SI G (Sistem I nformas
4. KAJIAN PUSTAKA
4.1 Pulau-pulau Kecil dan Potensi Sumberdaya Pesisirnya
Secara kenyataan kita dengan sangat mudah dapat mengetahui, minimal mengenal, mana daratan yang dapat digolongkan sebagai pulau dan mana yang tidak. Nunn (1994) dalam Adrianto (2006) mengkritik bahwa walaupun pulau telah dibicarakan selama berabad-abad, namun definisi lengkap tentang sebuah pulau masih sulit ditemukan. Definisi paling mudah adalah bahwa pulau merupakan daratan yang dikelilingi oleh laut. Pemahaman yang demikian menyimpulkan bahwa seluruh daratan (termasuk kontinen/benua) di dunia ini adalah pulau karena struktur alam bumi memang hanya terdiri dari darat dan air.
Pulau kecil menurut Beller et al., (1990) dapat didefinisikan sebagai pulau dengan luas 10.000 km2 atau kurang dan mempunyai penduduk 500.000 atau kurang. Fakland (1991) menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah dimana wilayah tersebut memiliki luas tidak lebih dari 2000 km2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 km, sedangkan definisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih besar dari 100 km2 dan lebar tidak lebih dari 3 km (UNESCO, 1991).
Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia, Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau- Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Pada Masyarakat menyebutkan bahwa definisi pulau kecil adalah pulau yang ukuran luasnya kurang dari 10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang dari 200.000 jiwa. Kepmen KP No. 41 Tahun 2000 juga menyebut bahwa untuk pulau dengan ukuran kurang dari 2.000 km2 terdapat pedoman khusus yang menyangkut kegiatan ekonomi yang sesuai dengan ukuran pulau tersebut. Kegiatan tersebut mencakup kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya kelautan, pariwisata bahari, usaha penangkapan ikan yang berkelanjutan, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, dan lain sebagainya. Ukuran pulau kecil ini kemudian ditegaskan sebagai pulau dengan ukuran kurang dari 2.000 km2 pada peraturan perundangan terbaru yaitu Perpres No 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada definisi
yang baku tentang pulau-pulau kecil selain bahwa luas lahan dan populasi menjadi indikator utama bagi definisi tersebut (Adrianto, 2006).
Pulau kecil selain memiliki luas wilayah dan populasi (bagi pulau yang berpenduduk), juga memiliki kekayaan sumberdaya alam pesisir. Pulau-pulau kecil umumnya memiliki satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem alamiah) pesisir seperti antara lain terumbu karang, mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, estuaria yang semuanya bersifat alamiah. Ekosistem buatan contohnya seperti kawasan pariwisata, kawasan budidaya dan kawasan pemukiman. Sumberdaya yang paling menonjol di pulau kecil adalah sumberdaya ikan dan untuk kawasan pulau kecil sumberdaya ikan ketersediaannya cukup banyak karena hal ini didukung oleh ekosistem yang beragam dan kompleks.
Sebagai salah satu eksosistem, mangrove mempunyai peranan penting dalam kehidupan biota perairan di sekitarnya. Daun mangrove yang gugur ke dasar perairan melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan menjadi partikel-partikel detritus, partikel-partikel detritus ini menjadi sumber makanan bagi berbagai macam hewan laut. Selain itu, bahan organik terlarut yang dihasilkan dari proses penguraian (dekomposisi) di hutan mangrove juga memasuki lingkungan perairan pesisir yang dihuni oleh berbagai macam filter feeder (pemakan dengan cara menyaring) serta berbagai macam hewan pemakan hewan dasar (Snedaker et al, 1984). Kemampuan perakaran yang kokoh untuk menahan lumpur dan melindungi dari erosi serta meredam gelombang menjadikan daerah ini sebagai daerah asuhan dan pemijahan bagi beberapa hewan perairan. Manfaat lain produk langsung maupun tidak langsung dari mangrove adalah berupa kayu bakar, bahan bangunan, alat dan teknik penangkapan ikan, bahan baku kertas, obat-obatan, bahan baku tekstil dan kulit, lilin, tempat rekreasi.
Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, dimana produktivitas primernya dapat mencapai 1 kg C/m2/th. Secara ekologis padang lamun memiliki beberapa fungsi bagi daerah pesisir yaitu : 1. sumber utama produktivitas primer; 2. sumber makanan bagi organisme (berupa detritus); 3. menstabilkan dasar yang lunak dengan sistem akar silang dan padat; 4. tempat berlindung organisme; 5. sebagai peredam arus dan sebagai tempat pembesaran beberapa spesies hewan misalnya udang dan ikan beronang.
Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas terdapat di daerah tropis, dimana umumnya hidup di perairan pantai/laut yang cukup dangkal dengan penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, binatang karang ini membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-320 C. Karena sifat hidup ini maka terumbu karang banyak dijumpai di perairan Indonesia, yang relatif banyak mendapat cahaya matahari, dengan menempati area seluas 7.500 km2 dari luas perairan Indonesia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1992). Terumbu karang juga mempunyai produktivitas primer yang tinggi, dimana menurut Yonge (1963) dan Stoddart (1969) dalam Supriharyono (2000) umumnya produktivitas primer perairan karang berkisar antara 1.500-3.500 g C/m2/th, namun hal ini bisa mencapai 100 kali lebih besar daripada perairan lautan tropis sekitarnya.
Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan dan sebagai tempat makanan bagi kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan (termasuk hewan lainnya) di daerah terumbu karang sangat tinggi. Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000) bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah perairan karang. Manfaat lain dari ekosistem ini seperti sumber bahan obat-obatan, bahan untuk budidaya, peredam gelombang/ombak, mencegah terjadinya erosi pesisir, juga sebagai bahan bangunan.
Kawasan pesisir dan lautan termasuk pulau-pulau kecil, merupakan kawasan yang kaya akan berbagai ekosistem sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayatinya. Total nilai ekonomi kawasan pesisir di seluruh permukaan bumi yang disebut dengan word’s gross natural product, yang termasuk di dalamnya estuaria, terumbu karang, paparan, rawa payau/hutan mangrove dan padang lamun adalah sebesar US $ 14,227 trilyun (Constanza, et al., 1997).
Secara keseluruhan nilai ekonomi masing-masing ekosistem (Tabel 4) dikemukakan oleh Constanza et al., (1997) seperti yang di bawah ini :
Tabel 4. Nilai Ekonomi Ekosistem Pesisir dan Lautan.
Ekosistem Nilai (US $ triliun)
Laut terbuka 8,381 Padang lamun 3,801 Terumbu karang 0,375 Hutan mangrove 1,648 Paparan/self 4,293 Estuaria 4,10 Sumber : Constanza et al., (1997)
Banyak orang menyadari bahwa terumbu karang bukan hanya memiliki nilai ekologis tetapi juga nilai ekonomi khususnya bagi industri wisata bahari. Berkembangnya industri wisata bahari, semakin menambah jumlah wisatawan yang tertarik pada olahraga air seperti selam dan snorkeling. Meski pada tahun 70-an hanya terdapat sekitar beberapa ratus penyelam amatir, namun sekarang jumlahnya sudah mencapai ribuan.
Terumbu karang juga merupakan sumber makanan bagi beberapa jenis ikan yang populer di masyarakat seperti ikan kerapu, ikan beronang, dan lain lain. Terumbu karang juga merupakan tempat hidup tiram mutiara, berbagai jenis kerang, serta invertebrata lainnya yang menjadi sumber makanan dan biasa diperdagangkan. Diperkirakan antara 9-12% produksi ikan dunia berasal dari ikan karang, sedangkan di Philipina sebanyak 8-20% berasal dari ikan karang bahkan pada suatu pulau kecil hasil ikan rata-rata 70% bisa mendapatkan 30 ton/km2/tahun (Soedharma, 1997).
Selain potensi sumberdaya alam yang ada, pulau kecil juga memiliki potensi jasa lingkungan seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut yang bernilai ekonomi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar pulau. Fungsi dan peran utama dari ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil juga sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah, dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan,
sehingga dalam pemanfaatannya harus seimbang dengan upaya konservasi dan kelestariannya sampai tercapai pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan.