• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Perum Perhutani KPH Jember

STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA

Nafkah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai cara hidup, definisi ini biasanya disejajarkan dengan konsep livelihood (mata pencaharian). Sebenarnya konsep livelihood mencakup pemahaman yang lebih luas bukan hanya sekedar bagaimana memperoleh pemasukan. Secara sederhana livelihood didefinisikan sebagai cara dimana orang memenuhi kebutuhan mereka atau peningkatan hidup (Chamber et al dalam Dharmawan, 2001).

Konsep nafkah (livelihood ) hidup seringkali digunakan dalam tulisantulisan tentang kemiskinan dan pembangunan pedesaan. Arti di dalam kamus adalah cara hidup (means of living ). Chamber dan Conway (1991) menunjukan definisi pola nafkah sebagai akses yang dimiliki oleh individu atau keluarga. Akses menunjukan aturan dan norma sosial yang menentukan perbedaan kemampuan manusia untuk memiliki, mengendalikan dalam artian menggunakan sumberdaya seperti lahan dan kepemilikan umum untuk kepentingan sendiri. Unsur-unsur dalam strategi nafkah menurut Chambers dan Conway (1991) adalah kapabilitas, aset dan aktivitas. Aset dapat berupa klaim atau akses. Kapabilitas menunjukan kemampuan individu untuk mewujudkan potensi dirinya sebagai manusia dalam artian menjadi dan menjalankan. Kapabilitas menunjukan set alternatif menjadi dan melakukan yang bisa dilakukan dengan karakteristik konomi, sosial dan personal manusia. Aktifitas merujuk pada kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Strategi nafkah tergantung dari seberapa besar aset yang dimiliki, kapabilitas individu dan aktivitas yang nyata dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dharmawan (2007) mengatakan bahwa strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap mempertahankan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. Ellis (2000) mengatakan bahwa nafkah mengarah pada perhatian hubungan antar asset dan pilihan orang untuk kegiatan alternative yang dapat menghasilkan tingkat pendapatan untuk bertahan hidup, dimana sebuah nafkah terdiri dari aset, (alam, fisik, manusia, modal keuangan, dan sosial) kegiatan dan akses (dimediasi oleh lembaga dan hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan hidup individu atau rumah tangga. Strategi nafkah dilakukan melalui pola jaringan keamanan sosial berlapis dilakukan untuk menghadapi beberapa kemungkinan buruk yang menimpa individu dan rumah tangga yaitu dengan menyusun formasi keamanan sosial sebagai berikut: keamanan sosial berbasis keluarga, keamanan sosial berbasis pertemanan, keamanan sosial berbasis patron-klien, keamanan sosial berbasis

Scoones (1998) mengatakan bahwa dalam penerapan strategi nafkah, rumahtangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk dapat mempertahankan hidup. Strategi nafkah (livelihood strategy) diklasifikasikan berdasarkan tiga kategori, yaitu: (1) rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi);

36

(2) pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk meningkatkan pendapatan atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja, selain pertanian dan memperoleh pendapatan; (3) rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan tambahan.

Strategi Ekstensifikasi Pertanian

Lahan merupakan modal utama untuk melakukan kegiatan usahatani. Penelitian ini membagi lahan pertanian ke dalam dua kategori, yakni lahan pertanian dalam desa dan lahan PHBM. Kedua kategori lahan tersebut dimiliki dan dikuasai oleh setiap responden. Pola kepemilikan dan penguasaan lahan oleh masing-masing responden berbeda di setiap kategori. Pada umumnya, baik di lahan PHBM maupun lahan non-PHBM, ditanami tanaman pangan, seperti padi, ketela jagung, kacang-kacangan, dan buah-buahan. Setiap musimnya, diperoleh penghasilan dari usahatani tanaman pangan tersebut. Hasil usahatani memberikan kontribusi bagi total pendapatan rumahtangga petani.

