• Tidak ada hasil yang ditemukan

diambil dari vena brachialis pada waktu sebelum penyuntikan (to), dan selanjutnya setelah penyuntikan pada menit ke-2 (t2), 5 (t5), 10 (t10),

PENGEMBANGAN BIOTEKNOLOGI UNTUK PEMULIAAN TANAMAN

Endang Semiarti

Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281, Indonesia, e-mail: endsemi@ugm.ac.id

Abstrak

Abad 21 disebut sebagai era bioteknologi moderen dengan telah ditemukan dan diaplikasikannya teknik biologi molekular/rekayasa genetika. Bioteknologi tanaman dibedakan menjadi 2 macam: bioteknologi konvensional (tradisional) dan bioteknologi moderen (non- konvensional). Untuk pemuliaan tanaman (plant breeding) bioteknologi konvensional diterapkan untuk mendapatkan sifat unggul yang diharapkan dari tanaman dengan persilangan secara tradisional antar tanaman (selective breeding), sedangkan bioteknologi moderen diterapkan untuk mendapatkan kultivar tanaman dengan sifat unggul dengan teknik moderen: kultur jaringan, biologi molekular/rekayasa genetika atau kombinasi dari kedua teknik tersebut. Pemuliaan telah dilakukan pada bebagai tanaman hortikultura (tanaman penghasil bahan pangan pokok, buah, sayuran, tanaman hias dan tanaman obat), tanaman pakan ternak dan tanaman kehutanan, dengan tujuan untuk 1) memperbaiki reproduksi (kultur jaringan, kloning), 2) mendapatkan kultivar tanaman tahan terhadap hama dan penyakit, 3) tanaman toleran terhadap kondisi lingkungan yang tidak baik (cekaman panas, kadar garam, kandungan logam berat), 4) meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil panen. Dalam makalah ini akan dibahas proses pengembangan bioteknologi tanaman, aplikasi dan perspektifnya.

Kata kunci: Bioteknologi konvensional, bioteknologi moderen, tanaman hortikultura, pakan

ternak, tanaman hutan, pemuliaan tanaman.

Pendahuluan

Populasi penduduk dunia sekarang ini telah mencapai lebih dari 6 milyar jiwa (Shelton, 2003). Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dunia yang semakin pesat maka kebutuhan akan pangan, sandang dan papan juga semakin meningkat. Oleh karena itu diperlukan usaha meningkatkan hasil panen dan kualitas tanaman untuk memenuhi ketiga kebutuhan pokok tersebut.

Apakah bioteknologi itu? Bioteknologi ialah suatu teknologi yang memanfaatkan sistem hayati (agen biologi) untuk menghasilkan barang dan jasa bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Bioteknologi ini sebenarnya merupakan pengembangan dari berbagai ilmu dasar biologi, antara lain: biologi molekuler, mikrobiologi, genetika, biokimia dan kultur jaringan. Ilmu-ilmu inipun berkaitan erat dengan ilmu-ilmu yang lain seperti anatomi, embriologi, taksonomi dan fisiologi (Schmid, 2003).

Pemanfaatan bioteknologi bagi kehidupan manusia sesungguhnya telah dimulai sejak 10.000 tahun yang lalu, walaupun caranya masih sangat sederhana (Shelton, 2003). Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama perkembangan beberapa ilmu dasar serta teknik-teknik biologi molekuler, maka bioteknologi berkembang pesat, sehingga sekarang dapat dibedakan adanya bioteknologi tradisional/klasik/konvensional dan bioteknologi moderen (non- konvensional). Penerapan bioteknologi klasik biasanya melalui pemanfaatan mikroorganisme secara langsung dan melibatkan proses yang sederhana. Dalam kehidupan sehari-hari, bioteknologi konvensional seringkali diterapkan pada proses pembuatan makanan dan minuman, seperti tempe, tape, nata de coco, dan bir. Selain itu, bioteknologi konvensional juga diterapkan pada pembuatan produk obat, seperti vaksin dan antibiotika. Penerapan bioteknologi moderen telah dilakukan pula di berbagai bidang: pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan, dan kesehatan (Schmid, 2003). Pada prinsipnya bioteknologi dilakukan untuk tujuan kebaikan.

