• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. PROSES PRODUKSI

4.2. Proses Pengolahan

4.2.3. Pengolahan Kopi Bubuk

4.2.3.6. Pengemasan

Setelah lulus uji citarasa, maka kopi bubuk langsung dikemas. Pengemasan di PT.

Perkebunan Nusanatara IX (Persero) dilakukan dengan kombinasi yakni dengan cara manual dan otomatis. Cara manual ini dilakukan dengan bantuan pekerja, ada beberapa hal yang dilakukan secara manual yaitu proses penimbangan dan pemasukan kopi bubuk ke dalam kemasan, menutup kemasan, membentuk kardus, memasang plastik PVC pada kardus kecil. Kemasan yang digunakan juga bermacam-macam, hal itu tergantung dari produk dan disesuaikan dengan kebutuhan. Kemasan yang digunakan aluminium foil, plastic PVC, kardus kecil, kardus besar, gusset bag multilayer.

Aluminium foil dan gusset bag multilayer sebagai pengemas primer, kardus kecil sebagai pengemas sekunder, plastik PVC sebagai pengemas tersier, kardus besar sebagai pengemas kuartener. Fungsi pengemas tersebut dapat berubah karena disesuaikan dengan kebutuhannya. Plastik PVC hanya digunakan untuk melapisi kardus kecil dan kardus kecil tersebut tertera berat bersih serta tanggal expired, tetapi jika hanya menggunakan pengemas primer yakni menggunakan aluminium foil lalu dimasukkan ke dalam kardus besar maka aluminium oil tersebut diberikan tanggal expired. Pada kardus besar yang digunakan sebagai pengemas terakhir maka diberikan beberapa keterangan dan keterangan tersebut akan mempermudah proses penataan dan penyimpanannya. Keterangan yang ada dikardus besar antara lain, jumlah isi, netto, jenis gram, tanda jangan dibanting atau kena air, kode produksi.

Gambar 52. Aluminium Foil Gambar 53. Plastik PVC

Gambar 54. Kardus Kecil Gambar 55. Kardus Kecil + Plastik PVC

Gambar 56. Aluminium Foil Berlapis PET

Gambar 57. Gusset Bag Multilayer

Gambar 58. Kardus Besar Gambar 59. Keterangan Kardus

4.2.3.7. Penyimpanan

Setelah dikemas dalam kardus besar maka langsung masuk dalam tahap penyimpanan.

Tahap penyimpanan ini terletak di gudang penyimpanan. Gudang penyimpanan kopi bubuk terpisah dengan gudang penyimpanan kopi beras, tetapi secara garis besar memiliki desain yang sama. Kardus besar berisi kopi bubuk akan disimpan dan ditata berdasarkan metode first in first out serta kardus besar diletakkan diatas papan atau rak yang berjarak 10 cm dari lantai dan 50 cm dari dinding.

Gambar 60. Mesin Vacuum Sealer Gambar 61. Mesin Labelling

Gambar 62. Mesin Packaging Press Gambar 63. Mesin Sealer

Gambar 64. Proses Memasukkan Kopi Bubuk

Gambar 65. Gudang Penyimpanan Gambar 66. Rak Penyimpanan

43 5.1. Pengolahan Biji Kopi Menjadi Kopi Bubuk

PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero) mengolah 2 jenis produk yakni kopi beras dan kopi bubuk. Kopi beras yang dihasilkan berasal dari buah kopi yang telah melalui beberapa proses yang cukup panjang hingga menjadi kopi beras, sedangkan kopi bubuk merupakan hasil dari proses lanjutan dari kopi beras. Menurut Mulato et al., (2007) kopi bubuk adalah biji kopi yang telah melalui proses penggorengan serta penghalusan sehingga didapatkan kopi dengan bentuk butiran-butiran kecil atau serbuk. Biji kopi atau kopi beras yang digunakan sebagai bahan baku untuk dijadikan kopi bubuk harus memiliki kualitas yang baik, sehingga di Pabrik Kopi Banaran menggunakan kualitas mutu 1 dengan kopi beras dari proses pengolahan basah (RWP). Biji kopi yang digunakan terdiri dari 2 jenis kopi yaitu kopi robusta dan kopi arabika dengan ukuran M dan S. Kedua jenis kopi tersebut berasal dari kebun-kebun yang dimiliki oleh PT.

Perkebunan Nusantara IX (Persero).

Demi menghasilkan kopi bubuk yang enak dengan kualitas yang baik maka selama proses pengolahannya harus benar-benar diperhatikan dan paham dalam setiap prosesnya. Selain dari proses pengolahannya juga harus diperhatikan bahan baku yang digunakan. Bahan baku atau kopi beras harus benar-benar memiliki kualitas yang baik sehingga dapat menghasilkan kopi bubuk yang enak serta memiliki citarasa yang maksimal. Menurut Mulato et al., (2007) kopi beras yang dipakai sebagai bahan baku kopi bubuk harus terbebas dari jamur dan kotoran. Kopi beras yang digunakan harus melewati masa penyimpanan minimal 6 bulan sebelum disangrai. Ada beberapa tahap dalam proses pengolahan kopi bubuk yakni penyangraian atau penggorengan, pendinginan, penggilingan, pengemasan, dan penyimpanan. Proses pengolahan kopi bubuk di Pabrik Kopi Banaran menggunakan 2 kombinasi yakni mekanik dan manual.

Sebelum proses penyangraian, kopi beras ditimbang terlebih dahulu. Kemudian kopi beras dimasukkan ke dalam corong yang ada di mesin roaster. Roaster adalah mesin yang biasa digunakan untuk menyangrai kopi beras. Alat ini berbentuk kotak seperti oven dan ada drum yang nantinya berputar disertai adanya pemanasan. Penyangraian

adalah proses pemanasan atau penggorengan biji kopi yang dapat merubah sifat fisik, kimia, dan membentuk citarasa khas pada kopi. Proses penyangraian juga merupakan tahapan proses yang paling penting dalam proses pengolahan kopi bubuk. Di Pabrik Kopi Banaran, sangrai yang dilakukan sudah sesuai dengan teori Siswoputranto (1978) dalam Aprilia (2013) yang mengatakan sangrai dilakukan pada tekanan atmosfer disertai adanya udara panas dan kontak dengan metal yang panas. Mesin roaster yang ada di Pabrik Kopi Banaran memiliki kapasitas sebesar 15 kg dalam sekali penyangraian, tetapi kapasitas yang dipakai hanya 12 kg. Pemakaian mesin roaster pertama kali harus dipanaskan terlebih dahulu selama 15 menit hingga mencapai suhu 150℃. Setelah mencapai suhu tersebut maka kopi beras yang berada pada corong langsung masuk ke dalam mesin roaster.

Penyangraian di Pabrik Kopi Banaran untuk pertama kali memerlukan waktu sedikit lebih lama yakni sekitar 40 menit, tetapi untuk penyangraian berikutnya hanya memerlukan waktu sekitar 30-35 menit. Jika proses penyangraian sudah selesai maka ditandai dengan suhu yang telah mencapai 180℃ atau bisa juga disesuaikan dengan warna biji kopi yang diinginkan, sehingga selama proses penyangraian berlangsung dilakukan pengecekan warna biji kopi. Pada saat proses penyangraian sudah selesai, suhu langsung menurun menjadi 150℃ dikarenakan kopi beras yang baru masuk ke mesin roaster. Berdasarkan warna biji kopi yang dihasilkan maka lama waktu penyangraian sering disebut dengan derajat sangrai yakni semakin lama waktu penyangraian maka biji kopi yang hasilkan akan memiliki warna yang semakin gelap (Mulato, 2002 dalam Andriani, 2014).

Suhu dan waktu merupakan faktor yang sangat mempengaruhi hasil penyangraian yakni salah satunya adalah warna, sehingga menurut Varnam & Sutherland (1994) dalam Andriani (2014) suhu penyangraian diibagi menjadi 3 yaitu suhu 193-199℃ disebut light roast, suhu 204℃ disebut medium roast, dan suhu 213-221℃ disebut dark roast.

Selama proses penyangraian terjadi beberapa perubahan yakni diawali dengan penguapan air lalu penguapan senyawa volatile dan pirolisis. Pirolisis adalah proses dekomposisi bahan organik yang disebabkan oleh panas. Kadar air yang hilang pada light roast sekitar 3-5%, pada medium roast sekitar 5-8%, dan dark roast sekitar 8-14%

(Varnam & Sutherland, 1994 dalam Andriani, 2014). Jadi berdasarkan dari teori Varnam & Sutherland (1994) dalam Andriani (2014) suhu yang digunakan untuk menyangrai di Pabrik Kopi Banaran belom sesuai dengan teori yang ada, tetapi cara penyangraian yang dilakukan sudah sesuai yakni proses sangrai dilakukan dalam kondisi tertutup. Menurut Ciptadi & Nasution (1985) dalam Andriani (2014) sangrai yang dilakukan secara tidak terbuka menghasilkan kopi yang sedikit asam yang disebabkan oleh air dan beberapa asam yang tertahan. Waktu yang dibutuhkan untuk menyangrai juga tergantung dari mesin yang dipakai serta hasil warna kopi yang diinginkan.

Menurut Elias (1979) dalam Braham & Bressani (1979) biji kopi yang disangrai pada light roast menghasilkan biji kopi berwarna coklat muda dengan tingkat keasaaman yang tinggi, biji kopi yang disangrai pada medium roast menghasilkan biji kopi berwarna coklat gelap dengan tingkat keasaaman pada pH 5,1, sedangkan pada dark roast menghasilkan biji kopi berwana coklat kehitaman dengan tingkat keasaman yang lebih rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan maka warna akan semakin gelap dan tingkat keasaman semakin rendah. Perubahan warna biji kopi menjadi warna coklat juga disebabkan oleh komponen karbohidrat dalam biji kopi yang terkaramelisasi (Sivetz & Foote, 1963 dalam Aprilia, 2013).

Ciptadi & Nasution (1985) dalam Andriani (2014) mengatakan bahwa selama proses penyangraian perubahan fisik dan kimia meliputi penguapan air, swelling atau pengembangan, terbentuk senyawa volatile, karbohidrat terkaramelisasi, denturasi protein, pengurangan serat, terbentuk gas CO2 yang berasal dari oksidasi, dan terbetuk aroma khas kopi. Pengembangan atau swelling disebabkan oleh gas yang masuk ke dalam pori-pori kopi atau ruang sel pada biji kopi. Teori Ciptadi & Nasution (1985) dalam Andriani (2014) mengatakan bahwa aroma serta rasa yang khas pada kopi disebabkan oleh beberapa senyawa, antara lain golongan fenol dan asam tidak mudah menguap, karbonil, karbonil asam, asam amino, dan asam yang mudah menguap.

Golongan fenol dan asam yang tidak mudah menguap meliputi asam klorogenat, asam kofeat, asam ginat, dan riboflavin. Golongan senyawa karbonil meliputi propanon,

alkohol, asetaldehid, dan vanillin aldehid. Golongan senyawa karbonil asam meliputi aseto asetat, keton kaproat, hidroksi pirufat, oksasuksinat, mekoksalat, merkaptopiruvat, dan oksalasetat. Golongan senyawa asam amino meliputi hidroksiproline, alanin, threonin, glisin, leusin, iso leusin, variline, dan asam aspartate. Golongan asam yang mudah menguap meliputi asam asetat, butirat, volerat, dam propionat. Menurut Mulato (2002) dalam Andriani (2014) juga mengatakan bahwa seiring dengan terbentuknya aroma dan gas CO2 yang terlepas maka asam klorgenat langsung terdekomposisi.

Sebagian senyawa penyebab rasa asam hilang dan sebagian lagi bereaksi dengan asam amino untuk membentuk senyawa melanoidin. Senyawa melanoidin menghasilkan warna coklat. Kafein adalah senyawa penting ada yang dalam kopi. Kafein dalam kopi sebagai senyawa bebas ataupun dalam bentuk kombinasi dengan klorogenat sebagai senyawa kalium kafein klorogenat. Sepanjang proses penyangraian berlangsung, sebagian kafein yang terdapat dalam biji kopi juga langsung menguap dan membentuk senyawa furfural, aseton, trimethilamin, ammonia, asam asetat, dan asam format (Clacke & Macrae, 1987).

Setelah proses penyangraian selesai, maka dilanjutkan dengan proses pendinginan biji kopi. Menurut Panggabean (2012) dalam Andriani (2014) pendinginan biji kopi yang telah selesai disangrai sangat perlu dilakukan karena biji kopi yang tidak langsung didinginkan dapat mengalami perubahan warna, flavor, volume yang disebabkan oleh proses pemanasan yang tidak berhenti. Proses pendinginan di Pabrik Kopi Banaran dilakukan secara 2 tahap. Tahap yang pertama dilakukan dengan cara diletakkan dalam silinder pendingin selama 15 menit yang terletak di bawah corong tempat keluarnya biji kopi dari roaster.

Dalam pendinginan di silinder pendingin, pendinginan tersebut dilengkapi dengan pengaduk. Pengadukan tersebut membantu agar proses pendinginan dapat berlangsung cepat. Kemudian dilanjutkan dengan proses pendinginan pada tahap kedua yakni biji kopi yang telah melalui proses pendinginan tahap pertama langsung dimasukkan ke dalam wadah alumunium minimal 6 jam sebelum biji kopi digiling atau dihaluskan.

Proses pendinginan yang dilakukan sudah sesuai dengan teori Mulato (2002) dalam Andriani (2014) juga mengatakan bahwa proses pendinginan biji kopi sangrai dengan

cara diletakkan pada plat metal yang disertai pengadukan dan proses pendinginan juga harus cepat-cepat dilakukan agar biji kopi tidak mengalami over cook atau over roasted .Panggabean (2012) dalam Andriani (2014) juga menyatakan bahwa tujuan dari pendinginan biji kopi setelah disangrai untuk mencegah pemanasan berlebih, menurunkan suhu, menyeragamkan warna, mencegah kerusakan mesin penggiling, dan menghilangkan biji kopi yang rusak atau hancur.

Sebelum proses penggilingan, dilakukan proses pencampuran atau blending kopi robusta dengan kopi arabika. Pencampuran ini dilakukan agar mendapatkan kopi bubuk dengan rasa yang lebih enak. Pencampuran antara kopi robusta dengan kopi arabika memiliki persentase yang berbeda, sehingga nantinya dapat menghasilkan produk yang berbeda. Persentase 35% kopi arabika dan 65% kopi robusta akan dinamakan premium, 50% kopi arabika dan 50% kopi robusta dinamakan classic, kopi robusta 100%

dinamakan original. Agar proses pencampuran merata, maka pencampuran ini dilakukan disilinder pendingin yang dilengkapi dengan pengadukan.

Pertama-tama dalam proses penggilingan, kopi langsung dimasukkan ke dalam corong yang ada pada mesin penggiling, kemudian mesin dinyalakan. Mesin yang digunakan untuk penggiling ini disebut grinder. Mesin ini berkapasitas 20 kg setiap satu kali penggilingan, tetapi kopi yang dimasukkan kedalam corong dilakukan dua kali tahap yakni 10 kg dalam satu kali tahap. Grinder didiamkan selama 15 menit setelah satu kali penggilingan. Penggilingan ini membutuhkan waktu sekitar 1-1,5 jam setiap satu kali penggilingan. Penggilingan ini berfungsi untuk mengubah bentuk biji kopi menjadi partikel-partikel halus. Menurut Rothfos (1986) dalam Aprilia (2013) biji kopi yang sudah menjadi partikel halus dapat mempermudah proses penyeduhan karena luas permukaan lebih besar sehingga kopi lebih cepat larut dalam air. Setelah terbentuk kopi bubuk, kopi bubuk tersebut langsung didinginkan dengan cara dimasukkan ke dalam tong aluminium.

Setelah melalui proses pendinginan bubuk kopi, selanjutnya dilakukan proses pengemasan tetapi sebelum itu dilakukan pengujian dari cita rasa kopi. Pengujian ini disebut cup taste. Pengujian ini dilakukan sebelum diseduh dan sesudah diseduh.

Parameter yang akan diuji yaitu fragrance, aroma, flavor, acidity, body, bitter, winey fruity, green/rasky, smokey, cereal woody, papery, chemical medicine, fermented, earth mouldy, dan musty. Untuk parameter fragrance, akan dilakukan sebelum penyeduhan.

Cup taste dilakukan dengan cara menyeduh 15 gram kopi dengan air panas sebanyak 220 cc, kemudian ditunggu kira-kira 4 menit dan dilanjutkan dengan menguji parameternya. Cup taste adalah sistem penilaian mutu suatu komoditi yang menggunakan alat indra manusia sebagai alat ukur. Pengujian ini banyak dilakukan oleh perusahaan industri pangan. Uji ini juga dapat disebut uji organoleptic. Uji organoleptik merupakan saat seseorang atau sekelompok manusia yang bertindak sebagai alat ukur disebut panelis. Jika lolos maka kopi bubuk tersebut memiliki nilai fragrance tidak kurang dari 6 serta tidak memiliki parameter winey fruity, green/rasky, smokey, cereal woody, papery, chemical medicine, fermented, earth mouldy, dan musty. Kopi bubuk yang telah lolos uji maka langusng masuk ke tahap selanjutnya yaitu pengemasan.

Proses pengemasan dilakukan agar kopi bubuk mempermudah distribusi, memperpanjang umur simpan, dan dapat melindungi dari kekerasan fisik. Menurut Rahmawati (2013) pengemasan merupakan suatu cara untuk melindungi serta mengawetkan suatu produk pangan ataupun non pangan. Kemasan yang digunakan di PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero) antara lain, aluminium foil, plastik PVC, kardus kecil, kardus besar, gusset bag multilayer, serta penggunaan kombinasi pengemasan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis produknya, tetapi pada pengemasan terakhir menggunakan kardus besar yang diberi beberapa keterangan yang berfungsi untuk mempermudah proses penataan dan penyimpanan barang.

Menurut Rahmawati (2013) suatu wadah yang dilengkapi dengan label dan beberapa keterangan yang digunakan untuk mengemas produk disebut kemasan. Bahan pengemas tidak boleh larut dan tidak boleh memiliki senyawa-senyawa berbahaya yang nantinya dapat mempengaruhi mutu produk. Tidak hanya itu, pengemas juga harus mampu menahan uap air agar tidak masuk ke dalam kemasan sehingga dapat memperpanjang umur simpan, khususnya untuk produk dalam bentuk bubuk yang memiliki sifat higroskopis (Syah et al., 2013).

