• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DAN AKSES MASYARAKAT

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Perum Perhutani KPH Jember

PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DAN AKSES MASYARAKAT

Sejarah Pengelolaan Hutan

Sebelum tahun 1974 hutan telah lama dikelola dan dimanfaatkan masyarakat Desa Seputih secara turun temurun untuk mempertahankan hidup. Masyarakat bebas memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemudian pada tahun 1974 lahan hutan diambil alih oleh negara dan memberikan hak atas hutan kepada Perum Perhutani. Pada saat itu masyarakat tidak dapat dengan bebas masuk kekawasan hutan dengan mudah karena hutan dijaga oleh aparat keamanan. Selain itu, masyarakat tidak boleh membangun rumah permanen dikawasan tersebut. Mereka hanya boleh membangun rumah dari bilik bambu.

Waktu itu (tahun 1974) ketika bapak masih kecil dihutan ini mulai berubah sejak masuknyaPerhutani. Hutan dijaga ketat sama tentara yang waktu itu. Orang orang juga tidak boleh membangun rumah dari tembok. Mereka hanya diizinkan membangun rumah dari tabing(bilik bambu)”(MSN, 74 tahun)

“Hal yang paling ditakutkan itu banyak tentara tentara yang mengawasi masyarakat semua. Sampai sampai masyarakat tidak ada yang berani untuk masuk kehutan lagi. Padahal duluya hutan itu dikelola dengan warga sendiri buat mencukupi kebutuhan hidup sehari- hari.”(SKT, 60 tahun)

Hal seperti itu terjadi sampai awal tahun 1990-an. Sekitar tahun 1995 masyarakat dapat mengakses hutan walaupun masih sangat diawasi ketat. Saat itu kondsi hubungan antara masyarakat dan Perhutani masih tidak begitu baik. Pada masa ini masyarakat yang terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagian ada yang bemigrasi keluar daerah dan sebagian ada yang merambah kawasan hutan dengan sembunyi sembunyi membalak kayu milik Perhutani secara besar- besaran. Masyarakat yang kedapatan mencuri kayu milik perhutani ditindak secara hukum.

Ketika itu saya juga ikut masuk kehutan untuk mengambil kayubersama warga lain. Namanya juga kebutuhan mendesak untuk hidup mau gimana lagi. Untuk pergi ke kota warga juga jarang punya keterampilan. Lahan buat bertani juga tidak ada karena semua lahan disini milik Perhutani”(DMS, 45 Tahun)

Menyadari perambahan dan pembalakan hutan yang dilakukan secara besar- besaran pada saat itu Dinas Kehutanan Jember dan Perhutani KPH Jembersehingga mereka mencari solusi untuk menghentikan perambahan secara besar besaran terhadap hutan. Solusi yang tercipta yakni dengan melibatkan masyarakat desa secara partisipatif dalam mengelola kawasan hutan untuk mengembalikan kembali fungsi hutan secara optimal dan lestari serta bernilai ekonomi. Solusi yang dibuat merupakan suatu yang bernama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). solusi tersebut direalisasikan pada tahun 1997.

Program PHBM yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat Desa menemui hambatan. Hambatan yang tejadi adalah perbedaan pandangan kepentingan antara masyarakat dengan pihak pemerintah, sehingga sulit

PHBM ini terlaksana dengan baik dan bijak. Pandangan dan kepentingan yaitu ingin mengembalikan fungsi hutan serta daya dukung hutan seperti dahulu. Kemudian, pandangan dan kepentingan masyarakat yaitu kawasan hutan merupakan sumber penghidupan mereka untuk memenuhi hidup sehari-hari serta sebagai lahan garapan yang bisa dilanjutkan oleh anak-anak mereka kelak nanti. Perbedaan pendapat ini yang antara pihak pemerintah yaitu Perum Perhutani KPH Jember dan Dinas Kehutanan Jember dengan masyarakat sekitar hutan yaitu Desa Seputih terjadi konflik. Masyarakat di Desa Seputih berpegang teguh bahwa mereka tidak akan meninggalkan lahan garapan yang berada di dalam kawasan Hutan. Padahal pemerintah melalui program PHBM telah membuat suatu rencana yaitu berupa pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan masyarakat untuk berperan dalam menjaga hutan kefungsinya kembali secara ekologi, akan tetapi bernilai ekonomi. Awalnya masyarakat menolak dengan program PHBM tersebut, bahkan masyarakat menjaga kawasan sekitar hutan, agar pemerintah tidak bisa mengusir keluar mereka dari kawasan hutan yang merupakan bagi masyarakat sebagai sumber nafkah mereka.Seperti yang disampaikan oleh informan:

Pada saat ingin mengajak masyarakat berparsitipasi untuk program PHBM mereka masih menolak. Karena dianggap akan seperti dulu ketika mereka memang sangat dibatasi untuk mengakses hutan yang telah lama mereka garap. Padahal tujuan kami disini memberikan ruang juga untuk masyarakat untuk bersama menjaga kawasan hutan agar tetap lestari dan memiliki nilai ekonomi. Akan tetapi mereka masih belum bisa mengerti bahwa program yang kami bawa ini ingin membawa mereka kearah yang lebih sejahtera.”(Mantri Hutan BKPH Seputih)

“Pada awalnya kami menolak program itu karena kami takut dibodohi agar tidak bisa mengambil kayu lagi dihutan, apalagi jaman sedang krisis, cari kerja susah, sekolah jarang ada yang lulus mau gimana lagi? Cuma hutan yang tadinya kami kelola sendiri sudah diambil perhutani. jadi kita warga pada jaman itu tidak setuju pada program PHBM. sampai akhirnya ada perjanjian dan penyuluhan dari pihak perhutani yamg membuat kami menerima ada nya program tersebut.”(DMS,45 tahun)

Pelaksanaan program pada tahun itu masih belum memenuhi hasil karena masyarakat masih tetap pada pendirian teguhnya merambah kayu dihutan belum lagi adanya dempetan krisis moneter membuat masyarakan semakin besar besaran merambah hutan. Untuk mengambil hati masyarakat dan membangun kepercayaan terhadap masyarakat pada tahun 1998 PerumPerhutani membantu masyarakat dalam bekerjasama dengan PLN untuk memulai pengadaan listrik dikawasan Desa Seputih. Ditengah tekanan krisis moneter dan kerusakan lingkungan yang terjadi pihak pemerintah tetap berusaha untuk meyakinkan masyarakat terhadap program PHBM. Masyarakat diajak berdiskusi bersama untuk mengelola kawasan hutan kembali serta masyarakat diberikan hak untuk memanfaakan kawasan hutan menanam tanaman bertajuk tinggi ketika tumbuhan utama hutan perhutani telah tumbuh besar. Selain itu juga masyarakat bisa membuat tegalan dilahan perhutani yang telah dipanen sampai menunggu masa tanam kemabali.Mulai dari hal itu maka terbangunlah rasa saling percayadan hubungan yang baik antara pihak Perum Perhutani BKPH Seputih dan masyarakat Desa Seputih yang berada dikawasan sekitar hutan.

Tabel 6 Sejarah Pengelolaan Hutan di Desa Seputih

Tahun Sejarah Mengelola Hutan

<1974  Hutan masih di kelola oleh masyarakat secara turun menurun. Masyarakat sangat bergantung pada hutan

1974  Perum Perhutani masuk dengan izin dari pemerintah, dan hutan mulai dijaga ketat oleh aparat keamanan.

 Masyarakat dilarang membangun rumah permanen

1995  Masyarakat mulai mengakses hutan, akan tetapi masih saja diawasi degan ketat oleh aparat keamanan

 Masyarakat terdesak karena kebutuhan akan lahan danpendapata 1997  Munculnya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

yang dibuat oleh Perum Perhutani

 Program PHBM yaitu dengan melibatkan partispatif masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk mengembalikan fungsi hutan kembali secara optimal dan lestari serta bernilai ekonomi.

 Masyarakat menolak adanya program tersebut, karena beranggapan dengan adanya program tersebut malah akan membuat hidup mereka sengsara dalam kemiskinan.

1998  Akibat perambahan hutan yang telah dilakukan oleh masyarakat, terjadi bencana alam berupa banjir bandang dan tanah longsor.  Masyarakat mulai sadar akan dampak yang ditimbulkan, akhirnya

menerima dan ikut berkerjasama dalam program PHBM yang dibuat oleh pemerintah

 Perum Perhutani bekerjasama dengan PLN untuk pengadaan listrik

 Kerjasama yang dilakukan melalui program PHBM adalah menjaga kelestarian kawasan hutan dan memberikan akses atau jalan masuk bagi masyarakat untuk menggarap lahan di hutan. Masyarakat yang mengikuti program PHBM diberikan pelatihan, penyuluhan, dan perencanaan dalam menggarap lahan di kawasan dengan baik dan bijak.