Bioteknologi tanaman, umumnya dilakukan di bidang pertanian dan kehutanan untuk meningkatkan hasil panen dan kualitas tanaman hortikultura yang meliputi tanaman pangan penghasil bahan makanan pokok, buah dan sayuran, serta tanaman hias dan tanaman obat, serta usaha perbaikan sifat tanaman hutan. Usaha ini disebut pemuliaan tanaman (plant breeding) (Schmid, 2003).

Mengingat pada aras molekular semua organisme memiliki kesamaan pada penyusun materi genetiknya yaitu berupa asam deoksiribonukleat (AND=DNA) berupa gen-gen penyandi sifat keturunan, maka menyebabkan gen-gen tersebut dapat dipertukarkan antar organisme (Shelton, 2003). Ini mendasari teknologi transfer gen dan rekayasa genetika yang merupakan metode yang sangat menjanjikan untuk mendapatkan kultivar tanaman dengan sifat tertentu, tidak seperti pada persilangan tradisional kita akan mendapatkan tanaman hibrida yang membawa gabungan sifat dari kedua tetuanya. Bioteknologi moderen juga dapat diterapkan pada tanaman untuk mengatasi masalah reproduksi, misalnya tanaman yang bersifat tidak kompatibel antara pollen dan sel telur pada ovariumnya maka perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan aplikasi teknik kultur jaringan untuk memperbanyak tanaman secara massal dan seragam. Perbaikan kualitas bahan pangan dapat dilakukan dengan cara antara lain pengawetan bahan pangan dengan iradiasi sinar gamma, pembuatan tanaman pangan tahan hama dan penyakit dengan system induksi infeksi non-patogen bacteria atau virus, atau pembuatan kultivar baru tanaman unggul dengan rekayasa genetika (penyisipan gen dengan teknologi tanaman transgenik).

Perkembangan Bioteknologi Tanaman

Bioteknologi tanaman secara konvensional telah dilakukan pertama kali di Mexico pada tanaman jagung yang berasal dari jagung liar yang disebut teosinte yang memiliki struktur reproduksi kecil. Dengan seleksi hibrida dari beberapa kali perkawinan silangnya akhirnya diperoleh jagung seperti yang sekarang ini (Shelton, 2003). Tomat dan kentang di Amerika selatan, tomat yang berukuran kecil seperti anggur dan kentang dengan kandungan glikoalkaloid tinggi yang menjadikan berasa pahit dapat diperbaiki dengan seleksi hasil persilangan konvensionalnya sehingga didapatkan tomat yang besar dan manis serta kentang yang tidak pahit seperti sekarang. Secara sederhana sebenarnya nenek moyang kita telah melakukan usaha pemuliaan tanaman dengan bioteknologi konvensional dengan melakukan persilangan-persilangan sederhana sehingga dihasilkan kultivar unggul. Hal ini mulai didokumentasikan pada tahun 1800an oleh Gregor Mendel seorang rahib dari Austria yang mengadakan persilangan –persilangan kacang kapri yang akhirnya menjadi dasar penurunan sifat genetika yang dikenal dengan Hukum Mendel. Pada tahun 1900an para peneliti mulai membuat persilangan buatan dengan metode yang sama seperti Mendel dengan mengawinkan tanaman yang satu dengan tanaman lain yang kompatibel untuk mendapatkan sifat-sifat baru.

Di awal tahun 1930an para pemulia tanaman mengembangkan metode “embryo rescue” yaitu menyelamatkan embryo hasil persilangan tanaman yang secara normal tidak berhasil tumbuh menjadi individu baru, yaitu dengan pertolongan pemeliharaan di laboratorium

Pada tahun 1950-an para pemulia tanaman melakukan metode radiasi untuk membuat pool mutant dalam rangka meningkatkan variasi genetic tanaman. Seleksi dan karakterisasi mutan-mutan pada tanaman herba Arabidopsis thaliana oleh Prof. Redei membuka pintu bagi penelitian biologi molecular. Pada tahun 2000 seluruh sekuen genom dari tanaman Arabidopsis tersebut telah selesai disekuen dan dipublikasikan di majalah Nature. Tanaman Arabidopsis dinobatkan sebagai tanaman model untuk penelitian biologi molecular dan sekuen lengkap dari gen-gennya dengan mudah dapat diakses di GenBank sehingga menjadi referensi untuk para peneliti biologi molecular dan rekayasa genetika. Dengan asumsi bahwa semua gen yang ada pada tanaman Arabidopsis pasti ada gen pasangan (heterolog)nya pada tanaman lain.

