• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Realisasi Pengawasan

2. Pengawasan Atas Pelaksanaan APBN 2020

Kecuali itu, undang-undang ini memang mencakup banyak sektor dan melibatkan banyak K/L yang menjadi mitra kerja masing-masing Komisi, maka menjadi tugas komisi untuk memastikan turunan dari UU Ciptaker ini dapat segera diselesaikan dengan tepat sasaran dan melibatkan banyak pihak terutama buruh yang berdampak langsung atas adanya UU ini. Disisi lain, turunan dari UU Ciptaker ini mendapat kritikan dari masyarakat, antara lain: Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta Presiden Jokowi menunda implementasi empat peraturan pemerintah (PP) yang merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Keempat PP yang menyangkut pekerja tersebut yaitu: PP No. 34/2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA); PP No. 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu Istirahat; PP No. 36/2021 tentang Pengupahan; dan PP No. 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Alasannya, menurut Presiden KSPI, Said Iqbal, karena buruh sudah mengalami tekanan dan kesulitan akibat pandemi covid-19. Banyak buruh mengalami PHK sehingga kehilangan mata pencahariannya dan tertular covid-19 sehingga tidak bisa bekerja. Ia berharap kepala negara bisa mempertimbangkan kesulitan yang dialami oleh buruh serta tidak menambah bebannya dengan implementasi aturan baru itu. Disamping meminta Presiden Jokowi untuk menunda pemberlakuan peraturan turunan UU Ciptaker yang terkait dengan ketenagakerjaan, KSPSI juga meminta DPR memanggil Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah guna meminta keterangan mereka mengenai empat PP tersebut. Sebab aturan pelaksana itu justru lebih membebani pekerja dibandingkan aturan dalam UU Cipta Kerja.14

Dengan adanya permintaan penundaan pemberlakuan aturan pelaksanaan UU Ciptaker bidang ketenagakerjaan dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia tersebut patut diduga bahwa DPR gagal memperjuangkan aspirasi para buruh.

2. Pengawasan Atas Pelaksanaan APBN 2020

a. Evaluasi Realisasi Anggaran K/L TA 2020 oleh Komisi

Salah satu wujud pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah realisasi penggunaan APBN Tahun Anggaran (TA) 2020 yang telah dialokasikan kepada Kementerian dan Lembaga Negara Non Kementerian (K/L) atas pagu anggaran yang telah ditetapkan untuk K/L yang bersangkutan. Terkait serapan anggaran TA 2020, pada

1 Desember 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan hanya akan mentok di angka 96,4%.15

Pertanyaannya adalah seberapa besarkah realisasi serap anggaran TA 2020 oleh K/L dan seperti apakah sikap Komisi-komisi DPR dalam mengevaluasi mitra kerja mereka? Kritiskah mereka atau hanya datar-datar saja?

Melalui penelurusan Lapsing rapat-rapat Komisi dengan K/L mitra kerjanya yang diunggah pada laman www.dpr.go.id maupun media lainnya selama MS III ditemukan bahwa tidak semua Komisi melakukan evaluasi serapan anggaran TA 2020 oleh K/L mitra kerjanya (selengkapnya lihat Lampiran Tabel 5).

14 https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210225134929-92-610812/buruh-minta-jokowi-tunda-implementasi-pp-turunan-uu-ciptaker

30

Berdasarkan data-data pada Tabel 5 dapat disimpulkan hal-hal seperti berikut: pertama, selama MS III, dari 11 Komisi yang dimiliki DPR, hanya 8 Komisi melakukan evaluasi atas realisasi anggaran TA 2020. Ke-8 Komisi itupun tidak melakukan pengawasan terhadap seluruh mitranya.

Kedua, terhadap realisasi anggaran K/L TA 2020 ada Komisi-komisi yang tidak serius

melakukan pengawasan. Misalnya Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang serap anggarannya relative rendah yaitu hanya 77,04% justru diapresiasi oleh Komisi V. Demikian juga dengan Badan Pengusahaan Pelabuhan Sabang yang serap anggarannya hanya 65,12%, Komisi V menerima begitu saja penjelasannya.