Tabel 9 Kepemilikan lahan pribadi di Desa Seputih

Tingkat Kepemilikan Lahan Pribadi Jumlah Persentase (%)

Rendah ( ≤ 0,25 ha) 21 60

Sedang (0,25 ha - 0,75 ha) 14 40

Tinggi ( ≥ 0,75 ha) 0 0

Total 35 100

Sumber: Analisis Data Primer 2014

Jika dilihat dari tabel kepemilikan lahan pertanian yang dimiliki oleh para petani yang rata- rata tergolong redah. Oleh karena itu selain memanfaatkan lahan yang tergolong sempit itu petani juga memanfaatkan lahan hutan milik Perhutani untuk digarap dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Ketentuan dan peraturan dibuat oleh Perhutani dengan melibatkan masyarakat secara partisipatif dengan dibentuknya LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang mewakili aspirasi anggota kelompok. Ketentuan dan pertauran yang dibuat oleh Perhutani yaitu dengan pemberian materi tentang peraturan dalam mengelola dan menggarap di dalam kawasan hutan perhutani serta pemberian pelatihan bagaimana dalam mengelola dan meggarap di dalam kawasan hutan Perhutani dengan baik dan bijak. Jumlah luas lahan pertanian di kawasan hutan yang dapat dikelola rumahtangga petani, tergantung dari kesediaan atau kesanggupannya untuk mengelola lahan. Selain itu tergantung pula dengan ketersediaan lahan yang diperkenakan untuk digarap. Lahan di kawasan hutan perhutani yang akan digarap rumahtangga petani adalah tanaman yang bertajuk tinggi dan apabila selesai musim potong sebelum lahan digunakan untuk menanam bibit pohon jati,

37 lahan tersebut dapat digunakan oleh masyarakat untuk menanam jagung dan tanaman pangan lainya sampai tiba musim tanam.

Mekanisme dalam pola tumpang sari, pihak Perhutani mengadakan kesepakatan dalam bentuk penandatanganan kontrak kerjasama antara LMDH yang mewakili para pesanggem dengan Perhutani. Seluruh pesanggem yang menggarap disuatu petak lahan didaftarkan beserta luas lahan yang digarapnya. Surat yang berisi kontrak perjanjian antar LMDH yang mewakili masyarakat dengan Perhutani ditandatangani oleh kedua belah pihak dan pihak-pihak terkait. Pada saat tersebut pula dijelaskan tata aturan kepada para pesanggem mengenai hal-hal apa saja yang tidak diperkenankan untuk dilakukan atau ditanam di lahan hutan.

Luas lahan yang akan dikelola tergantung dari ketersediaan lahan hutan kesanggupan dari penggarap itu sendiri. Ketentuan mengenai luas lahan yang digarap ditentukan oleh pihak Perhutani. Seperti penuturan Bapak selaku staf ahli PerhutaniBKPH Seputih yang berwenang dalam PHBM di BKPH Seputih menyatakan bahwa:

“Lahan yang akan dikelolaehmasyarakat dan digarap berkisar antara 0.5 ha –3 ha, dimana idealnya setiap lahanyang diberikan untuk digarap hanya digarap oleh satu orang. Hal itu dilakukan untuk membuat masyarakat lebih bertanggung jawab dalam menjaga kawasan hutan dari kerusakan dan mencegah terjadinya konflik jika digarap lebih dari satu orang. Hal tersebut telah diatur oleh pihak Perhutani”.(Mantri Hutan Perhutani)

Lahan pertanian yang diperoleh masyarakat di kawasan hutan digarap hanya satu orang saja. Pertambahan yang digarap petani di dalam kawasan hutan merupakan bentuk upaya meningkatkan pendapatan rumahtangga. Hasil dari panen di kawasan hutan seperti kopi, umbi- umbian dan jagung untuk digunakan membiayai kebutuhan sehari-hari dan biaya usahatani. Dalam tabel berikut dapat dilihat persentase luasan lahan lahan PHBM yang digarap oleh para petani.

Petani yang telah memiliki lahan sendiri juga ikut menggarap lahan PHBM. Hasil dari usahatani di lahan milik sendiri (non-PHBM) dirasakan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Akses terhadap lahan PHBM itu pun terbuka bagi petani. Perhutani memberikan hak pengelolaan dan pemanfaatan lahan di bawah tegakan jati kepada para petani. Oleh karena itu banyak petani yang memilih ikut menggarap lahan PHBM untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga. Petani yang memiliki tingkat kepemilikan lahan non-PHBM yang rendah berupaya untuk mendapatkan lahan garapan di lahan PHBM yang lebih luas dibandingkan lahan pertanian yang dimilikinya. Hasil penelitian menjelaskan bahwa petani yang memiliki tingkat kepemilikan lahan non-PHBM rendah berada pada tingkat penguasaan lahan PHBM sedang dan tinggi. Beberapa petani yang memiliki tingkat kepemilikan lahan non-PHBM rendah mengakses tingkat lahan yang rendah di lahan PHBM disebabkan oleh ketersediaan lahan PHBM itu sendiri. Meski petani berkeinginan untuk dapat menggarap lahan luas di lahan PHBM namun keterbatasan lahan menjadi salah satu penghambatnya. Lahan PHBM yang ada terbatas sedangkan banyak petani yang ingin mengakses lahan tersebut.