Penelitian bioteknologi tanaman untuk pemuliaan tanaman telah banyak dilaporkan antara lain pembuatan padi BT Vietnam oleh Ho et al. (2006) yang menemukan bahwa fusi translasional gen Bt hibrida menyebabkan resistensi melawan hama pengebor batang kuning dalam kultur elit padi transgenic Vietnam, ternyata tanaman transgenic sangat aktif melawan hama pengebor batang kuning dan belang. Nel et al. (2006) berhasil mengisolasi non-patogenik Fusarium oxysporum dan bakteri pengontrol lainnya untuk melawan penyakit layu fusarium pada pisang. Untuk menciptakan kultivar baru tanaman florikultur, Narumi et al. (2008) menggunakan teknik baru untuk menginaktifkan gen (gene silencing) dengan metode/sistem CRES-T (Chimeric Repressor Silencing Technology) yaitu dengan memfusikan bagian represor spesifik suatu transcription faktor yang terdiri dari 12 asam amino ke ujung C dari faktor transkripsi untuk pembentukan serasi pada perhiasan bunga. Hasilnya menunjukkan fenotip defektif (loss of function). Mitsuda et al. (2008) telah mempublikasi database FioreDB untuk peneliti yang ingin mendapatkan detil informasi tentang system CRES-T tersebut bagi tanaman hias.

Rekayasa Genetika Tanaman

Rekayasa genetika adalah salah satu bentuk dari bioteknologi yang umumnya mengisolasi dan membuat copu dari suatu gen pada suatu organisme (tanaman, hewan, mikrobia), kemudian mentransfer gen tersebut ke organisme lainnya. Pada rekayasa genetika tanaman, umumnya pertama dibuat konstruksi fragmen/potongan DNA yang kecil kemudian disisipkan ke suatu tanaman tertentu untuk mendapatkan tanaman dengan sifat baru seperti yang diinginkan yaitu sifat yang disandi oleh gen yang telah disisipkan tadi. Hal ini sangat kontras dengan pemuliaan tanaman secara tradisional yang menggabungkan semua gen dari kedua tetuanya, hasilnya selain sifat yang diinginkan juga sifat-sifat lain yang tidak diinginkan ikut muncul. Keunggulan dari teknik rekayasa genetika, kita dapat memindahkan satu gen saja yang menyandi sifat penting yang kita inginkan untuk diekspresikan pada kultivar barunya. Selain itu keuntungan yang lain adalah gen ini dapat ditransfer ke spesies tanaman yang hubungan kerabatnya jauh, bahka ke organisme non tanaman. Hal ini karena semua organisme memilkik kesamaan kode untuk DNA dan sintesis protein sebagai dasar dari fungsi kehidupan.

Pada tahun 1972, Hubert Boyer dan Stanley Cohen berhasil mentransfer gen dari organisme tertentu ke bakteri dan menghasilkan bakteri yang dapat mengekspresikan gen

asing tersebut dan menghasilkan protein. Penemuan ini mendasari penggunaan bioteknologi untuk menghasilkan insulin sintetis yang sangat berguna menyembuhkan penderita diabetes mellitus, dan dijadikan sebagai starting pont bagi bioteknologi moderen (Shelton, 2003).

Rekayasa genetika tanaman dimulai pada akhir tahun 1970-an oleh Mary-Dell Chilton dan koleganya menggunakan bakteri tanah Agrobacterium tumefaciens sebagai vector. Agrobacterium memiliki Tumor inducing (Ti) plasmid dengan suatu segmen DNA yang dapat ditransfer ke sel tanaman disebut T-DNA (DNA Transfer). Gen asing dapat disisipkan pada T-DNA dan oleh T-DNA tersbut akan ditransfer dan berintegrasi ke kromosom tanaman untuk kemudian diekspresikan seperti gen lainnya pada tanaman tersebut. Teknik ini disebut sebagai transfer gen secara biologis (dengan agen biologi). Selain dengan Agrobacterium, gen asing dapat ditransfer secara langsung dengan 2 cara: 1) menggunakan agen kimia Polyethylene glycol (PEG) atau CaCl2 DNA ke protoplas (sel yang telah dihilangkan dindingnya, 2) secara fisik, yaitu fragmen DNA ditembakkan menggunakan particle bombardment atau elektroforasi (membuat lubang pada membran plasma sel menggunakan arus listrik bervoltase tinggi 1,8 kV-2,5 kV).