Ketiga, pada Pidato Penutupan MS III TS 2020/2021 tanggal 10 Februari 2021, Ketua

DPR, Puan Maharani menyatakan bahwa DPR dapat memahami capaian realisasi anggaran K/L TA 2020 yang sangat dipengaruhi oleh pandemi Covid-19 dan dampaknya. Puan juga menyatakan bahwa pemerintah perlu melakukan refocusing dan penghematan untuk memenuhi kebutuhan APBN dalam penanganan vaksin, di mana anggaran vaksin sendiri saat ini ditaksir mencapai Rp70 triliun. Selain itu, refocusing dan penghematan juga dilakukan guna mengakselerasi pemulihan sosial dan ekonomi nasional dengan melanjutkan program prioritas nasional serta pemulihan pertumbuhan ekonomi nasional.

Pernyataan Puan terkait Pemerintah perlu melakukan penghematan ternyata tidak sejalan dengan rapat-rapat komisi dengan K/L mitra kerjanya, dimana beberapa komisi prihatin dan menyesalkan atas terjadinya penurunan pagu alokasi anggaran pada TA 2021. Hal itu misalnya sikap Komisi I terhadap penurunan pagu anggaran TA 2021 untuk Lemhannas dan Bakamla,16 Komisi IV juga menyesalkan pemotongan anggaran belanja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan TA 2021, Komisi IV meminta Pemerintah c.q. Kementerian Keuangan untuk mengevaluasi rencana penghematan sebesar Rp519.378.525.000,00 (lima ratus sembilan belas miliar tiga ratus tujuh puluh delapan juta lima ratus dua puluh dua lima ribu rupiah),17 Komisi V terhadap pemotongan anggaran TA 2021 pada Kementerian Perhubungan.18 Hal seperti inilah yang sering terjadi di DPR, apa yang dikatakan Pimpinan berbeda dengan pelaksanaannnya di tingkat Komisi maupun para anggota.

b. Tindak Lanjut Temuan-temuan BPK

Menurut Pasal 112D ayat (1) UU No. 2/2018 tentang MD3, dan Pasal 76 Peraturan DPR No. 1/2020 tentang Tata Tertib, alat kelengkapan DPR yang secara khusus ditugasi untuk menelaah temuan-temuan BPK adalah Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN). Dalam kedua peraturan perundangan tersebut ditegaskan bahwa tugas Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI adalah:

16https://www.facebook.com/komisi1dprri/videos/1071083056648637/

https://www.youtube.com/watch?v=rooDoLtxcrg&feature=youtu.be

17https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/K4-14-16bf0d225edc7fb68c05524244ea10d1.pdf 18https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/K5-14-2cc3a402adaad8624be405d787a46bff.pdf

31

a). melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR;

b). menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada komisi;

c). menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi; dan

d). memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan.

Disamping BAKN, menurut Pasal 59 ayat (4) huruf b Peraturan DPR No. 1/2020 tentang Tata Tertib, Komisi-komisi juga bertugas membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya.

Sebagai bahan telaahan oleh BAKN maupun pembahasan oleh Komisi-komisi DPR sesuai dengan ruang lingkup tugasnya, pada 9 November 2020, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna sudah menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2020 kepada Ketua DPR RI Puan Maharani dalam rapat paripurna DPR.

Dalam IHPS tersebut BPK menemukan 6.702 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari 6.702 permasalahan ketidakpatuhan terdapat 4.051 permasalahan yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp 1,79 triliun, 433 permasalan potensi kerugian sebesar Rp3,30 triliun, serta kekurangan penerimaan sebanyak 925 permasalahan sebesar Rp3,19 triliun.19

Terkait Pendapatan, Biaya, dan Investasi BUMN hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa 14 objek pemeriksaan pada 14 BUMN/anak perusahaan ditemukan permasalahan-permasalahan yang perlu mendapat perhatian, antara lain: (1) Terdapat inefisiensi harga pokok produksi kapal keruk dan kapal isap produksi PT Timah Tbk selama tahun 2017 - Semester I tahun 2019 sebesar Rp426,50 miliar, karena biaya penyusutan yang tinggi dan armada laut yang tidak beroperasi; dan (2) Terdapat piutang pendapatan PT Perusahaan Gas Negara Tbk yang belum disepakati perhitungannya oleh PT PLN sebesar Rp214,78 miliar, dari penyaluran gas ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap Muara Tawar dan denda keterlambatan pembayaran, serta piutang pelanggan sebesar Rp3,04 miliar dan US$2,31 juta yang macet serta nilai jaminannya tidak mencukupi.20

