• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian Desa di Tengah Pandemi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian Desa di Tengah Pandemi"

Copied!
234
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Desa di Tengah Pandemi

Tim Penulis:  M Firmansyah  Ni Made Sukartini  Fariastuti Djafar

 Agus Sunaya Sulaeman  Sriyani  Rudy Suryanto  Dahlan Tampubolon  Evi Maria  Abdul Halim  Fitria Husnatarina

 Sri Langgeng Ratnasari  Rudi Purwono

 Hady Sutjipto  Khoirunurrofik  Moh. Ahlis Djirimu  Mukhtar A. Adam  Rully Novie Wurarah  Agus Supratikno  Suharyadi  Rini Hudiono Editor:  Evi Maria  Mukhtar A. Adam  Abdul Halim

(3)

KATA SAMBUTAN

Assalamu’alaikum Wr. Wb., salam sejahtera bagi kita semua.

Segala puji dan syukur, kami panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah kepada kita semua, seluruh akademisi, praktisi, pendamping desa, dan pengelola BUMDes.

Saya selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mengucapkan “Selamat dan Sukses” kepada Forum Akademisi Nusantara (FOKATAR) dan Scientific Institute For Development and Government (SiDego) atas diterbitkannya buku “Ekonomi, Keuangan dan Kemandirian Desa di Tengah Pandemi”. Buku ini berisi kumpulan tulisan dari para akademisi nusantara terkait kenormalan baru di desa, yaitu isu ekonomi desa dan pandemi Covid-19, isu pengelolaan/tata kelola keuangan desa, isu masa depan kemandirian desa. Pembahasan kenormalan baru dimulai dari ketahanan ekonomi desa di masa pandemi Covid-19, pengelolaan keuangan desa sampai dengan strategi desa menuju desa yang mandiri dan berkualitas.

Semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi setiap orang untuk berbagi ilmu dan wawasan dalam penguatan ekonomi desa ditengah pandemi, sehingga desa bisa menjadi desa kreatif dan mandiri. Akhir kata, kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Desember 2020

Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT

(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb., salam sejahtera bagi kita semua.

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya kepada kita semua, sehingga buku Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian Desa di Tengah Pandemi dapat terselesaikan dengan baik. Kami penyunting mewakili tim penulis mempersembahkan buku ini dengan tujuan untuk menyebarkan ilmu, informasi, gagasan, hasil riset terkait desa dan pengelolaan keuangan ke seluruh penjuru tanah air.

Diskusi virtual, hasil kerjasama Forum Akademisi Nusantara (FOKATAR) dan Scientific Institute For Development and Government (SiDego), tanggal 3 Juni 2020 lalu, telah mengumpulkan akademisi, praktisi, pendamping desa, pengelola BUMDes, Kemendes, dan masyarakat umum untuk membahas strategi membangun kenormalan baru desa. Banyak poin-poin rekomendasi penting dihasilkan, dan poin rekemondasi dikumpulkan dalam bentuk tulisan yang tersaji dalam buku ini. Ada tiga isu yang dibahas, yaitu ekonomi desa dan pandemi Covid-19, tata kelola keuangan desa, dan kemandirian desa. Dari ketiga isu tersebut, ada 16 sub judul yang menarik untuk dibaca. Hadirnya buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pembelajaran berarti untuk dijadikan acuan penguatan ekonomi desa di tengah pandemi dan pengelolaan keuangan desa sehingga desa bisa menjadi desa kreatif dan mandiri.

Penyunting mengucapkan banyak terimakasih kepada tim penulis yang telah berkontribusi dalam buku ini. Semoga buku ini dapat memberi manfaat untuk memperluas pengetahuan dan wawasan bagi para akademisi, peneliti, dan praktisi terkait pengelolaan ekonomi dan keuangan desa di tengah pandemi, agar desa bangkit menjadi desa yang kreatif dan mandiri. Segala kekurangan atas buku ini menjadi tanggung jawab penyunting. Oleh karena itu, kami menerima saran dan kritik dengan hati yang gembira.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salatiga, Desember 2020

(5)

DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN ... II KATA PENGANTAR ... III DAFTAR ISI ...V

EKONOMI DESA DAN PADEMI COVID-19 BAB I

KETAHANAN EKONOMI DESA DI MASA PANDEMI COVID-19:

PEMBELAJARAN YANG BISA DIAMBIL ...1

1. PENDAHULUAN ...1

2. DAMPAK COVID-19 DI DESA ...2

3. KETAHANAN PANGAN DESA ...3

4. ASPEK PARIWISATA DESA ...4

5. DISTRIBUSI BARANG DAN JASA DESA ...4

6. REKAYASA PASAR DESA ...5

7. PENUTUP ...6

8. DAFTAR PUSTAKA ...6

BAB II INFRASTRUKTUR DAN PEMBANGUNAN DESA,ANTISIPASI TERHADAP GUNCANGAN PANDEMI COVID-19 ...9

1. PENDAHULUAN ...9

2. PEMBANGUNAN DESA DAN TANTANGAN MENUJU INDONESIA MAJU ...11

2.1 Kondisi Topologi dan Geografi Desa ...13

2.2 Ragam Aktivitas Ekonomi Masyarakat Perdesaan ...15

2.3 Infrastruktur Informasi dan Komunikasi di Wilayah Perdesaan ...17

3. ANTISIPASI KEBIJAKAN PUBLIK BAGI PEMERINTAH DAERAH PASCA PANDEMI COVID-19, DAN MENYAMBUT KONDISI KENORMALAN BARU ...24

3.1 Prasarana Kesehatan ...24

3.2 Infrastruktur Dasar ...25

3.3 Kebiasaan dan Perilaku Adaptasi ...26

3.4 Anggaran ...27

4. PENUTUP ...27

(6)

BAB III

PROGRAM BANTUAN PEMERINTAH SAAT PANDEMI UNTUK

KELUARGA MISKIN DI DESA ...33

1. PENDAHULUAN ...31

2. PROGRAM BANTUAN PEMERINTAH UNTUK KELUARGA MISKIN ...31

3. INTEGRASI DATA ANTAR BERBAGAI PROGRAM KEMENTERIAN ...32

4. PERAN PERANGKAT DESA DALAM PENDATAAN ...33

5. TRANSPARANSI, SOSIALISASI DAN PERAN LEMBAGA PENGAWASAN ...35

6. PENUTUP ...35

7. DAFTAR PUSTAKA ...36

BAB IV BELANJA DESA DI MASA PANDEMI,BAHAGIA SEJENAK MENGHIASI NEGERI ...37

1. PENDAHULUAN ...37

2. BELANJA DESA DI MASA PANDEMI ...38

3. PENGELOLAAN BELANJA DESA, ANTARA PANDEMI DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN ...39

3.1 Pengadaan Barang dan Jasa ...39

3.2 Pemungutan Pajak ...40

3.3 Penatausahaan Belanja ...41

3.4 Pertanggungjawaban dan Pelaporan ...42

3.5 Kelengkapan Pertanggungjawaban & Laporan ...42

3.6 Kualitas Laporan ...43

4. PANDEMI MEMBERI BAHAGIA? ...43

4.1 Belanja Bantuan Langsung Tunai (BLT) ...43

4.2 Belanja Non BLT...44

5. PENUTUP ...45

6. DAFTAR PUSTAKA ...45

BAB V REVITALISASI BUMDES UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN DI MASA PANDEMI ...49

1. PENDAHULUAN ...49

2. ANCAMAN KETAHANAN PANGAN ...51

3. PERAN BUMDES DALAM KETAHANAN PANGAN ...53

4. REVITALISASI BUMDES DI MASA PANDEMI ...55

5. PENUTUP ...57

(7)

PENGELOLAAN/TATA KELOLA KEUANGAN DESA BAB VI

TINJAUAN LITERATUR PARTISIPASI PETANI KE LEMBAGA

KEUANGAN PEDESAAN ...61

1. PENDAHULUAN ...61

2. GAMBARAN UMUM PARTISIPASI PETANI KE LEMBAGA KEUANGAN PEDESAAN ...62

2.1 Partisipasi ke Lembaga Keuangan Pedesaan ...62

2.2 Penentu Partisipasi Kredit Pedesaan ...63

2.3 Dampak Sosial dan Ekonomi dari Partisipasi Petani ke Lembaga Keuangan Pedesaan ...66

3. KEBIJAKAN KREDIT PETANI ...67

3.1 Program pemerintah ...67

3.2 Suplai Jasa Keuangan Formal di Sektor Pedesaan dan Pertanian ...68

3.1 Penggunaan Skema Keuangan Mikro Informal di Dektor Pertanian ... ... 70

4. PENUTUP ...70

5. DAFTAR PUSTAKA ...72

BAB VII DANA DESA, KORUPSI DAN GOOD PUBLIC GOVERNANCE ...77

1. PENDAHULUAN ...77

2. DANA DESA DAN KORUPSI KEPALA DESA DI INDONESIA ...78

3. GOOD PUBLIC GOVERNANCE SEBAGAI STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI DANA DESA ...84

4. PENUTUP ...87

5. DAFTAR PUSTAKA ...88

BAB VIII QUO VADIS AKUNTABILITASPENGELOLAAN DANA DESA ...91

1. PENDAHULUAN ...91

2. AKUNTABILITAS PENGELOLAAN DANA DESA ...92

2.1 Keterbatasan Regulasi ...93

2.2 Keterbatasan Anggaran untuk Insentif ...93

2.3 Keterbatasan Kapasitas Sumber Daya Aparatur Desa ...94

2.4 Keterbatasan Pendampingan ...94

2.5 Keterbatasan Pengawasan ...94

2.6 Keterbatasan Penggunaan Teknologi Informasi ...94

2.7 Keterbatasan Penguatan Nilai-nilai Kepemimpinan Desa ...95

3. AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA ...95

4. PENUTUP ...102

(8)