1999  Program PHBM membentuk LMDH untuk mengordinir aspirasi masyarakat yang tergabung dalam kegiatan PHBM

 Program PHBM menjadikan suatu basis nafkah sebagai sumber penghidupan

2009  Program PHBM sudah menjadi salah satu penopang kehidupan masyarakat

 Terjalinnya komunikasi yang baik dari pihak Perhutani, pemerintah dan masyarakat

 Pengusahaan ketersediaan air bersih bagi kawasab desa Seputih Khususnya dusun Tetelan

2013  Perhutani bersama masyarakat membangun wadah penampung air bersama- sama guna mengatasi krisis air di kawasan sekitar hutan 2014  Pengelolaan air bersih secara bersama dengan di kontrol serta

dirawat bersama oleh pihak perhutani dan masyarakat

 Membuka lahan bersama masyarakat untuk tanaman kopi yang nantinya diperuntukan oleh masyarakat

Keterlibatan dan Peran Masyarakat dalam Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) diarahkan pada kawasan BKPH Seputih dengan melibatkan masyarakat ada di sekitar kawasan. Program PHBM dilakukan dengan memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan hutan, bukan sekedar untuk menghentikan terjadinya perusakan sumberdaya hutan dan ekosistemnya. Melainkan pemberdayaan yang mengarah pada upaya untuk memberikan kesempatan, kemudahan, dan fasilitas terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Masyarakat diberdayakan melalui program PHBM agar mereka secara mandiri dan mampu mengembangkan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan. Mandiri dalam pemberdayaan yaitu guna memanfaatkan sumberdaya alam hayati ekosistem untuk kemakmuran sebesar-besarnya serta senantiasa memperhatikan upaya pelestarian (ekologi, ekonomi, dan sosial budaya), sumberdaya alam, dan lingkungan.

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di kawasan BKPH Seputih diharapkan mampu memantapkan kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem serta meningkatkan peran aktif masyarakat. Kemudian, dengan program PHBM dapat mengembangkan partisipasi, desentralisasi, kemitraan, pemerataan, keberlanjutan, kemandirian, dan guna meningkatkan kelestarian kawasan hutan. Tujuan dari PHBM di kawasan Perhutani BKPH Seputih adalah menjamin keseimbangan ekologi, ekonomi, dan sosial budaya serta menigkatkan kemandirian masyarakat sebagai pendukung utama dalam pelaksanaannya. Program PHBM di BKPH Seputih mengaktualisasikan akses timbal balik peran masyarakat dan fungsi kawasan hutan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Mekanisme proses penyusunan PHBM ditentukan oleh Perhutani sebagai pihak pengelola. Penentuan lokasi atau patokan untuk lahan yang digarap masyarakat dan jenis tanaman/pohon yang akan ditanam merupakan wewenang Perutani. Pihak Perhutani mengajak masyarakat secara partisipatif dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi. Tahap perencanaan di kawasan BKPH Seputih meliputi pendataan masyarakat yang menggarap di kawasan, orientasi/pemilihan tanaman yang akan diatanam, penyusunan rancangan dalam kegiatan fisik di lapangan. Tahap selanjutnya yaitu pembinaan dan pelatihan sebagai upaya penyadaran hukum masyarakat dan proses menyamakan persepsi tentang kepahaman pentingnya kelestarian hutan antar pihak (stakeholder) yang berkepentingan.

Kemudian, pembentukan kelembagaan dan pranata sosial sebagai pembentuk aturan dan wadah aspirasi dalam keberhasilan PHBM. Pelaksanaan pengembangan kawasan hutan, membangun kepahaman dan pengakuan masyarakat akan status hutan secara de jure ataupun de facto dan menanggulanginya. Pendampingan dilakukan oleh pihak Perhutani yang bertujuan member arahan bagi terbentuknya kelembagaan yang mantap dan teratur serta

meningkatkan keterampilan teknis dan pengetahuan. Monitoring dan evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui sejauhmana program PHBM dapat berjalan serta hasil penilaian selanjutnya menjadi bahan perbaikan bagi prinsip PHBM untuk di masa depan.