Sedangkan hasil pemeriksaan terhadap Pengelolaan Subsidi/Kewajiban Pelayanan Publik atas 13 objek pemeriksaan di 14 entitas untuk subsidi energi, subsidi pupuk, subsidi bunga kredit, dan Kewajiban Pelayanan Publik (KPP) di bidang angkutan umum, BPK telah membantu menghemat pengeluaran negara sebesar Rp 2,27 triliun, karena jumlah subsidi/KPP tahun 2019 yang harus dibayar pemerintah menjadi lebih kecil. BPK juga melakukan perhitungan atas dana kompensasi yang diajukan oleh PT PLN dan PT Pertamina, BPK membantu menghemat pengeluaran negara sebesar Rp 2,50 triliun. Secara keseluruhan BPK telah membantu pemerintah untuk menghemat pengeluaran negara sebesar Rp 4,77 triliun dengan cara koreksi nilai subsidi dan dana kompensasi yang harus dibayar pemerintah kepada badan usaha. Selain itu hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa pengelolaan subsidi/KPP telah dilaksanakan sesuai kriteria

19IHPS I Tahun 2020, Ringkasan Eksekutif, hlm. 3. 20 IHPS I Tahun 2020, Rngkasan Eksekutif, hlm. 12.

32

dengan pengecualian atas beberapa permasalahan pada 13 objek pemeriksaan. Permasalahan yang perlu mendapat perhatian yaitu: (1) PT PLN belum optimal melakukan pemeliharaan jaringan transmisi 500 kilovolt (kV) sehingga memicu padam/blackout; (2) Kekurangan penerimaan PT Pertamina sebesar Rp31,38 triliun dan PT AKR sebesar Rp52,85 miliar atas selisih harga jual eceran (HJE) formula dengan HJE penetapan Pemerintah dalam penyaluran jenis bahan bakar tertentu (JBT) Minyak Solar dan jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP) tahun 2019.21

Pertanyaannya adalah seperti apakah kinerja BAKN maupun Komisi-komisi menelaah dan membahas serta menindaklanjuti temuan-temuan BPK pada IHPS I 2020 yang telah disampaikan oleh BPK kepada DPR tersebut selama MS III?

Melalui penelusuran Lapsing rapat-rapat BAKN selama MS III yang diunggah pada laman dpr.go.id, maupun media lainnya, FORMAPPI menemukan bahwa mengawali tugasnya pada MS III TS 2020-2021, BAKN justru melakukan kunjungan kerja (Kunker) ke berbagai daerah22 tetapi fokusnya hanya terkait pelaksanaan subsidi energi.

Kegiatan BAKN lainnya adalah melakukan rotasi Pimpinan. Pada 28 Januari 2021, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menetapkan Wahyu Sanjaya dari Fraksi Partai Demokrat sebagai Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI menggantikan Marwan Cik Asan. Penetapan Ketua BAKN tersebut berdasarkan atas surat dari Fraksi Demokrat tertanggal 20 Januari 2021 perihal Penyampaian Kebutuhan Penugasan dalam Alat Kelengkapan Dewan dan surat dari BAKN tanggal 26 Januari 2021 perihal Permohonan Penetapan Ketua BAKN DPR RI. Kecuali itu, pada rapat BAKN tanggal 3 Februari 2021, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad memimpin rapat penetapan Hendrawan Supratikno sebagai Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI menggantikan I Gusti Agung Rai Wirajaya. Penetapan Hendrawan Supratikno sebagai Wakil Ketua BAKN DPR RI ini berdasarkan atas surat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tertanggal 1 Februari 2021 perihal Permohonan Penetapan Wakil Ketua BAKN DPR RI.

Penelaahan oleh BAKN atas temuan-temuan BPK baru dilakukan pada 4 Februari 2021 dalam Rapat Kerja Penelaahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dengan jajaran Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan Kementerian BUMN. Namun yang ditelaah hanya khusus berkaitan dengan Kebijakan Pengelolaan Subsidi Energi.23

Kegiatan BAKN selanjutnya adalah melakukan rapat konsultasi dengan BPK pada 9 Februari 2021. Kegiatan ini dilakukan di ruang Auditorium Gedung BPK untuk Rapat Konsultasi terkait hasil pemeriksaan BPK atas Subsidi Energi. Pada rapat konsultasi tersebut, Ketua BPK, Agung Firman Sampurna, menjelaskan bahwa subsidi energi merupakan nilai yang sangat signifikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pertanggungjawabannya dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Selama 2015-2020 APBN dan LKPP secara umum mengalami penurunan sangat

21 IHPS I TAHUN 2020, Ringkasan Eksekutif, hlm. 12-13.

22 Kunker BAKN selama MS III dilakukan ke Kabupaten Tangerang, Banten (15/1/2021); ke

Pemkab Sumedang (19/1/2021); ke Pemerintah Kota Cilegon, Banten (25/1/2021); ke jajaran Pemerintah Kota Cirebon, Jawa Barat (1/2/2021, lihat https://www.dpr.go.id/berita/index/category/bakn )

23https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/31683/t/Perbaikan+Tata+Kelola+dan+Sistem+Subsidi+Energi+Dinilai+Lebih+Penting+D ibandingkan+Pengurangan+Subsidi.