Tetapi sampai sekarang transformasi gen ke tanaman menggunakan A. tumefaciens masih tetap popular digunakan, karena tekniknya mudah dan murah dibandingkan teknik lainnya (Reece, 2004).

Aplikasi teknik rekayasa genetika untuk pemuliaan tanaman bisa juga dikombinasi dengan teknik persilangan konvensional, yaitu setelah didapatkan hibrida unggul hasil persilangan konvensional kemudian dilakukan penyisipan gen tertentu dengan rekayasa genetika untuk mengekspresikan gen penyandi sifat unggul untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen tanaman tersebut (Collins and Petolino, 1984; Schmid, 2003). Sampai saat ini kualitas tanaman yang telah berhasil ditingkatkan antara lain kandungan nutrisi, rasa (taste), aroma buah, resistensi terhadap hama-penyakit dan toleransi terhadap kondisi lingkungan (kadar garam, logam berat, suhu, kekeringan). Semiarti et al. (2007) menggunakan mediator Agrobacterium tumefaciens telah berhasil menyisipkan gen Arabidopsis KNAT1 homeobox gen ke embrio anggrek dan menyebabkan pertumbuhan multitunas pada tanaman anggrek transgenik.

Tanaman yang telah disisipi gen asing dan dapat mengekspresikannya disebut tanaman transgenik. Langkah-langkah pembuatan tanaman transgenik adalah sebagai berikut (Reece, 2004): 1) Isolasi DNA dan/RNA, 2) Pemotongan DNA dengan ensim

restriksi, 3) Isolasi gen dari genom tanaman/Isolasi cDNA(complementary DNA) dari mRNA, 5) Kloning genom DNA/ cDNA ke dalam bakteri E.coli, 6) Amplifikasi cDNA, gen/fragmen DNA dengan metode polymerase chain reaction (PCR), 7) Pembuatan konstruksi plasmid untuk pembuatan tanaman transgenic, 8) Transformasi plasmid yang berisi gen asing ke vektor (Agrobacterium tumefaciens), 9) Transformasi Ti plasmid yang berisi cDNA/ gen asing ke tanaman target (T0), 10) Seleksi tanaman transgenic, 11) Isolasi

tanaman transgenik (T1) dan karakterisasinya, 12) pemeliharaan tanaman secara in vitro

dengan teknik kultur jaringan dan ex vitro di rumah kaca.

Teknik Kultur Jaringan Tanaman

Kultur jaringan adalah suatu teknik perbanyakan tanaman dengan cara menumbuhkan jaringan atau sel secara aseptis pada medium buatan di dalam botol untuk menghasilkan tanaman baru dengan jumlah yang besar dan memiliki sifat yang sama dengan induknya (klon) (George and Sherrington, 1984). Selain untuk perbanyakan tanaman secara massal, teknik kultur jaringan ini juga sangat diperlukan untuk meregenerasikan sel-sel tanaman yang telah disisipi dengan gen asing menjadi tanaman utuh yang disebut tanaman transgenic (Schmid, 2003).

Tergantung dari bahan tanaman (eksplan) yang digunakan, terdapat beberapa teknik kultur jaringan tanaman, yaitu: 1) Kultur ujung batang (shoot-tip culture): apabila eksplan yang digunakan adalah potongan ujung batang, 2) Kultur ujung akar (root-tip culture): eksplan adalah ujung akar, 3) Kultur daun (leaf culture): eksplan yang digunakan adalah potongan daun (leaf disc), 4) Kultur kuncup bunga dan segmen tangkai bunga (Flower bud and segment culture, 5) Kultur batang (Stem culture), 6) Kultur inflorescences: eksplan adalah tangkai bunga aadan bunga yang masih muda, 7) Kultur sel: dari suspensi sel, 8)Kultur protoplas: protoplas diambil dari daun atau akar, 9) Fusi sel/protoplas: yaitu menggabungkan protoplas dari 2 tanaman yang berbeda. Plantlet hasil fusi protoplas telah berhasil diperoleh dari hasil fusi protoplas antara tanaman Nicotiana glauca dan N. langsdorffii, juga antara tanaman Arabidopsis dan Brassica menjadi Arabidobrassica (George and Sherrington, 1984).

