• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Bahasa

Dalam dokumen PROSIDING UI ISME 2015 Dinamika Budaya T (Halaman 183-200)

Strategi Tindak Tutur Meminta Bahasa Arab Amiyah Muhammad Ridwan

4. Puisi Polemik

5.3. Pengembangan Bahasa

Puisi al-naqa’id berpengaruh pada pengembangan bahasa Arab. Para penyair adalah orang-orang yang mahir berbahasa Arab. Mereka menguasai banyak kosa kata Arab, Mereka dianggap berjasa dalam melestarikan dan memajukan agama. Begitu pentingnya peran penyair dalam mempertahankan bahasa, ada ungkapan khas yang ditujukan untuk memuji al- Farazdaq, yaitu .له ث به لل لليق ،

لغ ل ثل ث به لل

ل ل ا لل

“jika tidak ada Al-Farazdaq maka sepertiga bahasa Arab akan hilang, bahkan hilang dua pertiganya” (Farrukh, 1984: 649- 663). Kemahiran para penyair dalam berpuisi menunjukkan pengetahuan mereka yang mendalam tentang bahasa Arab yang murni yang belum terpengaruh oleh bahasa-bahasa asing dari wilayah non Arab. Jika kita perhatikan karya-karya mereka menunjukkan masih sangat dekat dengan puisi klasik jaman Jahiliyah. Dengan demikian terlihat bahwa karya mereka menampilkan campuran gagasan lama dengan gagasan baru yang diungkapkan dalam gaya bahasa klasik.

183 6. KESIMPULAN

Hubungan sastra dan politik pada zaman Umayyah sangat erat. Hal ini terlihat pada sejumlah puisi dari empat kelompok penyair, yaitu kelompok Syi’ah, Zubairyin, khawarij, dan Umayyah.

Puisi mereka dikenal dengan istilah puisi polemik (al-naqa’id). Jenis puisi ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari jenis puisi-puisi al-mu’allaqat (puisi pilihan yang digantungkan di dinding Ka’bah) pada zaman Jahiliyah. Dilihat dari pola, metrum, rima, tujuan dan temanya mirip dengan puisi al-mu’allaqat. Tema-tema lama masih digunakan, seperti al-fakhr (membanggakan keturunan), al-hija (mengejek orang/kelompok lain), al- gazal (cinta, pujian kepada wanita). Hanya saja, perbedaannya, ialah jika pada zaman jahiliyyah tema-tema ini belum menjadi pilihan utama para penyair, sementara pada zaman Umayyah, tema ini menjadi tema yang sangat menonjol dan terbuka, di kalangan banyak penyair, yang didukung oleh pemerintah dan kelompok-kelompok yang saling bersaing merebut perhatian orang banyak. Tema-tema itu menyatu menjadi tema puisi al-siyaasah (tema politik) atau al-naqaa’id (polemik).

Puisi al-naqa’id pada zaman Umayyah juga telah dijadikan sarana mendapatkan hadiah atau kekayaan. Hal ini berbeda dengan zaman jahiliyah yang bertujuan untuk mengharumkan nama keluarga. Puisi jenis ini tidak terikat pada satu suku atau kelompok tertentu untuk menegaskan gagasan atau keyakinan kelompok, melainkan lebih cenderung kepada kelompok mana yang memberi hadiah lebih tinggi.

Satu hal yang perlu dicatat ialah, bahwa pada zaman Umayyah gagasan keislaman, termasuk ayat-ayat al-Qur’an cukup banyak mewarnai puisi polemik. Dapat dikatakan bahwa puisi polemik pada zaman Umayyah, dilihat dari gaya dan tujuannya mengikuti gaya klasik, tetapi kandungan isinya memuat hal-hal baru, yaitu nilai-nilai ajaran Islam.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa di antara penguasa dan penyair sendiri terlibat dalam polemik yang sebenarnya merupakan bagian dari kegiatan kritik sastra. Ada penguasa yang sengaja mengundang para penyair ingin membandingkan kualitan puisi yang ditulis oleh para penyair. Ada pula penyair tertentu yang menilai karya penyair lain, mengungkapkan kelebihan dan kekurangan serta mengajukan pujian terhadap karya yang dianggapnya lebih baik atau cemoohan terhadap puisi yang dianggap kurang berkualitas.

