alasan yang terutama dari dinyatakannya bigamy itu sebagai perbuatan yang terlarang adalah sama dengan alasan dilarangnya perzinaan, yakni berkenaan dengan sifatnya yang khusus dari perikatan seksual, maka dinegara kita dan dinegara-negara monogam lainnya telah dimaksud untuk memberikan perlindungan bagi perkawinan-perkawinan

Hal tersebut sebenarnya tidak bisa lepas keterkaitannya didalam keluarga hukum pidana eropa kontinental (dan Belanda merupakan Negara yang menganutnya. Penulis) ukuran agama (Religion Standart) tidak suka disebut-sebut oleh pembentuk undang-undang di Kontinen Eropa. Ini dikarenakan masa lampau yang melahirkan doktrin separation of state and church. Ukuran agama, sebagaimana agama itu sendiri, adalah urusan pribadi dimana Negara tidak mau campur tangan. Demikian pula halnya dengan standart moral kurang mendapat saluran dalam hukum pidana, karena pandangan hidup orang Eropa Barat yang

95

Individualistik. Sepanjang tidak merugikan orang lain, campur tangan pihak lain, termasuk hukum pidana dianggap tidak patut.96

Awalnya Isu pemisahan antara agama dan negara, atau yang lebih dikenal di Barat dengan istilah the separation of church and state (separasi negara dan gereja) ini telah menjadi kesepakatan bersama dalam ideologi-politik Barat, dan selanjutnya diterima dalam tatanan ideologi politik dunia yang pro Barat. Para penganut ideologi ini mengakui sendiri bahwa kelahirannya berkaitan erat dengan sejarah konflik peradaban Barat dengan agama Nasrani. mereka kemudian menganggapnya paham ini wajib diterapkan oleh setiap negara modern. Alasannya, asas pokok negara adalah kewarganegaraan, dan mayoritas negara-negara dunia bukanlah milik satu agama tertentu, dan bahkan sebagian warganya boleh jadi atheis. Jadi komitmen negara pada agama tertentu esensinya dianggap sebagai penindasan bagi pemeluk agama lain. Paham ini mengatakan idealnya negara harus menganut paham sekularisme (memisahkan antara agama dan negara). Tidak komitmen pada satu agama tertentu, dan tidak pula memerangi agama tertentu. Setiap warga negara bebas memilih agama dan keyakinan yang ia sukai, ia juga bebas menjalankan ritual ibadah apa pun. Selanjutnya Di abad terakhir muncul gerakan intelektual liberal yang menyatakan bahwa Injil bukanlah wahyu Allah, melainkan karya tulis manusia biasa yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya di masa mereka hidup. Jadi, beberapa perkara yang tercantum dalam Injil, seperti dukungan terhadap penyimpangan seksual (zina) bukanlah ajaran Kristen, tetapi nilai budaya masyarakat masa lalu. Pernyataan ini tidak

96

hanya dilontarkan oleh para politikus dan penguasa, tetapi para tokoh agama dan intelektual Kristen juga menyatakan hal yang sama. Bahkan kaum liberal pun mengakui bahwa sekularisme saat ini tidak lagi netral terhadap agama yang ada, bahkan ia telah berubah menjadi sebuah agama yang dibela oleh para pendukungnya, dan dijadikan senjata memerangi Kristen.97 Dan nilai-nilai tersebut pun akhirnya berkembang, lalu kemudian dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dengan menganggap perzinahan hanya dilakukan oleh orang yang terikat perkawinan (demi untuk menjaga perkawinan) seperti maksud yang ditujukan oleh pasal 284 KUHP.

Dinegeri Belanda misalnya, jika pada mulanya KUHP Belanda mengenal pasal-pasal yang sebanding dengan 284 (overspel) dan pasal 292 (perbuatan homoseks terhadap orang yang belum dewasa) maka pasal-pasal tersebut telah dihapus.98

Menurut J. M. Van Bammelen, di Belanda, Tindak Pidana perzinahan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 284 KUHP (di Belanda dimuat dipasal 241 Sr) telah dihapuskan berdasarkan Undang-Undang yang dikeluarkan pada tanggal 6 Mei 1971, S.291. menurut J. M. Van Bammelen dan Remmelink, komisi pelapor diparlemen (Belanda) berpendapat bahwa, jika “Kehormatan Kesusilaan” seseorang tidak dihina didepan umum, maka tidak ada alasan bagi “pembuat

97

Ja'far Abu Naufal Notes, Memisahkan Negara Dari Agama, http://lajafar. Wordpress .com/2013/05/27/memisahkan-negara-dari-agama/, diakses pada hari selasa 11 februari 2014

98

Undang-Undang” untuk menilai perbuatan yang dikutuk itu sebagai “kejahatan”, jika ditinjau dari sudut kesusilaan.99

Hal serupa juga dianut oleh keluarga hukum pidana Common law, seperti Inggris, Amerika Serikat, Canada, Australia, Selandia baru, dan lain-lain. Di Inggris, penghormatan terhadap kebebasan individu membuat konsekuensi negara tidak banyak campur tangan terhadap masalah-masalah yang dianggap merupakan masalah pribadi yang tidak merugikan orang lain. Moralitas masyarakat (sosial moriality) belaka atau ukuran agama belaka, tanpa adanya suatu akibat yang merugikan orang lain bukanlah dasar untuk mengkualifikasikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.100

Pandangan tersebut secara jelas dalam Report of the Committee on Homosexual Offence and Prostitution 1957, yaitu laporan dari suatu komite (Wolfenden Committee) yang bertugas memberikan rekomendasi mengenai masalah homoseksual dan pelacuran. Menurut Wolfenden Committee, fungsi hukum pidana adalah untuk memelihara ketertiban publik, untuk melindungi warga dari apa yang merupakan serangan atau tindakan yang merugikan dan untuk memberikan penjagaan yang cukup melawan pemerasan dan kebusukan orang lain, khususnya kepada mereka yang memiliki posisi/kondisi yang lemah, karena usia dibawah umur, fisik dan mental yang lemah, memiliki ketergantungan ekonomi dan jabatan tertentu.101

99

Neng Djubaedah, Op.Cit, hal 68-69 100

Eman Sulaeman, Op.Cit, hal. 113 101

Sedangkan menurut Leden Marpaung didalam bukunya yang berjudul Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya,bahwa; 102

Dibeberapa Negara selain belanda, misalnya inggris, Amerika Serikat, Perancis dan lain-lain, zina sebagai tindak pidana telah dihapus. Penghapusan zina sebagai tindak pidana jika diamati perkembangan pemikiran dunia, memang suatu hal yang logis, dengan alasan-alasan, antara lain sebagai berikut;

1) Perbuatan zina merupakan perbuatan tercela tetapi jika tujuannya untuk melindungi perkawinan yang sah sehingga diberi sanksi pidana, maka hal tersebut tidak dapat dipertahankan karena rumusan hukum mewajibkan mereka untuk bercerai. Kalau toh, akan bercerai, akan sia-sia memberi pidana pada yang bersangkutan

2) Penegakan terhadap “hak asasi manusia” yang telah berpengaruh luas, sehingga kesamaan hak untuk menikmati seks, dianggap milik setiap manusia yang telah dewasa. Kesamaan antara pria dengan wanita, kesamaan antara suami dengan isteri. Suami isteri hidup berdampingan, sejajar tanpa ada yang merasa lebih tinggi atau lebih berkuasa.

3) Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka seks telah dianggap sebagai suatu kebuutuhan (need) orang dewasa. Menyadari akan hal ini, pasukan/tentara yang sedang berperang telah dibagikan kondom, narapidana yang sedang menjalani hukuman telah diberi kesempatan untuk itu.