BAB IX

PENGELOLAAN DESA DI GUGUS PULAU DAN PERBATASAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ...107

1. PENDAHULUAN ...107 2. PENGELOLAAN DESA DI GUGUS PULAU DAN PERBATASAN ...

108

3. PENUTUP ...113 4. DAFTAR PUSTAKA ...115

MENATAP MASA DEPAN KEMANDIRIAN DESA BAB X

MENATAP MASA DEPAN MENJADI DESA MANDIRI DAN

BERKUALITAS DI JAWA TIMUR ...117

1. PENDAHULUAN ...117 2. DESA MANDIRI DAN BERKUALITAS ...118 3. MANAJEMEN ORGANISASI DALAM PENYELENGGARAAN

PEMERINTAH DESA ...122 4. INTEGRASI ANTAR PROGRAM DALAM PENYELENGGARAAN

PEMERINTAHAN DESA ...123 5. PENUTUP ...124 6. DAFTAR PUSTAKA ...125

BAB XI

DESA GARDA TERDEPAN PEMULIHAN EKONOMI DI MASA TATANAN KEHIDUPAN BARU ...127

1. PENDAHULUAN ...127 2. STRATEGI DESA MENJADI GARDA DEPAN PEMULIHAN

EKONOMI...129 3. PENUTUP ...135 4. DAFTAR PUSTAKA ...135

BAB XII

KERJASAMA ANTAR DESA BAGI PENGUATAN INOVASI DAN KEWIRAUSAHAAN MENUJUKEMANDIRIAN EKONOMI DESA ..137

1. PENDAHULUAN ...137 2. INOVASI DAERAH UNTUK MENCIPTAKAN PASAR ...140 3. WIRAUSAHA LOKAL SEBAGAI MOTOR PENGGERAK

EKONOMI DESA ...146 4. KERJASAMA ANTAR DESA UNTUK MENINGKATKAN SKALA

EKONOMI...148 5. PENUTUP ...151 6. DAFTAR PUSTAKA ...152

(9)

BAB XIII

KRISIS EKONOMI DAN MASA DEPAN TRANSAKSI DIGITAL DI

DESA ...155

1. PENDAHULUAN ...155

2. MEMAHAMI PERJALANAN KRISIS EKONOMI ...156

3. MAKNA TATANAN KEHIDUPAN BARU ...160

4. PENUTUP ...165

5. DAFTAR PUSTAKA ...165

BAB XIV MEMBANGUN KENORMALAN BARU DESA DAN DESA TERTINGGAL DI MALUKU UTARA ...193

1. PENDAHULUAN ...169

2. SELAYANG PANDANG DESA DAN DESA TERTINGGAL ...170

3. KENORMALAN BARU DESA DAN DESA TERINGGAL ...171

4. PENUTUP ...176

5. DAFTAR PUSTAKA ...177

BAB XV MAMPUKAH HUMAN CAPITAL DI PERDESAAN BERKONTRIBUSI TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH? ...179

1. PENDAHULUAN ...179

2. HUMAN CAPITAL PERDESAAN DAN PEREKONOMIAN DAERAH ...182

3. PENUTUP ...192

4. DAFTAR PUSTAKA ...193

BAB XVI DESA KREATIF PERDAMAIAN: SOLUSI KONFLIK BERBASIS KEARIFAN LOKAL (STUDI DI DUSUN SRUMBUNG GUNUNG) ..221

1. PENDAHULUAN ...195

2. DESA KREATIF PERDAMAIAN ...197

3. PENUTUP ...206

(10)
(11)
(12)
(13)

KETAHANAN EKONOMI DESA DI MASA

PANDEMI COVID-19: PEMBELAJARAN

YANG BISA DIAMBIL

M Firmansyah Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mataram

firmansyah.feb@unram.ac.id

BAB

I

1. PENDAHULUAN

Pandemi Covid-19 tidak saja melahirkan kematian dan krisis kesehatan namun memicu krisis ekonomi, resesi atau depresi besar secara global (Laing 2020; Nicola et al. 2020). Mengatasi penyebaran paparan virus mematikan ini, pemerintah di berbagai belahan dunia menerapkan lockdown, jaga jarak, pembatasan penerbangan, penyebrangan dan berbagai pembatasan lain sehingga memicu penurunan besar transaksi ekonomi (Atalan 2020; Nicola et al. 2020). Dunia saat ini sedang bekerja keras melawan Covid-19, baik dari aspek kesehatan sekaligus menjaga stabilitas ekonomi.

Penanganan Covid-19 di desa menjadi persoalan sendiri yang perlu mendapat perhatian pemangku kebijakan nasional maupun daerah. Desa dengan segala keterbatasan, seperti keterbatasan infrastruktur, sumber daya manusia (SDM) bidang kesehatan, komunikasi yang terbatas menjadi pemicu kekhawatiran penyebaran massif virus mematikan ini di desa. Dalam menghambat penyebarannya, pemerintah berupaya meningkatkan kedisiplinan masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan dengan payung regulasi, antara lain menyiapkan kebutuhan dasar masyarakat miskin dengan bantuan jaring pengaman sosial (JPS) dan bantuan lain. Logikanya, ketika aspek kesehatan dan ekonomi desa telah terpenuhi, orang tidak lagi berpikir untuk bekerja di luar rumah sementara waktu.

Ketahanan masyarakat desa di masa pandemi merupakan kombinasi dua aspek, kesehatan masyarakat dan ketahanan ekonomi. Kesehatan masyarakat berkaitan dengan infrastruktur kesehatan, seperti kelayakan puskesmas, alat-alat kesehatan dan juga sumber daya tenaga kesehatan (nakes) yang memadai. Dengan kualitas kesehatan yang baik di desa, masyarakat desa akan dengan cepat mendapat pertolongan pertama ketika terpapar virus atau penyakit lain tanpa harus berjalan jauh ke kota. Sementara itu, ketahanan ekonomi desa merupakan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat desa secara mandiri, baik kebutuhan pangan maupun non pangan sebagai kompensasi berkurangnya waktu kerja akibat pandemi.

(14)

Seperti halnya masyarakat perkotaan, masyarakat desa dituntut tetap dirumah karena dipercaya efektif menurunkan penularan (Castillo, Staguhn, and Weston-Farber 2020), menjaga jarak sosial yang juga efektif menunda atau mengurangi waktu wabah (Aldilaa et al. 2020), menggunakan masker (Cheng et al. 2020; Eikenberry et al. 2020; Fadare and Okoffo 2020), mencuci tangan dan menerapkan protokol kesehatan lainnya. Namun, tuntutan itu terhambat karateristik pekerjaan masyarakat desa yang umumnya mengelola alam, sehingga harus keluar rumah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Work from home (WFH) masyarakat kota tidak bisa disamakan dengan masyarakat desa yang harus bekerja di lapangan memenuhi kebutuhan hidup. Sungguh-pun begitu, karena pandemi orang dipaksa bekerja di rumah (Kramer and Kramer 2020). Sehingga, dibutuhkan strategi win win dalam memastikan masyarakat desa tetap menjalankan protokol kesehatan, namun ekonomi tetap jalan. Sehingga ungkapan sebagian orang bahwa “di luar rumah khawatir mati karena Corona, di dalam rumah khawatir mati kelaparan” tidak terjadi.

Strategi win win juga diperlukan untuk menjalankan apa yang disebut sebagai kenormalan baru (new normal) di desa. Masyarakat desa tidak bisa setiap waktu dipaksa membatasi aktifitasnya, new normal merupakan jalan tengahnya. Mereka akan tetap bekerja karena harus memenuhi kebutuhan hidup namun tetap menjaga protocol kesehatan. Artikel ini menjelaskan bagaimana upaya mempertahankan ekonomi desa di masa pandemi Covid-19 yang merupakan pembelajaran berarti untuk dijadikan acuan penguatan ekonomi desa di masa-masa krisis ke depan.

Pembahasan pada bab ini akan dibagi menjadi lima bagian. Pertama, pembahasan tentang dampak Covid-19 di desa. Kedua, pembahasan tentang ketahanan pangan desa. Ketiga, pembahasan tentang aspek pariwisata desa. Keempat, pembahasan tentang distribusi barang dan jasa desa. Kelima, pembahasan tentang rekayasa pasar desa.

2. DAMPAK COVID-19 DI DESA

Saat artikel ini ditulis, belum ada kejelasan dari ahli kesehatan kapan pandemi Covid-19 ini berakhir. Justru grafik orang terpapar semakin bertambah banyak. Sementara pemerintah telah menyuarakan untuk dijalankan apa yang disebut sebagai kenormalan baru (new normal). Kenormalan baru makna sederhananya hidup berdampingan dengan Covid-19. Aktifitas tetap jalan namun tetap menerapkan protokol kesehatan.

Kenormalan baru menimbulkan pro dan kontra. Sebagian tenaga medis menganggap belum saatnya kenormalan baru diterapkan karena kasus yang terpapar belum terkendali. Pengalaman Korea Selatan yang menerapkan new normal memicu lahirnya gelombang ke dua, walaupun

(15)

ada juga negara yang sukses menerapkannya (Modjo 2020). Sementara pelaku bisnis berharap segera ditentukan langkah menghindari resesi ekonomi yang semakin dalam.

Kondisi di desa-pun demikian, ekonomi masyarakat beberapa bulan ditopang oleh JPS (Jaring pengaman sosial) dan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Saat sedang memuncaknya penyebaran virus, masyarakat dituntut dirumah dan menghindari kerumunan termasuk sholat di masjid. Bagi pemerintah daerah, Provinsi Nusa Tenggara Barat misalnya, JPS dianggap sebagai instrumen menstabilkan bisnis IKM. Caranya, produk IKM dibeli pemerintah dan dijadikan sebagai produk JPS. Upaya ini memberi kelegaan bagi sebagian IKM setidaknya untuk sementara waktu, karena di masa sulit ini aktivitas produksi terhenti, permintaan produk IKM merosot drastis. Dengan JPS mereka tetap berproduksi.

Sungguh-pun demikian, BLT dan JPS tentu tidak dapat diandalkan terus menerus. Anggaran pemerintah terbatas, sehingga perlu alternatif lain untuk menopang jalan roda produksi IKM. Diprediksi anggaran untuk JPS di daerah hanya mampu digelontorkan untuk kebutuhan 3-4 bulan ke depan.

Persoalan lain yang dihadapi masyarakat desa adalah migrasi tenaga kerja desa yang kembali ke desa karena PHK di masa pandemi. Beban desa semakin berat, tidak saja karena khawatir penularan Covid-19 yang dibawa tenaga kerja migran meluas sehingga biaya penanangan kesehatan membekak, namun juga beban ekonomi desa yang harus menghidupkan tenaga kerja migran menjadi pertimbangan utama. Sementara itu, protocol kesehatan yang menghendaki pembatasan aktifitas ekonomi menjadi penyebab transaksi bisnis terbatas. Ekonomi desa yang ditopang oleh Bumdes dan wisata desa juga terhambat, bila-pun tidak dianggap mati.

Ekonomi desa yang belum sepenuhnya normal ditambah beban desa untuk menghidupkan buruh migran melahirkan kekhawatiran lain, yaitu rendahnya perputaran uang di desa, sementara itu transaksi ekonomi di level dasar butuh alat transaksi berupa uang. Ketika masyarakat desa tidak memiliki alat transaksi berupa uang, apakah transaksi bisnis harus terhenti? Dilema ini perlu mendapat perhatian, walaupun implikasi covid-19 terhadap ekonomi desa tidaklah separah itu.

