• Tidak ada hasil yang ditemukan

GOOD PUBLIC GOVERNANCE SEBAGAI STRATEGI

Pemberantasan korupsi membutuhkan strategi yang tepat agar dapat berjalan dengan efektif. Dalam rangka menyusun strategi maka perlu

diidentifikasi terlebih dahulu penyebab dari korupsi kepala desa. Dari pembahasan sebelumnya dapat diidentifikasi penyebab maraknya kasus korupsi kepala desa, yaitu:

1. Implementasi otonomi desa memberikan kewenangan yang besar bagi kepala daerah untuk menentukan arah pembangunan dan pemberdayaan desa, namun tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan yang baik, sehingga membuka kesempatan terjadinya korupsi.

2. Budaya patrimonial masyarakat desa membuka kesempatan terjadi korupsi. Ikatan pribadi dan loyalitas pada kepala desa membuat masyarakat enggan untuk menegur dan melaporkan praktik korupsi yang terjadi di sana.

Atas dasar penyebab korupsi kepala desa tersebut, maka good

public governance diyakini oleh Hofheimer (2006), Lio et al. (2011), dan

Elbahnasawy (2014) sebagai strategi pemberantasan korupsi. Good

public governance adalah aturan perilaku terkait pengelolaan kewenangan

oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya secara bertanggungjawab dan akuntabel (KNKG, 2008). Penataan desa perlu dilakukan agar terwujud penyelenggaraan pemerintah desa yang bersih dan bebas korupsi.

Strategi perbaikan sistem pengelolaan keuangan perlu dilakukan dalam rangka menutup celah atau kesempatan melakukan korupsi (Pusat Edukasi Anti Korupsi, 2019; Maria et al., 2019). Model public governance untuk pemerintah desa dapat disusun dengan melakukan penguatan kapasitas BPD. Anggota BPD berhak untuk mendapatkan penguatan kapasitas untuk menunjang fungsi dan perannya sebagai lembaga legislatif desa. Pengembangan kapasitas BPD menjadi tanggungjawab dari pemerintah kabupaten/kota. Regulasi yang mengatur lebih rinci tentang bentuk penguatan kapasitas juga diperlukan, agar pengembangan kapasitas BPD dapat berjalan terarah.

Penguatan kapasitas BPD dilakukan dengan cara: pertama, peningkatan kompetensi anggota BPD dengan menjalankan kegiatan pendidikan.dan.pelatihan, sosialisasi, pembimbingan teknis, studi.

banding, serta pemberian.penghargaan dari pemerintah daerah kepada.

pimpinan dan anggota BPD yang berprestasi. Kedua, peningkatan kesadaran.masyarakat desa untuk mendaftar menjadi anggota BPD sebagai.bentuk partisipasi.masyarakat.terhadap pembangunan di desa tercinta. Animo.masyarakat menjadi.anggota BPD rendah karena syarat pendaftaran yang memberatkan dan tunjangan bagi anggota BPD yang rendah. Meskipun hak dari anggota BPD untuk mendapatkan tunjangan pelaksanaan tugas dan fungsinya, serta tunjangan lainnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Desa, namun praktiknya hak tersebut belum atau terkesan sulit direalisasikan. Oleh sebab itu, butuh pengaturan yang

lebih tegas terkait prosedur dan mekanisme pemenuhannya, sehingga ada standar bagi pemerintah kabupaten/kota untuk memenuhi hak anggota BPD. Ketiga, perbaikan dalam perekrutan angota BPD. Anggota BPD merupakan perwakilan dari penduduk.desa berdasarkan.wilayah yang pengisiannya.harus dilakukan secara demokratis.

Tidak hanya penguatan kapasitas, BPD juga perlu penguatan kelembagaan. Pengorganisasian yang baik diperlukan oleh BPD, sehingga seluruh anggota BPD dapat bersinergi menjalankan tugas dan perannya sebagai lembaga legislatif desa. BPD perlu struktur organisasi yang mengatur tugas dan kewenangan anggota BPD dan juga perlu pengelolaan memadai layaknya sebuah lembaga. Praktiknya, kebanyakan BPD tidak didukung oleh staf yang mengelola sekretariat, sehingga BPD seringkali dipandang sebagai kumpulan individu dan bukan sebuah lembaga. Oleh sebab itu, kesekertariatan BPD dipandang dapat membantu kinerja BPD dalam menjalankan segala urusan yang bersifat teknis dan operasional.

Penguatan kapasitas dan kelembagaan BPD diperlukan agar ada

check dan balance pada pengelolaan keuangan desa. Harapannya

tercipta pemerintahan desa yang transparan, .akuntabel, partisipatif,tertib dan disiplin anggaran, sehingga desa terbebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pemerintah yang transparan terjadi jika pemerintah desa memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengakses informasi.

seluas-luasnya.terkait keuangan desa. Sedangkan, pemerintah yang akuntabel terjadi jika pemerintah desa dapat mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Pemerintah yang partisipatif, terjadi jika pemerintah menyelenggarakan pemerintahannya dengan mengikutsertakan kelembagaan desa dan unsur masyarakat desa. Sedangkan, pemerintah yang tertib dan disiplin anggaran terjadi jika pemerintah mengelola keuangan desa berdasarkan aturan atau pedoman yang melandasinya.