102

Maka dari itu menurut Harkristuti Harkrisnowo bahwa delik perzinahan dalam KUHP lebih mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat di Eropa Barat ketika itu dari pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia.103

Maka dapat diambil pemahaman dari uraian diatas dan seperti yang diungkapkan Prof. van Bemmelen dan Prof. van Hattum, larangan untuk melakukan bigamy dan perzinahan adalah untuk melindungi perkawinan, juga telah dimaksud untuk menjamin adanya kepastian tentang asal-usul seseorang.104 Dari pandangan tersebut dapat dipahami bahwa Tindak Pidana Perzinahan menurut KUHP hanya bertujuan untuk 2 hal, yakni;

1) Melindungi Perkawinan

Seperti yang dikatakan Prof. Van Bemmelen dan Prof. van Hantum sebelumnya bahwa;105

“Alasan yang terutama dari dinyatakannya bigamy itu sebagai perbuatan yang terlarang adalah sama dengan alasan dilarangnya perzinaan, yakni berkenaan dengan sifatnya yang khusus dari perikatan seksual, maka dinegara kita dan dinegara-negara monogami lainnya telah dimaksud untuk memberikan perlindungan bagi perkawinan-perkawinan”.

103

Eman Sulaeman, MH., Delik Perzinahan dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, (Semarang : Walisongo Press 2008) hal 111

104

P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, Op.Cit, hal. 83 105

1. Menjamin adanya kepastian tentang asal-usul seseorang

Prof. van Bammelen dan Prof. van Hattum mengatakan jika perzinahan tidak dilarang, banyak terjadi banyak kelahiran anak yang asal usulnya tidak jelas. Karena masalah kelahiran seorang anak itu tidak dapat dilepaskan dari selesainya suatu proses pembuahan sel telur seorang wanita oleh sperma seorang pria, sedangkan untuk selesainya proses pembuahan seperti itu sebenarnya tidak diperlukan adanya suatu tenggang waktu yang lama.106

C. Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Tindak Pidana Perzinahan didalam KUHP diatur didalam Bab II mengenai Kejahatan khususnya didalam pasal 284 KUHP, adapun bunyinya sebagai berikut;107

(1) “Dihukum Penjara selama-lamanya Sembilan bulan :

1e. a) Laki-laki yang beristeri, berbuat Zina, sedang diketahuinya pasal 27 KUHPerdata (sipil) berlaku padanya:

b) Perempuan yang bersuami berbuat Zina:

2e. a) Laki-laki yang melakukan perbuatan tersebut, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami:

b) Perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami.

106

Ibid, hal. 84

107

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Dari bunyi pasal tersebut, maka unsur-unsur Tindak Pidana Perzinahan antara lain, yakni;

Dapat dilihat unsur mengenai Tindak Pidana perzinahan yang dirumuskan pada ayat (1) diatas sudah mencakup 4 (empat) larangan, yakni;

1. Seorang laki-laki yang sudah kawin melakukan zina, padahal pasal 27 BW berlaku baginya;

2. Seorang perempuan yang sudah kawin melakukan zina, padahal pasal 27 BW berlaku baginya;

3. Seorang laki-laki turut berzina dengan seorang perempuan yang diketahuinya telah kawin;

4. Seorang perempuan yang turut berzina dengan seorang laki-laki yang diketahuinya bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.

Jadi dapat dikatakan bahwa laki-laki atau perempuan yang melakukan zina harus memenuhi 3 syarat esensial, yakni:

1. Melakukan persetubuhan dengan perempuan dan laki-laki yang bukan merupakan isteri dan suaminya;

2. Baginya berlaku pasal 27 BW; 3. Dirinya sedang terikat perkawinan

Dan apabila pada laki-laki atau perempuan yang melakukan zina itu tidak berlaku pasal 27 BW, sedangkan perempuan atau laki-laki yang menjadi kawannya melakukan zina itu tunduk pada pasal 27 BW, dan diketahuinya bahwa laki-laki atau perempuan yang berzina itu tunduk pada BW, kualitasnya bukanlah melakukan kejahatan zina, akan tetapi “turut serta” melakukan zina, yang dibebani tanggung jawab yang sama dengan si pembuat zina itu sendiri. Turut serta melakukan zina ini, dilihat dari pasal 55 ayat (1) KUHP adalah sebagai pembuat peserta (mede pleger).108