Kesanggupan dari petani dalam menggarap lahan juga menjadi alasan berikutnya. Untuk mengelola usahatani juga diperlukan biaya yang cukup besar

38

guna membiayai pembelian saprotan dan tenaga kerja. Luas lahan yang dikelola semakin besar maka biaya usahatani yang diperlukan juga semakin besar. Oleh karena itu, sebagian besar petani yang memiliki tingkat luas lahan rendah di lahan non-PHBM lebih memilih menggarap lahan PHBM dengan tingkat luas yang rendah. Biaya usahatani tersebut yang menjadi pertimbangan utama petani dalam menggarap lahan PHBM dengan luas tertentu. Beberapa petani dengan tingkat kepemilikan lahan non-PHBM rendah mengakses lahan PHBM dengan tingkat lahan yang luas dengan harapan hasil usahatani di lahan PHBM tersebut dapat meningkatkan pendapatan bagi rumahtangganya. Hasil dari usahataninya di lahan pertanian milik sendiri (non-PHBM) tidak mampu mencukupi kebutuhan rumahtangga sehingga mereka akses ke lahan PHBM. Motif ekonomi menjadi dasar bagi para petani yang hanya memiliki tingkat kepemilikan lahan non-PHBM rendah untuk mengakses lahan yang lebih luas di lahan PHBM.

Pemanfatan lahan hutan melalui PHBM menghasilkan pertanian dengan komoditas utama kopi dan umbi- umbian dikelola secara komersial. Hasil dari produksi kopi dan dijual kepada tengkulak atau ke pabrik pengelolaan seperti PTPN XXVII, uang penjualan digunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari serta biaya untuk usaha tani dan ditabung sebagai aset di masa depan. Selain hasil produksi pertanian dari kopi dan umbiumbian, ada juga hasil produksi pertaniannya seperti pepaya, kangkung, bayam, cabai, tomat, dan singkong, akan tetapi hasil pertanian tersebut hanya digunakan untuk dikonsumsi sendiri tidak dijual ke tengkulak atau pasar.

Perluasan lahan pertanian ke lahan hutan PHBM menjadi satu alasan bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya. Keikutsertaan rumahtangga petani dalam kegiatan PHBM menjadi salah satu strategi nafkah yang penting untuk mengatasi kemiskinan masyarakat di sekitar hutan. Sistem PHBM merupakan sebuah formula bagi solusi ekonomi masyarakat belum terealisasi secara siginifikan. Namun, dengan keberadaan PHBM dapat menjadi solusi sosial dari adanya ketidakharmonisan hubungan antara Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan di masa lalu. Strategi ini merupakan strategi penting dalam memenuhi hidup bagi rumahtangga. Dasarnya, luas lahan di sekitar desa adalah hutan PHBM yang dirasakan berguna bagi masyarakat sebagai sumber utama untuk memenuhi kehidupan mereka.

Tabel 10 Hubungan antara kepemilikan lahan terhadap luasan lahan andil dalam PHBM di Desa Seputih

Tingkat

pemilikan lahan

Tingkat penguasaan lahan andil dalam

PHBM (%) Total

< 0.25 ha 0.25- 0.75 ha <0.75 ha

Rendah 0 43 57 100

Sedang 0 71 29 100

Tinggi 0 0 0 0

Sumber: Analisis Data Primer 2014

Dari tabel 10 dapat dilihat bagaimana distribusi lahan andil terhadap PHBM belum begitu merata. Meskipun masyarakat telah mendapatkan lahan andil diatas

