• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN BELANJA DESA, ANTARA PANDEMI DAN

Dalam pelaksanaan belanja desa, rata-rata desa melaksanakan belanja setelah dana cair. Dampaknya pelaksanaan belanja desa menjadi tergantung pada penyelesaian pelaporan dan pertanggungjawaban desa tahun sebelumnya.

3.1 Pengadaan Barang dan Jasa

Pengadaan barang dan jasa di desa mengikuti kententuan LKPP tentang pengadaan barang dan jasa Desa (per LKPP 12 tahun 2019). Pelaksana

pengadaan dilakukan oleh Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). Pengadaan memprioritaskan dengan cara swakelola, namun jika swakelola tidak mungkin dilaksanakan maka dimungkinkan sebagian atau seluruhnya dengan penyedia barang/jasa.

Dari desa-desa di Kabupaten Tangerang nampak bahwa pemahaman tentang swakelola tidak semuanya memahami dengan baik, begitu pun dengan desa-desa di kabupaten lainnya (Garut, Sintang, Banggai, Maluku Tengah, dan Seram Bagian Barat). Ketidaktertiban pada dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk pertanggungjawaban masih terjadi. Kesulitan terjadi pada pengumpulan bukti-bukti dengan catatan beberapa desa tersebut banyak menggunakan barang atau jasa dari perorangan yang notabene kesulitan memberikan bukti formal yang dibutuhkan.

Paket-paket pengadaan pada saat pandemi sekarang jauh lebih sedikit karena dialihkan prioritasnya untuk penanggulangan dampak Covid 19. Praktis pengadaan-pengadaan di desa-desa yang semula berprioritas infrastruktur menjadi tergantikan. Padahal dengan BLT yang menjadi prioritas pencairan di tahap I dari tiga tahap pencairan Dana Desa, dan dilanjut dengan BLT tahap II dari pencairan dana desa tahap II.

Praktis TPK desa mengalami kendala karena APBdes yang berasal dari transfer APBN terikat untuk BLT. Dari sudut pandang sederhana, pengalihan anggaran ini membuat TPK dan pengelola keuangan menjadi tidak dikejar-kejar lagi pembangunan infrastruktur, kecuali untuk desa-desa yang minim penduduknya mendapat BLT.

Namun bukan tanpa kendala pengalihan anggaran dana desa ini untuk penanganan dampak Covid 19. Bagi desa-desa yang secara kualitas penatausahaan bagus dan kualitasnya juga termasuk bagus, bisa saja meninggalkan tunggakan, karena bulan Januari/Februari sebelum Covid sudah melakukan transaksi. Dampaknya jika kontrak belum ditandatangani bisa dibatalkan atau ditunda, sementara itu jika kontrak baik swakelola maupun melalui penyedia sudah terlanjur diadakan, maka tinggal dilanjutkan saja sepanjang desa memiliki pendapatan selain dari dana desa. Ada bahagia sejenak bagi pelaku pengadaan karena sejenak transaksi terhenti, karena Bantuan Langsung Tunai Dana Desa lebih prioritas.

3.2 Pemungutan Pajak

Masalah pemotongan/pemungutan pajak atas belanja desa banyak ditemukan ketidaktertibannya. Dari desa-desa terpilih masalah pemotongan/pemungutan pajak masih mengalami kesulitan antara dipotong atau tidak. Dampaknya dilakukan pungutan/potongan hampir semua transaksi yang dikeluarkan dari dana desa.

Jawaban klasik mereka adalah dari salah karena nggak motong/ mungut maka lebih mungut/motong walaupun ternyata seharusnya tidak

dipungut/dipotong. Perangkat desa bukanlah PNS, maka pemotongan PPh 21 kerapkali dilakukan terhadap pembayaran honoraium baik untuk kegiatan bidang penyelengaraan pemerintah, bidang pemberdayaan masyarakat, bidang pengembangan infrastruktur baik swakelola ataupun melalui penyedia sepanjang ada pembayaran honorarium. Begitupun dengan PPh pasal 22, walaupun ada pembatasan yang dipotong itu transaksi pengadaan barang yang diatas Rp 2.000.000, tidak sedikit yang dibawah Rp 2.000.000 pun dipungut. PPh 23 dipotong untuk semua transaksi berapa pun nilainya dan PPN yang seharusnya dipungut hanya untuk PKP, dalam praktiknya jika lebih dari Rp 1.000.000 dipungut PPN terlepas dari PKP atau bukan.