3. KETAHANAN PANGAN DESA

Salah satu penyebab jatuhnya ekonomi desa masa pendemi adalah sebagian, bahkan mayoritas Industri Kecil Menengah (IKM) desa berproduksi bukan sektor primer. IKM menjual bukan kebutuhan pokok, sementara di masa pandemi, masyarakat cendrung mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok. Beberapa kebutuhan sekunder yang dihasilkan IKM, antara lain kerajinan tangan dan jajanan tradisional.

(16)

IKM di desa perlu diarahkan melakukan reorientasi produksi dengan melakukan produksi olahan sektor primer. Artinya produk yang dhasilkan IKM itu dapat menjadi kebutuhan pokok masyarakat desa dan perkotaan. Misalnya, IKM memproduksi dan menjual olahan ikan seperti naget ikan, krupuk ikan bagi desa pesisir. Produk ikan akan selalu dibutuhkan karena menjadi pelengkap nasi bagi konsumen. Di samping itu, produk-produk pertanian seperti beras, sayuran dan buah, palawija untuk keperluan obat-obatan herbal perlu dikembangkan di desa.

Dari aspek rumah tangga, upaya yang perlu dilakukan pemerintah desa adalah memastikan masyarakat desa terpenuhi kebutuhan primernya secara mandiri. Antara lain dengan program diversifikasi pangan di setiap lahan rumah tangga. New normal dalam aspek pangan dapat dikatakan mengembalikan norma lama kebiasaan masyarakat desa jaman dahulu, seperti memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayur, buah dan juga memelihara ternak sebagai penopang kebutuhan sehari-hari. Sementara pendapatan yang dihasilkan adalah untuk memenuhi kebutuhan lain selain pangan.

4. ASPEK PARIWISATA DESA

Pariwisata merupakan salah satu sektor yang terpukul karena pandemi Covid-19. Wajar saja, dalam kondisi sekarang alih-alih mengeluarkan uang untuk bersenang-senang (berwisata), bekerja harian dalam mencari uang saja orang dilanda ketakutan akibat wabah Covid-19. Walaupun pemerintah mengkampanyekan new normal, kehidupan pariwisata saat wabah tentu tidak bisa disamakan dengan sebelum terjadinya wabah. Ketakutan dan kekhawatiran tertular Covid-19 itu tetap saja ada.

Di desa, ada pengembangan desa wisata. Sama dengan eksistensi kawasan wisata lain, Desa wisata yang terbangun dari anggaran dana desa atau swakelola masyarakat juga terkena imbas Covid-19. Maka perlu dipertimbangkan konsep e-wisata, artinya masyarakat desa dapat menyajikan wisata berbasis elektronik dengan mengembangkan ekonomi kreatif. Misalnya melatih pemuda desa untuk membuat konten menarik terkait alam desa di youtube atau media lainnya. Penikmat wisata walaupun tidak berkunjung ke lokasi wisata setidaknya dapat menikmati jarak jauh. Lokasi-lokasi indah yang dikemas dengan video menarik di youtube dan ditonton jutaan orang, tentu memberi penghasilan bagi pelaku usaha ekonomi kreatif tersebut.

Anak-anak muda di desa pesisir misalnya dilatih untuk diving atau penyelaman dengan mengambil gambar dasar laut. Di darat dapat menyajikan keindahan alam desa berupa air terjun, hewan unik yang terpelihara, alam pegunungan dan segela aktifitas di desa. Dengan demikian, tidak saja nilai tambah dalam ekonomi kreatif yang dihasilkan dari aktifitas tersebut, namun dapat menjadi ruang mempromosikan desa.

(17)

5. DISTRIBUSI BARANG DAN JASA DESA

Jalan bagi produk IKM desa ketika pasar lokal tidak cukup memadai mengangkat penjualan IKM adalah melalui ekspor ke daerah lain. Walaupun belum secara massif karena kalah bersaing dengan produk lain. Faktanya, dari sisi perdagangan, desa menjadi tujuan pengiriman barang perdagangan dari kota, khususnya dari pusat industri seperti Jakarta dan Surabaya. Di masa pandemi covid-19, jalur distribusi ini terhambat dalam dua aspek sekaligus, yaitu terbatasnya produk desa yang keluar (untuk pasar luar, ekspor) dan terbatasnya barang kebutuhan pokok dari kota (impor) ke desa.

Terkait produk desa, distribusi logistik cepat dan murah dari desa ke kota tentu sangat dibutuhkan di masa pandemi. Tujuannya, untuk tidak membebankan biaya distribusi ke masyarakat desa. Biaya distribusi meningkat menjadikan produk desa tidak mampu bersaing, karena harganya yang mahal. Peluang bagi desa di masa pandemi ini adalah di mana desa menjadi pemasok produk pertanian untuk kebutuhan daerah atau kota lain, sumber kebutuhan pertanian umumnya ada di desa.

Awal-awal masa locdown, berdasar protokol kesehatan di setiap pelabuhan atau lokasi perbatasan antar daerah mensyaratkan rapid test dan sebagian lagi di swab, termasuk terhadap petani yang akan menjual produknya ke perkotaan atau daerah seberang. Biaya untuk rapid dan swab cukup mahal dan berjangka waktu beberapa hari saja saat itu. Syukurnya, rapid test dan swab tidak semahal dahulu bahkan untuk perjalanan darat tidak lagi mensyaratkan rapid test. Menjadi pembelajaran ke depan, menjaga protokol kesehatan adalah perlu, namun diupayakan tidak menghambat arus bisnis masyarakat, antara lain dengan diupayakan subsidi bagi petani dalam mendistribusikan produk barangnya dari desa. Subsidi dapat berupa menggratiskan rapid test atau Swab petani yang mendistribusikan barangnya di masa pandemi atau subsidi biaya transport di saat kondisi normal.

6. REKAYASA PASAR DESA

Salah satu aspek bisnis yang macet akibat pandemi ini adalah kelesuan pasar. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, lesunya pasar diakibatkan, adanya pembatasan aktifitas terkait protokol kesehatan satu sisi dan selektifnya konsumen dalam membelanjakan uangnya di masa pandemi sisi lain. Konsumen tentu saja berharap untuk berbelanja produk kebutuhan pokok di masa pandemi secara prioritas. Sementara itu, IKM banyak berproduksi di sektor sekunder seperti makanan ringan, kerajinan tangan yang tidak terlalu dibutuhkan konsumen. Ketika terjadi pandemi, konsumen menunda berbelanja sekaligus tidak mendapat akses untuk berbelanja karena pembatasan aktifitas tersebut.

(18)

Persoalan lain adalah jauhnya pasar dari konsumen. Masyarakat desa harus ke kota untuk membeli kebutuhan tertentu, di Kota-pun menjadi masalah karena penumpukan konsumen akibat pasar yang tersentral pada satu lokasi saja. Dengan demikian, upaya yang perlu dilakukan adalah mendekatkan atau mempermudah masyarakat desa mengakses pasar. Bumdesa dapat menjadi pusat grosir, dan kios tetangga dapat mengambil produk di Bumdesa sebagai barang dagangan. Sehingga program belanja di kios tetangga, untuk menghidupkan ekonomi masyarakat desa dapat terwujud.

Saat ini banyak market place bahan pokok yang dikreasikan. Anak-anak muda desa, yang lulusan sarjana dapat diajarkan untuk membangun ekonomi kreatif berbasis digital seperti pasar berbasis platform. Di samping itu, perlu juga diperkenalkan lebih jauh terkait model pembayaran digital seperti e-money atau fintech dalam mempermudah proses transaksi di desa. Walaupun transaksi manual lebih utama dijalankan, karena ketika e-money menggantikan sepenuhnya transaksi tradisional di desa, maka ketika krisis ekonomi yang menyebabkan kemacetan transaksi bisnis akan serta merta terular di desa.

Di samping itu, masyarakat desa perlu secara massif diperkenalkan pasar modern, karena memang eranya. Dalam kondisi tertentu di desa perlu disiapkan skenario terburuk macetnya ekonomi, perputaran uang macet karena tidak ada pekerjaan yang menghasilkan pendapatan, tidak ada proyek pemerintah di desa akibat krisis, kesehatan maupun ekonomi. Skenario itu, adalah membangun modal sosial untuk lahirnya pasar barter (barang dengan barang), misalnya dengan sistem atau mekanisme yang lebih modern. Artinya, masyarakat desa tidak perlu memegang uang sebagai alat pembayaran dalam melakukan transaksi jual beli produk-produk hasil pekarangannya.

Untuk membeli ayam cukup ditukarkan dengan sejumlah beras atau sebaliknya. Ketika setiap transaksi dibutuhkan uang sebagai alat pembayaran sementara orang tidak memegang uang sama sekali dikhawatirkan menimbulkan gejolak sosial. Namun, sekali lagi kondisi ini adalah skenario terburuk dari ekonomi yang terpuruk, walau kondisi ini mungkin jauh dari realita, namun diskursus ini dapat menjadi pembelajaran yang dapat sewaktu-waktu dibutuhkan.

7. PENUTUP

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia memberi pembelajaran berharga dalam tata kelola desa yang lebih baik. Terutama terkait ketahanan pangan, produksi dan perdagangan di pedesaan. Setidaknya ada lima pembelajaran yang dapat diambil, yaitu: Pertama, norma lama perlu dikembalikan, di mana desa didaulat sebagai lumbung pangan untuk masyarakat desa itu

(19)

sendiri dan perkotaan. Kedua, pemerintah daerah dan desa perlu fokus mengembangkan produk pangan dan pengolahan hasil produk pangan (sektor primer), kebutuhan primer menjamin keberlanjutan bisnis di desa karena merupakan kebutuhan pokok konsumen. Ketiga, masyarakat desa perlu diamankan kebutuhan pokoknya dengan slogan tiada lahan kosong di desa selain ditanami atau dibudidayakan berbagai produk pangan. Keempat, masyarakat desa perlu menjangkau pasar yang dekat dan murah dengan distribusi barang yang lancar dan tetap bertransaksi walau tidak memiliki uang. Konsep pasar barter bila mungkin dapat dikreasikan dalam kondisi stagnasi ekonomi akut di desa. Kelima, Bumdesa dapat berperan menjadi pusat grosir dan dipasok ke kios-kios kecil.