Setelah dikemas dalam kardus besar, maka proses selanjutnya adalah disimpan di dalam gudang. Penyimpanan kopi bubuk dan kopi beras di letakkan secara terpisah. Kardus besar yang telah terisi oleh kopi bubuk langsung disusun di atas rak atau papan yang berjarak 10 cm dari lantaidan 50 cm dari dinding. Metode penyimpanannya menggunakan metode first in first out. Menurut Randi (2006) dalam Ernawati et al., ( 2008) kadar air, kelembapan, dan kebersihan gudang merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam sistem pergudangan. Yusianto et al., (2007) juga menambahkan bahwa tempat untuk menyimpan kopi harus memiliki sirkulasi udara yang baik agar dapat mempertahankan kelembapan dan suhu yang baik.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kemasan memiliki beberapa fungsi, salah satunya adalah melindungi produk. Tetapi pada kenyataannya, kemasan yang dihasilkan tidak selalu bagus atau sesuai dengan keinginan, sehingga tidak dapat memenuhi fungsi kemasan pada umumnya. Kerusakan kemasan harus dapat diminimalkan agar tidak menimbulkan kerugian bagi perusahaan, karena biaya untuk pengemasan cukup tinggi. Maka dari itu saya mencoba untuk menghitung kerusakan kemasan yang terjadi selama 5 hari di PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero) khususnya pada pengemasan kopi bubuk. Hasil yang saya dapat adalah sebagai berikut:

Tabel 8. Kemasan Yang Rusak

Hari Jenis Produk Total Produk (pcs) Kemasan Rusak (pcs)

1 Banaran Premium 468 0

Pada Tabel 8. dapat dilihat bahwa perhitungan kemasan yang rusak dilakukan selama 5 hari dari berbagai jenis produk yang dihasilkan. Berdasarkan tabel di atas juga dapat dilihat bahwa kemasan yang paling banyak rusak adalah banaran original 250 g yakni dengan total sebanyak 16 pcs dari 1116 pcs.

Kemasan yang dikatakan reject atau rusak adalah kemasan yang tidak tersegel dengan rapat ataupun kemasan yang tidak layak untuk dilihat konsumen. Kemasan banaran original 250 g dan 100 g terdiri dari aluminium foil, kardus kecil, dan plastik PVC.

Kemasan tersebut kerusakannya terjadi saat selesai proses laminating plastik PVC dengan kardus kecil dan kardus kecil tersebut terdapat dekokan atau kardus tidak mulus, sedangkan pada banaran classic 200 g kerusakan terjadi pada saat proses penyegelan yang menggunakan mesin vakum tidak menutup kemasan dengan sempurna.

Gambar 67. Kemasan Banaran Original yang Rusak

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengemasan yaitu mesin, material, manusia, dan metode.

 Mesin

Mesin merupakan salah satu faktor yang paling menentukan karena jika mesin rusak atau tidak terkontrol maka hasil pengemasan tidak baik. Contohnya pada mesin laminating yang digunakan untuk merekatan plastik PVC dengan kardus kecil. Pada mesin suhu harus selalu terkontrol dan disesuaikan karena jika suhu terlalu panas maka dapat menyebabkan plastik PVC terlalu merekat sehingga dapat menyebabkan tekukan pada kardus kecil, sedangkan suhu tidak panas maka dapat menyebabkan plastik PVC tidak merekat kuat dengan kardus kecil.

 Material

Material yang digunakan sebagai bahan pengemas harus disesuaikan dengan pengaturan mesin serta bahan yang dikemas. Misalnya ketebalan dari kardus kecil yakni semakin tipis maka suhu tidak bole terlalu tinggi sehingga kardus kecil saat dilaminating dengan plastik PVC tidak menekuk akibat suhu yang digunakan terlalu tinggi.

 Metode

Metode yang dilakukan dalam pengemasan lebih dispesifikkan terhadap peletakan produk pada konveyor saat produk masuk ke dalam mesin laminating. Jika peletakan tidak benar, maka dapat terjadi perubahan peletakkan sehingga produk bergerak yang nantinya dapat mempengaruhi laminating plastik PVC terhadap kerdus kecil.

 Manusia

Kesalahan yang disebabkan oleh manusia sering disebut dengan human error. Selain dari ketiga faktor yang sudah disebutkan dan dijelaskan sebelumnya, human error merupakan faktor penyebab kerusakan cukup tinggi pada proses pengemasan.

Kesalahan yang disebabkan oleh manusia dipengaruhi oleh kondisi kesehatan, stamina tubuh, kondisi psikologis, dan keahliannya.

Dari hasil pengamatan saya serta hasil kerusakan kemasan kopi bubuk yang didapat di PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero), kerusakan yang terjadi disebabkan oleh material dan mesinnya. Hasil pengamatan menyatakan bahwa kerusakan kemasan kopi bubuk Banaran Original 250 g paling banyak. Kerusakan tersebut terjadi pada tahap laminasi plastik PVC dengan kardus kecil. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka untuk meminimalkan kerusakan pada kemasan kopi bubuk Banaran Original 250 g dapat dilakukan pengontrolan atau pengaturan suhu yang disesuaikan dengan ketebalan kardus kecil yang sudah tersedia atau menggunakan suhu seperti biasa tetapi ketebalan kardus kecil disesuaikan.

52 6.1. Kesimpulan

 PT. Perkebunaan Nusatara IX (Persero) mengolah kopi beras dan kopi bubuk.

 Setiap tahap pengolahan harus di kontrol agar dapat menghasilkan kopi beras atau kopi bubuk yang baik dan sesuai standar.

 Tahapan pengolahan kopi bubuk ada 7 yaitu penimbangan, penyangraian, pendinginan, penggilingan, cup taste, pengemasan, dan penyimpanan.

 Tahapan paling penting dalam pengolahan kopi bubuk adalah penyangraian.

 Proses pengolahan di PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero) secara manual dan mekanik.

 Faktor yang mempengaruhi kesalahan dalam produksi adalah manusia, material, mesin, dan metode.

 Tahap pengemasan harus dilakukan dengan teliti agar dapat menghasilkan kemasan yang baik.

 Setiap tahap pengolahan harus diminimalkan kegagalannya agar tidak menimbulkan kerugian.

 Selama proses pengolahan sebaiknya kontak antara manusia dengan bahan pangan harus diminimalkan agar produk yang dihasilkan lebih higienis.

 Personal hygiene (penggunaan masket dan sarung tangan) lebih ditingkatkan agar mendukung sanitasi yang lebih baik.

 Pengontrolan setiap tahapan proses harus lebih ditingkatkan.

53

(RWP) Di Pabrik Kopi Banaran PT. Perkebunan Nusantara IX (PERSERO) Kabupaten Semarang. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Soegijapranata Semarang.

Aprilia, R. A., (2013). Proses Pengolahan Kopi Bubuk Di PT. Perkebunan Nusantara IX (PERSERO). Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Soegijapranata Semarang.

Clacke, R.J & Macrae, R. (1987). Coffee Vol 1. Coffea Chemestry. Chapman & Hall.

Nortway-Andorer . England. 19-101.

Braham J E & Bressani R. (1979) Coffee Pulp: Composition, Technology, and Utilization. Institute of Nutrition of Central America and Panama.Hlm. 17-24.

Ernawati, Rr., Ratna, W.A., Achmad, S., (2008). Teknologi Budidaya Kopi Poliklonal.

Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian.

Mulato, S., Widyotomo S., Purwadria H. K., (2007). Kinerja Pembubuk Mekanis Tipe Piringan (Disk Mill) untuk Proses Pengecilan Ukuran Biji Kopi Robusta

Pascasangrai. Pelita Perkebunan, 23(3), 231—257.

Rahmawati, Fitri. (2013). Pengemasan dan Pelabelan. Fakultas Teknik. Universitas Negeri Yogyakarta.

Syah, Hendri; Yusmanizar; dan Oki Maulana. (2013). “Karakteristik Fisik Bubuk Kopi Arabika Hasil Penggilingan Mekanis dengan Penambahan Jagung dan Beras Ketan”. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. Vol. 5, No. 1.

Yusianto; R. Hulupi, Sulistyowati, S. Mawardi & C. Ismayadi. (2007). Mutu Fisik dan

Yusianto; R. Hulupi, Sulistyowati, S. Mawardi & C. Ismayadi. (2007). Mutu Fisik dan

Dokumen terkait