Disinilah salah satu kelemahan sumber daya desa di dalam pengelolaan belanja. Konsultasi dengan KPP maupun dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dipahami tidak seragam dalam implementasinya. Kasus-kasus terjadi di tahun-tahun sebelumnya banyak disebabkan pada ketidakmengertian secara menyeluruh terhadap masalah pungut/potong dengan penyetoran ke kas negara. Ada kejadian potongan/pungutan dilakukan terhadap semua transaksi, namun tidak disetor ke kas negara karena dikira sebagai pendapatan desa.

Adanya pandemi ini membuat pola transaksi berbeda, dengan prioritas pada BLT yang tidak dikenakan pajak, maka terdapat penurunan tingkat kesalahan karena transaksi yang dilakukan minim sampai kuartal kedua ini. Ada bahagia sejenak untuk tidak melakukan kesalahan karena memang transaksi tertunda/hilang akibat pengalihan peruntukkan dana desa. Namun di sisi lain, penerimaan negara bersumber dari pajak hilang juga. Mengingat dana desa ini secara total cukup signifikan.

3.3 Penatausahaan Belanja

Dalam penatausahaan belanja yang dilihat adalah kelengkapan dokumen dan kualitas penatausahaan. Bagi kasie Keuangan melakukan penatausahaan atas transaksi belanja menyita waktu tersendiri. Bisa dibayangkan harus mencatat setidaknya dalam empat buku ditambah lagi membuat pelaporan dan pertanggungjawaban. Jika tidak melakukan pembukuan maka pengelolaan keuangan akuntabilitasnya diragukan.

Kelengkapan dokumen di dalam penatausahaan belanja desa meliputi buku rekening kas desa, rencana anggaran biaya, dokumen SPP, buku kas umum dan buku pembantu pajak, bank, panjar. Mengisi buku-buku ini cukup menyita waktu untuk dikerjakan, seringkali bersaldo tidak sama saat dibukukan dan membuat pelaporan. Juga bisa disebabkan transaksi yang belum dituntaskan pertanggungjawaban karena kesulitan dan ketidakpahaman dalam mengelola belanja. Mengidentifikasi rekening kas desa, bisa jadi juga penyebab ketidaklengkapan dokumen, biasa terjadi jika terjadi pergantian perangkat desa.

Kualitas penatausahaan meliputi Identifikasi terhadap rekening pendapatan, Identifikasi terhadap rekening belanja, Ketepatan dalam pengisian Buku Kas Umum, Ketepatan dalam pengisian Buku Pembantu, Kecermatan dalam pengisian Buku Pembantu, Ketepatan dalam penghitungan pajak. Seperti disebutkan sebelumnya tentang masalah pajak yang sering tidak tepat dipungut/dipotong.

Dari desa-desa yang pernah diamati kualitas penatausahaan inilah yang masih ditemukan lemah. Akurasi dan kecermatan dalam menuliskan dan menghitung, bagi orang-orang desa cukup membebani apalagi ditambah harus membuat laporan keuangan desanya. Di saat pandemi ini, tentunya variasi transaksi menjadi tidak banyak. Dana desa teralokasi banyak untuk BLT, dengan transaksi yang relatif homogen. Selain itu, adanya pandemi ini menyebabkan disederhanakannya persyaratan pencairan dibanding sebelumnya. Maka layak bahagia sejenak pengelola keuangan ini di dalam menatausahakan belanja desa, di saat pandemi ini. 3.4 Pertanggungjawaban dan Pelaporan