Tabel 7 Penjelasan Tahapan Program PHBM di Kawasan BKPH Seputih Tahapan

Program PHMB

Penjelasan Tahapan Program PHMB di Kawasan BKPH seputih

Perencanaan Tanaman yang akandiperkenakan untuk di tanam di lahan PHBM adalah tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Species) atau tanaman bertajuk tinggi seperti karet, kemiri, petai, dan durian. Selain itu petani juga diperkenakan untuk melakukan tumpang sari dengan dapat menanam palawija dan umbi- umbian untuk ditananm diantara tegakan jati. Pihak Perhutani juga menawarkann pada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan pasca penebangan dengan dapat menanam tanaman yang dianggap produktif dan mmpu meningkatkan usaha ekonomi.

Lahan yang dapat digarap mulai 0,25ha - 3ha dimana setiap lahannya di garap oleh satu orang

Hasil dari menggarap lahan tersebut 100 persen hasilnya untuk masyarakat, karena tanggung jawab yang diberikan adalah hanya menjaga dan merawat tanaman yang ditanam agar lestari Pembinaan dan

Pelatihan

Adanya sosialisasi secara intensifkepada masyarakat terkait mengenai fungsi hutan, agar memberikan kesepahaman antar pemangku kepentingan yang ada dengan bijak.

Peningkatan kapasitas masyarakat, seperti pelatihan substansi pengembangan keterampilan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Pembentukan Kelembagaan

Membentuk kelompok tani secara mandiri, membutat aturanaturan dalam kelompok serta sanksi jika ada yang melanggar.

Pembentukan kelompok berfungsi sebagai wadah aspirasi dalam menyampaikan permasalahan dalam program PHBM di Perhutani

Adanya rencana kerja kelompok, sehingga kelompok mempunyai arahan yang jelas dalam program PHBM.

Pelaksanaan Pengembangan Kawasan Hutan

Masyarakat ikut aktif dalam penataan wilayah lahan garapan seperti pemetaan, adanya batas-batas lahan garapan antar anggota kelompok secara jelas.

Masyarakat mengikuti rehabilitasi dan pengamanan kawasan, agar bisa mengantisipasi dini penanggulangan kebakaran hutan, pencegahan pembukaan lahan garapan baru, dan pencegahan pencurian kayu (illegal logging).

Pendampingan Pihak Perhutani berperan menjadi fasilitator terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat/kelompok.

Pihak Perhutani bisa sebagai motivator dan dinamisator sebagai membangun hubungan kerja yang baik dengan pihak lain serta untuk mengefektivitaskan komunikasi antar kelompok lainnya. Monitoring dan

Evaluasi

Pihak UPTD melakukan penilaian terhadap terlaksananya hasil program PHBM yang sudah dijalankan di kawasan Perhutani

 Pihak Perhutani bersama masyarakat membuat pembinaan dalam mencari jalan alternatif penyelesaian masalah, agar kelancaran pembinaan pengembangan PHBM tetap berjalan baik di Perhutani.

Keterlibatan dalam Perencanaan Kelola Wilayah Hutan

Mekanisme proses penyusunan rencana kelola wilayah hutan telah ditetapkan Perhutani sebagai pihak pengelola. Penentuan lokasi, waktu penanaman, jenis pohon yang akan ditanam, merupakan wewenang Perhutani. Perhutani mengajak masyarakat secara partisipatif dalam perencanaan hutan secara strategis untuk jangka 5 tahun ke depan melalui PHBM. Perencanaan ini disinergikan dengan tujuan program desa di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Perencanaan tersebut meliputi: rencana kelola wilayah hutan, rencana sosial, rencana kelembagaan, peningkatan sumberdaya manusia, peningkatan usaha ekonomi produktif masyarakat sekitar hutan. Salah satunya adalah merencanakan tanaman-tanaman yang akan ditanami sebagai tanaman sela, berupa tanaman pangan seperti palawija, diantara tegakan jati. Masyarakat diberi kebebasan untuk memilih tanaman apa saja yang dianggap memberikan keuntungan dan hasil dari tanaman tersebut sepenuhnya menjadi milik masyarakat.