Pada saat itu pembentuk undang-undang mengadakan diskriminasi antara orang yang tunduk pada BW orang Eropa dan orang Cina dengan orang lainnya terutama penduduk asli Indonesia, yang pada umumnya orang-orang beragama Islam yang tidak tunduk pada asas monogami. Oleh karena itu, penduduk asli Indonesia atau lainnya yang beragama Islam, tidak dapat dipidana

108

melakukan zina, tetapi hanya dapat dipidana karena turut serta melakukan zina dalam hal kawannya bersetubuh itu telah bersuami dan Pasal 27 BW berlaku baginya. Kedudukan kejahatan zina seperti diterangkan di atas telah diberikan isi tafsiran yang lain oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 1980 tanggal 31 Desember 1980, yang pada dasarnya berisi hal-hal sebagai berikut;109

a. Seorang suami yang tidak tunduk pada Pasal 27 BW yang tidak ada izin beristri lebih dan seorang (menurut Pasal 3, jo 4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974) berlaku pula asas monogami seperti yang terdapat pada Pasal 27 BW;

b. Pasal 284 ayat (1) huruf a KUHP berlaku pula terhadap para suami yang tidak tunduk pada Pasal 27 BW dan tidak ada izin dan Pengadilan Agama untuk benistni lebih dan seorang, yang melakukan perzinaan sesudah berlakunya Undang-Undang Pokok Perkawinan;

Maka dengan kata lain Seseorang dapat dikatakan “turut serta” didalam Tindak Pidana perzinahan ini, memerlukan 4 syarat, yakni:

1. Melakukan persetubuhan tersebut dengan perempuan atau laki-laki yang bukan suami atau bukan isterinya. Orang ini tidak harus sudah menikah 2. Dia tidak tunduk pada pasal 27 BW

3. Rekannya yang melakukan persetubuhan dengannya tunduk pada pasal 27 BW

109

Budiyanto, zina, http://budi399.wordpress.com/2009/10/22/zina/, diakses pada hari Sabtu 5 April 2014

4. Dia mengetahui bahwa temannya yang melakukan persetubuhan dengannya tersebut tunduk pada pasal 27 BW (Unsur kesalahan atau kesengajaan)

Sementara itu, apabila baik laki-lakinya maupun perempuannya tidak tunduk pada pasal 27 BW, kedua-duanya, baik laki-lakinya maupun perempuannya tidaklah melakukan kejahatan zina, dengan demikian juga tidak ada yang berkualitas sebagai pembuat pesertanya. Begitu juga apabila baik laki-lakinya maupun perempuannya tidak sedang terikat perkawinan artinya sedang tidak beristeri atau bersuami walaupun dirinya tunduk pada pasal 27 BW, maka kedua-duanya laki-laki atau perempuannya yang bersetubuh itu tidak melakukan zina maupun turut serta melakukan zina. Pasal 27 BW adalah mengenai asas monogamy, dimana dalam waktu yang bersamaan seseorang laki-laki hanya boleh dengan satu isteri, dan seorang perempuan hanya boleh dengan satu suami. 110

Kemudian KUHP mengkategorikan Pasal 284 KUHP (perzinahan) tersebut sebagai delik aduan absolut yang mengharuskan perbuatan tersebut hanya dapat dikatakan sebagai “kejahatan” apabila ada pengaduan dari yang dirugikan. Karena perzinahan hanya dianggap ”sebagai suatu penodaan terhadap ikatan suci dari suatu perkawinan” maka cakupan yang dirugikan menurut KUHP yaitu hanya mencakup suami atau isteri dari orang yang melakukan perzinahan tersebut.

Bahkan apabila perbuatan zina tersebut disetujui oleh suami / isteri dari sipelaku zina, maka perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai suatu “kejahatan”.

110

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung KUHP sendiri melegalkan adanya kegiatan pelacuran. Hal ini sebagaimana dapat dilihat di Hoge Raan dalam arrest-nya tanggal 16 Mei 1946, NJ 1946 No. 523 antara lain telah memutuskan bahwa: 111

“Tidak termasuk dalam pengertian zina yakni mengadakan hubungan dengan pihak ketiga, yang dilakukan dengan persetujuan suami dari pihak ketiga tersebut. Perbuatan itu bukan merupakan perbuatan yang menodai