8. DAFTAR PUSTAKA

Aldilaa, Dipo et al. 2020. “A Mathematical Study on the Spread of COVID-19 Considering Social Distancing and Rapid Assessment : The Case of Jakarta, Indonesia.” Chaos, Solitons and Fractals: the interdisciplinary journal of Nonlinear Science, and Nonequilibrium and Complex Phenomena: 110042.

Atalan, Abdulkadir. 2020. “Is the Lockdown Important to Prevent the COVID-9 Pandemic ? Effects on Psychology , Environment and Economy-Perspective.” Annals of Medicine and Surgery

56(June): 38–42.

Castillo, Renan C., Elena D. Staguhn, and Elias Weston-Farber. 2020. “The Effect of State-Level Stay-at-Home Orders on COVID-19 Infection Rates.” American Journal of Infection Control: 1–3. Cheng, Vincent Chi Chung et al. 2020. “The Role of Community-Wide

Wearing of Face Mask for Control of Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Epidemic Due to SARS-CoV-2.” Journal of Infection

81: 107–14.

Eikenberry, Steffen E. et al. 2020. “To Mask or Not to Mask: Modeling the Potential for Face Mask Use by the General Public to Curtail the COVID-19 Pandemic.” Infectious Disease Modelling 5: 293–308. Fadare, Oluniyi O., and Elvis D. Okoffo. 2020. “Covid-19 Face Masks: A Potential Source of Microplastic Fibers in the Environment.”

(20)

Kramer, Amit, and Karen Z. Kramer. 2020. “The Potential Impact of the Covid-19 Pandemic on Occupational Status, Work from Home, and Occupational Mobility.” Journal of Vocational Behavior

119(May): 1–4.

Laing, Timothy. 2020. “The Economic Impact of the Coronavirus 2019 (Covid-2019): Implications for the Mining Industry.” Extractive Industries and Society 7(2): 580–82.

Modjo, Mohamad Ikhsan. 2020. “Memetakan Jalan Penguatan Ekonomi Pasca Pandemi Memetakan Jalan Penguatan Ekonomi Pasca Pandemi.” The Indonesian Journal of Development Planning

IV(2): 103–16.

Nicola, Maria et al. 2020. “The Socio-Economic Implications of the Coronavirus Pandemic (COVID-19): A Review.” International Journal of Surgery 78(March): 185–93.

(21)

INFRASTRUKTUR DAN PEMBANGUNAN

DESA, ANTISIPASI TERHADAP

GUNCANGAN PANDEMI COVID-19

Ni Made Sukartini

Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Airlangga

ni-made-s@feb.unair.ac.id

BAB

II

1. PENDAHULUAN

Program Nawacita atau 9 (sembilan) agenda pembangunan nasional mulai dicanangkan dalam pembangunan di Indonesia sejak tahun 2014 (Safitri, 2015). Program ini dikenalkan oleh Presiden Joko Widodo. Program yang ketiga dari Nawacita adalah: “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.” Agenda ini memberi indikasi bahwa pola perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Indonesia tidak lagi sepenuhnya bersifat top down, tetapi sudah mulai diimplementasikan sebaliknya, yaitu botton up. Agenda Nawacita yang ketiga ini sekaligus merupakan pengakuan negara pada keberadaan desa. Desa merupakan unit terkecil dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Hal ini bermakna bahwa pemerintah desa yang disebut kepala desa, memiliki kewenangan yang berskala lokal, yaitu seluas wilayah administrasi desa.

Desa adalah unit pemerintahan yang berbasis masyarakat. Pemerintah desa merupakan kombinasi dari komunitas warga yang mengatur dirinya sendiri (self-governing community) dan pemerintah lokal (Raharjo, 2020). Bila dibandingkan dengan unit atau level pemerintahan yang lebih tinggi (Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional), infrastruktur untuk mendukung pelaksanaan pembangunan di desa tentu lebih terbatas. Namun demikian, menurut Raharjo (2020), wilayah pemerintahan desa minimal mempunyai 3 (tiga) modal sosial yang justru dapat menjadi modal yang lebih efektif dalam melaksanakan program-program pembangunan. Ketiga modal sosial yang dimaksud adalah: modal sosial, modal sumber daya alam dan lingkungan, dan modal eksistensi desa.

Modal sosial dalam masyarakat desa adalah ikatan sosial antara individu dan masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai lokal atau

local wisdom. Modal sosial juga mencakup jaringan kerjasama dalam bentuk kebiasaan bergotong-royong, yaitu kegiatan membangun dengan menyumbangkan tenaga dan waktu, yang dilaksanakan secara sukarela dan tanpa mengharapkan balas jasa. Kebiasaan bergotong-royong dalam masyarakat Indonesia diantaranya bekerja bakti membersihkan lingkungan tempat tinggal, saling membantu dalam kegiatan atau acara yang bersifat

(22)

suka (pesta) dan duka (kematian) di desa. Kegiatan gotong-royong ini didasarkan atas dasar inter-trust dan kohesi sosial, yang tumbuh kuat atas dasar nilai-nilai budaya lokal dan agama yang dianut masyarakat.

Modal sumber daya alam dan lingkungan yang ada di desa adalah kemampuan masyarakat desa dalam memproduksi barang-barang kebutuhan pokok, khususnya bahan makanan. Surplus dari produksi pertanian (pangan), perkebunan, peternakan, perikanan dan hasil pertanian lainnya dapat dinikmati oleh masyarakat di wilayah perkotaan. Aktivitas pertanian, khususnya pertanian dan perkebunan, asalkan dilakukan dalam koridor yang aman, sekaligus akan membantu desa dalam menciptakan proses pembangunan yang berwawasan lingkungan atau green development process. Modal yang ketiga adalah modal eksistensi desa. Modal ini memberikan kewenangan kepada desa sebagai struktur politik paling dekat dengan masyarakat dan kewenangan mengelola masyarakat dalam konteks pembangunan berdasarkan partisipasi dan kebutuhan lokal masyarakat.

Sesi ini akan membahas gambaran desa-desa di Indonesia yang dikaitkan dengan sumber daya alam dan lingkungan yang ada di desa. Kajian ini didukung oleh data potensi desa (Podes), yaitu data sekunder yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk kajian ini akan menggunakan data Podes dua tahun sensus terakhir, yaitu Podes tahun 2014 dan tahun 2018. Informasi yang dapat disajikan dari data podes ini adalah gambaran secara umum tentang kondisi lokasi geografis desa-desa di Indonesia, akses transportasi menuju desa, serta potensi komoditas unggulan yang ada di desa. Sesi ini akan menyajikan data tentang kesiapan dan kemungkinan desa untuk beradaptasi dengan upaya digitalisasi aktivitas masyarakat sehari-hari. Ketersediaan infrastruktur

Base Transceiver Station (BTS) di setiap desa diharapkan dapat menunjang pertukaran informasi dan komunikasi (Cooper, 2005; Hashim et al., 2011). Ketersediaan infrastruktur informasi dan komunikasi menjadi semakin penting khususnya dalam era digital. Awal tahun 2020, dunia dan Indonesia mengalami wabah Covid-19. Wabah ini menular dengan cepat, berpengaruh tidak hanya pada sisi kesehatan, namun juga berdampak pada aktivitas ekonomi. Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal bulan Maret 2020, dikarenakan wabah Covid-19 semakin berbahaya dengan tingkat penyebaran yang sangat cepat. Sebagian besar pabrik dibatasi jam kerja, dihimbau menggunakan protocol kesehatan, kantor-kantor mulai ditutup sementara dan kegiatan pendidikan dilakukan dari rumah. Bekerja dan belajar dari rumah atau work from home (WFH) menjadi alternatif terbaik untuk mencegah penularan Covid-19.

Terkait dengan pandemi Covid-19 yang mewabah pada awal tahun 2020, dan proses berlakunya tatanan baru (new normal) yang diperkirakan berlaku awal Juli 2020; bagaimanakah infrastruktur dan kondisi aparat

(23)

desa beradaptasi untuk memberikan layanan publik di level desa? Survei potensi desa (podes) umumnya dilakukan setiap 3-4 tahun sekali. Dua periode survei terakhir dilakukan tahun 2014 dan 2018. Oleh karena itu, kajian dalam sesi ini hanya menggunakan data terbaru dari tahun 2014 dan 2018.

Pembahasan bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama,

pembahasan tentang pembangunan desa dan tantangan menuju

Indonesia maju. Kedua, pembahasan tentang antisipasi kebijakan publik

bagi pemerintah daerah pasca pandemi Covid-19 dan menyambut kondisi kenormalan baru.

2. PEMBANGUNAN DESA DAN TANTANGAN MENUJU

INDONESIA MAJU

Sebelum menyajikan gambaran infrastruktur yang ada di desa, terlebih dahulu akan disajikan informasi tentang desa secara umum. Data Podes tahun 2014 dan 2018 menunjukkan bahwa dari 3 (tiga) kelompok unit pemerintahan terkecil di Indonesia, yaitu: Desa, Kelurahan, dan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT)/Satuan Pemukiman Transmigrasi (SPT). Dari ketiga jenis unit pemerintahan terkecil ini, sekitar 89 persen berbentuk pemerintahan desa, 10 persen kelurahan dan hanya 1 persen berbentuk UPT/SPT (simak Tabel 2.1). Satuan pemerintahan UPT dan SPT ada di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

Tabel 2.1 Informasi Desa di Indonesia, tahun 2014 dan tahun 2018

No Karakteristik PODES 2014

N=82.190 PODES 2018N=83.931 1 Status Wilayah Pemerintahan

a. Desa 72.949 (88,76) (88,79)74.517 b. Kelurahan 8.412 (10,28) (10.06)8.444 c. UPT/SPT 829 (0,92) (1,09)970 2 Kantor Kepala Desa

a. Ada 68.618

(83.49) (91,08)76.442

b. Tidak ada 13.572

(16,51) (8,92)7.489 3 Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

a. Ada 78.619

(95.66) (97.47)81.809

b. Tidak ada 3.571

(24)

No Karakteristik PODES 2014

N=82.190 PODES 2018N=83.931 4 Karakteristik Kepala Desa

a Umur (tahun) 17-90 17-95

b Jenis kelamin (laki-laki=1) 74.251

(94,30) (93,97)75.643 c Pendidikan

1. Tidak pernah sekolah 829

(1,05) (1,26)1.018 2. Tidak tamat SD/Sederajat 979

(1,24) (1.13)907 3. Tamat SD/Sederajat 2.093 (2,66) (2,06)1.656 4. SMP/Sederajat 11,240 (14,28) (9,37)7.545 5. SMU/Sederajat 45.137 (57,33) (57,85)46.566 6. Akademi/DIII 2.320 (2,95) (2,78)2.235 7. Diploma IV/S1 14.488 (18,40) (22,68)18.260 8. S2 1.634 (2,08) (2,84)2.289 9. S3 16 (0,02) (0,03)22 Sumber: Data Podes tahun 2014 dan 2018, ditabulasikan penulis

Unit pemerintahan desa belum semuanya memiliki kepala desa. Data Podes menunjukkan, dari 82.190 desa (Podes 2014) dan 83.931 desa (Podes 2018); berturut-turut baru sekitar 84 persen dan 91 persen desa yang memiliki kepala desa secara resmi. Hal yang sama juga berlaku untuk keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sekitar 3 persen desa pada tahun 2018 belum memiliki BPD. Dalam struktur pemerintahan desa, menurut Permendagri Nomor 110 Tahun 2016, tugas BPD adalah membantu kepala desa untuk membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Tugas BPD yang utama adalah melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa (https://updesa.com/tugas-bpd/).