Pertanggungjawab transaksi belanja dari kegiatan-kegiatan yang dibiayai dari dana desa dan dana-dana lainnya. Dalam pengelolaan keuangan desa ini ada tiga hal yang mesti diperhatikan;

1. Kemampuan adaptasi 2. Ketaatan pada ketentuan 3. Efisiensi dalam bertransaksi

Dalam melaksanakan kegiatan desa, kadang banyak hal berubah da-lam pelaksanaannya. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan merupa-kan langkah fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan, namun tetap tidak bisa mengabaikan masalah ketaatan pada ketentuan dan menilai efisiensi dalam bertransaksi.

3.5 Kelengkapan Pertanggungjawaban & Laporan

Kelengkapan bukti-bukti transaksi menjadi kunci kesuksesan bertransaksi belanja desa. Seminim apapun bukti transaksi tetap bagian dari kelengkapan. Jika transaksi tidak lengkap, maka akan memunculkan manipulasi bukti dan jika bukti dimanipulasi maka memunculkan ketidakefisienan. Jika tidak efisien maka ada kemungkinan ketidakpatuhan terhadap ketentuan. Walaupun saat ini masa pandemi dan ada penyederhanaan prosedur, jika dikemudian hari ingin tetap bahagia, maka kelengkapan bukti transaksi harus menjadi perhatian utama.

Laporan Pelaksanaan APBDesa menggambarkan rangkuman kegiatan yang dilakukan oleh desa. Jika tidak dibuat laporannya berarti pertanggungjawabannya diragukan. Karena bukti-bukti transaksi belanja akan diproses menjadi sebuah laporan, sehingga jika laporan tidak ada

bisa diartikan bukti-bukti transaksi tidak akurat/lengkap. Jika lengkap maka tidaklah sulit jika ingin membuat laporan pelaksanaan APBDesa walaupun tidak ada aplikasi pelaporan.

Laporan Kekayaan Milik Desa (LKMD) merupakan laporan terkait aset desa yang pada tanggal neraca berwujud. Sesuatu yang berwujud ada selalu ada sumber keberwujudannya apakah berasal dari hutang atau kekayaan sendiri. Jika bukti dibuat, maka laporan pelaksanaan APBDesa bisa dibuat, begitupun dengan laporan kekayaan milik desa.

Desa-desa yang menjadi objek pengamatan, pada masalah kelengkapan dokumen pertanggungjawaban dan pelaporan sepintas sudah lengkap, namun masalah kualitasnya yang perlu didalami lebih lanjut. 3.6 Kualitas Laporan

Ketepatan menyusun bukti-bukti pertanggungjawaban bisa mendorong validitas laporan yang disusun termasuk mempercepat atau memperlambat pelaporan. Oleh karena itu, di dalam menyusun/membuat bukti-bukti transaksi akurasi penghitungan/pemotongan/pungutan/ besaran anggaran dan ketersediaan dana mutlak diperlukan.

Laporan semester disampaikan akhir bulan Juli merupakan bagian bagaimana kualitas laporan disajikan, begitupun dengan Laporan tahunan yang disampaikan setidaknya akhir Januari tahun berikutnya. Pelaporan dana desa ini berkaitan erat dengan pencairan dana desa, sehingga jika pelaporan lambat, maka pencairan dana pun akan terjadi pelambatan juga.

Kualitas laporan dari desa-desa yang menjadi objek pengamatan, setengahnya terlambat dalam penyampaian laporan baik semesteran maupun tahunan, dampaknya jelas pencairan dana desa pun menjadi terlambat. BLT pun menjadi terlambat disalurkan juga.

Dengan minim dan homogennya transaksi di masa pandemi ini seharusnya kelengkapan dan kualitas pertanggungjawaban dan pelaporan meningkat. Dukungan kuat diberikan pemerintah agar dana desa ini segera cair untuk dibelanjakan. Namun akuntabilitas tetap harus dijaga.

4. PANDEMI MEMBERI BAHAGIA?