39 0.25 ha. Tapi dalam penyebarannya masih belum merata. Ada 43% responden yang memiliki lahan pertanian tergolong dalam kategori rendah yakni < 0.25 ha mendapatkan lahan andil hutan berada dalam kisaran 0.25 ha – 0.75 ha. Sementara dalam kategori yang sama dalam kepemilikan lahan pertanian ada 57% responden yang mendapatkan lahan hutan dengan kisaran >0.75 ha. Begitu pula dpada kategori kepemilikan lahan pertanian sedang yang rata rata pemilikan lahan pertanian oleh masyarakat berada dalam kisaran 0.25 ha- 0.75 ha. Jika dilihat jumlah responden yang mendapatkan lahan andil dalam hutan yang kategori kepemilikan lahan pertaniannya berada dalam kategori sedang ada 71% responden sementara yang dalam kategori yang sama terdapat 29% responden yang mendapatkan lahan andil hutan >0.75 ha. Dari sini saja dapat dilihat bagaimana pendistribusian lahan tidak merata. Sebaran tidak merata dapat karena banyak hal. Misalnya kesanggupan menggarap, relasi dekat dengan mandor Perhutani, kekerabatan, dsb. Misalnya pegawan (tabel 13) dapat menguasai andil phbm luas, padahal mereka bukan golongan yang paling membutuhkan, dan tidak dapat menggarap lahan andil tsb. sendiri. Namun dipihak lain terlilah bahwa petani dengan pemilikan lahan sempit, mayoritas (57%) mendapat garapan andil phbm luas. Sedangkan petani dengan lahan milik sedang mayoritasnya malah menguasai andil phbm ukuran sedang (71%). Sebatas ini, pembagian andil phbm cukup adil: petani lahan sempit dapat garapan phbm luas. Untuk melihat sebaran angka lebih jelas bagaimana sebaran luasan kepemilikan lahan pertanian dan luasan ;ahan andil dalam PHBM dapat dilihat dalam lampiran 5 tabel besar sebaran data.

Strategi Diversifikasi Nafkah (Pola Nafkah Ganda)

Scoones (1998) dalam penerapan strategi nafkah, rumahtangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya mempertahankan hidup. Salah satu cara mempertahankan hidup dilakukan dengan pola nafkah ganda (diversifikasi), melakukan penerapan keanekaragaman pola nafkah dengan mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk meningkatkan pendapatan atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu, dan anak) untuk ikut bekerja, selain pertanian dan memperoleh pendapatan. Rumah tangga petani melakukan strategi pola nafkah ganda karena pendapatan dari pertanian tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari atau pekerjaan menjadi petani tidak dapat memberikan pendapatan yang stabil dan aman.

Tabel 11 Ragam pekerjaan non pertanian berdasarkan tingkat kepemilikan lahan pribadi

Lahan milik

Lahan andil PHBM Pekerjaan non pertanian Rendah Sedang Tinggi Dalam desa Luar desa

Rendah 9 12 Buruh tani:12

Pedagang : 3

Pegawai swasta : 6 TKI/TKW (anak): 4

Sedang 10 4 Buruh tani : 3

Pedagang : 4

Buruh pabrik : 2 Pegawai swasta : 5 TKI/TKW (anak): 2 Tinggi

40

Dalam tabel 11 dapat dilihat bagaimana sebaran ragam pekerjaan yang yang dilakukan rumahtangga petatni dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dalam tabel ini juga menunjukkan bahwa dalam satu rumahtangga tidak hanya mengandalkan pendapatan dari sektor pertanian saja yang didapat dari lahan milik pribadi dan lahan andil PHBM, akan tetapi juga merambah bidang non pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dapat dilihat dalam tabel 11 kecenderungan rumahtangga dengan kepemilikan lahan pribadi rendah yakni berada dalam kisaran <0.25 ha mengandalkan pekerjaan lain dalam desa smenjadi buruh tani sebanyak 12 responden dan 3 responden sisanya menjadi pedagang. Selain itu, juga ada 6 responden yang mencari pekerjaan dari luar desa sebagai pegawai swasta serta 4 responden mengirimkan anaknya untuk menjadi TKI ataupun TKW ke luar negeri untuk menambah pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari harinya. Sementara dalam kategori kepemilikan lahan pribadi dalam kategori sedang dengan luasan lahan berkisar antara 0.25 ha – 0.75 ha dengan total 14 responden 7 diantaranya memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam desa dengan menjadi buruh tani sebanyak 3 responden serta 4 responden sisanya membuka usaha dengan berdagang. Selain itujuga terdapat 7 responden yang memanfaatkan peluang kerja yang berada di luar desa dengan proporsi 2 responden menjadi buruh pabrik yang biasanya ini di kerjakan oleh para istri serta ada ada 5 responden yang menjadi pegawai swasta di luar desa, ada pula 2 keluarga responden yang mengirimkan anaknya untuk bekerja menjadi TKI ataupun TKW di luar negeri.\

