• Tidak ada hasil yang ditemukan

SI G (Sistem I nformas

4. KAJIAN PUSTAKA

4.6 Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Berbasis Daya Dukung

Istilah tata kelola (governance) menurut Koirman, et al., (2005) dalam

Adrianto (2006) didefinisikan sebagai keseluruhan interaksi antara sektor publik dan privat yang diambil untuk memecahkan persoalan masyarakat (societal problems) dan menciptakan kesempatan sosial (societal opportunitie). Definisi ini memuat kata kunci untuk tata kelola pulau-pulau kecil (PPK) adalah interaksi antara sektor publik dan privat yang difasilitasi oleh pemerintahan yang baik (good governance).

Paradigma tata kelola PPK dalam era otonomi daerah sebaiknya memiliki tiga unsur penting yaitu (1) enterpreunal-competitive government; (2) accountable and customer-driven government; dan (3) glocal-sustainability oriented gorvernment (Adrianto, 2006).

Unsur pertama, enterpreunal-competitive government, memiliki makna bahwa dalam tata kelola PPK diperlukan pemahaman mengenai karakteristik daerah PPK yang notabene lebih didominasi oleh sumberdaya laut dan perikanan daripada katakanlah sumberdaya alam wilayah daratan. Pemahaman ini akan membuat pemerintah daerah kepulauan memiliki kerangka berpikir kompetitif untuk mengembangkan potensi yang dimiliki demi kesejahteraan daerah dan masyarakat kepulauan.

Unsur kedua, accountable and customer-driven government, mensyaratkan pemerintahan yang akuntabel dan berorientasi pada kepuasan publik serta stakeholder daerah dalam hal ini dapat disebut sebagai "customer" daerah. Artinya pemerintah daerah kepulauan memang bekerja keras untuk memuaskan customer sehingga sang customer dengan senang hati akan "membayar" kepuasan tersebut melalui instrumen inflow seperti investasi maupun instrumen outflow seperti pajak dan iuran daerah. Inilah interaksi antara pemerintah dengan sektor publik dan privat

Unsur ketiga yaitu glocal-sustainability oriented government mengandung dua pemikiran penting yaitu pertama, pemerintah daerah kepulauan berorientasi pada kejayaan lokal yang bisa menembus dunia internasional/global. Walaupun bergerak dan berjuang dalam koridor batas administrasi dan sumberdaya daerah namun hasilnya mampu menjangkau publik global. Inilah yang disebut dengan

pemikiran global (global-localism). Kedua, pemerintah daerah kepulauan orientasi pada keberlanjutan daerah sebagai the ultimate goal pembangunan daerah itu sendiri. Artinya, walaupun roda pembangunan terus bergerak dengan memanfaatkan sumberdaya daerah namun koridor berkelanjutan tetap diterapkan. Hal ini mensyaratkan pemahaman tentang keseimbangan pembangunan ekonomi dan ekologi. Hal ini penting karena karakteristik yang khas dari PPK adalah keterbatasan ekonomi dan ekologi. Untuk itulah ecosystem-based economic development menjadi salah satu opsi bagi tata kelola PPK. Opsi ini meletakkan pentingnya keseimbangan ekosistem PPK dalam pembangunan ekonomi. Model pendekatan pembangunan yang berbasis daya dukung (carrying capacity-oriented development) adalah alat bagi opsi ini (Adrianto, 2006). Gambar 2 menunjukkan suatu contoh model pengelolaan pulau-pulau kecil berbasis zonasi dan daya dukung.

Sumberdaya Pulau-pulau Kecil

Manfaat Ekologi Manfaat Ekonomi Manfaat Sosial Budaya

Konservasi Pariwisata Perikanan Lain-lain

Kesesuaian Zonasi untuk Pemanfaatan

Daya Dukung

Pemanfaatan Optimal dan Lestari

Kebijakan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Secara Terpadu dan

Berkelanjutan

Gambar 2. Bagan Alir Perencanaan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Berbasis Zonasi dan Daya Dukung (Bengen, 2002)

Daya dukung merupakan suatu cara mengekspresikan suatu konsep di mana ada pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya. Ini seringkali digunakan untuk menjaga kelestarian industri pariwisata pesisir yang berkelanjutan. Secara terpadu pengertian daya dukung di sini adalah tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan. Clark (1996) dalam bukunya integrated coastal

management, menjelaskan daya dukung yang ada lebih sering ditujukan untuk batas pariwisata.