Dengan teknik kultur jaringan ini keuntungan yang didapatkan ialah antara lain dapat dihasilkan bibit tanaman dengan waktu relatif cepat, jumlah besar dan sifat yang seragam, identik secara genetik tanpa memerlukan lahan yang terlalu luas (cukup di dalam skala

laboratorium). Teknik terbaru di dalam kultur jaringan tanaman ini ialah usaha untuk mendapatkan galur murni tanaman dengan sifat unggul melalui kultur serbuk sari (microspore culture).

Keuntungan dan Resiko

Keuntungan penggunaan bioteknologi moderen tidak dipungkiri akan sangat besar manfaatnya bagi kita para pemulia tanaman yaitu didapatkan kultivar-kultivar unggul seperti yang diharapkan. Untuk resiko, setiap teknologi pasti beresiko. Untuk bioteknologi moderen dengan rekayasa genetika, resiko yang kemungkinan terjadi adalah tanaman menjadi resisten terhadap pestisida, terjadi gene flow, dan hak kekayaan intelektual (HAKI).

Perspektif

Di waktu yang akan datang pengembangan bioteknologi tanaman moderen akan diarahkan ke: 1) pemanfaatan tanaman sebagai pabrik penghasil bahan obat-obatan untuk kesehatan; 2) pemanfaatan tanaman sebagai sumber energi alternatif; 3) pemanfaatan tanaman untuk fitoremediasi; 4) tanaman sebagai biomaterial (pewarna, tinta, bioplastik, dll). Diharapkan rekayasa genetika dapat digunakan sebagai suatu terobosan baru untuk menciptakan kultivar tanaman unggul dengan berbagai manfaat seperti yang telah disebutkan di atas.

Daftar Pustaka

Collins, G.B. and Petolino, J.G. (1984). Application of Genetic Engineering to crop improvement. Martinus Nyhoff/DR. W. Junk Publishers. Boston.

George, E.F. and Sherrington, P.D. (1984). Plant propagation by tissue culture. Handbook and directory of commercial laboratories. Exegetics Ltd. England.

Ho, N.H. ; Baisakh, N. ; Oliva, N. ; Datta, K. ; Frutos, R. ; Datta, S.K. (2006). Translational fusion hybrid Bt genes confer resistance against yellow stem borer in transgenic elite Vietnamese rice (Oryza sativa L.) cultivars. Crop Science, online, 01 Mar 2006.

Mitsuda, N., Umemura, Y., Ikeda, M., Shikata, M., Koyama, T., Matsui, K., Narumi, T., Aida, R., Sasaki, K., Hiyama, T., Higuchi, Y., Ono, M., Isuzugawa, K., Saitoh, K., Endo, R., Ikeda, K., Nakatsuka, T., Nishihara, M., Yamamura, S., Yamamura, T., Terakaw, T., Ohtsubo, N., Ohme-Takagi, M. (2008). FioreDB: a database of

phenotypic information induced by the chimeric repressor silencing technology (CRES-T) in Arabidopsis and floricultural plants. Plant Biotechnology 25: 37-43.

Narumi, T., Aida, R., Niki, T., Nishijima, T., Mitsuda, N.,Hiratsu, K., Ohme-Takagi, M., Ohtsubo, N. (2008). Chimeric AGAMOUS repressor induces serrated petal phenotype in Torenia fournieri similar to that indiced by cytokinin application. Plant Biotechnology 25: 45-53.

Nel, B., Steinberg, C., Labuschagne, N., and Viljoen, A. 2006. The potential of non- pathogenic Fusarium oxysporum and other biological control organisms for suppressing fusarium wilt banana, Plant Pathology 55(2) 217-223.

Reece, R. J. (2004). Analysis of Genes and Genomes. John Wiley & Sons, Ltd. England. 469 p.

