• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIII STRATEGI PENGELOLAAN PENCEMARAN TAD 266 8.1 Pengurangan Beban Pencemaran

3) Masalah Kelembagaan

2.7 Pengelolaan Pencemaran Pesisir dan Lautan

Di dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, maka keterkaitan sumberdaya alam dengan ekosistem mendapat perhatian tersendiri, selain aspek sosial dan ekonomi yang juga tidak kalah pentingnya. Dalam kaitan dengan kestabilan ekosistem produktif yang menyimpan banyak energi, yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan ekonomi bangsa, maka faktor-faktor yang mempengaruhi ekosistem pesisir dan lautan adalah: 1) Pencemaran, 2) Degradasi fisik habitat, 3) Over-eksploitasi sumberdaya alam, 4) Abrasi pantai, 5) Konversi kawasan lindung untuk peruntukan lainnya, dan 6) Bencana alam.

Ke enam faktor tersebut di atas jika dicermati pada dekade belakangan ini telah menjadi agenda nasional. Oleh karena hampir di seluruh perairan pesisir dan laut Indonesia terjadi bancana alam, kerusakan ekosistem terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun, terjadi sedimentasi dan abrasi pantai, serta terjadi pencemaran sungai dan laut. Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada masalah pencemaran lingkungan serta upaya pengelolaan kualitas lingkungan perairan.

Pengelolaan kualitas air pesisir dan laut merupakan pendekatan perlindungan serta peningkatan kualitas air pesisir dan laut melalui pengontrolan terhadap tipe dan jumlah buangan limbah yang masuk ke lingkungan laut, seperti jalan saja, sehingga kuatitas limbah yang masuk ke lingkungan laut tidak melebihi kapasitas asimilasi. UNEP (1993), diacu dalam Dahuri (1997) menjelaskan tentang teknologi yang umumnya dipakai adalah sebagai berikut: (1) receiving water quality standard, (2) baku mutu buangan limbah (3) standard kontrol lingkungan.

Berikut ini dijelaskan ke tiga teknologi di atas yang dapat dipergunakan bila membuang limbah ke suatu lingkungan perairan (Dahuri 1997):

1) Receiving water quality standard

Aplikasi dari cara ini adalah membedakan antara bahan polutan dengan limbah. Polutan adalah bahan atau energi yang masuk ke lingkungan yang merusak komponen biotik dan abiotik lingkungan. Sedangkan limbah adalah hasil produksi dari aktivitas manusia dan proses alamiah yang masuk ke lingkungan (UNEP 1993, diacu dalam Dahuri 1997). Jika semua tipe limbah dari aktivitas manusia diklasifikasi sebagai polutan kemudian kualitas air laut diketahui dari hasil survei adalah merupakan Receiving water quality standard. Tidak ada tambahan limbah yang dibuang ke lingkungan lebih dari limbah yang berasal dari proses alamiah. Untuk menerapkan standard ini akan membutuhkan pengurangan populasi manusia serta kehadiran warga pendatang untuk tingkatan yang sama 20 hingga 30 ribu tahun yang lampau. Pada waktu itu, tingkatan populasi manusia seluruhnya berasal dari proses alamiah. Kondisi ini adalah kondisi politik yang tidak dapat diterima. Banyak moral dan standard etika berkurang dengan kehadiran populasi manusia.

Pendekatan yang kedua adalah menerapkan status quo. Air yang ada diklasifikasikan berdasarkan kegunaannnya. Suatu kuantitas limbah dapat ditoleransi tergantung pada kegunaan air. Kualitas air laut yang tinggi dibutuhkan untuk budidaya kerang-kerangan dan mandi sementara air tawar dipakai sebagai sumber air minum. Air laut yang digunakan untuk mandi harus melewati standard mikrobiologis untuk mengecilkan kemungkinan terjadi kontak dengan penyakit sementara berenang dalam air tersebut. Selain itu, air laut yang digunakan untuk navigasi membutuhkan kualitas air yang rendah, seperti oksigen terlarut sedikit serta pH dari 5 hingga 8. Oksigen terlarut dan pH standard yaitu untuk mengurangi odor dan korosi dari H2S yang berasal dari reaksi anaerobik dengan

konsentrasi ion H yang tinggi. Receiving water quality standard sukar untuk didaftarkan karena terdiri atas 2 atau lebih buangan limbah dalam kolom air.

2) Baku mutu buangan limbah (Effluent standard)

Baku mutu buangan limbah merupakan turunan dari pembagian kapasitas asimilasi diantara pelepasan limbah. Baku mutu buangan limbah di Indonesia telah diumumkan dengan resmi dalam peraturan pemerintah Nomor 20 Tahun

1990. Baku mutu buangan limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan. Kalau buangan limbah itu cair sifatnya maka disebut dengan baku mutu limbah cair. Oleh karena itu maka air limbah yang akan dibuang harus memenuhi persyaratan tertentu yang disebut dalam baku mutu limbah cair. Secara umum, baku mutu limbah cair diartikan sebagai batasan tentang mutu limbah cair yang diizinkan, secara administrasi, dibuang ke dalam lingkungan perairan umum. Baku mutu limbah cair merupakan ketentuan yang penataannya merupakan kewajiban yang dipersyaratkan dalam perizinan suatu kegiatan. Oleh karena itu baku mutu limbah cair harus realistik, baik dari segi teknologi maupun ekonomi. Baku mutu limbah cair yang ditetapkan pada dasarnya memuat ketentuan pembatasan buangan air limbah ke lingkungan perairan yang meliputi: jumlah parameter, kadar maksimum (dari unsur-unsur pencemar yang dominan dikandung dalam air limbah suatu kegiatan), dan bahan pencemar maksimum (dari tiap parameter/unsur pencemar termaksud).

