Pada saat seperti sekarang harus dapat dijelaskan apakah kebijakan energi nasional akan mendahulukan pro poor dari pro job dan pro growth. Bagaimanapun juga
V. PENGEMBANAN INFRASTRUKTUR
Ketersediaan dan kualitas infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan sebagainya, yang merupakan
Social Overhead Capital, merupakan prasyarat utama dalam pembangunan ekonomi. Infrastruktur juga mempunyai keterkaitan yang kuat dengan perkembangan wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik, mempunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pula, dibandingkan dengan daerah yang mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian, penyediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional. Berhubungan dengan infrastruktur, Pemerintah telah mengumumkan Infrastucture Summit
pada bulan Januari 2005, suatu agenda untuk menyelesaikan perubahan kebijakan dan regulasi yang dialihkan untuk membantu perkembangan kerjasama antara swasta dengan publik dalam ketentuan infrastuktur. Termasuk 91 daftar proyek di sektor energi, telekomunikasi, transportasi dan air, yang masih dicari pihak swasta yang ingin berinvestasi. Pemerintah berjanji untuk mengadakan tender internasional yang transparan hingga pelaksanaan proyek ini.
Hasil survei yang dilakukan oleh World Economic Forum (2008) menunjukkan bahwa kondisi infrastruktur di Indonesia menempati peringkat 91 dari 131 negara yang disurvei. Dalam laporan ini diketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang paling lemah dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara dalam hal penyedia infrastruktur (lihat Tabel 1) dan Indonesia belum memiliki infrastruktur yang berkualitas tingkat dunia.
Salah satu contoh kondisi infrastruktur yang masih memprihatinkan adalah infrastruktur listrik di mana infrastruktur penunjang belum mampu mengimbangi konsumsi listrik. Ratio elektrifikasi saat ini baru sekitar 64,3% dan rasio desa berlistrik sebesar 91,9%. Selain itu terkait dengan perbaikan infrastruktur daerah yang terkena bencana, harus ada keberpihakan yang nyata bagi masyarakat yang terkena bencana dan keputusannya harus keputusan politik bukan ekonomi.
Paket Kebijakan Pemerintah (Inpres No. 6/2007). Telah lebih dari empat tahun pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla telah berlalu, namun dunia usaha masih diwarnai ekonomi biaya tinggi. Berbagai kebijakan— seperti kenaikan harga BBM, kenaikan suku bunga, kenaikan upah minimum, dan segera menyusul kenaikan tarif dasar listrik dan gas— telah memukul dunia usaha, baik besar maupun kecil.
Memang masalah ketidakstabilan makroekonomi dan ketidakpastian kebijakan ekonomi di era SBY-JK masih menjadi penghalang utama dalam perbaikan iklim investasi meski sudah jauh berkurang kadarnya (lihat Gambar 1). Selain itu masalah regulasi tenaga kerja menjadi faktor yang tak kalah kuat untuk menghalangi investasi. Saat ini, uang pesangon karyawan Indonesia paling tinggi di dunia (sekitar 9 kali gaji) sehingga untuk memberhentikan karyawan (PHK) saja perusahaan membutuhkan biaya yang besar.
Menyadari hal ini, pemerintah mengeluarkan Inpres No.6/2007 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Instruksi Presiden No.6 Tahun 2007 Tentang Perdagangan dan Perbaikan Iklim Investasi Untuk Percepatan Pembangunan Sektor Riil dan Pengembangan UMKM terdiri dari empat bidang utama, yaitu: (1) Bidang Perbaikan Iklim Investasi; (2) Reformasi Sektor Keuangan; (3) Percepatan Pembangunan Infrastruktur; (4) Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Jumlah tindakan yang dilakukan dalam implementasi Inpres No.6/2007 adalah sebanyak 141 tindakan. Untuk Bidang Perbaikan Iklim Investasi terdiri 41 tindakan atau sekitar 29% terhadap total. Untuk Bidang Reformasi Sektor Keuangan terdiri dari 43 tindakan atau sekitar 30,4% terhadap total. Untuk Bidang Percepatan Pembangunan Infrastruktur terdiri dari 28 tindakan atau sekitar 19,9% terhadap total. Untuk Bidang Pemberdayaan UMKM terdiri dari 29 tindakan atau sekitar 20,6% terhadap total.
Sampai dengan Maret 2008, pelaksanaan Inpres No.6/2007, dari 141 tindakan/keluaran yang harus diselesaikan, hanya 101 tindakan dinyatakan selesai atau 71,6% dari total tindakan (lihat Tabel 2). Meskipun tindakan/keluaran belum dapat diselesaikan secara tepat waktu, sejumlah tindakan di antaranya telah mencapai kemajuan yang berarti. Namun sejumlah tindakan lainnya memerlukan perhatian yang lebih sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya.