33

signifikan dari tahun 2014. Dalam tahun 2017-2019, anggaran belanja subsidi energi relatif mengalami kenaikan kembali karena kenaikan volume konsumsi LPG dan kebijakan penyesuaian subsidi tetap solar tahun 2018.

Lebih lanjut Ketua BPK mengungkapkan beberapa temuan terkait dengan subsidi, di antaranya anggaran subsidi yang fleksibel atau dapat melebihi anggaran yang ditetapkan dan masalah penghitungan beban, kewajiban, serta tagihan subsidi antara Pemerintah dan badan usaha operator. Selain itu, sesuai dengan Pasal 11 huruf a. UU No. 15/2006 tentang BPK, BPK menyampaikan pendapat kepada Pemerintah. Pada bulan Desember 2019, BPK telah menyampaikan pendapatnya mengenai Penetapan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Bersubsidi dan Tidak Bersubsidi serta Pertanggungjawabannya oleh Pemerintah, di antaranya menyusun perangkat aturan yang jelas terkait dengan Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) Minyak Solar dan Menyusun kebijakan khusus terkait dengan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Premium dengan memperhatikan UU No. 19/2003 tentang BUMN, antara lain dengan membuat bentuk-bentuk alternatif pemberian kompensasi termasuk perhitungan biaya dan HJE BBM yang diketahui lebih awal selama tahun berjalan dan berdampak terhadap kekurangan penerimaan Badan Usaha.24

Catatan Kritis:

Berdasarkan temuan data-data kegiatan BAKN selama MS III tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa penelahaan temuan-temuan BPK oleh BAKN hanya difokuskan pada masalah subsidi energi. Padahal BPK sudah memberikan saran kepada Pemerintah dan sudah ada yang diaksanakan, sehingga kegiatan BAKN yang focus kepada masalah subsidi energi adalah kegiatan yang mubasir. Sebaliknya, temuan-temuan lainnya, termasuk kerugian Negara atas ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan oleh K/L maupun BUMN luput dari perhatian. Kecuali itu, tidak semua Komisi melakukan penelaahan melalui Raker/RDP atas temuan BPK yang menjadi ruang lingkup tugasnya.

Berdasarkan penelusuran terhadap laporan singkat rapat-rapat Komisi, Formappi hanya menemukan dua Komisi yang memberikan perhatian terhadap temuan-temuan BPK, yaitu:

pertama, Komisi I mengapresiasi capaian kinerja Lemhanas, Wantannas, LPP TVRI dan LPP

RRI TA 2020 terhadap hasil pemeriksaan BPK dengan opini WTP. Sedangkan terhadap Bakamla dan BSSN yang belum kunjung mendapatkan opini WTP dari BPK, Komisi I mendorong agar terus berupaya untuk meningkatkan kinerjanya dalam rangka mendapatkan opini WTP dari BKP tahun 2021; kedua, Komisi IV meminta Kementerian Pertanian untuk meniadakan kegiatan-kegiatan yang tidak berdampak langsung pada peningkatan produksi, dan kegiatan yang selalu menimbulkan masalah atau menjadi temuan BPK menjadi kegiatan yang lebih baik dan bermanfaat untuk masyarakat. Terhadap Komisi I, Formappi menyesalkan bahwa upaya yang dilakukan hanyalah sekedar mendorong K/L untuk mendapatkan opini WTP dari BPK, lalu mau sampai mana dan kapan Komisi I terus mendorong. Sikap seperti itu menimbulkan tanda tanya: tidakkah ada cara lain yang dapat dilakukan Komisi agar K/L tersebut dapat lebih serius mengupayakan perolehan predikat WTP dari BPK.

Yang juga menarik adalah saat Komisi V melakukan rapat koordinasi dengan Badan Keahlian DPR RI (BKD), Komisi V meminta kepada Kepala BKD beserta jajaran untuk dapat

Dokumen terkait