3)Standard kontrol lingkungan (Effluent charges)

Standard kontrol lingkungan yang didiskusikan secara bebas berdasarkan konsep kapasitas asimilasi untuk pengguna yang berbeda adalah Effluent charges. Kapasitas asimilasi dapat dianggap sebagai sumberdaya sendiri oleh orang yang mewakili pemerintah atau agen pengontrol (pengawas). Teknologi pengontrol pencemaran (polusi) yang digunakan adalah generator limbah dimana standardnya tidak akan didikte tetapi lebih dititik beratkan pada tekanan pasar, seperti para pesaing yang memperkenalkan kapasitas asimilasi serta dijual ke penawar tertinggi. Penawar yang menang diperbolehkan membuang ke kolom air sementara yang kalah tidak ada tempat untuk membuang limbahnya. Effluent charges sering berhubungan dengan biaya perlakuan air limbah sentral secara langsung dan bukan kapasitas asimilasi dari yang diterima dikolom air. Selain itu ada juga langkah-langkah pengendalian pencemaran sebagai berikut Dahuri 1997):

Teknologi pengurangan ini harus dilakukan semenjak proses produksi dilakukan. Langkah penanganan sejak awal akan mengatasi berkurangnya buangan limbah ke wilayah pesisir dan laut. Konsep pencegahan atau pengurangan limbah pada sumber ini antara lain memanfaatkan teknologi bersih (clean technology atau low and no waste technologies), yang melandasi program produksi bersih (clean production). Konsep ini lebih unggul dibandingkan pendekatan pengendalian pencemaran dengan the end of pipe abatement yang memiliki permasalahan sebagai berikut:

a) Pengolahan limbah cair, padat atau gas memiliki resiko pindahnya polutan dari satu media ke media lingkungan lainnya dimana dapat menimbulkan masalah lingkungan yang sama gawatnya atau berakhir sebagai sumber pencemar secara tak langsung pada media yang sama,

b) Walaupun tidak setinggi biaya remediasi kerusakan lingkungan, pengolahan limbah memerlukan biaya tambahan pada proses produksi, sehingga biaya per satuan produk naik. Hal ini juga yang menyebabkan para pengusaha enggan mengoperasikan peralatan pengolahan limbah yang telah dimilikinya,

c) Pendekatan pengendalian pencemaran memerlukan berbagai perangkat peraturan, selain menuntut biaya dan sumberdaya manusia yang handal dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan pemantauan, pengawasan dan penegakan hukum,

d) Pengembangan teknologi pengolahan limbah tidak mendorong upaya ke arah pengurangan limbah pada sumbernya serta kurang menjanjikan pemanfaatan limbah lebih jauh, dan

e) Teknologi retrofit dapat gagal berfungsi atau sangat berfluktuasi dalam efisiensinya. Aliran buangan (effluent) yang telah diolah juga masih mungkin mengandung residu (limbah).

Ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam menggunakan pendekatan pengendalian ini menurut Dahuri (1997) yaitu:

(1) dampak lingkungan dari proses, daur proses dan kegiatan ekonomi dapat diminimalkan dengan mengurangi aliran bahan (material flow) ke dalam proses, daur maupun kegiatan ekonomi. Dengan demikian

tahap ini tidak hanya diterapkan pada hilir proses produksi akan tetapi menyeluruh mulai dari kajian bahan baku, fluida proses, proses produksi, produk yang dihasilkan sampai pada penggunaannya yang ditujukan bagi peningkatan efisiensi.

(2) Beberapa jenis senyawa kimia dapat meracuni dan berbahaya bagi lingkungan oleh karena itu perlu dipikirkan adanya subtitusi bahan atau produk yang berbahaya atau beracun tersebut.

Dengan upaya penerapan teknologi di atas maka akan sangat membantu ekosistem pesisir dan lautan untuk melakukan proses asimilasi terhadap buangan limbah-limbah tersebut.

2) Penerapan baku mutu

Penerapan baku mutu dilakukan dengan melakukan teknologi uji bioassay bagi setiap parameter pencemar. Dengan dilakukannya uji ini akan membantu meminimisasikan buangan limbah yang masuk ke dalam perairan dan lautan. Hingga saat ini penerapan LC 50 maupun LD 50 untuk mengukur ”ambient” dari parameter pencemaran perairan belum banyak dilakukan, sehingga penggunaan teknologi ini harus lebih dioptimalkan. Dengan adanya penerapan teknologi ini akan menunjang fungsi baku mutu sebagai salah satu variabel dalam meminimisasi buangan limbah.

Standar Kualitas Lingkungan (Environmental Quality Standard) merupakan suatu nilai, yang secara umum ditetapkan dengan peraturan, yang mana secara khusus ditetapkan nilai konsentrasi maksimum yang diizinkan dari suatu bahan kimia berbahaya di dalam suatu lingkungan, umumnya di udara dan air, Standard inilah yang juga dikenal dengan ”ambient standard” (Dahuri 1997).

Selanjutnya Dahuri (1999), mengemukakan bahwa adapun fungsi dari baku mutu air dalam pengendalian pencemaran pesisir dan lautan adalah: 1) Acuan evaluasi kesesuain badan air dengan peruntukannya, 2) Acuan dalam memantau apakah suatu badan air tercemar atau tidak tercemar, dan 3) Acuan dalam menilai apakah suatu limbah cair yang berasal dari kegiatan tertentu memenuhi syarat untuk dapat dibuang ke lingkungan perairan atau tidak.