Merujuk pada Nawacita poin yang ketiga, hal ini memberi indikasi bahwa untuk mencapai target pembangunan secara nasional, hendaknya dimulai dengan menata pembangunan di desa. Keberhasilan program pembangunan di desa, disamping membutuhkan dukungan dana dan partisipasi dari masyarakat, juga ditentukan oleh inovasi yang dilakukan oleh kepala dan perangkat desa. Menurut Besley et al. (2011), tingkat pendidikan pemimpin atau kepala pemerintahan suatu wilayah secara

(25)

umum ikut menentukan keberhasilan pembangunan di wilayah yang dipimpinnya. Besley juga mengakui, pendidikan formal dan pengalaman akan meningkatkan wawasan kepala pemerintahan. Komponen lain yang juga tidak kalah menentukan keberhasilan kepala daerah adalah ketrampilan dan kemampuan untuk mendorong warga dalam membangun

skill kewirausahaan.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 65 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), disebutkan beberapa ketentuan individu sebelum dipilih menjadi kepala desa. Diantara ketentuan yang diatur adalah persyaratan usia dan pendidikan formal. Usia minimum untuk mendaftar menjadi kepala desa adalah 25 tahun dan pendidikan minimum untuk menjadi kepala desa adalah setara dengan Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SMP). Data yang disajikan dalam Tabel 2.1 menunjukkan bahwa hasil pendataan Podes menemukan beberapa kepala desa ada yang berusia lebih muda dibanding ketentuan Permendagri Nomor 65 Tahun 2017. Meskipun aturan tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan batas usia maksimum, data menunjukkan beberapa kepala desa ada yang berusia di atas 90 tahun. Ditinjau dari jenjang pendidikan yang dimiliki kepala desa, secara umum ketentuan Permendagri di atas, sebagian kepala desa telah memiliki latar belakang pendidikan setara Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 57 persen; berpendidikan setara sarjana sebanyak 14 persen; berpendidikan master dan doktoral sebanyak 2,10 persen

Perkembangan aktivitas pembangunan yang terjadi saat ini berlangsung sedemikian cepat. Globalisasi ekonomi, revolusi industri 4.0, era digitalisasi terjadi begitu cepat dan berdampak pada aktivitas pembangunan di Indonesia. Globalisasi ekonomi mensyaratkan efisiensi dan daya saing, agar proses produksi efisien, ada surplus produksi untuk diperdagangkan dengan pihak lain diluar cakupan geografis suatu wilayah. Revolusi industri 4.0 dan era digital atau era pemanfaatan information communication technology (ICT) menuntut sebagian besar aktivitas memanfaatkan teknologi informasi agar mampu bersaing dalam dunia pertukaran dan perdagangan dengan dunia luar (Mansell, 1999).

2.1 Kondisi Topologi dan Geografi Desa

Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagian wilayah daratan Indonesia memiliki kondisi geografis yang memiliki banyak gunung dan bukit. Di sisi yang lain, seluruh pulau dikelilingi oleh laut dan pantai. Kondisi geografis yang demikian ini, tentu memberi tantangan dalam pemanfaatan peluang dari globalisasi ekonomi maupun pemanfaatan ICT di wilayah-wilayah pelosok perdesaan. Pembangunan infrastruktur ICT sangat dibutuhkan pada jaman sekarang, namun pembangunan infrastruktur ini harus

(26)

menghadapi kendala geografis, khususnya dalam hal biaya instalasi jaringan (Tobgay and Wangmo, 2008).

Tabel 2.2 menunjukkan sekitar 20 persen desa-desa di Indonesia terletak bukan di daerah dataran; namun di wilayah lereng perbukitan atau lembah-lembah. Desa dengan kondisi geografis seperti ini tentu lebih sulit dalam mendistribusikan instalasi jaringan listrik, internet dan air bersih. Lebih lanjut, sekitar 22-25 persen desa-desa di Indonesia terletak dalam dan tepi kawasan hutan, baik itu hutan lindung maupun hutan produksi.

Tabel 2.2 Karakteristik Lokasi Desa di Indonesia, tahun 2014 dan 2018

No Karakteristik Lokasi Desa PODES 2014

N=82.190 PODES 2018N=83.931 1 Topografi Desa a. Lereng/puncak 16.043 (19,52) (17,51)14.696 b. Lembah 3.630 (4,42) (3,80)3.187 c. Dataran 62.517 (76,06) (78,69)66.048 2 Lokasi Desa terhadap Hutan

a. Di dalam hutan 2.037 (2,48) (3,30)2.768 b. Di tepi/sekitar hutan 19.247 (23,42) (22,18)18.617 c. Di luar hutan 60.906 (74,10) (74,52)62.546 3 Desa berbatasan langsung dengan laut

a. Ada 12.827

(15,61) (15,32)12.857

b. Tidak ada 69.363

(84,39) (84,68)71.074 4 Sarana Tranportasi antar Desa

a. Darat 73.185

(89,04) (90.48)75.942

b. Air 1,853

(2.25) (2,20)1,846

c. Darat dan Air 7.152

(8,70) (7,20)6.042

d. Udara - 101

(0,12) 5 Jenis permukaan jalan (untuk katagori 4a-c)

a. Aspal/beton 53.883

(67,07) (74,40)60.994 b. Diperkeras (kerikil, batu, dll) 16.019

(19,94) (15,11)12.389

c. Tanah dan lainnya 10.434

(27)

No Karakteristik Lokasi Desa PODES 2014

N=82.190 PODES 2018N=83.931 6 Jalan darat dapat dilalui kendaraan

a. Sepanjang tahun 67.701

(84,27) (85,97)70.483 b. Sepanjang tahun kecuali musim hujan 4.763

(5,98) (6,35)5.208

c. Selama musim kemarau 2.321

(2,89) (1,67)1.372 d. Tidak dapat dilalui sepanjang tahun 5.552

(6,91) (6,00)4.921 Sumber: BPS, Podes 2014 dan 2018, ditabulasikan penulis

Desa-desa yang terletak di kawasan hutan mempunyai kendala tersendiri dalam proses pembangunan. Banyak anggaran pembangunan desa untuk perbaikan jalan, dan pembangunan lain yang belum bisa diserap yang disebabkan oleh kendala kewenangan (Ambarwati et al., 2016; Susilowati, 2015). Wilayah hutan menjadi kewenangan kementrian kehutanan, sementara pembangunan desa melalui dana desa ada dibawah kewenangan kementrian lain (Wollenberg et al., 2004). Proses pembangunan desa-desa di kawasan hutan tidak hanya membutuhkan ijin dari kementrian terkait, seringkali kawasan yang dihuni adalah kawasan taman nasional.

Untuk desa yang terletak di daerah hamparan, sebanyak 12 ribu-an desa (15 persen) berbatasribu-an dengribu-an pribu-antai dribu-an laut. Dengribu-an kondisi topografi dan geografis desa yang cukup sulit seperti di atas, kondisi akses transportasi menuju desa juga relatif banyak kendala. Sebanyak 73-75 ribu atau sekitar 89-90 persen desa-desa dapat dilalui melalui jalan darat, sebanyak 2-2,20 persen desa-desa yang hanya bisa dilalui melalui jalur air, dan pada tahun 2018 ditemukan bahwa sebanyak 101 desa (0,12 persen) desa-desa hanya bisa dikunjungi dengan menggunakan jalur udara. Desa-desa ini lebih banyak ditemukan di Provinsi Papua. Untuk Desa-desa-Desa-desa yang dapat diakses melalui jalan darat, kualitas permukaan jalan menuju desa juga masih cukup variatif. Sekitar 7-8 ribu desa yang bisa dilalui dengan jalan darat kualitas permukaan jalan penghubung antar desa hanya berupa jalan tanah. Selanjutnya, sekitar 12-16 ribu desa terhubung dengan jalan yang mempunyai permukaan diperkeras dengan batu atau kerikil. Lebih lanjut, hanya sekitar 67-70 ribu desa (85 persen) bisa dilalui kendaraan roda empat sepanjang tahun.

2.2 Ragam Aktivitas Ekonomi Masyarakat Perdesaan

Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Kontribusi sektor pertanian pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) relatif mulai menurun dibanding sektor-sektor yang lain. Namun,

(28)

serapan sektor pertanian pada tenaga kerja masih relatif tinggi, khususnya pada kelompok penduduk usia dewasa di wilayah perdesaan. Tabel 2.3 menyajikan informasi tentang aktivitas ekonomi di desa. Pada tahun 2019, sekitar 30 persen penduduk Indonesia masih bekerja pada sektor pertanian. Bila dikaji lebih lanjut, data podes tahun 2014 dan tahun 2018 menyajikan sekitar 86 persen dari 83.931 desa, penduduk mayoritas bekerja di sektor pertanian. Sekitar 3-4 ribu desa atau sebanyak 5 persen dari total sampel desa tahun 2018, mempunyai penduduk mayoritas bekerja pada sektor perdagangan besar, eceran dan rumah makan.