Schmid, R. D.. (2003). Pocket Guideto Biotechnology and Genetic Engineering. WILEY- VCH Verlag GmbH &Co., Weinheim. 350 p.

Semiarti, E., Indrianto, A., Purwantoro, A., Isminingsih, S., Suseno, N., Ishikawa, T., Yoshioka, Y., Machida, Y. and Machida. C. (2007). Agrobacterium-mediated transformation of the wild orchid species Phalaenopsis amabilis. Plant Biotechnology, 24(3): 265-272.

Shelton, A.M. (2003). The role of plant biotechnology in the world’s food systems. New York State Agricultural Experiment Station.

PENGARUH INFEKSI CACING Ascaridia galli TERHADAP

ELEKTROLIT DAN GAMBARAN DARAH AYAM BURAS (Gallus domesticus)

Bambang Ariyadi, Wihandoyo

Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh infeksi telur cacing Ascaridia galli terhadap elektrolit dan gambaran darah ayam buras (Gallus domesticus). Penelitian ini menggunakan 20 ekor ayam yang berumur 1 hari sebagai hewan percobaan. Ayam dikelompokkan dalam dua kelompok (kontrol dan perlakuan) yang masing-masing berjumlah 10 ekor. Telur berembrio cacing Ascaridia galli diperoleh dengan cara melakukan embrionisasi telur cacing Ascaridia galli dengan menggunakan metode Fairbrain yang dimodifikasi. Kelompok perlakuan dilakukan infeksi telur berembrio cacing Ascaridia galli sebanyak 500 telur cacing/ekor ayam, sedangkan kelompok kontrol tidak diinfeksi.

Semua ayam diadaptasikan dalam kandang baterai selama 2 minggu, diberi pakan campuran antara jagung, dedak dan konsentrat untuk ayam. Sebelum dilakukan infeksi, semua ayam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan diberi obat cacing untuk menghindari kemungkinan infeksi cacing dari lingkungan. Satu hari sebelum dilakukan infeksi, dilakukan pengambilan sampel pertama. Sampel ini berupa feses ayam untuk pemeriksaan parasitologi dan pengambilan darah untuk pemeriksaan elektrolit dan pemeriksaan darah rutin. Pemeriksan feses dilakukan dengan metode natif, sentrifus dan McMaster. Pemeriksaan elektrolit meliputi pemeriksaan konsentrasi sodium, potasium dan potasium. Pemeriksaan darah rutin meliputi penghitungan jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai packed cell volume (PCV), total protein plasma ,total leukosit dan diferensial leukosit yang meliputi sel heterofil, sel eosinofil, sel basofil, monosit dan limfosit. Pada hari ke 7, 14, 21 dan 28 setelah infeksi, dilakukan pengambilan sampel berikutnya.

Pada penelitian ini, infeksi 500 telur cacing berembrio Ascaridia galli menyebabkan penurunan kadar potasium (K) serum pada hari ke 21 dan 28 setelah infeksi (P<0,05), kenaikan kadar Magnesium (Mg) serum pada hari ke 21 setelah infeksi (P<0,05) dan tidak memberikan pengaruh terhadap kadar sodium (Na) serum setelah infeksi. Hasil penelitian ini menyebabkan penurunan terhadap jumlah eritrosit pada hari ke 7 dan 14 setelah infeksi (P<0,05), penurunan terhadap nilai packed cell volume pada hari ke 14 setelah infeksi (P<0,05), kenaikan nilai total protein plasma pada hari ke 7 setelah infeksi (P<0,05), kenaikan nilai absolut sel eosinofil pada hari ke 14 setelah infeksi (P<0,05), tidak memberikan pengaruh terhadap kadar hemoglobin, jumlah leukosit, nilai absolut sel heterofil, nilai absolut limfosit dan nilai absolut monosit. Pada penelitian ini, dari infeksi 500 telur cacing berembrio Ascaridia galli pada hari ke28 setelah infeksi, rerata cacing yang hidup yaitu 13 ekor cacing.

Kata-kata kunci : Telur Cacing A. galli, Elektrolit, Darah, Ayam buras.