Desa Wiladeg, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta adalah contoh pemerintah desa yang menganggap transparansi dan akuntabilitas bukanlah barang mewah di desa yang dipimpinnya. Warga desa terbiasa mendapatkan informasi terkini tentang pembangunan dan kinerja pemerintah daerah melalui Radio Komunitas Wiladeg. Musyawarah desa dan laporan pertanggungjawaban kepala desa disiarkan secara langsung oleh radio ini, sehingga seluruh pendengar radio tahu berapa uang yang digunakan dan untuk apa saja uang tersebut.

Perbaikan sistem pengelolaan juga dapat dilakukan dengan menerapkan e-government, yaitu menggunakan teknologi.informasi dan.

komunikasi (TIK) oleh pemerintah agar bisa bekerja lebih efektif, berbagi informasi, dan memberikan pelayanan publik yang lebih baik (UNDP, 2006). Tujuannya agar publik dapat memberi masukan tentang kebutuhan desa dan juga ikut serta mengawasi pengelolaan keuangan desa

sehingga praktik korupsi dapat dihilangkan. E-Government juga berfungsi untuk meningkatkan akuntabilitas karena aplikasi tersebut berguna bagi masyarakat untuk melacak keputusan dan tindakan dari pemerintah serta memberi kebebasan bagi masyarakat untuk mempertanyakan prosedur yang tidak masuk akal yang diterapkan oleh pemerintah (Lio et al., 2011).

Pemerintah Kabupaten Pemalang memiliki aplikasi e-voting yang sukses digunakan ketika Kabupaten Pemalang melakukan pemilihan kepala desa tahun 2018. Tidak hanya itu, Pemerintah Kabupaten.

Pemalang juga terus melakukan inovasi.dalam kegiatan pengelolaan desa dengan membuat e-village, yaitu website desa. Informasi terkini tentang pembangunan dan kinerja desa dapat di akses masyarakat melalui

e-village. Harapannya penerapan e-village dapat membuat pengelolaan

keuangan desa menjadi lebih.transparan, akuntabel, .partisipatif, tertib.

dan disiplin, sehingga dapat mengurangi praktik korupsi di desa.

4. PENUTUP

Pemberlakuan UU No. 6/2014 tentang Desa memberikan kewenangan secara otonom kepada pemerintah desa untuk mengelola dan mengembangkan desanya. Harapannya, masyarakat desa dapat lebih sejahtera dengan berbagai program.pemberdayaan masyarakat.dan.

pembangunan desa. Terbitnya UU Desa telah mereposisi kewenangan.

pembangunan desa.dari.pemerintah.daerah ke pemerintah desa. Konsekuensinya, pemerintah pusat memberikan Dana Desa untuk membiayai kegiatan pembangunan di desa. Namun praktiknya, korupsi menjadi masalah sistemik dan terstruktur di desa karena korupsi terjadi hampir di seluruh tahap pengelolaan keuangan desa.

Aktor dominan korupsi Dana Desa adalah kepala desa. Penyebabnya ada dua. Pertama, implementasi otonomi desa memberikan kewenangan yang besar bagi kepala daerah untuk menentukan arah pembangunan dan pemberdayaan desa, namun tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan yang baik, sehingga membuka kesempatan terjadinya korupsi. Kedua, budaya patrimonial masyarakat desa membuka kesempatan terjadi korupsi. Pemberantasan korupsi bukanlah pekerjaan mudah, sehinga butuh strategi yang tepat untuk memberantasnya. Strategi perbaikan sistem pengelolaan keuangan perlu dilakukan dalam rangka menutup celah atau kesempatan melakukan korupsi. Model good public governance untuk pemerintah desa dapat disusun dengan melakukan penguatan kapasitas dan kelembagaan BPD. Good public governance juga dapat dilakukan dengan menerapkan e-government di desa. Harapannya, agar tercipta pemerintahan desa yang.transparan, akuntabel, .partisipatif, tertib dan.disiplin anggaran.

5. DAFTAR PUSTAKA

Cressey, D. R. (1950). Criminal Violation of Financial Trust. Indiana University.

Elbahnasawy, N. G. (2014). E-Government, Internet Adoption, and Corruption: An Empirical Investigation. World Development, 57, 114–126. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2013.12.005. Hofheimer, K. L. (2006). The Good Governance Agenda of International

Development Institutions (Old Dominion University). https://doi.

org/10.25777/67he-3892.

Indonesian Corruption Watch. (2019). Dua belas modus korupsi dana desa versi ICW. Tersedia di https://www.dejurnal.com/2019/11/ dua-belas-modus-korupsi-dana-desa-versi-icw/

Indonesian Corruption Watch. (2020). Dana Desa Dominasi Kasus Korupsi Sepanjang 2019. Tersedia di https://www.medcom.id/nasional/ hukum/3NOGr7zN-dana-desa-dominasi-kasus-korupsi-sepanjang-2019#:~:text=%22Dari%20kasus%20korupsi%20 itu%20nilai,Selatan%2C%20Selasa%2018%20Februari%20 2020

Kementerian Desa (2020). Capaian Dana Desa 2019. Tersedia di https:// sipede.ppmd.kemendesa.go.id/

Khan, M. H. (2006). Determinants of Corruption in Developing Countries: The Limits of Conventional Economic Analysis. In International

Handbook on the Economics of Corruption (pp. 219–244).

https://doi.org/10.4337/9781847203106.00015.