Para ahli sejarah kesusastraan Arab sepakat untuk mengatakan bahwa persaingan antar sastrawan dalam hal menulis puisi Arab yang paling menonjol adalah di masa

184

pemerintahan Bani Umayyah. Penyair yang paling aktif berkompetisi dalam menulis puisi di masa itu ada tiga penyair, yaitu Jarir, al-Farazdaq dan al-Akhtal. Para ahli memiliki penilaian berbeda tentang penyair mana yang lebih utama. Karena ketiganya masing-masing memiliki keunikan. Jarir lebih dikenal sebagai penyair yang kata-katanya sederhana, temanya yang romantis dan struktur bahasanya mudah diingat. Sementara al-Farazdaq lebih menonjolkan tema-tema kebanggaan, kata-katanya bernuansa semangat, gaya bahasanya mendalam, terkadang sulit dicari maksudnya. Al-Akhtal lebih banyak menekankan sinisme dan bernada mengejek orang lain, serta cenderung melecehkan moralitas serta suka menggambarkan nikmatnya minuman anggur. Orang yang menyoroti hal-hal yang memperhatikan tema tentang keturunan dan harga diri suatu kaum, akan lebih mengutamakan puisi al-Farazdaq. Sementara orang yang melihat dari segi moralitas dan religiositas, serta keramahan, lebih mengutamakan Jarir. Orang-orang yang beragama nasrani lebih mengutamakan al-Akhtal, karena al-Akhtal adalah seorang Nasrani. Para kritikus menganggap puisi Jarir lebih barvariasi, meliputi benyak tema: pujian, hinaan, gambaran binatang, dan pelajaran moral. Sementara Al-Farazdaq lebih banyak menulis puisi tentang kebanggan diri dan golongannya, dan menghina kelopmpok lain, selain ada sedikit bertema pujian. Al-Akhtal lebih banyak menulis pujian, ejekan dan gambaran tentang minuman khamar (al-Iskandari, 1916: 178).

Wallahu A’lam bis-sawab.

Depok, 8 Nopember 2015

DAFTAR PUSTAKA Al-Askari, Abu Hilal.

1984 Kitab Jamharah al-Amsal. Jld. I-II, Beirut: Dar al-Fikr.

Audah, Ali. „Kesusastraan Islam“ Dalam Taufik Abdullah. ed. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Vol. IV. Jakarta: Ichtiar Baroe Van Hoeve.

Darwisy, Abdullah. tt. Dirasat fi al-Arud wa al-Qawafi. Al-Qahirah: Dar al-Ma’arif.

El-Kalamawi, Sohier.

1986. Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan. Terjemahan Ahmad Tafsir. Bandung: Pustaka.

Farrukh, Umar.

1984. يب عل ا خي ت . I. Cet. V. Beirut: Dār al-Ilm li al-Malāyin. ----.

1985 يب عل ا خي ت . II Cet. V. Beirut: Dār al-Ilm li al-Malāyin. ----.

185

1989 يب عل ا خي ت . III Cet. V. Beirut: Dār al-Ilm li al-Malāyin Girbal, M. Syafiq.

1959. ي ل يب عل ع س ل . Kairo: al-Dār al-Qawmiyyah li al-Tibā’ah wa al- Nasyr.

Haekal, M Husein.

1994 Sejarah Hidup Muhammad. Terjemahan Ali Audah. Jakarta: Litera Antar Nusa.

Hamid, Ismail.

1982. Arabic and Islamic Literary Tradition. Kuala Lumpur: Utusan Publication.

Hasan bin Rasyik, 1972, al-U dahfi Mahasi al-Syi r wa Adabiha.Beirut: Dar al-Jil. Hasan, Hasan Ibrahim.

2001 Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Hitti, Philip K.

2013 History of The Arabs. Cet. Ke-10. Jakarta: Gema Ilmu & Hikmah Islam.

Al-Iskandari, Ahmad., Mustafa Anani.

1916 al-Wasit fi al-Adab al-Arabi. Misr: Dar al-Ma’arif. Khalid, Osman Haji.

1997 Kesusastraan Arab Zaman Abbasiah, Andalus dan Zaman Moden. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Madjid, Nurcholish.

1984. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Al-Muhdar, Yunus Ali

1983 Sejarah Kesusastraan Arab. Surabaya: Bina Ilmu. Nicholson, Reynold A.

1921. Studies in Islamic Poetry. England. Cambridge University Press. 1953. A Literary History of The Arab. England: Cambridge University Press. 1970. The Mistics of Islam. London: Kegan Paul.

Sutiasumarga, Males.

2000. Kesusastraan Arab: Asal Mula dan Perkembangannya. Jakarta, Zikrul Hakim.

Wargadinata, Wildan., Laily Firiani.