Khusus tentang pembangunan infrastruktur, dari 28 keluaran dalam bidang Percepatan Pembangunan Infrastruktur, sebanyak 14 keluaran telah diselesaikan sampai Maret 2008,
yaitu:
1. UU Nomor 23/2007 tentang Perkeretaapian; 2. UU Nomor 30/2007 tentang Energi;
3. UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran;
4. PP Nomor 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
5. PP Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Infrastruktur;
6. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 14/2007 tentang Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa;
7. Peraturan Kepala BPN Nomor 3/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Tanah;
8. Policy Paper mengenai Guarantee Fund;
9. Kajian teknis mengenai penyediaan listrik pedesaan;
10. Road Map Infrastruktur Indonesia untuk Kewajiban Pelayanan Umum (PSO); 11. Kajian mengenai peranan Perum Perumnas dalam penyediaan perumahan rakyat; 12. Kajian mengenai penyederhanaan perijinan pembangunan perumahan rakyat; 13. Kajian fiskal penerapan Road Fund;
14. Policy paper mengenai pembentukan dewan keselamatan transportasi nasional (jalan);
15. Program Manajemen Keselamatan Transportasi Jalan; 16. Revisi cetak biru perkeretaapian.
Dari 34 Tindakan bidang Percepatan Pembangunan Infrastruktur di atas, sebanyak 17 merupakan tindakan kebijakan Bidang Peningkatan Manajemen Pembangunan Infrastruktur, di mana yang telah selesai sebanyak 8 tindakan (No. 9–16 di atas) dan sisanya masih dalam proses.
Bila dicermati ternyata sampai akhir Maret 2008 (lihat kembali Tabel 2) hanya 50% rencana tindakan bidang infrastruktur yang selesai. Adapun faktor penyebabnya adalah:
1. Target kuantitatif yang tidak realistis. Target pembangunan yang jauh lebih tinggi dari kemampuan pasokan, merupakan target yang tidak realistis, terlebih ketika pembebasan lahan yang selama ini merupakan kendala utama dalam pembangunan jalan tol, sama sekali belum dilakukan. Tim ekonomi menargetkan pembangunan jalan tol sepanjang 1700 km atau secara rata-rata 340 km per tahun (lihat Gambar 2).
2. Persiapan teknis tidak dilakukan. Target yang optimis dalam pembangunan jalan tol, tidak seimbang dengan upaya Tim Ekonomi untuk menyiapkan berbagai prasyarat yang diperlukan. Seharusnya dalam penawaran sebuah proyek, kesiapan administrasi dan persyaratan teknis harus segera dilakukan. Akan tetapi belum ada satu pun proyek jalan tol yang memiliki dokumen spesfikasi proyek (Project Specific PPP Package). Kemudian sebanyak 77% proyek yang ditawarkan belum memiliki dokumen tender.
3. Persepsi bisnis terhadap road capacity dan physical condition memburuk dibanding tahun sebelumnya
Dalam workshop juga dikemukakan perlunya pengaktifan kembali kereta api untuk membangun infrastruktur di bagian utara pulau Jawa, khususnya di Pulau Madura, di mana kordinasi antar empat kabupaten yang ada sangat sulit dilakukan. Pengaktifan kembali jalur kereta api di Madura dianggap lebih murah bila dibandingkan dengan membangun jalan. Bila jalur kereta api pedesaan diaktifkan dapat diperkirakan besarnya nilai ekonomi yang dapat dicapai.
Selain menghubungkan aktivitas ekonomi antar daerah juga dapat mengurangi pencemaran udara yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan pribadi. Kegiatan transportasi memberikan kontribusi sekitar 70 persen terhadap pencemaran udara di kota-kota besar. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 terjadi peningkatan yang signifikan. Dari sekitar 19 juta kendaraan bermotor pada tahun 2000 menjadi 47,7 juta kendaraan bermotor pada tahun 2005. Selama periode 2000 sampai dengan 2005 terjadi peningkatan sebesar 151 persen atau rata-rata 30 persen per tahun. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang cukup berarti dari tahun ke tahun mengakibatkan terjadi penurunan kualitas udara ambien yang diakibatkan gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor tersebut. Walaupun jumlah kendaraan bermotor setiap tahun selalu bertambah, namun panjang jalan baik jalan negara, propinsi maupun kabupaten relatif tidak berubah. Hal inilah menjadi penyebab terjadinya kemacetan di jalan raya yang pada akhirnya menambah parahnya pencemaran udara setempat. Oleh karena itu pengaktifan moda-moda angkutan umum yang nyaman dan terjangkau yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah yang banyak dapat berpontensi untuk mengurangi kerusakan lingkungan.
Sebagai kelanjutan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) maka Pemerintah mengeluarkan Instruksi No. 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008–2009. Di dalam Inpres yang baru ini sudah dimasukkan beberapa tindakan bidang infrastruktur yang terkait dengan perbaikan lingkungan hidup, yaitu: (1) Pengendalian Banjir, (2) Penyediaan Sarana dan Prasarana Air Minum, (3) Pengelolaan Air Limbah dan (4) Pengelolaan Persampahan.