Pendahuluan

Infeksi cacing Nematoda Ascaridia galli (A. galli) (Schrank 1788) pada unggas tersebar luas di seluruh dunia pada unggas domestikasi maupun unggas liar (Soulsby, 1982). Infeksi dari cacing Ascaridia galli seringkali menyebabkan penurunan tingkat pertumbuhan dan penurunan berat badan (He et al., 1990). Hal ini kemungkinan dihubungkan dengan kerusakan mukosa intestinum yang menyebabkan kehilangan darah dan menyebabkan infeksi sekunder (Ackert dan Herrick, 1928). Berat ringannya kerusakan mukosa intestinum tergantung pada jumlah cacing di dalam intestinum (Ikeme, 1971a).

Infeksi cacing menyebabkan terjadinya perdarahan kronis, karena larva yang bermigrasi menimbulkan kerusakan gastrointestinal diantaranya gastritis, enteritis, dan ulcerasi tracktus digestivus yang akhirnya menyebabkan suatu keadaan yang disebut kehilangan darah kronis (Coles, 1986). Infeksi cacing juga menyebabkan terjadinya pengurasan cairan makanan dan penyumbatan usus oleh cacing gelang dan cacing pita serta adanya bungkul-bungkul pada usus (Tabbu, 2002).

Anwar dan Rahman (2002), telah melakukan penelitian terhadap 100 ekor ayam

White Leghorn yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berisi 50 ekor

ayam sebagai kelompok kontrol dan kelompok kedua berisi 50 ekor ayam sebagai kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan diinfeksi dengan 350 telur A. galli yang berembrio, sedangkan kelompok kontrol tidak diinfeksi. Penelitian tersebut menyatakan bahwa terjadi penurunan yang signifikan (P<0.05) terhadap kadar elektrolit sodium, potasium dan kalsium dalam serum pada hari ke-21 dan ke-40 setelah infeksi, sedangkan kadar elektrolit magnesium dan fosfor dalam serum tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Infeksi cacing A. galli biasanya menimbulkan kerusakan yang parah pada intestinum selama bermigrasi pada fase jaringan. Migrasi ini terjadi di lapisan mukosa intestinum dan menyebabkan terjadinya enteritis hemoragika, gangguan proses digesti dan penyerapan nutrien, sehingga akan berpengaruh terhadap elektrolit dan gambaran darah ayam (Tabbu, 2002). Oleh karena itu perlu diadakan penelitian untuk mengevaluasi pengaruh infeksi cacing A. galli terhadap kadar elektrolit (sodium, potasium dan magnesium) dan gambaran darah rutin pada ayam yang meliputi jumlah eritrosit, kadar

hemoglobin, packed cell volume, total protein plasma, jumlah total leukosit, dan diferensial leukosit (sel heterofil, sel eosinofil, sel basofil, monosit dan limfosit).

Tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh infeksi telur cacing A. galli terhadap kadar elektrolit (sodium, potasium dan magnesium) dan gambaran darah rutin yang meliputi jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, packed cell volume, total protein plasma, jumlah total leukosit, dan diferensial leukosit (sel heterofil, sel eosinofil, sel basofil, monosit dan limfosit) pada ayam buras (Gallus domesticus).

Cara Penelitian Hewan Percobaan.

Pada penelitian ini digunakan ayam buras berumur 1 hari yang berjumlah 25 ekor. Cacing A. galli yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Rumah Makan Ayam Goreng Mbok Sabar Yogayakarta. Obat cacing yang digunakan pada penelitian ini adalah Levamid® yang diberikan dengan dosis 0,2 g/kg berat badan.

Metode

Ayam diadaptasikan pada kandang penelitian selama 2 minggu, sebelum dilakukan infeksi telur cacing A. galli, semua ayam diobati menggunakan Levamid® yang mengandung Levamisol dan Niclosamid sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk menghilangkan kemungkinan cacing yang ada dalam tubuh ayam.

Cacing A. galli yang di peroleh dari Rumah Makan Ayam Goreng Mbok Sabar di masukkan ke dalam gelas beker yang berisi NaCl fisiologis 0,85%. Semua cacing dicuci beberapa kali dengan larutan tadi sampai bersih dari kotoran. Kemudian dipilih cacing betina yang ditandai dengan ukuran tubuhnya yang besar dan bagian posteriornya lurus. Cacing-cacing betina yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam gelas beker yang berisi NaCl fisiologis.

Semua cacing betina yang telah dikumpulkan dipotong di posterior porus genitalis