Sebelum menentukan jenis tanaman apa saja yang diperkenankan atau tidak diperkenankan untuk ditanam di lahan PHBM, sebelumnya ditentukan lokasi petak lahan hutan yang akan digarap beserta jumlah petani penggarap di lahan tersebut. Penentuan petak lahan hutan dimulai pada saat setelah keluarnya Rencana Tebang Tahunan (RTT). Pihak Perhutani menawarkan ke masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan untuk menggarap lahan hutan pasca penebangan. Perhutani memberlakukan ketetapan bahwa kondisi ideal atau normalnya dengan luas lahan antara paling rendah 0,25 ha sampai lebih dari 0,75 ha setiap keluarga. Besar atau kecilnya luas lahan yang digarap tergantung pada ketersediaan lahan yang diperuntukkan bagi petani. Selain itu, kesanggupan dari petani itu sendiri untuk menggarapnya menjadi pertimbangan lainnya. Dalam pola tumpang sari, pihak Perhutani mengadakan kesepakatan dalam bentuk penandatanganan kontrak kerjasama antara LMDH yang mewakili para petani dengan Perhutani. Seluruh petani yang menggarap disuatu petak lahan didaftarkan beserta luas lahan yang digarapnya. Surat yang berisi kontrak perjanjian antar LMDH yang mewakili masyarakat dengan Perhutani ditandatangani oleh kedua belah pihak dan pihak-pihak terkait. Pada saat tersebut pula dijelaskan tata aturan mengenai hal-hal apa saja yang tidak diperkenankan untuk ditanam di petak lahan PHBM kepada para petani.

Keterlibatan dalam Penananaman Tanaman Pangan

Petani penggarap yang terlibat dalam penanaman tanaman pangan di lahan PHBM disebut pesanggem. Mereka diberikan hak untuk menggarap lahan hutan di sekitar tegakan jati. Terdapat dua pola penggarapan lahan yang dilakukan para pesanggem, yakni banjar harian dan tumpang sari. Sistem tanam ini tergantung dari ada atau tidaknya petani calon pesanggem yang akan menggarap. Bila banjar

harian jumlah pesanggemnya sedikit per sekian hektar lahan garapan sementara tumpang sari lebih banyak jumlah pesanggemnya. Baik pesanggem banjar harian maupun tumpang sari telah terdata oleh pihak Perhutani. Pola banjar harian adalah melibatkan pesanggem untuk melakukan pembersihan atau pembabatan sebelum dilakukan penanaman jati selain ikut juga mengolah lahan untuk ditanami tanaman pangan di petak lahan hutan. Pola tumpang sari adalah mengikusertakan pesanggem dalam mengolah lahan untuk ditanami tanaman pangan yang secara tidak langsung turut membersihkan dan membabat di petak lahan hutan. Letak perbedaannya adalah pesanggem pada pola banjar harian diberikan upah untuk melakukan pembersihan dan pembabatan lahan sementara pesanggem pada pola tumpang sari tidak diberikan. Hal tersebut diperjelas oleh Bpk. MHD (45 tahun) selaku petugas harian lapangan Perhutani (Mandor PHBM) yang menyatakan:

“Pesanggem banjar harian mendapatkan kerja. Mereka dibutuhkan apabila tidak ada yang mengolah lahan hutan sebelum penanaman jati. Lahan yang dapat diolah tersedia, namun tidak ada pesanggem yang ingin mengolahnya. Hal tersebut dapat dilihat ketika lahan bekas tebangan setahun sebelumnya tetapi tidak ada pesanggem yang mengajukan untuk mau mengolahnya. Anggaran yang akan diberikan sebagai upah Pesanggem ada meskipun dananya minim”

Penerapan pola seperti ini berdampak pada jumlah biaya yang dikeluarkan oleh Perhutani untuk melakukan kegiatan pembersihan atau pembabatan sebelum masa tanam. Apabila jumlah pesanggem di suatu petak lahan itu banyak, maka sedikit biaya yang dikeluarkan oleh Perhutani atau bahkan tidak perlu mengeluarkan biaya karena kegiatan tersebut telah dilakukan secara tidak langsung oleh para pesanggem. Sebaliknya, suatu petak lahan dengan luas sekian hektar namun di dalamnya hanya ditemukan sedikit petani yang ingin menggarapnya, itu berarti ada kemungkinan ada beberapa hektar lahan yang tidak tergarap sepenuhnya. Salah satu alasannya karena kualitas tanah di lahan tersebut dianggap kurang subur dan potensial sehingga banyak pesanggem yang enggan untuk menggarap lahan tersebut. Dengan demikian, sistem tumpang sari itu dipandang menguntungkan pihak Perhutani karena tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk melakukan kegiatan pembersihan dan pembabatan sebelum penanaman.