Komite Nasional Kebijakan Governance. (2008). Pedoman Umum Good Public Governance Indonesia. In Komite Nasional Kebijakan

Governance. https://doi.org/10.1021/ic035198d.

Lio, M. C., Liu, M. C., & Ou, Y. P. (2011). Can the Internet Reduce Corruption? A Cross-Country Study Based on Dynamic Panel Data Models. Government Information Quarterly, 28(1), 47–53. https://doi.org/10.1016/j.giq.2010.01.005.

Maria, Evi, Halim, A., Suwardi, E., & Miharjo, S. (2019). Desentralisasi Fiskal dan Probabilitas terjadinya Korupsi: Sebuah Bukti Empiris dari Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 22(1), 1–22. https://

doi.org/10.24914/jeb.v22i1.2036.

Nguyen, T. V, Bach, T. N., Le, T., & Le, C. Q. (2017). Local Governance, Corruption, and Public Service Quality: Evidence from a National Survey in Vietnam. International Journal of Public

Sector Management, 30(2), 137-153. https://doi.org/10.1108/

IJPSM-08-2016-0128.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110. Badan Permusyawaratan Daerah (2016). Indonesia.

Pusat Edukasi Anti Korupsi. (2019). 3 Strategi Pemberantasan Korupsi. Tersedia di Komisi Pemberantasan Korupsi w e b s i t e : https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/ infografis/3- strategi-pemberantasan-korupsi. Akses tanggal 2 January 2020.

Rose-Ackerman, S. (1978). Corruption: A Study in Political Economy. New York: Academic Press.

Sudibyo, A., dan Linda. (2014). Identifikasi Potensi Korupsi pada Keuangan Desa. Jakarta: Humas KPK Press.

Undang-Undang Nomor 31. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (1999). Indonesia.

Undang-Undang Nomor 20. Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2001). Indonesia

Undang-Undang Nomor 6. Desa (2014). Indonesia.

United Nations Development Program. (2006). Fighting corruption with e-

QUO VADIS AKUNTABILITAS

PENGELOLAAN DANA DESA

Fitria Husnatarina Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Palangka Raya fitria.husnatarina@feb.upr.ac.id

BAB

VIII

1. PENDAHULUAN

Amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagai landasan aktivitas dekonsentrasi dan tugas pembantuan kepada kewenangan daerah. Tujuannya adalah untuk memberikan sepenuhnya tanggung jawab kepada daerah terkait pengelolaan keuangan daerah. Dengan pijakan legal tersebut, diharapkan bahwa pengelolaan keuangan pemerintah daerah maupun pusat lebih efisien, efektif dan ekonomis.

Persoalan yang menjadi prioritas pemerintah pada saat ini terletak pada strategi pemerataan pembangunan di daerah yang diterjemahkan melalui program pembenahan pembangunan desa. Pertanyaannya adalah, kenapa harus desa? Permasalahan ini dapat dikaitkan dengan pemikiran tentang bagaimana desa menjadi analogi sebuah ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan dibandingkan dengan kondisi kota. Terkait fenomena ini, selanjutnya kita dapat mengasumsikan mengapa ledakan urbanisasi menjadi permasalahan besar bagi perkotaan, sehingga menjadi hal penting melakukan percepatan pembangunan desa sebagai salah satu cara untuk memberikan keseimbangan antara pembangunan daerah pedesaan dan perkotaan di seluruh wilayah Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 mengungkapkan bahwa dana desa adalah dana yang ditransfer kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang sumbernya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat desa.

Fenomena pengucuran dana desa dalam jumlah yang tidak sedikit bagi ukuran desa, menjadi perhatian besar, hal ini disebabkan karena dalam aktivitas pengelolaannya, maraknya kasus hukum menjadi fakta yang tidak bisa dilepaskan dari rangkaian eksekusi dana desa di berbagai daerah. Lebih lanjut, kondisi ini tidak menunjukkan bahwa adanya proses perbaikan dalam tahapan demi tahapan program nasional ini, walaupun sudah dilaksanakan dalam beberapa tahun. Pertanyaannya adalah, apa yang salah dalam program ini, dan bagaimana meraih pembangunan

desa sebagaimana yang diharapkan dengan menjaga agar kasus hukum terkait pengelolaannya juga semakin minim. Jawaban dari kondisi ini ada pada titik dimana dan ke arah mana akuntabilitas pengelolaan dana desa itu dibawa. Mengapa parameternya ada pada akuntabilitas?, karena akuntabilitas pengelolaan dana desa adalah bentuk pertanggungjawaban aktivitas maupun keuangan dalam proses pengelolaan dana desa.