Tabel 2.3 Ragam Aktivitas Ekonomi Masyarakat Perdesaan

No Karakteristik Lokasi Desa PODES 2014

N=82.190 PODES 2018N=83.931 1 Sumber penghasilan utama penduduk

a. Pertanian 72.360

(88,04) (86,98)73.007 b. Pertambangan dan penggalian 439

(0,53) (0,57)479

c. Industri pengolahan 2.368

(2,88) (3,25)2.730 d. Perdagangan besar/eceran dan rumah makan 3.127

(3,80) (4,79)4.020 e. Angkutan, pergudangan, komunikasi 98

(0,12) (0,11)92

f. Jasa 3.177

(3,87) (3,43)2.877

g. Lainnya 621

(0,76) (0,86)726 2a Produk Unggulan Desa

a. Ada 27.692

(32,99)

b. Tidak ada 56.239

(67,01) 2b Jenis produk unggulan

a. Pangan 27.692

b. Non-pangan 27.692

2c Pemanfaatan Laut di desa pesisir pantai a. Perikanan tangkap

a1. Ada

a2. Tidak ada

11.984 (93,21) 873 (6,79)

(29)

No Karakteristik Lokasi Desa PODES 2014 N=82.190 PODES 2018N=83.931 b. Perikanan budidaya b1. Ada b2. Tidak ada 3.662 (28,55) 9.165 (71,45) 3.763 (29,06) 9.121 (70,94) c. Tambak garam c1. Ada c2. Tidak ada 493 (3,83) 12.364 (96,17) d. Wisata bahari d1. Ada d2. Tidak ada 1.700 (13,22) 11.157 (87,78) e. Trayek transportasi umum menuju-dari desa

e1. Ada

e2. Tidak ada

3.838 (29,85) 9.019 (70,15) Sumber: BPS, Podes 2014 dan 2018, ditabulasikan penulis.

Dari 83.931 desa yang disurvei tahun 2018; sebanyak 27.692 desa telah mempunyai produk unggulan desa, baik berupa komoditas pangan maupun komoditas non pangan. Untuk produk unggulan berupa komoditas pangan, sebagian besar berupa komoditas buah-buahan, sayuran dan bunga. Produk unggulan dengan jenis komoditas non pangan lebih banyak berupa produk kerajinan atau industri berbasis rumah tangga. Hal ini mencakup kerajinan anyaman, tenun, gerabah, dan berbagai jenis kerajinan rumah tangga lainnya.

Untuk desa-desa yang berbatasan dengan laut, beberapa sudah mulai mempunyai produk andalan terkait dengan hasil perairan laut. Pada survei tahun 2014 desa-desa pantai dilaporkan hanya dalam kegiatan budidaya perikanan. Namun dalam survei Podes 2018, pemanfaatan kawasan pantai telah dikembangkan menjadi perikanan tangkap, usaha tambak garam, dan wisata bahari; selain adanya perikanan budidaya. Adanya variasi kegiatan penduduk di wilayah perairan pantai ini sayangnya belum didukung dengan kemudahan akses transportasi dari dan menuju ke desa. Tidak lebih dari 30 persen (3.838 desa) yang dilaporkan mempunyai trayek transportasi umum dari dan menuju ke desa.

2.3 Infrastruktur Informasi dan Komunikasi di Wilayah Perdesaan Pada periode atau era informasi dan aktivitas digital sekarang ini sangat tidak mungkin aktivitas ekonomi di masyarakat menjadi lebih lancar tanpa

(30)

didukung oleh ketersediaan infrastruktur informasi dan telekomunikasi (information and communication technology/ICT). Pemanfaatan ICT juga membutuhkan dukungan ketersediaan energi listrik. Tanpa ada energi listrik, media informasi seperti televisi (TV) dan radio; alat komunikasi seperti handphone dapat berfungsi dengan baik.

Beberapa studi menemukan bahwa akses pada listrik mempunyai hubungan searah dengan upaya pengentasan kemiskinan (Chaurey et al., 2004; Davidson and Mwakasonda, 2002). Dalam konteks negara Indonesia, selain studi dari Bank Dunia tahun 1982, kesimpulan studi dari Darsono and Kuncoro (2013) juga menunjukkan adanya hubungan kausalitas antara akses energi listrik di suatu wilayah provinsi dengan pertumbuhan ekonomi di wilayah yang bersangkutan. Lebih lanjut, hasil kajian dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2016 [1] melaporkan bahwa peningkatan akses pada energi listrik dapat

mengurangi peluang rumah tangga masuk dalam kategori miskin. Dalam level regional, semakin tinggi akses pada energi listrik, semakin rendah ketimpangan pendapatan penduduk di wilayah yang bersangkutan. Tabel 2.3 menyajikan rasio elektrifikasi per provinsi di Indonesia selama tahun 2012-2017. Informasi dalam tabel tersebut juga menyajikan perbedaan rasio elektrifikasi antara wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan.

Data yang tersaji di Tabel 2.4 menunjukkan bahwa bahwa tidak saja ada ketimpangan akses listrik antar wilayah provinsi, namun juga terjadi ketimpangan akses listrik antara wilayah perdesaan dan perkotaan dalam satu wilayah provinsi. Sampai dengan tahun 2015, rasio elektrifikasi per provinsi yang sudah mencapai lebih dari 70 persen (rata-rata nasional) jauh lebih sedikit dibanding kondisi sebaliknya. Provinsi yang sudah mencapai rasio elektrifikasi di atas 70 persen adalah: (i) Sumatera Utara, (ii) Riau, (iii) Kep. Riau, (iv) DKI Jakarta, (v) Jawa Tengah, (vi) DI Jogyakarta, (vii) Jawa Timur, (vii) Bali, (viii) Kalimantan Timur, (ix) Kalimantan Utara, (x) Sulawesi Utara, (xi) Sulawesi Selatan dan (xii) Sulawesi Tenggara. Di sisi yang lain, provinsi Bengkulu, Sulawesi Barat dan Provinsi Papua mempunyai rasio elektrifikasi baru mendekati 50 persen.

(31)

Tabel 2.4

Rasio Elektrifikasi

Antar Provinsi di Indonesia,

Tahun 2012-2015 Provinsi 2012 2013 2014 2015 Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan Total Perko -taan Perdesaan Total Aceh 87.41 52.73 62.41 84.75 51.42 60.76 81.05 49.91 58.74 81.71 53.27 61.23 Sumatera Utara 82.25 54.38 67.81 82.86 53.96 68.00 83.23 51.66 66.86 85.81 57.66 71.41 Sumatera Barat 80.94 58.03 66.69 78.00 55.72 64.34 80.03 51.52 62.60 83.32 55.66 66.58 Riau 91.10 63.68 74.36 85.51 65.45 73.17 86.03 63.88 72.55 85.83 66.86 74.24 Jambi 79.48 52.06 60.57 82.09 53.26 61.73 86.68 51.80 62.01 83.87 54.16 62.75 Sumatera Selatan 73.22 48.57 56.90 78.09 52.42 61.18 79.81 50.85 60.75 81.28 56.80 65.16 Bengkulu 59.66 27.04 36.82 62.21 29.45 39.30 60.42 27.14 37.47 66.83 30.06 41.08 Lampung 71.81 48.42 54.16 68.94 48.35 53.37 67.63 44.19 49.92 72.13 49.55 55.06 Kep. Ba-Belitung 74.76 55.96 64.98 76.34 55.72 65.72 75.40 51.66 63.20 77.50 59.15 68.03 Kepulauan Riau 82.1 1 26.01 73.57 85.80 36.49 77.90 88.05 41.79 81.04 89.54 55.88 84.12 DKI Jakarta 92.49 -92.49 92.64 -92.64 92.10 -92.10 93.40 -93.40 Jawa Barat 71.71 50.94 64.39 71.56 48.72 63.50 73.68 49.22 65.01 74.52 53.20 67.20 Jawa T engah 77.25 66.46 71.30 75.81 64.47 69.58 77.33 65.97 71.1 1 79.29 68.94 73.63 DI Y ogyakarta 83.96 68.99 79.25 82.76 70.23 78.81 79.91 71.62 77.28 79.27 84.70 80.99 Jawa T imur 81.53 67.37 74.04 81.74 69.44 75.19 82.33 69.69 75.64 82.32 71.55 76.64 Banten 76.65 38.69 64.51 77.27 40.36 65.57 77.80 41.95 66.60 78.72 43.75 67.68 Bali 92.45 85.36 89.79 93.99 79.91 88.59 93.42 81.92 89.09 94.51 86.01 91.27 NTB 72.72 42.79 55.03 71.82 50.73 59.45 74.37 57.03 64.33 78.22 67.07 71.70 NTT 82.77 44.28 51.75 82.93 48.1 1 54.85 83.13 47.99 54.88 83.10 57.46 62.72 Kalimantan Barat 82.79 54.94 63.18 85.57 56.19 64.70 84.01 54.49 63.04 89.50 59.56 68.39

(32)

Provinsi 2012 2013 2014 2015 Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan Total Perko -taan Perdesaan Total Kalimantan T engah 67.21 37.99 48.04 75.10 43.59 54.10 79.09 44.37 56.05 80.44 45.10 57.01 Kalimantan Selatan 80.19 48.60 62.07 80.96 47.44 61.59 82.03 46.76 61.72 83.07 46.77 62.23 Kalimantan T imur 93.09 58.52 79.99 93.08 55.57 78.93 92.19 56.49 78.48 90.63 57.1 1 78.13 Kalimantan Utara -95.00 71.92 84.59 Sulawesi Utara 82.21 54.73 67.21 84.41 58.19 70.06 85.82 55.32 69.32 79.43 64.79 71.53 Sulawesi T engah 80.19 48.01 55.83 82.28 53.16 60.21 81.85 51.89 58.99 82.37 54.89 61.49 Sulawesi Selatan 81.03 59.25 66.99 86.65 55.91 66.95 88.74 57.43 68.89 90.65 61.48 72.07 Sulawesi T enggara 93.77 63.49 71.98 86.74 62.76 69.43 83.48 63.03 68.74 88.13 72.76 77.19 Gorontalo 68.81 48.21 54.96 68.91 50.68 56.80 77.36 55.87 63.30 79.32 59.68 66.47 Sulawesi Barat 74.04 33.84 42.14 76.28 39.24 47.27 77.80 38.46 47.07 83.62 46.95 53.89 Maluku 77.77 44.43 57.56 72.53 49.68 58.49 77.75 49.65 60.77 78.93 55.70 64.96 Maluku Utara 81.85 51.12 59.65 86.44 45.64 57.19 88.97 44.20 57.03 87.50 49.69 60.07 Papua Barat 89.99 57.92 67.17 87.40 58.26 67.03 88.29 57.29 66.87 87.24 58.17 68.85 Papua 91.05 28.85 44.12 83.67 36.43 47.70 86.37 36.99 48.99 86.78 39.67 51.27 Indonesia (rata-rata) 79.34 56.17 67.73 79.30 56.68 67.93 80.27 56.57 68.38 81.30 60.58 70.97 Sumber: BPS (2016)

(33)

Informasi lain yang dapat disimak dari Tabel 2.4 adalah bahwa meskipun rasio elektrifikasi level provinsi sudah melampaui rata-rata capaian nasional, namun ada gap capaian antara wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan. Hal ini terjadi di Provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan Timur adalah provinsi penghasil tambang batubara; salah satu sumber energi utama. Namun, apa yang terjadi dengan tingkat ketersediaan listrik PLN? Rasio elektrifikasi di wilayah perdesaan di provinsi ini baru mencapai 50 persen. Hal ini mungkin yang menjelaskan mengapa angka kemiskinan beberapa kabupaten di provinsi ini relatif masih tinggi sampai sekarang. Dilihat dari jumlah absolut, data BPS menunjukkan bahwa kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Paser mempunyai angka kemiskinan di atas 250.000 orang tahun 2018 dan 2019. Namun bila dilihat dari persentase terhadap penduduk total, maka Kabupaten Mahakam Hulu, Kutai Timur, Kutai Barat dan Paser yang mempunyai angka kemiskinan sekitar 10 persen. Rasio elektrifikasi di kabupaten ini juga masih rendah. Dengan demikian dapat dikatakan ada korelasi positif antara akses listrik dan kemiskinan. Beberapa kecamatan di Kabupaten Kutai Timur, sampai dengan tahun 2018 tidak mendapat aliran listrik PLN sama sekali. Hal ini di duga terkait dengan kesulitan geografis di wilayah ini yang cukup tinggi (BPS, 2018).