2088 Sastra Arab dan Lintas Budaya, Malang: UI-Malang Watt, W. Montgomery.

1962.Islamic Philosiphy and Theology. Edinburg: Edinburg UniversityPress.

1990. The Influence of Islam on Medieval Europe. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Al-Zerekly

1985 نيق ش ل نيب ع ل عل نم ء ل ج ل شأ مج ت م ق ـ اعأ. Jilid I – VIII. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin.

186 B. Ensiklopedi

Edward, Paul.

1972 The Encyclopaedia of Philosophy. Vol.3. New York. Macmillan Publishing. Eliade, Mircea.

1987 The Encyclopedia of Theology Vol. V, New Yokr: Micmillan Publishing

Hasting, James.

1961 The Encyclopedia of Religion and Ethics. Vol VIII. New York: Charles Scribner’s Sons.

D. Jurnal

D. Podov

1997 “The Place of Rajazin the History of Arabic Verse”. Journal of Arabic Literature. Vol. XXVIII. 1997. March. Hl. 242-290.

187

Arab Spring di Mesir dan Prospek Perjanjian Perdamaian Camp David12

Oleh: Agus Setiawan, Ph.D.13

Pendahuluan

Perjanjian Camp David adalah perjanjian yang ditandatangani oleh pemerintah Mesir dan Israel pada tahun 1979 dengan Amerika Serikat sebagai negara mediator.14 Perjanjian ini mengakhiri permusuhan kedua negara yang telah berlangsung sejak Israel memerdekakan diri pada tanggal 14 Mei 1948 yang ditentang oleh negara-negara Arab. Konflik yang melahirkan empat perang besar antara sejumlah negara Arab dan Israel tersebut mengundang intervensi dua negara adi daya ketika Perang Dingin masih berlangsung yakni antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Keduanya berupaya untuk mengambil keuntungan dari akses untuk mendapatkan minyak bumi dan penjualan senjata sekaligus memanfaatkan persaingan negara-negara yang bertikai untuk menambah sekutu di Timur Tengah.

Amerika Serikat sendiri semakin aktif memainkan peranan politiknya dengan jalan mengirimkan menteri luar negeri dan diplomat-diplomatnya dalam rangka meredakan ketegangan di kawasan tersebut terutama setelah dikeluarkannya embargo minyak oleh pihak Arab pada tanggal 19 Oktober 1973 dan kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah pendudukan Israel.15 Embargo minyak yang ditujukan bagi negara-negara pendukung Israel membuka mata Amerika Serikat untuk lebih bersikap obyektif dalam melihat konflik Arab- Israel sekaligut menanggapi secara positif keluhan sekutu-sekutunya di Eropa Barat dan Jepang yang kebutuhan minyaknya sebagian besar diimpor dari negara-negara Arab. Dengan hilangnya salah satu sekutu Amerika Serikat yakni Iran setelah Revolusi Iran, Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, semakin aktif memainkan peran Amerika Serikat dalam proses perdamaian di Timur Tengah berikut pendekatan-pendekatan yang ia lakukan guna

12

Makalah disampaikan pada Seminar Internasional Dinamika Budaya Timur Tengah Pasca Musim Semi Arab di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok 13 November 2015.

13

Pengajar di Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 14

Camp David adalah sebuah lokasi peristirahatan bagi persiden-presiden Amerika Serikat sejak masa pemerintahan Presiden Dwight D. Eisenhower. Lokasi peristirahatan ini terletak di negara bagian Maryland dan dianggap sebagai tempat yang tepat untuk merundingkan berbagai upaya perdamaian Arab-Israel karena suasana di tempat itu yang tenang.

15

Negara-negara Arab penghasil minyak terutama Arab Saudi memberlakukan embargo minyak terhadap negara-negara yang dianggap mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur. Amerika Serikat merupakan negara yang paling merasakan dampak embargo minyak tersebut karena mengandalkan pasokan minyak dari Timur Tengah untuk keperluan industri dan transportasi. Untuk menghemat penggunaan bahan bakar minyak, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kupon untuk menjatah penggunaan bahan bakar bagi masyarakat pengguna transportasi pribadi.

188

mempercepat terwujudnya Perjanjian Camp David yang pada akhirnya mengikat Mesir sebagai salah satu negara Arab terdepan dalam menentang Israel.