Dari tabel 11 juga dapat dilihat bahwa masyarakat lebih cenderung melakukan usaha penambahan pendapatan dengan melakukan kegiatan usaha yang dilakukan di dalam desa seperti halnya menjadi buruh tani dan berdagang yakni 22 responden yang melakukan usaha untuk meningkatkan pendapatan di dalam desa serta hanya 13 responden yang mencari usaha tambahan guna meningkatkan pendapatan dari luar desa serta ada 6 responden yang mengirimkan anaknya untuk bekerja sebagai TKI ataupun TKW di luar negeri. Kecenderungan responden memilih pekerjaan yang ada dalam desa dilakukan karena minimnya tingkat pendidikan yang yang dimiliki serta minimnya kesempatan kerja yang ada diluar desa. Hal ini dapat dilihat pada tabel 13 yang menerangkan sebaran pekerjaan non pertanian yang dilakukan oleh responden berdasarkan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden. Dalam tabel 11 juga kita dapat melihat terdapat 13 responden yang mencari usaha tambahan di luar pertanian dari luar desa. Hal ini dapat terjadi bisa disebabkan karena tingkat kepemilikan lahan pribadi serta luasan lahan andil PHBM. Selain itu, bisa dikarenakan tingkat kesuburan lahan yang berbeda sehingga dirasa apa yang di dapat dari lahan milik pribadi dan juga lahan andil PHBM masih dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Oleh karena itu ada responden yang mencari tambahan pendapatan dari luar desa dengan menjadi buruh pabrik ataupun menjadi pegawai swasta. Untuk melihat sebaran antara tingkat lahan andil PHBM dan pekerjaan non pertanian yang dilakukan oleh responden ada pada tabel 14. Berbagai macam usaha untuk dapat meningkatkan pendapatan dalam rumahtangga dilakukan semata- mata untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari hari. Mulai dari berusaha memanfaatkan lahan milik pribadi dan memaksimalkan lahan andil dari PHBM sampai mencari pendapatan tambahan dari luar desa. Selain itu, juga

41 mengandalkan anggota rumah tangga untuk menjadi tenaga kerja seperti halnya ayah menjadi buruh tani, kemudian ibu menjaga toko ataupun menjadi buruh pabrik serta anak yang turut bekerja biasanya pergi keluar negeri menjadi TKI ataupun TKW. Hasil yang didapatkan dari setiap usaha yang dilakukan dalam memperoleh pendapatan baik dari lahan milik pribadi, lahan andil serta pekerjaan di non pertanian sebagian digunakan untuk menambah aset rumahtangga. Aset ini biasanya berupa hewan ternak yang dapat dijual kapan saja jika rumahtangga memerlukan biaya yang cukup besar dan bersifat mendadak, seperti halnya untuk biaya perawatan di rumah sakit jika ada anggota keluarga yang sakit atau untuk biaya sekolah anaknya ketika mulai memasuki tahun ajaran baru

Aset berupa hewan ternak seperti, ayam/unggas, kambing, sapi/kerbau banyak dimiliki oleh rumahtangga petani di Dusun Tetelan, Desa Seputih.Aset ini dijadikan investasi atau tabungan sementara, karena sewaktu-waktu dapat dijual apabila ada keperluan mendesak atau untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga. Pada umumnya penjualan hewan ternak berupa sapi atau kambing dilakukan ketika rumahtangga membutuhkan dana tambahan dalam jumlah . Hal tersebut dilkukan ketika rumahtangga ingin menyelenggarakan hajatan, merenovasi rumah, biaya untuk sekolah anaknya, dan biaya untuk berobat bagi anggota keluarga yang sedang sakit serta untuk membayar biaya persalinan istri. Namun hasil penjualan dari hewan ternak pub terkadang digunakan untuk nutupi biaya kebutuhan hidup sehati-hari dan biaya untuk keperluan usahatani. Seperti yang disampaikan oleh tiga responden berikut ini:

“Bapak menjual sembilan ekor kambing untuk merenovasi rumah dari membeli bahan-bahan bangunan dan ongkos tukangnya serta untuk biaya keperluan sehari-hari untuk hidup”.(SGU, 45 th)

“Kemarin waktu biaya berobat buat anak bungsu ini, karena sakit demam berdarah saya menjual tiga ekor kambing buat biaya obat dan perawatan di rumah sakit. Waktu pertengahan tahun kemarin saya menjual lima ekor kambing untuk biaya sekolah anak saya dan segala perlengkapannya”(ISY, 38 th)

“Bapakmenjual seekor sapi untuk membeli pupuk buat lahan di kawasan, karena lahan di kawasan belum saya pupuk takut nanti gagal panen”(TRS,37 th)

“bapak menjual seekor sapi buat biaya anak bapak yang ingin berangkat keluar negeri buat jadi TKI disana, uang hasil juall sapi sisanya untuk modal usaha kecil kecilan sama sebagian buat beli motor”(SLS, 40 th)

Kepemilikan hewan ternak berupa sapi merupakan salah satu modal masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup dalam bertahan hidup. Hewan sapi dan unggas diperlukan rumahtangga untuk mendapatkan dana jumlah besar. Penjualan hewan ternak cukup untuk membantu rumahtangga sewaktu- waktu memerlukan dana besar. Kepemilikan aset berupa hewan menjadi hal yang penting karena merupakan investasi bagi rumahtangga.

42

Tabel 12 Jumlah dan persentase responden menurut kepemilikan hewan ternak di Desa Seputih Tahun 2013

Jenis ternak Jumlah Pemilik(Orang) Persentase (%)

Tidak memiliki 4 11.4

Ayam/ungas 1 2.9

Sapi 19 54.3

Ayam/unggas-sapi 11 31.4

Total 35 100

Sumber: Analisis Data Primer 2014

Tabel 12 memperlihatkan bahwa 54.3 persen penduduk memiliki aset hewan ternak berupa sapi, sebayak 31.4 persen penduduk memiliki aset hewan ternak berupa ayam/ unggas dan sapi. Ternak sapi maupun ayam/ unggas dikelola dan dikembangbiakan untuk dijual. Selain itu, ayam/unggas sewaktu waktu dapat dikonsumsi sebagai pelengkap makanan sehari hari.sementara sapi juga bisa dijadikan aset andalan bagi rumahtangga untuk memenuhi kebutuha hidupnya sehari-hari maupun pemenuhan dana besar untuk keperluan tertentu maupun mendesak.

Tabel 13 Karakteristik responden yang memiliki non- pertanian berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Seputih tahun 2013

Karakter responden Sumber nafkah non-pertanian

Tidak lulus SD Buruh Tani : 2

SD Buruh Tani :13 Buruh Pabrik : 2 Pedagang : 8 SMP Buruh Pabrik : 2 Pegawai Honorer : 2 Pedangang : 2

SMA Pegawai Swasta : 3

Pedagang : 1 Sumber: Analisis Data Primer 2014

Sesuai dengan tabel 13 dapat dilihat jika pilihan pekerjaan diluar usaha pertanian di antara lain buruh pabrik, buruh tani, pegawai honorer dan pedagang. Tingkat pendidikan sebagian besar rumahtangga merupakan lulusan sekolah dasar. Pekerjaan utama sebagai petani di lahan sendiri dan lahan dari PHBM tidak mencukupi kebutuhan sehari- ditambah beban tanggungan dalam rumahtangga rata-rata sekitar 1-4 orang, sehingga membuat kepala keluarga atau anggota keluarga mencari sumber nafkah alternatif. Tingkat pendidikan responden yang rata-rata tamatan Sekolah Dasar membuat pilihan-pilihan dalam mencari sumber nafkah menjadi terbatas.Keterbatasan pilihan tersebut disebabkan rendahnya tingkat pendidikan minimnya keterampilan dan keahlian petani untuk bekerja di luar sektor pertanian. Umumnya jenis pekerjaan yang dilakukan oleh

Dokumen terkait