Suatu bentuk wisata alternatif yang sudah diterima dan berkembang pesat belakangan ini adalah paradigma ekowisata. Kegiatan ekowisata ini mengharuskan para wisatawan untuk membayar dalam mendapatkan pengalaman di alam seperti hiking di pegunungan, melihat burung di kawasan hutan mangrove, snorkling dan diving (Clark, 1996). Sekarang ini pasar ekowisata sudah termasuk dalam kategori wisata petualang. Cicin-Sain dan Knecht (1998) menyatakan bahwa ekowisata adalah wisata yang berfokus pada objek sumberdaya lingkungan dan budaya, dan biasanya berbasis pada konservasi.

Dalam pengelolaan pulau-pulau kecil konsep daya dukung dapat diterjemahkan dari beberapa tingkatan yaitu:

⇒ Daya dukung ekologis : tingkat maksimum (jumlah dan volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan atau zona sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis

⇒ Daya dukung fisik : jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat di absorpsi oleh suatu kawasan atau zona tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas fisik

⇒ Daya dukung sosial : tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan atau zona akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan

⇒ Daya dukung ekonomi : tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan

Beberapa persoalan ekologi yang terjadi di kawasan pesisir pulau-pulau kecil seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya merupakan akibat dari terlampauinya daya dukung yang ada karena tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya yang ada. Sebagai contoh pembukaan atau penebangan hutan mangrove untuk dijadikan lahan tambak akan memberikan dampak terhadap lingkungan, yang menyebabkan hilangnya fungsi-fungsi ekologis dari ekosistem tersebut, walaupun dipihak lain memberikan kontribusi secara ekonomi tetapi hanya dalam waktu tertentu. Menurut Alrasjid (1988) dalam Dahuri et al., (1995),

mengatakan bahwa 1 hektar ekosistem mangrove mampu menghasilkan sekitar 9 m3 kayu/hektar/tahun. Pemanfaatan yang berlebih dari jumlah tersebut memungkinkan untuk menimbulkan tekanan terhadap ekosistem karena sudah melebihi daya dukung dari hutan mangrove tersebut.

Sebagai contoh yang lain dalam pengembangan pariwisata bahari dan pantai berdasarkan daya dukung yang tersedia maka dapat dilakukan dengan kombinasi berikut berdasarkan pada model Kelleher dan Kenchington (1992)

dalam Clark (1996) :

9 Memantapkan batas area untuk kegiatan khusus (misalnya pembuatan zonasi)

9 Melaksanakan penutupan area selama bagian tahun yang kritis bagi sejarah kehidupan spesies atau untuk periode yang lama

9 Menyiapkan batasan ukuran, penangkapan maksimum yang dibolehkan dan batas yang dapat dipanen

9 Pelarangan atau pembatasan penggunaan alat-alat yang tidak pantas

9 Membatasi orang masuk area wisata dengan cara tidak melebihi daya dukung

Adanya keterbatasan pada pulau-pulau kecil, maka sangat penting dalam pengelolaannya dibuat berdasarkan penzonasian berbasis daya dukung. Pembuatan penzonasian berdasarkan kriteria-kriteria yang saling terkait satu dan yang lainnya sehingga pengelolaannya dapat terpadu. Ada 3 kriteria zonasi pulau kecil ( Bengen, 2002a) yaitu :

o Ekologi meliputi : keanekaragaman hayati: didasarkan pada keragaman

atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota; kealamian: didasarkan pada tingkat degradasi; ketergantungan: didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi atau tingkat dimana ekosistem bergantung pada proses-proses ekologi yang berlangsung dilokasi;

keunikan: didasarkan pada keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah; integritas: didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologis; produktivitas : didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif di lokasi memberikan manfaat atau keuntungan bagi biota atau manusia;

kerentanan: didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi oleh pengaruh alam maupun akibat aktivitas manusia.

o Ekonomi meliputi : spesies penting: didasarkan pada tingkat dimana

spesies penting komersial tergantung pada lokasi; kepentingan perikanan: didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan; bentuk ancaman: didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia;

manfaat ekonomi: didasarkan pada tingkat dimana perlindungan lokasi akan berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang; pariwisata: didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata.

o Sosial-budaya meliputi : penerimaan sosial: didasarkan pada tingkat

dukungan masyarakat; kesehatan masyarakat: didasarkan pada keberadaan kawasan konservasi dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat; budaya: didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain di lokasi;

estetika: didasarkan pada nilai keindahan dari lokasi; konflik kepentingan: didasarkan dimana kawasan konservasi dapat berpengaruh pada aktivitas masyarakat lokal; keamanan: didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya; aksesibilitas: didasarkan pada tingkat kemudahan mencapai lokasi; apresiasi masyarakat: didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian, pendidikan, atau pelatihan dapat berkontribusi pada pengetahuan aspirasi nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi.