Setelah lebih tiga puluh tahun berlalu, prospek kelanjutan Perjanjian Camp David mendapat ujian dengan adanya gelombang protes yang mengarah pada keinginan demokratisasi di negara-negara Arab. Demokratisasi sendiri sesungguhnya juga menjadi salah satu agenda negara-negara Barat untuk menjatuhkan rezim-rezim yang tengah berkuasa namun seringkali dianggap sebagai penghalang bagi kepentingan-kepentingan Barat di Timur Tengah. Namun kemudian muncul dilemma ketika pemenang salah satu proses demokratisasi tersebut berasal dari kelompok yang dianggap sebagai Islam garis keras yang justru juga tidak diinginkan untuk naik ke panggung kekuasaan karena selain berpotensi mereduksi kepentingan-kepentingan Barat juga dianggap berbahaya bagi eksistensi Israel di Timur Tengah. Di Mesir, dilemma tersebut adalah naiknya Mohammad Mursy yang merupakan salah satu tokoh pimpinan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang sukses menjadi orang nomor satu di negara tersebut melalui proses pemilihan umum yang jujur dan adil. Benarkah hal ini akan menjadi ancaman bagi kelangsungan Perjanjian Camp David? Makalah ini berupaya mengulas fenomena Arab Spring di Mesir dan proyeksi Perjanjian Camp David paska terpilihnya Mohammad Mursy sebagai presiden Mesir yang menggantikan Husni Mubarak.

Mesir Paska Perjanjian Camp David

Perjanjian Camp David memiliki pengaruh yang luas terhadap konflik Arab – Israel dan kawasan Timur Tengah secara umum. Sepanjang sejarah, konflik Arab – Israel merupakan satu-satunya konflik di dunia yang melahirkan empat kali perang besar dan dialami oleh satu generasi. Bagi Israel, berakhirnya permusuhan dengan Mesir dan sekaligus pengakuan atas kedaulatannya merupakan kemenangan psikologis yang semakin memperkuat posisinya di mata dunia internasional. Dalam pandangan Israel dan negara-negara Barat terutama Amerika Serikat, Mesir merupakan salah satu negara Arab garis depan atau frontline yang paling mampu mengimbangi kekuatan militer Israel dibandingkan Yordania, Suriah atau Lebanon. Disamping itu, populasi penduduk yang besar serta ditambah dengan kedudukannya di antara negara-negara Arab, Mesir memiliki posisi yang penting bahkan sering dianggap pemimpin Dunia Arab terutama pada masa pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasser. Selama belum berdamai dengan Mesir, Israel selalu menganggap Mesir sebagain ancaman serius terhadap eksistensi dan kepentingan ekonominya terutama karena Mesir berwenang atas Terusan Suez dan jalur pelayaran di Laut Merah yang justeru dipergunakan Israel untuk melakukan kegiatan ekspor dan impor serta kegiatan ekonomi lainnya.

189

Dengan mengikat Mesir melalui Perjanjian Camp David, Israel tidak lagi khawatir dengan ancaman militer negara Arab lain yang memusuhinya karena Israel memiliki persenjataan berteknologi tinggi dari Amerika Serikat yang kemampuannya jauh lebih baik daripada yang dimiliki negara-negara Arab tersebut. Akibat perimbangan kekuatan yang timpang, dengan sendirinya pihak-pihak yang lemah, dalam hal ini negara-negara Arab, akan berpikir berkali-kali untuk mengusik Israel melalui kekuatan militer karena balasan yang dilakukan Israel dapat dipastikan akan lebih dasyat dan seringkali diikuti dengan ekspansi wilayah.

Sebaliknya bagi Mesir, Perjanjian Camp David merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali wilayah Sinai dan seluruh ladang minyak Abu Rudeis di Selat Tiran yang dirampas Israel pada Perang Enam Hari tahun 1967.16 Kegagalan merebut wilayah tersebut dengan cara militer pada Perang Yom Kippur membuat Mesir mengalihkan upaya- upayanya melalui jalur diplomasi. Disamping kecewa terhadap peran Uni Soviet saat Perang Yom Kippur, Mesir sadar bahwa berperang melawan Israel berarti secara tidak langsung berperang melawan negara adidaya lain yang menjadi pendukung mutlak kepentingan Israel di Timur Tengah yakni Amerika Serikat. Karena itu, kendati akhirnya memilih jalan diplomasi, Mesir harus banyak berkompromi terhadap usul serta upaya-upaya Amerika Serikat dan hal itu telah ditunjukkan dalam serangkaian perundingannya dengan Israel di Camp David, Maryland, Amerika Serikat.