Tabel 2.5 dibawah ini menyajikan infrastruktur informasi dan komunikasi di wilayah perdesaan di Indonesia. Hal ini mencakup: ketersediaan ruang terbuka hijau di desa, ketersediaan pasar desa, ketersediaan Base Transceiver Station (BTS), kualitas sinyal telepon, sinyal internet dan jangkauan siaran TV. Data yang tersaji dalam tabel ini menunjukkan adanya peningkatan jangkauan infrastruktur informasi dan komunikasi di wilayah perdesaan. Ketersediaan ruang terbuka sebagai tempat fasilitas umum tersedia sekitar 18-20 ribuan desa; namun dari jumlah desa ini ada yang sudah memanfaatkan ruang terbuka sebagai fasilitas umum dengan baik dan ada yang belum memanfaatkannya. Pasar dalam arti secara infrastruktur fisik merupakan tempat bertemu dan berinteraksi penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi pertukaran atau jual beli barang. Seiring dengan perkembangan tehnologi informasi, sebagian aktivitas jual beli sudah memanfaatkan tehnologi internet. Aktivitas perdagangan mulai dilakukan secara online atau digital.

Dalam situasi normal, di wilayah perdesaan kegiatan pasar secara fisik masih umum berlangsung. Transaksi jual beli lebih banyak berupa produk hasil pertanian (buah-buahan, sayur mayur, daging, telur dan lain-lain), yang secara umum merupakan barang konsumsi yang tidak tahan lama. Ketersediaan pasar memberi peluang surplus hasil produksi pertanian dapat dijual penduduk di pasar, demikian pula penduduk yang membutuhkan barang-barang kebutuhan pangan sehari-hari dapat membeli dengan mudah di pasar. Pada wilayah perdesaan, ketersediaan pasar desa dibedakan menjadi: (i) pasar dengan bangunan permanen;

(34)

(ii) pasar dengan bangunan semi permanen; (iii) pasar tanpa bangunan permanen. Kondisi di wilayah perdesaan Indonesia, ketersediaan pasar di desa lebih banyak dalam bentuk pasar dengan bangunan semi permanen, di susul oleh pasar tanpa bangunan permanen dan pasar dengan bangunan permanen. Jika disimak lebih seksama, informasi yang tersaji dalam Tabel 2.5 baris (2) mengindikasikan bahwa tahun 2014 dan 2018 jumlah desa yang mempunyai pasar baru sekitar 30 persen dari total sampel, atau kurang lebih sebanyak 25 ribu desa. Ini menunjukkan akses pasar di wilayah perdesaan masih cukup kurang sampai akhir tahun 2018. Jarak tempuh dari desa menuju pasar yang terdekat sangat bervariasi, antar 0,01-100 km.

Tabel 2.5 Infrastruktur Informasi dan Komunikasi di Desa

No Infrastruktur Komunikasi dan Informasi di Desa PODES 2014 PODES 2018 1 Ketersediaan ruang terbuka (fasilitas umum)

1a. Ada ruang terbuka

Ada, dimanfaatkan dengan baik

Ada, tidak dimanfaatkan

18.525 (22,54) (23,97)20.138 11.306 (13,47) 8.832 (10,52) 1b. Tidak ada ruang terbuka 63.665

(77,46) (76,01)63.793 2 Ketersediaan pasar desa

2a. Dengan bangunan permanen 705

(8,52) (8,29)7.794 2b. Dengan bangunan semi permanen 10.240

(12,46) (14,25)11.956 2c. Tanpa bangunan permanen 8.816

(10,73) (9,38)7.873 3 Keberadaan Base Transceiver Station (BTS)

a. Ada b. Tidak ada (32.95)27.084 55.106 (67,05) 32.150 (38,15) 51.908 (61,85) 4 Sinyal telepon/HP

a. Tidak ada sinyal b. Ada, sinyal lemah c. Ada, sinyal kuat

7.717 (9,39) 18.603 (22.63) 55.870 (67,98) 6.759 (8,05) 21.597 (25,73) 55.575 (63,78)

(35)

No Infrastruktur Komunikasi dan Informasi di Desa PODES 2014 PODES 2018 5 Sinyal internet, telepon GSM atau CDMA:

a. 4G/LTE b. 3G/H/H+/EVDO c. 2.5G/E/GPRS

d. Tidak ada sinyal internet

26.700 (34,60) 33.800 (43,80) 9.711 (12,58) 6.961 (9,02) 6 Program TV yang bisa dinikmati di desa

a. TVRI 78.284 (95,25) (93.68)78.627 b. TVRI daerah 65.366 (79,53) (79,97)67.123 c. TV Swasta 78.385 (95,37) (93.78)78.714 d. TV LN 71.564 (87,07) (85.17)71.486 Sumber: BPS, Podes 2014 dan 2018, ditabulasikan penulis

Infrastruktur lain yang perlu mendapat perhatian di wilayah perdesaan adalah tersedianya Base Transceiver Station (BTS). Dalam era aktivitas digital, apalagi ditambah dengan kajadian pandemi Covid-19 sekarang, kelancaran komunikasi sangat ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur pendukung seperti jaringan BTS dan jaringan listrik; agar akses informasi dapat diterima seluruh lapisan masyarakat secara simetris. Jaringan BTS baru tersedia sekitar 32-38 persen di wilayah perdesaan. Ini berarti sebagian besar desa-desa belum mempunyai BTS sendiri, tetapi mungkin masih berbagi penggunaan dengan desa-desa yang lain dalam satu kawasan kecamatan.

Belum meratanya akses BTS mungkin berpengaruh pada penerimaan sinyal handphone di desa. Data menunjukkan bahwa desa yang tidak dapat menerima sinyal handphone mulai berkurang pada tahun 2018 dibanding kondisi tahun 2014. Namun, jumlah desa yang mempunyai sinyal kuat tidak bertambah banyak, dan desa yang mempunyai sinyal tapi lemah semakin bertambah. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi geografis yang luas, tetapi jaringan BTS yang tersedia relatif masih sedikit. Sinyal internet merupakan akses barang/jasa semi publik. Akses pada fasilitas ini seharusnya dinikmati secara luas oleh masyarakat. Teknologi internet berkembang sedemikian cepat. Belum lama menikmati 2,5G, lalu 3G dan dalam sekejap sudah muncul 4G. Desa-desa belum semuanya dapat menikmati sinyal 2,5G; di belahan wilayah yang lain sudah terbiasa memanfaatkan 4G. Namun demikian, di Indonesia sekitar 6.000an desa belum menikmati internet.

(36)

Media informasi televisi (TV) di sisi yang lain, relatif sudah dapat dinikmati hampir di seluruh desa, meski sebagian mungkin harus menggunakan tambahan antena parabola. Siaran TVRI, TVRI daerah, TV Swasta Nasional dan TV siaran luar negeri dapat dikatakan telah dinikmati sampai pelosok desa, mengingat cakupan desa telah mencapai 80 persen lebih.

3. ANTISIPASI KEBIJAKAN PUBLIK BAGI PEMERINTAH

DAERAH PASCA PANDEMI COVID-19, DAN MENYAMBUT

KONDISI KENORMALAN BARU

Awal bulan Februari tahun 2020, wabah Corona virus diseases atau Covid-19 mulai masuk dan menyebar di Indonesia. Dalam waktu sebulan, awal Maret jumlah korban positif Covid telah mencapai 1000an orang. Bulan April jumlah korban semakin meningkat. Kementrian kesehatan mengeluarkan himbauan darurat kesehatan, mengingat jumlah korban dan ancaman kematian yang semakin banyak. Perkembangan jumlah korban yang sangat cepat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Presiden Jokowi menetapkan peraturan atau kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ketentuan PSBB ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020.

Ketentuan PSBB diambil baik dalam level negara, wilayah pulau, provinsi bahkan sampai pada skala desa. Dibeberapa tempat pembatasan mungkin sampai ke tingkat RT-RW. Dalam waktu tidak sampai sebulan, sebagian besar usaha yang melibatkan banyak karyawan seperti pabrik-pabrik ditutup, aktivitas belajar mengajar dilakukan dari rumah, akses transportasi publik dan masal diberhentikan. Hal ini dilakukan untuk menekan laju penyebaran Covid-19. Setelah mempertimbangakan banyak hal, salah satu diantaranya tekanan ekonomi yang ditimbulkan, maka pertengahan bulan Juni 2020 ketentuan normal baru (new normal) mulai diberlakukan. Hal apa yang dapat diambil sebagai pelajaran terkait dengan pandemi Covid-19? Banyak hal yang bisa diambil hikmahnya, tentu dibalik masalah yang telah ditimbulkannya. Berikut adalah beberapa hal yang bisa diambil sebagai bahan pertimbangan kebijakan.

3.1 Prasarana Kesehatan

Bencana apapun (alam dan non-alam), termasuk wabah penyakit seperti Covid-19 terjadi secara tiba-tiba. Kondisi bencana yang terjadi secara tiba-tiba biasanya harus diikuti oleh proses pengobatan bagi korban yang ditimbulkan (luka, sakit, rawat inap dan lain-lain). Terkait dengan wabah atau pandemi yang berbahaya seperti Covid-19, pemerintah daerah (mulai

(37)

desa hingga provinsi); tidak hanya dituntut siap dengan infrastruktur fisik (jumlah rumah sakit, jumlah kamar inap, jumlah ambulance dan lain-lain) juga dituntut siap dengan infrastruktur pendukung, seperti alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan. Selain infrastruktur fisik, jumlah tenaga medis (dokter, juru rawat dan tenaga apoteker) juga perlu dipertimbangkan, apakah kuantitas yang telah ada sudah imbang dengan rasio sebaran penduduk. Belajar dari Covid-19; rasio jumlah tempat tidur untuk rawat inap pasien dalam kondisi tidak normal (wabah) masih perlu ditambah, khususnya bagi pemerintah daerah kabupaten dan provinsi. Untuk menangani Covid-19, pemerintah pusat sampai menyiapkan ratusan kamar Wisma Atlet Kebayoran sebagai rumah sakit darurat penanganan isolasi pasien terindikasi Covid. Hal ini memberi indikasi bahwa pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah hendaknya mulai merencanakan pembangunan atau penambahan ruang perawatan pasien dalam kondisi darurat.

Untuk level pemerintah desa, pemanfaatan posyandu anak, posyandu lansia dan klinik desa hendaknya semakin ditingkatkan, agar derajat kesehatan penduduk desa dapat lebih terpantau. Selain pemanfaatan fasilitas posyandu, kerjasama yang baik antara aparat desa dan warga dapat semakin dipupuk dengan belajar dari kondisi Covid-19, agar jumlah korban yang ditimbulkan dari sebuah wabah dapat ditekan.

3.2 Infrastruktur Dasar

Pola penyebaran virus yang sangat cepat melalui cairan tubuh penderita, membawa konsekuensi pada penyesuaian kebutuhan beberapa infrastruktur bangunan maupun sarana transportasi publik. Ruangan kerja, ruangan rapat dan ruang kantor secara umum yang memiliki daya tampung lebih dari 50 orang hendaknya menyesuaikan dengan kondisi higienis. Pelonggaran tempat duduk-kapasitas ruangan, penyediaan air tempat cuci tangan dan handsanitizer serta penggunaan masker selama pandemi Covid hendaknya dapat menjadi pertimbangan perencanaan anggaran pemerintah, khususnya pemerintah desa di masa yang akan datang.

Setelah masa pandemi mulai mereda, pelaksanaan tatanan normal baru atau new normal juga membutuhkan banyak penyesuaian baru. Untuk mengurangi pola kerumunan, pelonggaran kapasitas orang per unit tempat (tempat duduk di transportasi umum, ruang kantor, ruang kerja, ruang kelas, dan lain-lain) juga membutuhkan proses penyesuaian, minimal berupa penataan tempat duduk. Terkait penambahan tempat/ ruang bagi tempat kerja dapat disesuaikan dalam jangka pendek berupa pengaturan shift kerja atau penggunaan ruangan baru. Hal yang berbeda mungkin dibutuhkan bagi pelaksanaan pendidikan, khususnya di tingkat dasar. Dengan kapasitas ruang belajar tertentu, proses pelonggaran tempat duduk tidak hanya menimbulkan penambahan ruang kelas tetapi

(38)

juga tenaga guru. Apabila tenaga guru diantisipasi dengan teknologi, maka proses adaptasi dan penguasaan teknologi bagi tenaga guru hendaknya segera dipersiapkan. Sekolah-sekolah (dasar dan menengah), yang belum mempunyai sumber daya air tempat cuci tangan, maka ketersediaan air cuci tangan per jumlah kelas dan per jumlah guru, murid dan staff sekolah hendaknya dijamin cukup memadai. Hal yang sama berlaku bagi perkantoran dan tempat kerja lain seperti pabrik atau usaha lainnya.

Untuk pemerintah desa, pemanfaatan balai desa dan ruang terbuka untuk kegiatan yang melibatkan banyak warga hendaknya mulai dipertimbangkan, selama pandemi seperti Covid-19 belum dinyatakan berakhir dan situasi telah aman.

3.3 Kebiasaan dan Perilaku Adaptasi

Menggunakan masker saat bepergian atau saat bekerja, belajar dan berada di tempat kerumuman, segera mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir merupakan hal yang belum umum dilakukan masyarakat selama ini. Hal ini akan mulai menjadi hal prosedural yang harus dilakukan selama masa pandemi masih menjadi ancaman menimbulkan korban. Sesuatu yang belum biasa dilakukan akan menyebabkan orang mudah lupa. Oleh karena itu, pola mengingatkan, baik dalam bentuk himbauan maupun berupa poster di tempat-tempat umum hendaknya diupayakan. Penegakan hukum informal bagi individu agar taat pada ketentuan maupun yang sadar dan tidak sadar melanggar ketentuan dapat dipertimbangkan sesuai keadaan di daerah masing-masing.

Antisipasi pola aktivitas produksi, konsumsi dan distribusi baru dalam bidang ekonomi harus mulai dilakukan. Penyesuaian kegiatan dengan memperhatikan protokol kesehatan akan diikuti oleh banyak peluang bisnis baru. Kebiasaan berbelanja di pasar mungkin akan berubah menjadi belanja secara online. Pemasaran barang-barang hasil produksi pertanian juga mulai dilakukan secara online dengan media digital. Proses belajar mengajar di level dasar menengah lebih banyak secara online dibanding offline. Kondisi penyesuaian new normal ini bagi dunia pendidikan sekolah dasar (SD) akan membutuhkan proses adaptasi teknologi. Pemanfaatan BTS sebagai transmitter sinyal HP dan internet akan semakin tinggi, khususnya di wilayah perdesaan. Oleh karena itu, proses adaptasi menuju new normal dari pemerintah daerah dan masyarakat perlu segera dilakukan.

Dalam konteks masyarakat desa, untuk sementara selama pandemi masih ada; kegiatan rapat-rapat yang melibatkan kerumunan warga, pesta-pesta dan kegiatan yang dilakukan bersama-sama, untuk sementara sebaiknya dihindari. Kegiatan rapat dapat dilakukan secara online, misal pemanfaatan radio brik, WA grup, atau media zoom bagi wilayah dan warga yang sudah memungkinkan. Layanan publik masyarakat desa

(39)

seperti kebutuhan surat-surat resmi dari pemerintah desa, dapat dilakukan secara online atau layanan SMS pengajuan dan aduan.

3.4 Anggaran

Selain pandemi Covid-19, banyak hal seperti bencana banjir, longsor, gempa, gunung meletus yang membutuhkan anggaran tambahan bagi pemerintah daerah, selain pembiayaan rutin yang dianggarkan dalam APBD. Bencana Covid-19 menimbulkan pola realokasi anggaran yang sangat besar, tidak saja karena belum ada anggaran khusus (anggaran kontinyensi), namun juga kebutuhan penanganan yang sangat banyak, seperti kebutuhan APD. Di level pemerintah daerah, informasi dari media Kompas online tanggal 17 April 2020 menyebutkan pemerintah DKI sampai mere-alokasi APBD sebesar Rp 56,57 Triliun untuk penanganan Covid-19. Hampir 93 persen dari pemerintah daerah di Indonesia dikatakan telah melakukan realokasi anggaran untuk menangani Covid-19 [2,3]. Di level

pusat, proses penyesuaian anggaran dan asumsi APBN juga terus dilakukan [3, 4].

Pada level pemerintah desa, bagi warga yang terdampak pandemi Covid-19; misal kehilangan pekerjaan, karantina sakit atau kondisi lain, pemanfaatan dana desa untuk program bantuan sosial masih dimungkinkan. Apabila Covid-19 sudah berlalu, proses penggunaan anggaran akan kembali normal sebagaimana sebelum Covid-19 terjadi. Pada saat ini, pemerintah daerah harus mulai berupaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan pendapatan asli desa dan mengurangi peran ketergantungan pada dana transfer dari pusat. Peningkatan PAD dapat dicadangkan secara langsung sebagai dana kontinyensi, yang dapat digunakan bila terjadi guncangan atau bencana.

4. PENUTUP

Pembangunan ditandai oleh meningkatnya aktivitas ekonomi, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Aktivitas ekonomi di wilayah perdesaan Indonesia menjadi salah satu prioritas dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal ini dituangkan dalam Program Nawacita, khususnya pada poin ketiga. Untuk meningkatkan aktivitas ekonomi di perdesaan, maka ketersediaan infrastruktur penunjang perlu diperhatikan.

Data menunjukkan sebagian desa-desa di Indonesia terletak di wilayah yang mengalami kesulitan geografis, seperti desa terletak di lereng, puncak bukit atau lembah. Distribusi infrastruktur dasar untuk menunjang kelancaran informasi dan teknologi relatif lebih terkendala di wilayah ini, yang disebabkan oleh perbedaan dalam biaya distribusi jaringan. Sinyal TV, radio, HP dan internet menjadi lebih rendah pada wilayah yang berbukit

Gambar

Tabel 2.1 Informasi Desa di Indonesia, tahun 2014 dan tahun 2018
Tabel 2.2 menunjukkan sekitar 20 persen desa-desa di Indonesia  terletak bukan di daerah dataran; namun di wilayah lereng perbukitan atau  lembah-lembah
Tabel 2.3 Ragam Aktivitas Ekonomi Masyarakat Perdesaan No Karakteristik Lokasi Desa PODES 2014
Tabel 2.5 Infrastruktur Informasi dan Komunikasi di Desa
+7

Referensi

Dokumen terkait

KETIGA : : Pelayanan Pelayanan kesehatan kesehatan melalui melalui telemedicine  telemedicine  pada masa pandemi  pada masa pandemi COVID-19 sebagaimana dimaksud dalam Diktum

Penggunaan media sosial Arsip UGM masa pandemi covid-19 ini memiliki peluang antara lain: sosialisasi layanan kearsipan masa pandemi covid-19; kerjasama antara akun

Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta

Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, 2020, Pemerintah Larang ASN, TNI, Polri, dan Pegawai BUMN untuk Mudik di Tengah Pandemi COVID-19,

Sedangkan hasil penelitian yang membahas mengenai teknologi digital pada kajian bidang ekonomi pemasaran di tengah pandemi Covid-19 diantaranya yaitu, membahas

Jika semua pendidikan siap mengimplementasikan perubahan- perubahan khususnya dalam transformasi digital, maka akan menghasilkan siswa dan lulusan yang mempunyai

bahwa Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang menjadi pandemi global telah berdampak serius terhadap sendi-sendi ekonomi dan kesehatan masyarakat desa dan

Pengabdian masyarakat ini telah melakukan pemberdayaan terhadap kader kesehatan posyandu selaku kader tanggap kesehatan ibu dan anak di masa pandemi covid-19