Keterlibatan dalam Pengamanan Kawasan Hutan

Perhutani dengan dilaksanakannya PHBM ingin mencapai tujuannya sebagai perusahaan pengelola hutan produksi, yakni sukses tanaman, sukses keamanan, dan sukses produksi. Sukses tanaman ditentukan dengan potensi tumbuh tananaman tahun I dan II 98%. Sukses keamanan merupakan hal yang penting karena menjaga tegakan jati yang sudah jadi. Sukses produksi sendiri merupakan hasil akhir yang diperoleh setelah upaya penanaman dan pengamanan petak lahan hutan pangkuan berjalan sukses. Sukses keamanan tidak hanya kaitannya dengan menjaga tegakan jati yang sudah jadi saja melainkan juga perlu dijaga keamanan tanah hutan dari aksi-aksi pengambilan atau pengakuan kepemilikan. Selain itu juga perlu dijaga kawasan hutan yang berisi tegakan jati dari terjadinya kebakaran hutan, penggembalaan hewan ternak, dan pencurian

pohon. Pada umumnya, kebakaran hutan sering terjadi akibat tingginya laju cahaya matahari yang mengenai semak belukar berupa ilalang atau rerumputan. Untuk itu perlu dilakukan secara rutin pembabatan atau pembersihan tanaman tersebut.

Pengamanan areal hutan juga terkait dengan pencegahan atau pengurangan penanaman tanaman yang tidak diperbolehkan oleh pihak Perhutani. Jenis tanaman yang tidak diperbolehkan untuk ditanam, antara lain padi, ketela, tebu, dan tembakau. Petani juga tidak diperbolehkan untuk menanam tanaman pangan atau palawija dekat dengan tanaman pokok yakni jati. Sesuai aturan Perhutani, jarak penanaman antara tanaman pangan atau palawija dengan tanaman jati sekitar 1 meter. Ketela pohon masih diperkenankan apabila tidak ditanam keseluruhan di satu areal petak lahan hutan. Hal tersebut disampaikan oleh Bpk. MHD (45 tahun) sebagai berikut:

“Ketela tidak diperbolehkankeseluruhannya untuk di satu areal petak lahan. Hal tersebut masih diperkenankanapabila hanya ditanam pada satu larik atau jalur saja. Sekarang sedang diupayakan untuk tidak menanam ketela di tepi jalan akses masuk ke dalam hutan”.

Ketela merupakan tanaman yang tidak diperkenankan ditanam di lahan PHBM. Petani masih tetap menanam ketela meskipun sudah dilarang. Petani memiliki alasan karena ketela termasuk tanaman yang pemeliharaannya mudah dan lebih tahan terhadap hama. Harga jual ketela di pasaran pun tergolong bagus. Perhutani melakukan sosialisasi kepada para petani agar mengurangi penanaman ketela di lahan PHBM. Salah satu langkahnya adalah tidak menanam ketela di tepi akses jalan masuk. Hal tersebut dilakukan agar tidak terlihat secara langsung oleh pimpinan KPH Jember apabila sedang melakukan kunjungan ke salah satu petak lahan PHBM. Jenis padi yang boleh ditanam adalah jenis padi gogo. Apabila jenis padi yang butuh pengairan cukup banyak, hal tersebut tidak diperkenankan karena akan mengganggu pertumbuhan dari tanaman jati muda yang hanya membutuhkan sedikit air. Tanaman tebu tidak diperkenankan ditanam diantara tegakan jati. Hal tersebut dapat diperkenankan apabila telah ada kesepakatan antara Perhutani dengan pihak ketiga. Sebagai contoh yang terjadi di KPH Pati Jawa Tengah. Di daerah tersebut diperkenankan untuk menanam tebu karena di lahan tertentu tidak pernah panen jati. Salah satu alasannya adalah ketika tanaman jati sudah siap untuk dipanen (kira-kira usia pohon 20 tahun), jati-jati tersebut dicuri oleh masyarakat sehingga Perhutani tidak pernah panen secara utuh. Selain itu dalam penyemprotan pestisida terhadap tanaman dihimbau tidak mengenai tanaman jati. Apalagi penggunaan pestisida secara berlebihan dan terus-menerus dapat mempengaruhi kualitas dan kesuburan tanah.

Penggembalaan ternak diperbolehkan apabila tegakan jati telah berusia sekitar 2-3 tahun. Masyarakat dihimbau untuk tidak melakukan penggembalaan ternak ke dalam kawasan hutan apabila usia tegakan jati masih tergolong muda

Dokumen terkait