Pengucilan negara-negara Arab terhadap dirinya bukan tidak diperhitungkan Mesir karena sebelum Perjanjian Camp David ditandatangani, Mesir sudah melihat reaksi keras Dunia Arab melalui keputusan-keputusan yang diambil pada siding-sidang Liga Arab. Mesir berharap bahwa Perjanjian Camp David akan bisa dianalogkan dengan gencatan senjata yang pernah dirintisnya dengan Israel pada tahun 1949. Saat itu Mesir mendahului mengadakan gencatan senjata dengan Israel dan selanjutnya diikuti oleh negara-negara Arab lain walaupun pada awalnya mengecam langkah Mesir tersebut.

Dengan demikian Perjanjian Camp David, untuk sementara waktu, dapat dikatakan mampu mencegah Perang Arab – Israel dalam skala yang lebih luas karena pihak Arab kehilangan sekutu terkuatnya yakni Mesir. Namun tidak menutup kemungkinan perang besar kembali terjadi di Timur Tengah apabila negara-negara Arab penentang Perjanjian Camp David mampu mereorganisasi kekuatan militernya dan menghilangkan perbedaan-prbedaan prinsip yang terjadi di antara mereka. Di lain pihak, sifat ekspansionis Israel yang ditopang

16 Badan Litbang Departemen Luar Negeri RI, Masalah Palestina Sejak Tahun 1977 Sampai Sekarang, Jakarta,

190

dengan dalih-dalih religius (konsep Israel Raya dan konsep tanah yang dijanjikan) seperti tercantum dalam kitab suci mereka, merupakan faktor lain yang mendorong terjadinya gejala- gejala ke arah perang. Apalagi di Israel terdapat suatu mazhab pemikiran militer yang dinamakan mazhab territorial militer.17 Menurut mazhab ini, ditinjau dari segi keamanan, batas-batas wilayah Israel seperti yang ada tidak pernah menjamin keamanan dan akan mengundang kehancuran Israel bila sampai terjadi perang terbuka dengan pihak Arab. Dalam logika mazhab territorial militer, semakin luas wilayah Israel akan semakin baik keamanannya, sehingga setiap ekspansi yang sudah dilakukan harus diikuti oleh ekspansi berikutnya untuk mempertahankan wilayah yang sudah diperoleh dalam ekspansi terdahulu. Dengan demikian menurut mazhab ini, provokasi kecil dari pihak Arab akan disambut dengan hangat sebagai dalih untuk melakukan serangan balik yang jauh lebih besar dalam rangka ekspansi teritori wilayah. Hal ini terjadi ketika Presiden Nasser meminta PBB untuk menarik UNEF dari perbatasan Israel – Mesir yang akhirnya melahirkan peristiwa Perang Enam Hari tahun 1967.

Amerika Serikat dan Embargo Minyak

Sejak dianggap sebagai musuh utama oleh negara-negara Arab pada sidang menteri-menteri minyak negera Arab saat diselenggarakan konferensi di Kuwait tanggal 19 Oktober 1973 karena bantuannya yang spektakuler terhadap Israel pada Perang Yom Kippur, Amerika Serikat berupaya mencari jalan keluar bagi solusi damai konflik Arab-Israel.18 Pasalnya sidang tersebut juga sekaligus memutuskan embargo minyak terhadap Amerika Serikat dan negara-negara lain yang dianggap mendukung Israel, terutama Portugal dan Belanda. Bila Amerika Serikat dicap sebagai musuh utama karena dengan bantuannya itu Israel kembali dapat memukul kekuatan gabungan Arab, khususnya Mesir dan Suriah, maka Belanda dan Portugal merupakan dua negara yang mengizinkan wilayahnya disinggahi pesawat transpor Amerika yang membawa pasokan senjata bagi Israel. Selain itu para menteri minyak Arab juga menyatakan pemberlakuan pemotongan atau cutback dalam produksi minyak Arab yang akan berdampak negatif pada negara-negara netral. Namun sidang tersebut memberikan pengecualian untuk negara-negara yang dinilai bersahabat dan bersikap obyektif dalam melihat konflik Arab-Israel.

17Haddawi, Bithr Harvest: Palestina Between 1914 1967, New York, New York University Press, 1967, hal.

283. 18

Regional Surveys of The World, The Middle East and North Africa 1992, London, Europa Publication, 1993. hal. 29.