Dahuri (2000) menyatakan bahwa model pengelolaan pulau-pulau kecil, dapat terlaksana secara optimal dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, khususnya penduduk asli pulau tersebut jika didasarkan pada 3 (tiga) prinsip dasar yaitu : (1) kesesuaian dan daya dukung lingkungan, (2) pendekatan agribisnis dan (3) pendekatan kemitraan. Penerapan dengan tiga pola dasar ini diharapkan akan menjadikan pembangunan pulau kecil dengan pola

agromarine dapat berlangsung secara sustainable, baik secara ekologi, ekonomis dan sosial budaya. Selayaknya perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yang

mengacu pada keterpaduan perencanaan, kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, kesesuaian lahan daratan dan perairan, keterkaitan inter dan intra kawasan serta dinamika globalisasi.

Suatu bentuk kegiatan yang akan diletakkan dalam suatu ruang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, seharusnya memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan (demand side) dengan kemampuan kawasan dalam menyediakan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (supply side). Adanya keseimbangan antara demand dan supply akan menuju suatu optimalisasi pemanfaatan ruang antara kepentingan sektoral baik saat sekarang dan yang akan datang, sehingga konflik pemanfaatan ruang yang timbul dapat diminimalisasi.

Kesesuaian lahan tidak saja mengacu pada kriteria biofisik saja, akan tetapi meliputi kesesuaian secara sosial ekonomi dan sosial budaya, termasuk kelembagaan masyarakat setempat. Secara ekonomi aktivitas yang akan dibangun dapat efisien dan mampu memberikan manfaat yang optimal, sedangkan secara sosial dapat diterima oleh stakeholder ataupun masyarakat setempat.

Di dalam penyusunan pengelolaan suatu kawasan yang dapat menciptakan keharmonisan spasial, hendaknya kawasan tersebut tidak secara keseluruhan diperuntukkan bagi kawasan pembangunan, namun juga menyediakan lahan bagi kawasan konservasi dan kawasan preservasi, dimana kawasan preservasi adalah suatu kawasan yang tidak boleh ada kegiatan yang bersifat ekstraksi kecuali untuk penelitian, dan kawasan konservasi adalah kawasan yang memungkinkan untuk pembangunan dengan memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan (Odum, 1989). Untuk kawasan pemanfaatan secara intensif juga dilakukan pengaturan ruang secara bijaksana tanpa adanya tumpang tindih kegiatan pembangunan serta konflik. Oleh karena itu diperlukan pengaturan atau penataan ruang untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilegalisasi dengan terciptanya peraturan perundang-undangan.

Pemanfaatan ruang pesisir di Pulau Talise dilakukan dengan pembagian kawasan berdasarkan kondisi realitas yang ada yaitu : pemukiman, perkebunan, konservasi, perikanan dan pariwisata; dimana pembagian kawasan ini berdasarkan potensi sumberdaya masing-masing kawasan. Untuk menentukan kawasan tersebut berfungsi sesuai dengan kegiatan yang ada diperlukan kriteria yang

menjadi dasar dalam menilai, merencanakan, membina dan mengembangkan suatu kawasan (MacKinnon et al., 1992)

Adapun kriteria yang dijadikan dasar penilaian suatu kawasan harus mencerminkan kepentingan-kepentingan seperti : kepentingan pengembangan dan pemanfaatan kawasan, kepentingan konservasi sumberdaya alam, kepentingan bagi masyarakat disekitarnya dan kepentingan bagi pendidikan. Masing-masing kriteria terdiri dari unsur-unsur yang sangat berkaitan dan memiliki nilai atau bobot yang berbeda satu dengan yang lainnya tergantung dari tingkat manfaat sumberdaya tersebut terhadap kepentingan pengelolaan kawasan Pulau Talise.

4.7 Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi dalam Pengelolaan Pulau-

Dokumen terkait