191

Bagi negara-negara Eropa Barat dan Jepang yang tidak sepenuhnya mendukung Israel saat pecah Perang Yom Kippur, embargo minyak merupakan pukulan bagi industri dalam negerinya karena hampir sepertiga kebutuhan minyak negara-negara Eropa Barat dan Jepang disuplai dari Timur Tengah. Industri Jepang bahkan membutuhkan setidaknya 45% minyak bumi dari Timur Tengah. Dari perbedaan persepsi antara Amerika Serikat dan sekutu- sekutunya di NATO, dapat dikatakan bahwa embargo minyak mampu menimbulkan ketidakharmonisan diantara anggota-anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Pada titik krusial embargo minyak tersebut terlihat bahwa negara-negara Eropa Barat dan Jepang melihat konflik Timur Tengah dengan sudut pandang yang berbeda dengan pandangan Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan, mereka harus dapat menjaga hubungan baik dengan negara-negara Timur Tengah pengekspor minyak selain mereka sendiri dalam beberapa kasus tidak terlibat langsung dengan konflik Arab-Israel. Sebaliknya, Amerika Serikat terkesan kurang memperhatikan suara-suara sekutunya di Eropa Barat. Embargo minyak negara- negara Arab justru lebih dirasakan negara-negara Eropa Barat dan Jepang terutama adanya antrian panjang di stasiun pengisian bahan bakar di kota-kota besar. Komitmen Amerika Serikat yang demikian mutlak pada Israel tidak dapat diterima oleh anggota NATO lainnya kecuali Belanda. Oleh karena itu melalui Menteri Luar Negeri Henry Kissinger, Amerika Serikat segera berupaya mencari solusi damai konflik Arab – Israel guna menanggapi reaksi sekutu-sekutunya itu secara positif. Ia pun melakukan diplomasi ulang alik ke beberapa negara yang bertikai kendati tidak menghasilkan perjanjian yang dapat menghentikan konflik secara menyeluruh.

Sikap Negara-Negara Arab Penentang Camp David

Bagi negara-negara Arab, Perjanjian Camp David merupakan suatu bentuk pengkhianatan. Sejak awal prakarsa perdamaian Presiden Sadat dengan jalan mengunjungi Yerusalem, apalagi setelah perjanjian tersebut ditandatangani, kebanyakan negara-negara Arab menganggap bahwa apa yang telah dilakukan Mesir tersebut bersifat revolusioner dan merupakan pelanggaran terhadap konvensi yang berlaku terkait dengan konflik Arab – Israel. Tidak hanya itu, Perjanjian Camp David yang ditandatangani oleh Mesir juga dianggap memalukan Dunia Arab mengingat Mesir menjadi pengemis perdamaian untuk beberapa wilayah Arab yang direbut Israel secara militer. Bahkan hanya berselang sebelas hari sejak kepulangan Presiden Mesir Anwar Sadat dari Yerusalem, Presiden Libya Moammar Ghadaffi, segera mengundang utusan-utusan dari Aljazair, Irak, Suriah, Yaman Selatan dan PLO untuk mengadakan pertemuan puncak di Tripoli pada tanggal 2 hingga 5 Desember 1977 guna

192

membicarakan langkah-langkah yang harus diambil untuk menentang Sadat. Pertemuan tersebut memutuskan untuk membekukan hubungan diplomatik dan politik dengan Mesir serta mengancam akan memboikot setiap orang, perusahaan dan lembaga-lembaga Mesir yang akan bekerja sama dengan Israel. Sebagai reaksi terhadap keputusan sidang di Tripoli, Mesir langsung memutuskan hubungan diplomatiknya dengan negara-negara tersebut. Selanjutnya pada tanggal 4 Februari 1978 sebuah konferensi kembali diselenggarakan di Algiers, Aljazair.19 Semua delegasi yang hadir pada konferensi di Tripoli datang kecuali Irak. Selain memperkuat keputusan-keputusan yang telah diambil di Tripoli, sidang di Algiers memutuskan bahwa Sadat tidak mempunyai wewenang ataupun hak untuk mewakili atau berunding atas nama rakyat Palestina. Selain itu Sadat juga tidak berhak membicarakan wilayah Arab Suriah, yakni Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.

Seiring dengan intensifnya perundingan-perundingan yang dilakukan oleh Mesir, Israel dan Amerika Serikat sebagai upaya ke arah penandatanganan Perjanjian Camp David, front penolakan kembali menyelenggarakan sebuah konferensi di Damaskus pada tanggal 20 hingga 23 September 1978.20 Konferensi yang diselenggarakan atas prakarsa Suriah tersebut

Dalam dokumen PROSIDING UI ISME 2015 Dinamika Budaya T (Halaman 183-200)